Kehidupan itu akan terasa menyenangkan jika kita tahu apa yang harus kita lakukan. Teori yang cukup sederhana, tapi cukup sulit untuk diterapkan begitu saja.
Hari ini masih pukul sembilan. Kanaya berjalan cukup cepat, menghampiri kedai nasi goreng yang tak terlalu jauh dari perempatan jalan. Dia beruntung karena hari ini tokonya tutup satu jam lebih cepat. Kanaya pikir, kata-kata sarkasmenya cukup untuk membungkam mulut Mira saat itu. Namun, kenyataannya gadis itu masih saja mengoceh dengan nada provokasi. Kanaya lebih memilih diam saja, dan hal itu malah membuat Mira tambah bersemangat. Dia mungkin berpikir bahwa Kanaya tak akan bisa menyaingi ocehannya. Itu kekanak-kanakan. Pada dasarnya, tidak bisa dan tidak mau itu adalah dua hal yang berbeda. Namun, sepertinya Mira terlalu senang hingga tak bisa membedakan keduanya.
“Pak, nasi gorengnya satu, jangan terlalu pedas.”
Setelah mendapatkan anggukan dari penjual nasi goreng itu, Kanaya duduk, di salah satu bangku di meja paling belakang sudut kiri. Ia menopang dagu, melihat kendaraan yang berlalu-lalang.
Waktu itu, ah mungkin setengah tahun yang lalu. Orang yang menyewa rumah kos tepat di sebelah Kanaya kedatangan tamu. Tamunya seorang pemuda, umurnya hanya satu tahun di atas Kanaya. Mereka tak sengaja berpapasan saat Kanaya hendak keluar dari gerbang. Pemuda itu tampak terpesona lebih dulu, itu terlihat jelas dari pupilnya yang membesar. Tiga hari kemudian, pemuda itu datang lagi, tentu saja bertamu ke rumah kos sebelah yang adalah milik temannya. Mereka pun bertemu lagi. Singkatnya, setelah berkenalan, mereka menjadi dekat. Kanaya sebenarnya tak tertarik dengan pemuda itu. Dia cukup agresif, tampangnya juga seperti pemain, sama sekali bukan tipe Kanaya. Namun, karena iba Kanaya menerima pernyataan cintanya. Dengan harapan, mungkin lambat laun Kanaya akan jatuh hati padanya.
Hubungan itu baru mulai, setidaknya memasuki bulan ke empat. Pemuda itu pun berubah seiring berjalannya waktu. Ia menjadi sok sibuk dan sangat susah ditemui. Itu tak jadi masalah, toh pacaran itu tidak seharusnya bersama 24 jam ‘kan? Kanaya juga menghargai privasi. Namun, kenyataan yang cukup mengejutkan Kanaya adalah alasan di balik perubahan sikapnya itu, yaitu dia tergoda dengan gadis lain. Sejak awal, Kanaya sudah bisa menebaknya, tapi dia tak menyangka akan secepat ini. Saat itu Kanaya tak terlalu sakit hati, karena dia bahkan belum sepenuhnya memberikan hati pada pemuda itu, tapi tak bisa dipungkiri bahwa rasa kecewa itu tetap ada. Lalu, tanpa mempertanyakan mengapa dan siapa, lantas Kanaya mengakhirinya begitu saja.
Kanaya mengembuskan napas. “Tak di sangka, semuanya terjawab bahkan saat aku tak mempertanyakannya.”
Mereka tak saling bertemu lagi setelah itu. Kanaya tersenyum geli, berpikir bahwa sebenarnya Mira telah merebut pacarnya waktu dulu. Kenyataan bahwa pemuda itu lebih memilih Mira ketimbang dirinya juga tak lagi mengejutkan. Kanaya tak merasakan apa pun. Mungkin karena sedari awal dia tak terlalu menyukai pemuda itu.
Nasi gorengnya sudah jadi. Kanaya memberikan uang dan mengambil bungkusan hitam yang diberikan oleh si penjual. Kemudian, dia kembali berjalan, menyusuri trotoar pinggir jalan sambil menenteng makan malamnya.
Sudah agak lama sejak dia tak lagi mampu membayar pinjaman online-nya. Dendanya bertambah setiap hari. Itu menjadi jelas, mengapa ponselnya lebih berisik dari biasanya. Ini akan menjadi kehidupan yang terburuk. Rasanya sesak, hingga ia kesulitan untuk bernapas. Berpikir bahwa dia akan kesulitan untuk merasakan kebahagiaan dalam hidupnya. Mungkin saja itu benar, karena utang adalah pelenyap kebahagiaan. Kanaya hanya bisa berharap, jangan sampai mereka benar-benar mendatangi rumah Kanaya. Mereka terus saja mengancam, dan setiap kali membaca pesan ancaman itu, darah Kanaya seakan berdesir.
Selama ini dia menjalani harinya dengan penuh tekanan. Berpura-pura melupakan masalah yang ada itu rasanya seperti kebahagiaan yang getir. Apa yang ia dapatkan selama ini hanya mimpi dan utang, yang jumlahnya sama banyaknya. Kanaya iri, pada mereka yang terlihat lebih baik dalam segala hal. Hanya saja dia terlalu malu untuk terus-terusan mengeluh.
Kanaya terkesiap saat tetesan air mendarat di puncak kepalanya. Dia tak mengira bahwa malam ini akan turun hujan. Tidak ada tanda-tandanya, bahkan beberapa menit yang lalu, masih terlihat beberapa bintang di atas sana. Ia berlari kecil, berusaha menggapai halte bis yang berada tak jauh di depannya. Sialnya dia masih terkena basah, setidaknya di bagian pundak dan rambut cokelatnya.
Hujan itu menyadarkannya, bahwa dia bukanlah satu-satunya yang berteduh di sana. Ada satu orang pemuda yang baru saja tiba. Dia sibuk membenahi jaket jins birunya yang terkena sedikit air hujan. Dengar, suasana hati itu gampang sekali berubah tergantung bagaimana keadaannya. Tanpa disadari, Kanaya mengulum senyum. Pemuda itu seakan tak peduli dengan apa yang ada di sekitarnya. Dia bahkan tidak mengetahui bahwa Kanaya sudah berada di sebelahnya, melihatnya saat membenahi rambut hitamnya, atau bahkan saat ia melepas kacamata kemudian menyimpannya di saku jaket.
“Kita bertemu lagi.” Kanaya tiba-tiba menyapa. Dia menoleh kaget, ditatapnya wajah Kanaya sebentar, lalu ekspresinya berubah jengkel.
“Kau lagi?”
“Sepertinya akhir-akhir ini kita jadi sering bertemu, ya.”
Vin tak menjawab. Dia mengalihkan pandangan, menatap hujan di depan yang kian detik kian deras. Haltenya kecil, tentu saja tempat duduknya juga kecil. Dia merasa tak nyaman, apalagi terjebak bersama seorang gadis yang menyebalkan baginya.
“Kau baru pulang bekerja?” tanya Kanaya.
“Menurutmu?”
Kanaya membulatkan mata. Vin betul-betul dingin. “Galak sekali. Ah, aku juga baru pulang kerja. Tokoku tutup lebih awal hari ini.”
“Aku tidak bertanya.”
Kanaya terdiam sesaat, menatap Vin yang sama sekali tak menatapnya. “Ya ampun, kau betul-betul pemuda yang galak.”
Vin tetap diam. Dia hanya melirik sekilas. Tatapannya seakan memberitahu bahwa dia enggan berbicara dengan Kanaya. Hal itu membuat Kanaya geli. Alih-alih tersinggung, gadis itu malah makin bersemangat. Malam itu sangat gelap, tapi Kanaya mampu menangkap sesuatu menakjubkan dari pemuda itu.
“Warna matamu berbeda,” ujar Kanaya.
Vin tersentak. Dia baru ingat bahwa dia sudah melepas kacamatanya. Kata-kata yang biasa ia dengar mungkin akan terdengar lagi dari mulut gadis ini, pikirnya. Dia pasti berkata bahwa mata ini aneh. Itu memuakkan, tapi tidak apa-apa. Mari kita dengarkan lagi kali ini.
“Itu ... menakjubkan,” tukas Kanaya. Kali ini Vin menoleh. Dia sungguh kaget kali ini.
“Apa katamu?”
“Warna matamu yang berbeda, itu terlihat menakjubkan. Kenapa kau menutupinya dengan kacamata? Padahal itu indah. Apakah kau memiliki silinder atau minus pada matamu?”
Vin benar-benar tidak menjawab. Bukan karena enggan, tapi karena dia kehilangan kata-katanya. Untuk beberapa saat, ia hanya terpaku dan menatap Kanaya. Namun, segera ia mengalihkan pandangannya dan kembali menatap hujan. Ada satu pertanyaan di dalam kepalanya, mengapa sesuatu yang berbeda itu terlihat menarik?
Kanaya mengerutkan dahi. Bagaimana bisa Vin mengabaikannya hingga dua kali. “Hei, aku sedang berbicara padamu. Jangan abaikan aku!”
Vin mengembuskan napas kasar. “apa kau tak menganggap bahwa ini aneh?”
“Hah? Aneh? Apanya yang aneh?”
“Aku berbicara tentang mataku.”
Kanaya terlihat bingung. Menurutnya itu sama sekali bukanlah hal yang aneh. Dia memiringkan kepala, menatap wajah Vin yang datar saat menunggu jawaban darinya. “Warna mata yang berbeda, ya? Itu memang tidak umum, tapi bukan berarti itu aneh, ‘kan?”
“Kenapa kau berpikir seperti itu?”
“Sesuatu yang berbeda itu, pasti akan terlihat menarik, 'kan? Itu artinya kau memiliki apa yang tidak orang lain miliki. Kau menonjol, di antara mereka yang biasa saja. Jadi, kenapa kau berpikir bahwa itu adalah sesuatu yang aneh?”
Vin mengangkat sebelah alisnya. “Untuk seseorang yang pernah berpikir untuk mati, kau cukup bijak.”
“Haha, kata-kata bijakku hanya berlaku untuk orang lain dan tidak berlaku untuk diri sendiri.” Kanaya berkata sambil tertawa ringan.
Sudah pukul sepuluh. Setengah jam telah berlalu, selama itu pula Vin terus bungkam. Hujan mulai berhenti, air yang jatuh sudah tak terlalu menyakiti. Vin beranjak, ia membenahi jaket jinsnya dan bersiap pergi. Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Ia menoleh ke belakang, gadis yang tengah melamun itu masih duduk dengan wajahnya yang polos.
“Hei ... kau pulang menggunakan apa?”
Kanaya tersentak, ia menoleh. Vin telah siap pergi, ia melirik hujan sesaat. Masih gerimis, itu berarti pakaiannya akan basah jika ia paksakan untuk pulang. “Aku berjalan kaki.”
Vin terkejut sesaat. Ada sesuatu yang menggelitik perasaannya. Sejujurnya ia ragu, tapi akhirnya ia berkata, “berdirilah! Aku akan mengantarmu pulang.”