Aroma teh menguar memenuhi tempat di mana dua perempuan dan satu pria duduk melingkar. Akan tetapi, hanya terdengar suara pendingin ruangan. Tidak ada satu pun dari mereka yang bersuara atau memulai pembicaraan. Lidah mereka kelu dan bibir mereka terkatup, seolah-olah ada gembok besar yang tidak dapat dibuka. Tiga orang itu sibuk menata hati masing-masing setelah pertemuan tidak terduga kali ini.
Sudah lima belas menit sejak mereka bertemu di halaman rumah. Namun, suasana ruangan itu masih sunyi. Tak ada kontak mata, hanya sesekali terdengar suara seseorang menyesap teh hangat yang tersaji.
Di tengah kesunyian yang mendominasi, Ramon berdeham. Tenggorokannya sedikit terasa janggal ketika akan mengatakan sesuatu. Namun, dia mengabaikan itu. Ada banyak hal yang ingin dikatakannya setelah berpuluh-puluh tahun dirinya meninggalkan istri serta anak semata wayangnya.
“Monic … Rina … aku minta maaf,” ucap Ramon. Suara pria itu parau, seolah-olah ada yang mengganjal tenggorokannya.
Mendengar permintaan maaf itu, Monic menyesap teh. Dia mencoba mengatur emosinya agar tidak ada kemarahan yang ditahannya sejak tadi. Perempuan itu sedikit gugup, tetapi berusaha menguasai diri.
“Minta maaf untuk apa?” tanya Monic sambil meletakkan secangkir teh ke atas meja.
“Untuk semuanya, Nak. Maaf karena telah meninggalkan kalian sejak kamu berada di dalam kandungan.”
Monic memejamkan matanya. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Satu kali … dua kali … hingga kelima kalinya Monic melakukan itu agar dia bisa mengontrol kemarahannya dan tidak menampar mulut ayah kandungnya itu. Ya, Monic tidak akan melakukan itu. Dia berencana akan melawan sang ayah dengan elegan.
Gadis tiga puluh tahun itu membuka mata. Dia tersenyum, lalu melihat sang ayah dengan tatapan nyalang. “Pak Ramon, permintaan maaf Anda saya terima. Akan tetapi, saya atau mungkin … kami, tidak peduli dengan apa yang akan Anda lakukan kemudian. Jadi, saya harap, ini untuk pertama dan terakhir Anda menginjakkan kaki di rumah saya.”
“Nak, Ayah sungguh menyesal.” Kali ini Ramon mulai menangis. Akan tetapi, Monic merasa bahwa tangisan sang ayah adalah tangisan penuh kepura-puraan.
“Jadi begini, Pak Ramon, saya tidak peduli meski Anda menyesal. Terlepas dari apa pun alasan Anda meninggalkan Ibu saya ketika Ibu saya hamil dan terlepas apa pun masalah Anda dengan keluarga Anda yang baru, saya tidak peduli. Saya sudah bermurah hati mempersilakan Anda masuk ke dalam rumah saya. Jadi, jika Anda kemudian berusaha untuk membuat saya dan Ibu saya kembali, lebih baik Anda bermimpi saja.”
Ada rasa sesak di dalam dada Ramon ketika mendengar penolakan dari bibir sang anak. Harga diri dan egonya merasa terluka. Sepanjang menikah dengan Rina—ibu Monic—tidak sedikit pun wanita itu melawan. Namun, semuanya berubah ketika Rina menemukan sebuah bukti perselingkuhan Ramon dengan seorang wanita yang juga teman kerja Ramon.
Tiga puluh tahun yang lalu, saat kehamilan Rina menginjak usia 35 minggu, wanita itu secara tidak sengaja melihat sang suami makan dengan wanita lain ketika dia pulang dari pasar. Tubuh Rina saat itu langsung lemas, tulang-tulangnya seakan-akan lepas dari tubuhnya. Rina tak dapat menguasai diri hingga dirinya pingsan di jalan dan ditolong oleh orang-orang yang kebetulan lewat.
Rina cukup beruntung karena dia hanya dibawa ke puskesmas dan tidak menderita penyakit serius. Hanya syok sesaat. Meski demikian, Rina dirundung amarah. Terlebih ketika dia melihat Ramon beserta perempuan bernama Ratna sedang berada di tempat dia dirawat.
Sejak saat itu, Ramon meminta Rina agar menceraikannya, tetapi Rina tidak mau. Namun, Ramon tak sabar. Pria itu mencium punggung tangan Rina, lalu meninggalkan sang istri dalam keadaan hamil besar demi bisa bersama wanita lain.
Kini, setelah tiga puluh tahun berlalu, Ramon kembali. Ramon mengaku kepada Monic dan Rina bahwa seumur hidupnya dia tidak pernah tenang dan selalu dirundung oleh perasaan bersalah karena telah meninggalkan istri dan anaknya.
“Nak Monic, saya masih ayahmu. Saya dan ibumu tidak pernah bercerai. Percaya sama saya.”
Monic kembali menarik napas dalam-dalam, tak lupa dia mengembuskan napasnya itu secara perlahan juga demi menguasai diri meskipun amarahnya kini telah mencapai ubun-ubun.
“Pak Ramon, Ibu sudah bercerita banyak tentang Anda kepada saya. Jadi, jika sekarang Ibu saya ingin mengurus perceraian dengan Anda, saya akan mendukung dan mengawal perceraian ini hingga selesai.”
Ramon tertawa. Dia kalah telak, tetapi dia tidak ingin mengakui itu sebagai kekalahannya. “Apa kamu bercanda, Nak? Kalau ibumu ingin bercerai, sudah pasti akan menceraikan Ayah dari dulu.”
“Sekarang aku akan melakukan itu, Ramon.” Kini Rina angkat bicara. “Aku akan mengurus surat cerai kita yang belum sempat aku urus saat itu karena tidak ada waktu dan biaya. Entah kenapa, aku percaya, Tuhan mempertemukan kita kembali karena ingin aku mengurus ini semua.”
Raut wajah Ramon seketika berubah. Wajah pria 57 tahun itu tiba-tiba pucat dan tampak gundah. Berulangkali Ramon mengusap wajah, tetapi keringat dingin itu seolah-olah tidak mau pergi. Hati Ramon dongkol, tetapi di saat yang sama, dia juga merasa takut jika tidak lagi memiliki hak atas anak maupun harta yang dimiliki oleh Rina dan juga Monic.
Senyuman yang diberikan oleh Rina dan Monic seperti momok yang menyeramkan baginya. Tiba-tiba senyuman itu terlihat seperti senyuman monster yang berusaha menakuti serta mengintimidasinya. Meski begitu, Ramon berusaha tenang. Dalam beberapa detik, dia memejamkan mata, lalu kembali memandang dua perempuan yang pernah disakitinya.
“Aku akan menebus kesalahanku di masa lalu jika diberi kesempatan.” Suara Ramon terdengar tenang. Dia tidak mau terdengar ketakutan.
“Tidak, Ramon!” seru Rina, tegas.
“Ya, aku pun tidak akan menyetujui Ibu berhubungan dengan lelaki yang pernah menyakiti hati Ibu. Pak Ramon, saya tidak tahu, apa yang menjadi penyebab Anda minta kembali pada kami, orang-orang yang sudah Anda buang sejak lama?”
“Ayah rindu, Nak. Rindu ini sangat menyiksa Ayah sejak bertahun-tahun yang lalu.”
“Lalu, di mana keluarga Anda?”
“Istri dan anak Ayah meninggalkan Ayah sejak tiga tahun yang lalu. Sejak itu, Ayah mencari-cari kamu dan ibumu.”
“Aahh … jadi begitu … jadi Anda meminta kembali pada kami karena Anda butuh tempat tinggal? Begitu?”
“Bukan, bukan begi—”
Monic berdiri. Gadis itu sudah tak kuasa lagi menahan amarahnya. “Anda tidak usah menyangkal, Pak! Semuanya sudah jelas sekarang bahwa Anda tidak tulus mencintai kami, tetapi Anda butuh kami. Anda butuh tempat tinggal dan makan gratis setelah apa yang Anda lakukan kepada kami. Jika Anda ditinggalkan oleh keluarga Anda, seharusnya Anda introspeksi diri dan bukannya malah ingin kembali kepada kami. Maaf, alangkah baiknya Anda pergi dari sini dan jangan pernah kembali! Sekali saja Anda kembali, saya akan laporkan Anda ke pihak berwajib!”
***
Pembukaan yang menarik, semangat Bundo 😍
Comment on chapter KAFE