Hujan masih turun, kian detik kian deras. Gadis itu berjalan dengan tergesa sambil sesekali mengusap wajahnya yang basah. Ia melewati gerbang besi dengan cat biru yang sedikit mengelupas itu, berjalan masuk dan membuka pintu rumahnya. Langkah kakinya diikuti genangan air yang menetes. Dari ujung kepala hingga ujung kakinya dipenuhi air hujan, itu juga yang menjadikan lantai rumah kos sederhana itu basah. Kanaya masuk ke dalam rumahnya tanpa bersuara, melewati ruang tamu yang tak terlalu besar dan terus melangkah masuk ke kamar. Dia sudah begitu sejak pemuda misterius itu pergi. Beruntung, kawasan tempat tinggal Kanaya tak begitu ramai. Bisa di katakan setiap penghuni kos yang berdampingan dengannya tak selalu ingin mengurusi kehidupan di sekitar. Itu karena mereka bukanlah ibu-ibu kompleks. Walau begitu, kompleks perumahan itu aman, karena di jaga oleh penjaga malam yang berkeliling.
Kanaya berjalan dengan raut wajah yang datar, sedari tadi ia menggigit bibir bawahnya, seakan menahan rasa jengkel. Ia melucuti semua pakaiannya yang basah, mengguyur kepala dan tubuhnya dengan air tanpa berbicara sedikit pun. Hanya tersisa piama tidur berwarna merah muda di lemarinya. Ia ingat, ia belum sempat mencuci pakaian-pakaiannya. Sudah pukul sebelas lewat sepuluh menit. Kanaya duduk di tepi ranjang, mengusap rambutnya yang basah dengan handuk merah yang berlubang di bagian ujung.
Dia sudah menahannya, tapi itu saja tidak cukup. Pada akhirnya, menangis memang lebih baik. Meluapkan emosi dengan menangis itu berarti kita masih memiliki hati nurani. Ada orang tua yang mendidik anaknya untuk jangan sering menangis. Saat anak itu merasa sakit, mereka di larang untuk menangis. Akibatnya anak itu akan tumbuh menjadi anak dengan kepribadian yang bengkok. Jadi, menangislah jika memang terlalu lelah, karena sesuatu yang di simpan, lama kelamaan akan penuh dan akan menghancurkan tempat penyimpanannya. Di kehidupan ini, ada begitu banyaknya makna patah hati. Semuanya tak selalu mengenai cinta. Masalah keluarga, pertemanan, kehidupan dan diri sendiri juga tak luput dari hal itu. Dia merasa tak berguna, lelah dengan keadaan, tak ada tempat untuk bersandar dan sendirian. Rasa lelah itu tak bisa lagi dijabarkan kata demi kata. Sudah sangat terlambat untuk mengeluh, dan yang bisa dilakukan hanya menelan saja semuanya.
Tidak tahu apakah benar utangnya bisa habis sebelum dia mati, setidaknya pria berengsek itu kembali untuk mempertanggung jawabkan semuanya. Kehidupan tenang dan seru seperti yang ia mimpikan, mungkin tak akan pernah ia dapatkan.
Kanaya terisak, menyerobot pisau kecil yang di pakainya untuk memotong benang jahit dan di dekatkan di nadi lengannya. Dia masih menangis dengan tatapan yang mengarah ke pisau itu. Namun, dia mengurungkan niatnya. Dia meletakkan kembali pisau itu dan kembali menangis. “Aku kacau! Harusnya aku sibuk memikirkan pacarku sekarang ini. Harusnya aku sibuk mengoleksi sepatu, baju, mekap ... bukan malah sibuk memikirkan utang sialan itu.”
Kanaya mengusap seluruh air mata di wajahnya. Dia bisa merasakan betapa bengkak wajahnya saat itu. Ia berbaring, memiringkan badan sehingga menghadap tembok kamar. Dia mulai berhenti menangis, dan kepalanya mulai merasa pusing. “Kalau saja orang itu benar-benar membunuhku. Maka, tugasku menjalani kehidupan tak berguna ini akan selesai.”
***
Pemuda itu menghela napas. Asap yang keluar dari sela mulutnya itu menyebar di seluruh permukaan kamarnya. Di luar hujan masih mengamuk, seakan tak ingin lagi berhenti. Ia telah mengganti pakaiannya, setelah tadi terkena hujan deras. Sorot matanya sendu saat menatapi setiap tetes hujan yang turun lewat jendela kamarnya. Ia sengaja tak menutup gorden, karena suasana hujan di malam hari terkesan tenang. Ada yang menarik dari hujan, dia lebih indah daripada kenyataan.
"Dia ... gadis itu gila. Rencanaku jadi berantakan gara-gara kegilaannya." pemuda itu bergumam sendirian.
Rencana membunuh orang, ya batinnya. Itu hanya sebagian rencana yang impulsif. Bukan pembunuhan, bahkan pisau yang ia pegang tadi itu bukanlah pisau sungguhan. Dia hanya mencoba menakuti gadis yang sedang berjalan sendirian itu. Jika saja dia berteriak, orang-orang akan datang dan melapor ke polisi. Itu adalah rencananya. Jika dia masuk ke kantor polisi, mungkin saja ayahnya akan datang seperti yang sudah-sudah.
Kemudian dia pun seolah tersadar. Tingkahnya malam ini sungguh kekanak-kanakan. Bukankah dia sendiri yang tak ingin bertemu dengan sang ayah? “Hah, aku ... hanya merasa sepi,” ujarnya semakin larut dalam lamunan.
Pemuda itu mendesah kasar sembari mengusap-usap rambutnya yang masih basah. Tidak mudah menjalani hidup sejak kejadian itu, rasanya setiap langkah yang ia lalui, semuanya di penuhi duri.
Apa bagusnya seperti ini? Andai bisa memilih, dia ingin hidup yang lebih berisik. Hidup dengan penuh tantangan yang mendebarkan, bukan hidup tanpa semangat seperti ini. Namun, tanpa wanita yang ia sebut Ibu itu, semua hal-hal menyenangkan yang pernah ia pikirkan akan sulit dilakukan, atau mungkin tak akan pernah ia lakukan.
Setelah isapan terakhir, ia mematikan api rokoknya, kemudian menarik gorden cokelatnya hingga hujan tak lagi terlihat. "Sudah cukup! Waktunya tidur!"