Saat terbangun, hal pertama yang diingat Vanta adalah percakapannya dengan Jessi di ruang orbolan. Ketika pingsan, orang yang dengan sigap menangkap tubuhnya adalah Alvin. Kemudian yang merawatnya juga Alvin. Yah, sekiranya itulah kesimpulan yang didapatkan oleh Vanta.
Ide untuk meminjamkan pakaian juga ternyata dicetuskan oleh Alvin. Cowok itu meminta Jessi meminjamkan bajunya untuk Vanta. Alvin mengatur semua dengan sedemikian rupa. Termasuk gagasan untuk mengontek mamanya. Betul-betul bersih kerja cowok itu. Jessi bahkan berkata jujur kalau dia tidak kepikiran meminjamkan bajunya.
Apakah ... ini berarti Alvin sudah memutuskan untuk menurunkan senjata? Apakah cowok itu memutuskan untuk ... berteman dengannya? Atau tidak usah muluk-muluk, kembali menjadi dua pribadi asing di kampus juga terdengar tidak merugikan.
Vanta kemudian tersentak. Sejak kapan dia tidur di atas kasur? Dirabanya sisi kanan dan kiri, guling dan kosong. Ruangan memang gelap, tapi seingatnya ada lampu tidur di atas nakas. Vanta pun memutar saklarnya. Bukan hanya pemandangan kaca berembun yang dilihat Vanta, tetapi pemandangan lain yang tak biasa; Alvin setengah berbaring di sofa dengan mata terpejam. Begitu tenang dan tidak berbahaya. Seulas senyum tanpa sadar mengembang di bibirnya. Ia mendorong jendela kaca yang mengarah ke balkon.
Langit masih gelap, sisa-sisa hujan semalam membuat atap dan balkon basah. Vanta meregangkan kedua tangan sambil menghirup udara pagi. Dingin. Mungkin Alvin akan kedinginan juga jika dia membukanya terlalu lama. Vanta masuk ke dalam dan kembali menutup jendela. Pandangannya tertuju pada Alvin hendak membangunkan cowok itu. Namun, niatnya tertunda ketika melihat sesuatu yang berada dalam dekapan lengan cowok itu.
Pelan-pelan Vanta mengambilnya, sebuah bingkai foto. Foto yang Vanta tanyakan semalam tapi sama sekali tidak dijawabnya. Wanita yang ada di foto pasti benar mamanya.
“Kalo tidur gini kayak anak kecil, ih. Kalo bangun aja, kelakuan udah kayak titisan dajjal,” gumam Vanta seraya memerhatikan wajah tidur Alvin.
Mengingat semua perlakuan dan kebencian Alvin padanya, lelaki itu bisa saja menyebarkan gosip sehari setelah bertemu Vanta di tempat kerja sambilannya, mengambil foto berseragamnya diam-diam, dan membuat rumor buruk tentangnya. Lelaki itu juga bisa saja pura-pura tidak peduli ketika Vanta jatuh di dekatnya, atau membuangnya ke tengah hutan dengan dalih mengantarnya saat pingsan. Tetapi tidak. Alvin tidak melakukannya. Alvin melakukan hal normal yang dilakukan orang-orang—menolongnya—yang mana itu sama sekali tidak normal bagi status mereka, nemesis. Mungkin sebenarnya masih ada sisi baik yang tersisa pada cowok ini.
“Vin, bangun.” Vanta melanjutkan niatnya untuk membangunkan Alvin karena harus pamit pulang. Namun, cowok yang dipanggil tidak bereaksi sama sekali.
“Viiin ....”
Masih tetap bergeming.
“Yuhuuuu ....”
“....”
Akhirnya Vanta menekuk kedua lutut di lantai dan mendekatkan bibir ke telinga cowok itu. “Alviiinn, bangunnnn!!”
Upaya Vanta membuahkan hasil. Tetapi Vanta mendadak tak bisa bernapas selama tiga detik karena Alvin mencubit hidungnya. “Gila, ya?! Kalo gue mati gimana?!”
“Berisik, lebay.” Cowok itu mengucek pelan matanya, masih berupaya mengumpulkan kesadaran.
Terduduk di lantai, Vanta mengusap-usap hidungnya yag habis dicubit. “Karena lo udah bangun, gue mau pulang.”
“Tangung jawab lo,” kata cowok itu tiba-tiba.
Rencana Vanta untuk berdiri pun gagal. “Apaan?”
“Lo kira nyaman tidur di sofa? Gue masih ngantuk, dibanguninnya nggak pake perasaan pula.”
“Siapa juga yang nyuruh lo tidur di sofa?” desis Vanta tak acuh.
Alvin berdecak. “Nggak inget lo tidur sambil jalan? Ngorok pula.”
“Nggak, gue nggak mungkin ngelindur. Lo pasti bohong. Lo pasti sengaja ngeledek gue. Iya, kan?”
“Kalo bener gimana?” Kepala Alvin menoleh. Seringai menyebalkan terbit di bibirnya. “Kenapa? Malu kalo beneran ngorok?”
Karena rambut Vanta sekarang pendek, dia jadi tidak bisa bersembunyi lagi di balik tirai rambutnya. Dan itu merugikannya. Sial. Merasa kalah, Vanta tidak berkata apa-apa lagi. Memilih berdiri dan menyingkir segera dari hadapan Alvin. Tapi, cowok itu lagi-lagi menariknya sampai Vanta jatuh dan wajahnya membentur dada Alvin.
Aroma cologne samar-samar tercium oleh Vanta, perpaduan wangi kayu manis dan citrus. Irama teratur detak jantung yang halus seakan melumpuhkan saraf-sarafnya. Dan ketika Vanta menyadari jarak mereka sekarang, tubuhnya kaku. Tidak ada guling yang memisahkan mereka seperti semalam. Hanya kaus Alvin yang bergesekan dengan kulit pipinya.
Cowok itu memperbaiki posisi dan mengangkat wajah Vanta. Kini, mereka saling berpandangan. Jantung Vanta terasa berhenti berdegup. Wajah mereka hanya terpisah beberapa senti ruang di udara.
Harus Vanta akui, melihat wajah Alvin dari jarak sedekat ini menyadarkannya kalau cowok itu lumayan tampan. Bola mata cokelat terang berbingkai alis yang tak terlalu tebal juga tidak tipis, hidungnya lurus tegak, kulit yang putih seperti Vanta sendiri, ditambah rambutnya yang sedikit berantakan mengurangi kesan arogannya.
Hanya lumayan. Tidak lebih!
Wajah Alvin semakin mendekat sementara Vanta nyaris memuntahkan jantungnya keluar.
***
“Vin, ngampus lo?” Seorang cowok keluar mobil SUV hitam. Lelaki tampan yang tampak lebih normal dibandingkan yang lain, tapi herannya mau main dengan geng Alvin.
“Yo.”
Tadinya Vanta berniat mengendap-endap pergi menjauh dari mereka. Tapi perkataan Toto membuatnya refleks terdiam menatap Alvin. “Bukannya lo nggak ada kelas hari ini?”
“Nganter dia.” Ibu jari Alvin mengarah ke belakang bahu.
“Gue nggak minta dianter!” protes Vanta.
“Heh, udah bagus gue mau berbaik hati.”
“Nggak berbaik hati juga nggak pa-pa. Gue bisa pergi sendiri. Lagian apaan sih, nyebut orang ‘heh’ terus. Gue punya nama!”
Toto cuma melongo melihat kedua orang di depannya. Belum lama mendapatkan dua makhluk di depannya ini bak Belanda dan Indonesia, penjajah dan yang dijajah. Pertempuran sengit mereka sudah seperti perang dunia. Apa sekarang Belanda telah mengibarkan bendera putih? Tentu saja Belanda itu maksudnya Alvin.
“Kok kalian bisa ...” Kalimat Toto menggantung saking bingungnya.
“Woi!” Terdengar suara lain yang lebih heboh, membuat ketiga orang yang berdiri di parkiran menoleh. Andre rupanya.
Sama seperti Toto, Andre juga menatap Alvin dan Vanta bergantian dengan kening berkerut, nyaris keriting. “Pagi-pagi lo udah ngerjain anak orang, Vin?”
“Enak aja! Temen berbuat baik kok malah dituduh?” gerutu Alvin.
“Terus ni anak lo apain?” Pandangan Andre tertuju pada Vata.
Alvin menyunggingkan senyum lebar menjawab tanpa rasa berdosa. ”Nggak diapa-apain, cuma abis nginap di rumah gue.”
“HAH?!” Toto dan Andre serempak terperangah. Sementara Vanta cuma menunduk menahan malu. Kalimat ambigu cowok berengsek satu itu bisa bikin orang lain salah paham.
Tidak ada romansa di antaranya dan Alvin. Sungguh! Vanta berani sumpah. Karena pagi tadi, yang terjadi bukanlah adegan-adegan mendebarkan pada film romantis. Jauh dari kata itu. Waktu mendekatkan wajah, tiba-tiba Alvin membenturkan dahinya ke dahi Vanta. Sakit, parah! Vanta langsung mengaduh mengelus-elus keningnya dan memaki Alvin. Cowok itu tidak sadar diri, kepalanya keras menyerupai batu.
“Gila lo, Vin! Bales dendam sampe berujung di ranjang segala?! Kenapa nggak ngajak gue?”
Rasanya Vanta ingin menjitak kepala Alvin. Gara-gara ulahnya, orang lain jadi salah sangka. Vanta ingin membantah, tapi suaranya tak keluar saking malunya. Dua teman Alvin menatap penuh selidik seolah Vanta benda antik di museum. Dia bergeser tepat di belakang Alvin, bersembunyi sambil menutupi wajah dengan kedua tangan. Habis sudah, mau ditaruh di mana mukanya?
“Sorry kawan, gue lupa.” Si biang kerok mulai lagi.
“Serius lo?” Kali ini Toto yang bertanya.
Tidak tahan dituduh sembarangan, Vanta langsung menjerit “GUE NGGAK ADA APA-APA SAMA DIA, GUE NGGAK NGAPA-NGAPAIN SAMA DIA, TITIK!”
Andre dan Toto meringis setelah sempat menutup telinga. Sedangkan Alvin terus berusaha menahan tawa. Akhirnya lelaki itu mengambil andil untuk menjelaskan. “Dia kemarin pingsan di depan gue. Sebagai sesama umat berprikemanusiaan, ya gue tolong. Gue nggak tau rumah dia, jadi gue bawa ke rumah gue. Masa iya gue bawa ke hotel? Lebih menggemparkan lagi, dong.”
Kedua kawan Alvin ternganga. Yang paling parah Vanta. Ia tidak menyangka cowok itu akan dengan sukarela bercerita. Tapi kenapa bawa-bawa hotel? Bocah gendeng!
“Sejak kapan lo punya rasa prikemanusiaan?” Toto menimpali.
“Pinter lo, bukan ke RS tapi ke hotel ya.” Andre terbahak-bahak. Usai tertawa, dia bertanya lagi, “Ini gue beneran penasaran, ya. Si Pepsi kan pingsan, terus lo ngapain?”
Wajah Vanta semakin melepuh, bahkan kini sudah menjalar ke telinganya. Kalau ada lubang di sekitarnya, mungkin dia sudah terjun bebas ke sana. Vanta berharap Alvin tidak memperkisruh keadaan. Namun, laki-laki itu malah menjawab, ”Menurut lo?” seraya menoleh ke arah Vanta dengan sudut bibir mengembang selebar lapangan basket. Tentu saja membuat Toto dan Andre kembali ternganga.
Vanta membelalak kesal. ”Apa-apaan sih, lo?! Nggak sopan banget!”
Saraf perasaan Alvin untungnya masih sedikit berfungsi meskipun agak-agak tidak beres. Dengan semringah ia berkata, ”Nggak mungkin gue nyentuh cowok, Ndre. Gue cowok tulen, masih normal. Lah si Pepsi, nggak terdefinisi gendernya.”
Alvin cs sontak terbahak. Toto yang sempat memandang Alvin dengan tatapan tajam pun seketika melunak.
Pertama serasa dilecehkan, sekarang dijadikan bahan guyonan.
Sialan! rutuk Vanta dalam hati. Dia tidak peduli lagi cowok-cowok itu mau bergosip apa. Vanta mengambil langkah lebar meninggalkan mereka yang masih tertawa.
***
“Gimana ceritanya, Vin?” Andre kembali bertanya ketika tawanya reda.
“Ya kayak yang gue bilang tadi, gue nggak tau rumahnya. Temennya juga nggak tau. Tadi gue antar pulang, tapi dia nyuruh gue nunggu di pinggir jalan. Gue nggak boleh antar sampai depan rumahnya, alasannya takut gue lemparin bom. Buset, emang gue kayak teroris apa?”
“Iya sih, tampang lo itu meragukan banget, Vin,” ledek Andre.
Toto manggut-manggut setuju. “Wajar kalo dia nggak percaya sama lo.”
”Sialan emang lo semua!” dengkus Alvin. Andre menyeringai geli. “Eh, gue susul tuh cewek dulu. Obatnya sama gue. Ntar malah ngerepotin lagi tuh anak.” Alvin langsung meninggalkan kedua temannya.
Andre dan Toto saling tatap.
“Sejak kapan dia bisa kuatir sama cewek?” heran Andre. “Apa lagi Pepsi yang dikuatirin. Bukannya dia biasa alergi sama cewek?”
Toto mengendikkan bahu. “Mungkin Vanta dianggap bukan cewek?”
***
“Heh, obat lo, nih.” Alvin berlari kecil menghampiri Vanta yang hendak memasuki lift. Di dalam lift, beberapa mahasiswa dari lantai atas─entah dari lantai berapa─menatap dua makhluk di depan mereka sambil terpaku di tempat, menahan napas. Hampir mirip seperti reaksi Toto dan Andre sebelumnya. Empat orang yang ada di lift tidak percaya dengan penglihatan mereka. Mereka mungkin orang yang sering melihat pertunjukkan Vanta dan Alvin. Saat pintu lift telah terbuka, mereka tidak juga beranjak dari tempat masing-masing.
Lama-lama Vanta kesal dipanggil ‘heh’ terus oleh cowok itu. “Nggak usah, lo bawa aja,” tolaknya ketus.
“Ntar lo pingsan lagi malah bikin repot orang, tau!”
“Gue nggak bakal pingsan lagi! Kalo iya pun, nggak di depan lo.” Memangnya orang bisa mengatur mau pingsan di mana?
Sadar pintu lift telah terbuka, sadar kalau empat pasang mata tengah menatapnya, Alvin melemparkan pandangan tajam pada mereka. “Kenapa pada diam? Nggak mau keluar?”
Kontan mereka dengan sopan mengucapkan permisi kepada Alvin dan keluar dari lift, sepertinya bukan angkatan cowok itu. Setelah mereka keluar, Alvin menahan pintu lift. Menarik tangan Vanta masuk bersamanya.
“Bawa. Jangan lupa diminum abis makan siang nanti.” Cowok itu menyodorkan kantong plastik putih pada Vanta. Tetapi Vanta menggeleng. “Gue udah sembuh.”
“Harus!” perintah Alvin tak terbantahkan. “Jangan coba-coba buat berpikir nggak minum obat itu.”
Vanta menghela napas. Cowok itu seolah bisa membaca pikirannya. Ketika keluar dari lift, Alvin masih mengikutinya. Langkah Vanta melambat saat melewati satu ruangan. Dia berhenti sebentar sebelum akhirnya masuk ke dalam.
Tanpa Vanta sadari, kakinya membawanya menuju ke lukisan itu. Lukisan berwarna monokrom yang selalu menarik perhatiannya. Seperti yang sudah-sudah, Vanta bergeming seraya memerhatikan lukisan itu. Sebanyak apa pun Vanta memandanginya, seberapa sering pun melihat lukisan itu, rasanya dia tidak akan bosan.
Siulan Alvin di belakangnya membuyarkan lamunan Vanta. Dia baru ingat kalau cowok itu masih bersamanya. “Masih di sini lo?” tanya Vanta menoleh sejenak, lalu kembali menatap lukisan di depannya.
“Mata lo hampir nempel, tuh,” celetuk Alvin asal.
Anehnya, Vanta sama sekali tidak kesal. Dia malah merespons, “Bagus, gue suka. Lo tau siapa yang ngelukis? Waktu lihat lukisan ini, berasa terbawa ke dunianya. Kesedihan, kesepian, luka, jadi satu kesatuan indah yang bikin gue merinding saking sempurnanya.” Kilat kekaguman menghias matanya.
Alvin maju, mengambil tempat di sebelah Vanta. Ikut mengamati lukisan itu. “Sempurna?”
“Iya.” Vanta percaya pernyataan bahwa luka menghasilkan karya adalah benar adanya. Tanpa masalah yang terjadi dalam hidup, kita tidak akan tahu arti bersyukur. Jika hal buruk tak pernah datang, kita tak akan pernah mengenal kebahagiaan.
“Katanya lo kelas jam sembilan?”
Vanta langsung mengecek jam di ponselnya. “Astaga, iya juga! Gue cabut duluan.”
Dengan pandangan mata, Alvin mengikuti kepergian Vanta. Setelah gadis itu tidak terlihat lagi, dia kembali memandang lurus ke depan. Mengamati lukisan yang sama dalam keheningan dengan tangan mengepal.