Monik berteriak. Dahinya terasa nyeri akibat benturan tak disengaja dari pintu yang dibuka tadi. Sementara itu, pria yang membuka pintu cepat-cepat meminta maaf. Pria itu menyoja. Setelahnya, si pria terus menerus menanyakan keadaan Monik.
“Sekali lagi, maafkan saya, Nona. Kamu nggak apa-apa, kan?”
“Ya … lumayan. Sakit.”
“Saya sungguh nggak sengaja. Saya minta maaf.”
“It’s oke. Nggak apa-apa. Saya baik-baik aja, Pak.”
“Jangan panggil saya, Pak. Saya belum menikah. Nama saya Rey. Nama kamu siapa?”
“Saya Monik. Saya permisi dulu.”
“Ya. Hati-hati di jalan.”
Monik berbalik hendak melanjutkan perjalanan. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat seorang perempuan dengan rambut lurus sepunggung baru saja turun dari mobil berwarna putih. Perempuan itu pun terkejut ketika melihat Monik. Darah Monik tersirap ketika mata mereka saling bertatapan. Bayang-bayang masa lalu ketika Amora melakukan perundungan terhadapnya membuatnya tiba-tiba merasa tidak nyaman.
“Hai, Monik. Lama kita nggak jumpa,” sapa Amora dengan senyum mengintimidasi yang sangat dibenci oleh Monik sejak dulu. “Gimana kabarmu?”
“Aku baik-baik saja, Amora. Nggak usah terlalu basa-basi sama aku. Aku permisi dulu.”
“Syukurlah kalau kamu baik-baik saja, Monik.”
“Ya, aku akan tetap baik-baik saja apa pun yang terjadi.”
Raut wajah Amora berubah. Perempuan itu tiba-tiba menampakkan kemarahan yang sebelumnya tidak diperlihatkannya. Terlebih ketika Monik menaiki mobil berwarna biru metalik tanpa menyapanya. Amora merasa diremehkan oleh orang yang pernah dirundungnya.
Sementara itu, Monik melajukan kendaraannya dengan kecepatan tinggi. Perasaan takut dan marah bercampur aduk menjadi satu. Ya, hingga bertahun-tahun setelah peristiwa perundungan yang pernah menimpanya, dia masih saja takut menghadapi Amora. Akan tetapi, sebisa mungkin dia tidak ingin memperlihatkan perasaan itu pada Amora.
Monik ingat betul bagaimana Amora berusaha merusak mentalnya ketika dirinya masih duduk di bangku kelas dua SMA. Saat itu, Amora adalah anak baru yang begitu dicintai oleh guru-guru di sekolah. Setiap kali berbuat kesalahan, Amora tidak pernah mendapatkan teguran apalagi sanksi. Sangat berbeda dengan murid-murid lain yang bukan dari kalangan orang-orang terpandang, termasuk dirinya.
Di suatu pagi, di bulan Oktober, Amora dengan sengaja menyalakan korek api, lalu membakar rambut Monik. Namun, Monik cukup beruntung karena dia dengan cepat mematikan api itu sebelum menyebar ke seluruh tubuhnya. Sayang, kejadian itu membuat Monik mau tidak mau harus memotong rambutnya yang terbakar.
Kesakitan demi kesakitan yang dirasakan oleh Monik tak berhenti sampai di situ. Amora dan gengnya yang sesama orang kaya seakan-akan tidak puas dengan apa yang dilakukan mereka kepada Monik. Mereka bahkan mendatangi ibu Monik yang orang tua tunggal itu ketika sedang dalam perjalanan pulang ke rumah.
Saat itu, hari hampir malam. Ibu Monik menaiki motor tuanya setelah seharian berjualan sayur di pasar. Tiba-tiba dari arah berlawanan, sebuah mobil yang dikendarai oleh Amora berjalan cepat sehingga hampir menabrak motor sang ibu. Ibu Monik cukup beruntung karena bisa menguasai kendaraan yang tengah dinaiki.
Kala itu Monik cukup terhibur ketika sang ibu berhasil membalas perbuatan Amora dan teman-temannya. Dengan satu bentakan saja, geng Amora kocar-kacir. Mereka bahkan tak lagi bisa merundung ibu Monik. Meski demikian, itu tidak berlaku bagi Monik. Perbuatan ibu Monik justru menjadi alasan bagi Amora untuk melakukan perundungan dengan lebih kejam.
Kini Monik menepikan mobilnya. Dia memukul-mukul setir mobil, lalu menangis sekeras mungkin. Setelah bertahun-tahun lamanya mencoba bangkit, nyatanya itu belum cukup membuat sakit hatinya terobati. Intimidasi-intimidasi yang pernah diberikan oleh Amora begitu membekas dan sulit untuk sembuh. Itu seperti luka yang membusuk dan tak kunjung mendapatkan pengobatan yang tepat.
Tangisnya terhenti ketika ponselnya berdering. Monik buru-buru menghapus air matanya, lalu menerima panggilan video itu. Dia tidak ingin orang yang kini meneleponnya tahu bahwa luka itu kembali muncul.
“Hai, Ma.”
“Monik, ayo makan malam di luar.”
“Mama mau makan malam di mana?”
“Mama pengen makan sapo tahu yang ada di restoran Xin-Xin. Kamu mau nggak anter Mama?”
“Ya, Ma. Tunggu Monik pulang, ya. Mama siap-siap dulu.”
Wajah bahagia sang ibu adalah segala-galanya bagi Monik. Jadi, dia berusaha sekuat tenaga bagaimana menghasilkan banyak uang untuk menyenangkan hati sang ibu. Beberapa tahun lamanya, dia mengambil sebuah jurusan Public Relation di perkuliahan untuk mengembangkan kemampuan berbicaranya dan negosiasi. Pengalaman-pengalaman di masa lalu yang dialami oleh sang ibu kemudian membuatnya mencoba menemukan teori-teori yang berkaitan dengan hubungan pacaran dan pernikahan.
Monik menarik napasnya dalam-dalam. Dia tersenyum, mencoba memasukkan afirmasi-afirmasi positif, lalu melaknjutkan perjalanan. Hanya butuh waktu lima belas menit untuk sampai di rumahnya. Akan tetapi, ketika dia akan memarkirkan kendaraannya di halaman rumah, dia dikejutkan dengan seorang laki-laki paruh baya yang berdiri di depan rumahnya.
Laki-laki itu tampak tidak asing baginya; tubuh tinggi, berkacamata, berpakaian rapi, dan masih terlihat tampan meski ada beberapa kerutan. Pria paruh baya itu berdiri mematung di depan rumah Monik dan tidak melakukan apa pun, hanya bersandar pada mobil berwarna hitam yang terparkir juga di halaman rumah gadis tiga puluh tahun itu.
“Selamat sore, Anda mencari siapa?” tanya Monik setelah keluar dari mobilnya.
Laki-laki itu tertegun. Matanya bahkan tidak berkedip ketika melihat Monik.
“Bapak, maaf. Bapak mencari siapa?”
Pertanyaan Monik menyentak pria itu. Si pria berkumis yang memakai jaket denim berwarna hitam dipadu dengan celana jins dan sepatu kets itu salah tingkah. Baru saja dirinya akan menjawab pertanyaan Monik, ibu Monik sudah membuka pintu.
Langkah ibu Monik terhenti ketika melihat pria itu. Mereka berdua saling berpandangan satu sama lain. Tidak ada ekspresi pada raut wajah sang ibu ketika melihat si pria yang berdiri di samping Monik. Berbeda dengan si pria yang terlihat penuh cinta tatkala memandang wajah ibu Monik.
“Kenapa kamu datang ke sini?”
Pria itu salah tingkah, sedikit tersentak dengan respons yang tiba-tiba.
“Aku … aku hanya … rindu.”
Percakapan itu membuat Monik bertanya-tanya. “Maaf, Anda siapa, ya?”
“Saya ….”
“Dia ayahmu, Monik,” ucap ibu Monik tanpa basa-basi. Sejurus kemudian, wanita 50 tahun itu menatap lekat pria yang tengah berdiri di tengah-tengahnya dan Monik. Ibu Monik tak peduli meski Monik menampakkan raut wajah terkejut. “Jadi, apa yang kamu inginkan dari kami setelah berpuluh-puluh tahun kamu menghilang tanpa kabar? Lihat, anak gadismu ini sudah tiga puluh tahun dan kamu baru datang sekarang.”
“Maafkan aku, Rina. Sungguh.”
“Ramon, aku sudah memaafkanmu sejak dulu. Akan tetapi, jika kamu ingin membawa anakku bersamamu, maaf, aku tidak bisa.”
“Lagi pula … aku nggak mau sama kamu. Aku tidak peduli kamu ayah kandungku atau tidak, tapi … alangkah lebih baiknya jika kamu pergi saja.”
Ucapan Monik baru saja membuat Ramon—sang ayah—merasa tertampar. Lelaki itu baru sadar jika dirinya telah menorehkan luka yang teramat dalam bagi Monik.
***
Pembukaan yang menarik, semangat Bundo 😍
Comment on chapter KAFE