Ini adalah puncak yang terburuk dari setiap hal buruk yang Kanaya alami. Rasanya ia ingin menghilang dari dunia ini secepatnya. Pembodohan itu, tidak itu adalah kebodohannya sendiri. Setiap kali mengingat kejadian bahwa dia ditipu, jantungnya bergetar, keringat dingin seakan merembes keluar dari setiap pori-pori tubuhnya. Itu adalah perasaan cemas yang luar biasa mengerikan.
Kanaya menjadi tidak fokus hari ini. Pikirannya kalut akan kebodohan yang ia ciptakan sendiri. Menangis? Itu tidak menyelesaikan masalah, yang ada Adelia akan merasa curiga. Berteriak? Oh itu sangat diinginkan Kanaya, tapi itu juga tak mungkin dilakukannya. Dia merasa sangat buruk, lebih buruk dari setumpuk pasir yang berisi kotoran kucing.
Tatapan kosong itu pada akhirnya mengarah pada jam dinding toko yang sudah menunjukkan pukul sembilan lewat empat puluh lima menit. Kanaya menghela napas tersendat, sebentar lagi toko akan segera tutup. Dia ingin segera pulang dan menyayat otak kecilnya yang tak berisi logika.
Saat sibuk mengutuk diri sendiri, Bibi Melisa pun menyodorkan sebuah kantung pada Kanaya. “Kanaya, ambil ini!” tukas Bibi Melisa.
Kanaya terkesiap, dia lupa akan keberadaan bosnya itu. Setiap pukul sembilan malam, Bibi Melisa memang akan datang ke toko. Dia memastikan pembukuan, mengecek dan mengambil roti-roti yang tersisa.
“Ini terlalu banyak, Bi.” Kanaya membulatkan matanya karena roti yang di dapat malam ini lebih banyak dari pada biasanya.
“Ya tidak apa-apa. Ambil saja, daripada terbuang nantinya.”
Kanaya memberikan senyum lebar. “Terima kasih, Bi.” Kanaya terbiasa memanggil Ibunya Adelia dengan sebutan Bibi. Maka dari itu, hubungan mereka tidak hanya terlihat seperti pegawai dan atasan. Itu juga yang menjadikan Kanaya betah kerja di sana.
“Eh, apa kau sedang sakit? Wajahmu pucat sekali, loh.” Bibi Melisa menatap wajah Kanaya dengan sedikit cemas.
“Oh, tidak, Bi. Ini hanya karena aku tak memakai lipstik.”
Mulut Bibi Melisa pun berbentuk O, kemudian wanita yang berusia hampir lima puluhan itu pun mengangguk seolah mengerti. Setelah itu dia kembali ke mesin kasir. Di usianya yang tak lagi muda, Bibi Melisa masih tampak segar dan cantik. Terlihat suaminya yang duduk di kursi juga tersenyum. Benar-benar orang yang hangat.
***
Malam itu, tak ada satu pun bintang yang terlihat di atas langit. Di atas sana sangat gelap. Pantas saja jalanan agak sepi. Sudah seperti kebiasaan, jika akan turun hujan di malam hari, jalanan menjadi sepi. Biasanya ada banyak orang yang berjualan makanan di pinggir jalan, tapi mereka akan segera pulang sebelum hujan turun.
Kanaya menghela napas panjang. Hari ini sungguh berat untuk di lalui. Ia berjalan gontai sembari menenteng kantong plastik berisi roti. Sudah bisa di pastikan apa menu makan malamnya hari ini. Angin malam yang begitu deras seakan menampar wajahnya yang beku. Ia mendongak, menatapi langit gelap yang sangat luas.
"Jangan hujan dulu," bisiknya.
Dia terus berjalan, berbelok ke dalam gang agar lebih cepat sampai ke rumah kosnya. Di sepanjang jalan, dia tak begitu bersemangat. Biasanya dia antusias menatapi berbagai hal yang ada di jalanan dan bernyanyi dengan mulut kecilnya. Malam itu, dia hanya merunduk, terus berjalan dengan satu pikiran yang terlintas, yaitu mati. Pikirannya benar-benar kalut. Kanaya sangat putus asa. Namun, apa dengan mati maka semua terselesaikan? Jujur saja, melakukannya pada diri sendiri itu terlalu menakutkan. Namun, dia sudah tak sanggup menjalani hari-hari yang melelahkan ini. Kanaya larut dalam pikiran, di sepanjang jalan ia terus menunduk, memandangi langkah kakinya sendiri hingga ia tak menyadari bahwa jalan yang ia lalui sebenarnya bukan jalan yang biasa ia lewati.
Kanaya mengerjap, jalanan ini begitu sepi dan gelap karena lampu jalan hanya satu yang hidup, itu pun berada di ujung sana. Dia mendesah kasar, harusnya dia menyadarinya lebih cepat. Kanaya berbalik, tapi langkahnya terhenti saat seseorang tengah berdiri menghadang jalannya. Gadis itu sedikit terkejut dan mendongak, mencoba melihat siapa orang itu. Namun, kegelapan menghalangi pandangannya. Terlebih, orang itu memakai jaket hitam dan topi hitam yang hampir menutupi setengah mukanya.
Dia seorang laki-laki. Apa dia tersesat?
Sering kali orang terkecoh dengan kepolosan dan kebodohan, karena polos dan bodoh itu sangat beda tipis. Logikanya, mana ada orang tak dikenal yang tiba-tiba hadir dengan pakaian mencurigakan itu adalah orang yang sedang tersesat. Lazimnya, orang seperti itu terlihat seperti perampok atau lebih mengerikannya adalah seorang pemerkosa. Mau bagaimana pun, Kanaya adalah seorang perempuan, yang lemah dan tak punya apa-apa.
“Ah, maaf, apa Anda tersesat?”
Dia tak menjawab pertanyaan Kanaya. Mulanya dia hanya berdiri dengan tangan yang dimasukkan di dalam saku jaketnya. Namun, saat ia mengeluarkan tangannya, dia juga mengeluarkan pisau bersamaan dengan itu. Gadis itu terperanjat, seharusnya dia menyadari situasi berbahaya ini lebih cepat. Ia bergerak mundur perlahan sambil memeluk tas hitam kecilnya di depan dada. Kanaya menoleh ke kanan dan kirinya. Sepi dan tak ada siapa-siapa. Hanya ada gubuk kecil dan rumah kayu dua tingkat yang lumayan jauh.
“K-kau mau apa? Asal kau tahu saja, aku tak punya apa-apa, aku miskin! Ja-jadi, percuma saja kalau kau mau merampokku.”
Pemuda itu tak mengindahkan perkataan Kanaya. Dia terus melangkah maju dengan perlahan, menenteng sebuah pisau yang sinarnya bisa Kanaya lihat walau samar. Apa mungkin dia akan berakhir di sini? Gadis itu sudah hampir menangis karena takut. Jika berteriak juga percuma, yang ada, Kanaya malah akan mempercepat kematiannya. Oh, kematian? Itu dia!
“Benar! Mungkin tuhan mendengar permohonanku. Jika orang ini membunuhku, maka semuanya akan selesai. Aku tidak peduli bagaimana selanjutnya, yang terpenting sekarang adalah aku harus mati. Jika aku mati di tangan orang ini, itu berarti aku tak perlu bersusah payah menyayat tangan atau pun leherku sendiri. Sempurna!”
Saat itu suasananya gelap, pemuda itu mungkin tak terlalu bisa melihat wajah Kanaya. Namun, ia bisa mendengar bagaimana gadis itu bergumam sendiri layaknya orang gila. Pemuda itu sampai menghentikan langkahnya dan menyembunyikan lagi pisaunya akibat itu.
“Hei, apa kau mau membunuhku dengan pisau itu?”
Pemuda itu kikuk dilontarkan pertanyaan yang frontal. "Iya." dia menjawab canggung.
Kanaya terhenyak. Oh, pemuda itu memiliki suara yang bagus. Suara yang rendah, tapi lembut. Sedikit serak, tapi tetap enak di dengar. Namun, pada akhirnya Kanaya sadar. Mari kita singkirkan tentang suaranya.
"Sungguh?”
Pemuda itu menganggukkan kepala. Ya, dia bukan perampok atau pun pemerkosa. Dia adalah seorang pembunuh rupanya. Kanaya tersenyum lebar. “Bagus! Kalau begitu lakukanlah! Bunuh aku sekarang!”
Pemuda itu tersentak. Apa ini jebakan, pikirnya. Apa yang dia pikirkan sangat berbeda dengan kenyataan yang terjadi. Bukankah harusnya gadis itu merengek dan menangis ketakutan saat hendak di bunuh? Lalu, seharusnya gadis ini berteriak minta tolong dan dirinya akan digiring ke kantor polisi, bukankah harusnya seperti itu?
“Kenapa kau diam saja? Ayo! Bunuh aku sekarang!”pinta Kanaya sekali lagi.
Kali ini pemuda itu sangat kebingungan. Baru kali ini seseorang malah minta segera di bunuh. Terlebih, dia sangat bersemangat untuk seseorang yang akan mati sebentar lagi. Kanaya makin berdecak kesal lantaran rasa tak sabar. “Hei, kenapa kau malah diam saja seperti itu?” tanya Kanaya berjalan mendekat ke arahnya.
Pemuda itu terkejut dan bergerak mundur perlahan. "Kau mau apa?"
“Hah? Kenapa kau bertanya lagi? Bukankah sudah sangat jelas, aku ingin kau cepat membunuhku.”
"Apa kau ini gila?"
Kanaya mengerutkan kening. "Gila? Aku? Apa maksudmu?”
Pemuda itu mendesah kasar dan kembali menyimpan pisau lipatnya ke dalam saku jaket. "Kau membosankan. Sudahlah, lebih baik kau pulang." pemuda itu berbalik dan lantas pergi meninggalkan Kanaya sendirian.
Tidak ada lagi bayangan pemuda itu. Dia berjalan pelan dan berlari secepat kilat setelahnya. "Apa-apaan orang itu?" ujar Kanaya bengong. Hingga detik ini dia masih tak mengerti. Kesempatan untuk mati dengan cepat sudah tidak ada lagi. Orang itu malah pergi entah ke mana. Rintik hujan mulai turun satu demi satu, dengan cepat hujan mengguyur Kanaya yang belum juga bergeming dari tempat itu.
Kanaya mengepalkan tangannya kuat sembari memejamkan mata. Tak peduli hujan turun dengan deras, bahkan semua pakaiannya sudah basah kuyup. Ia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. "Rasanya aku benar-benar ingin berteriak!"