“Jes, lo tau nggak, siapa yang bikin lukisan monokrom black rose di Gallery?” tanya Vanta ketika berjalan ke kantin bersama Jessi.
“Nggak, nggak tau. Kenapa?”
“Paintingnya bagus bangett, jadi penasaran siapa yang bikin.”
Tiba-tiba Jessi menyiku lengan Vanta. “Eh, by the way ... lo kemaren gimana di rumah Alvin?”
Dengan diawali tarikan napas panjang, Vanta memulai ceritanya. Mulai dari saat dia sadar sampai Alvin mengantarnya pulang. Tapi tentu saja minus kejadian-kejadian jatuh menimpa Alvin. Cewek di sebelahnya ini pasti akan langsung mengeluarkan beragam hipotesis ala novel romansanya, hal yang amat sangat mustahil terjadi di antara Alvin dan Vanta.
Jessi mengetuk-ngetuk dagunya dengan satu jari telunjuk, ”Perhatian ya dia. Udah ganteng, tajir, berbakat, baik juga lagi,” lalu menaik-turunkan kedua alisnya menatap Vanta. Lihat, belum cerita saja bicaranya sudah melantur. Untung Vanta tidak cerita.
“Enggak usah fan-girling depan gue. Sana gabung sama cewek-cewek lain,” gerutu Vanta.
Jessi langsung terkekeh geli. ”Cewek mana yang nggak bakal melting kalo denger cara dia nolong lo? Emang lo nggak tersentuh sedikit pun? Ngerasain kupu-kupu beterbangan gitu?”
“Iya, tapi itu berlaku kalo dia bukan cowok jahat yang tega pangkas ramut gue! Kemarin tuh pasti cuma bagian dari siasatnya. Lihat aja, abis ini juga bakalan kumat. Lo nggak tau sih, tadi pagi gara-gara ulahnya, dia bikin temen-temennya ngira yang enggak-enggak waktu gue turun dari mobilnya.”
“Yang enggak-enggak gimana?” tanya Jessi menyelipkan rambut ke balik telinga.
“Dia bilang gue semaleman nginap di rumahnya! Bikin malu banget!”
Jessi tertawa. “Loh, kan emang bener?”
“Ya tapi kan bisa dijelasin dulu kejadiannya gimana, jangan maen ngomong seenak jidat. Temennya jadi pada salah paham, huh!”
Bukan prihatin pada sahabatnya, Jessi malah makin tergelak. Dia sampai harus mengelap air yang keluar di sudut mata. Setelah tawanya mereda, gadis itu bertanya dengan serius. “Kalo dia udah melunak gitu, emang nggak ada tanda-tanda dia bakal berdamai sama lo?”
Helaan napas panjang lolos dari mulut Vanta. ”Gue nggak yakin. Dia musuh yang sulit ditebak.”
Saat memasuki kantin, ada Alvin yang sedang bercengkrama dengan teman-temannya. Ternyata cowok itu masih di kampus. Alvin sedang berbicara ketika matanya tanpa sengaja menangkap keberadaan Vanta. Mereka bertemu pandang beberapa detik sampai sudut-sudut bibir lelaki itu mengembang. Tiba-tiba Alvin berdiri memanggil Vanta. Jessi dan Vanta saling pandang.
“Samperin nggak, Jes?” bisik Vanta.
Jessi mengangkat bahu, jadi ikut berbisik. “Terserah. Kan lo yang dipanggil.”
Untuk beberapa saat Vanta hanya terdiam, ragu. Hingga kakinya maju perlahan diiringi Jessi di belakangnya.
“Kenapa?” tanya Vanta pada Alvin ketika sudah berada di hadapannya.
“Nah, ini dia tamu kebanggaan kita,” kata Alvin pada teman-temannya. Lalu beralih pada Vanta. “Masa mereka pada nggak percaya kalo kita udah damai. Sini duduk, ajak temen lo juga.” Ditariknya bangku kosong untuk mempersilakan Vanta duduk.
Teman-teman Alvin tidak ada yang bersikap aneh. Mereka berseru kagum, malah ada yang sampai tepuk tangan. Tapi Vanta tetap harus berjaga-jaga, memindai apakah ada sesuatu yang diletakkan Alvin di bangku. Permen karet misalnya, atau saus, atau bangku yang diberikan untuknya adalah bangku rusak yang sekali diduduki ambruk.
Tapi tidak. Itu bangku yang tadi diduduki Alvin. Kalau cowok itu menaruh sesuatu, seharusnya dia tidak duduk di sana tadi.
“Kenapa? Lo takut gue taroh sesuatu di bangku?” tanya cowok itu seperti bisa membaca pikiran Vanta.
“Ah, Alvin sus nih emang!” Teman Alvin yang berambut ikal menimpali.
Alvin kembali duduk di sana. “Nih, udah gue dudukin, nggak kenapa-napa kan?” Kemudian dia bangkit dan sekali lagi mempersilakan Vanta. Akhirnya Vanta pun duduk di sana, mengajak Jessi ikut serta di sebelahnya. Sedangkan Alvin mengambil tempat di depan Vanta bersama dua orang temannya.
Jika Alvin bilang ada yang berulang tahun, mungkin Vanta akan percaya karena meja mereka dipenuhi oleh beragam snek dan beberapa minuman kaleng bersoda di atas meja
“Tuh Ndre, Do, apa gue bilang? Kami beneran udah damai. Nggak percayaan sih lo.” Alvin berdecak, memasang gaya pongah. Mengambil minuman kaleng yang sudah terbuka dan meminumnya. “Oh iya, lo udah sembuh kan? Mau snacks yang mana, ambil aja. Gue nggak tau lo sukanya apa, jadi gue beli semua.”
Sejujurnya Vanta merasa ini di luar ekspektasi. Dia tidak tahu harus bagaimana bereaksi. Jika menolongnya, makan malam bersama dan berbagi kamar dengan lelaki itu—mendapat tumpangan kamar maksudnya—dianggap berdamai secara tak langsung, hubungan mereka belum berada di taraf teman dekat sampai bisa berbagi camilan dengan santainya. Semua ini masih terasa canggung.
“Nggak usah,” kata Vanta sambil menggeleng. “Gue dibawain bekal.”
Tetapi Alvin bersikeras. “Pocky deh, Pocky. Biasa cewek demen yang manis-manis.”
“Nggak usah, serius,” tolak Vanta lagi, merasa sungkan.
“Yah, masa gitu? Kita kan lagi ngerayain hari penting. Minum aja kalo gitu, ya?” Alvin membujuk dengan mulus. Cowok itu mengangkat satu kaleng minuman soda dan menyodorkannya pada Vanta.
Tanpa menaruh rasa curiga, Vanta pun menerimanya perlahan. Banyak pertanyaan melintas di kepalanya seperti apakah perang di antara mereka benar-benar sudah berakhir, apakah Alvin sedang mengajaknya berteman, dan apakah semua ini bukan mimpi? Sebab, Vanta separuh tak percaya. Perasaannya mirip permen nano-nano sekarang, banyak rasanya, tak keruan.
Vanta tersadar saat Alvin mengadu kaleng minuman mereka, melakukan cheers. Rupanya yang lain juga sudah melakukannya, termasuk Jessi. Demi rasa toleransi, Vanta memutuskan untuk bergabung. Dan ....
Sialan! Belum ada sedetik, Vanta menggerutu dalam hati.
Ternyata ini adalah bagian dari ‘misi’ Alvin. Minuman kaleng yang dibuka Vanta menyembur membasahi wajah dan kaus putih yang dikenakannya. Ini jelas akal-akalan lelaki itu. Alvin sengaja memberikan kaleng yang sudah mereka sabotase.
Siall, sial!!! Vanta terus memaki dalam hati. Darahnya naik ke kepala sementara Alvin cs menertawakannya.
Apanya yang damai?! Berengsek!
Nyatanya, lelaki itu masih menjadikannya bahan olokan hingga detik ini. Vanta tidak percaya kalau cowok yang telah dua kali menolongnya adalah orang yang sama dengan cowok yang sekarang duduk menertawakannya.
Benar, inilah Alvin yang sesungguhnya. Kalau kemarin cowok itu bersikap baik, pasti murni kesambet! Buktinya Vanta sekarang telah dibuat basah kuyup oleh aksi konyol lelaki itu.
Si kamvret! Kadal Gurun! Titisan dajjal! Nggak ada insyafnya ya, ini orang! Ingin Vanta timpuk dengan kaleng muka nyebelin Alvin. Namun hanya satu kata yang mampu meluncur dari mulutnya. “Sialan!”
Di depannya ini anak rektor, Vanta tidak bisa sembarangan mengamuk. Terlebih Alvin tahu rahasia Vanta. Pulang dari sini sepertinya dia harus bertapa biar asuransi kesabarannya diperpanjang. Atau sekalian mandi kembang tujuh rupa biar dijauhkan dari segala jenis setan.
Sentuhan Jessi di lengannya membawa kembali kesadaran Vanta. Dia segera beranjak dari sana, menghujani Alvin dengan tatapan yang luar biasa murka, ingin mencabik cowok itu. Dia membanting kaleng sodanya yang kosong ke meja, sebelum benar-benar pergi meninggalkan mereka.
***
Edo yang pertama kali berhenti tertawa. Dia mengamati kepergian Vanta dan Jessi lekat-lekat. “Wuiihh ... dapet gift,” ujarnya berdecak puas.
Andre menimpali dengan siulan.
“Gift apaan?” tanya Alvin tak paham.
“Lo lihat, Ndre?” Bukan menjawab, Edo malah bertanya pada Andre.
“Yoi ... selama ini tersembunyi sih, jadi nggak kelihatan. Ternyata oke juga.” Andre membuat lekukan bergelombang dengan kedua tangan.
Hanya Alvin yang masih gagal paham. “Apaan sih kalian?”
“Yee ... nih anak belagak polos. Cupu lo, Vin! Masa harus dijelasin? Tuh cewek pake kaos putih, kan? Kesemprot minuman tadi, ya ....” Jawaban Edo membuat Alvin tersentak, menatap kedua temannya bergantian.
“Kalian ....”
“We saw hers.” Edo menambahkan sambil manggut-manggut bersama Andre.
Dan, yang dilakukan Alvin adalah melompat dari bangkunya.
***
“Kenapa lo?”
Vanta dan Jessi menoleh ke arah cowok yang baru keluar dari toilet pria berbarengan, saling pandang, kemudian dengan kompak melihat ke belakang mereka. Memastikan kalau di depan toilet hanya ada mereka bertiga.
“Gue nanya elo, Vanta.” Kali ini cowok itu memperjelas ucapannya.
Bukannya tidak tahu, Vanta ingat siapa cowok ini. Hanya saja dia tidak tahu namanya. Cowok ini adalah salah satu teman Alvin, tapi tidak ada di kantin tadi. Dia mungkin tidak menyaksikan ulah temannya karena sekarang cowok yang dinilai Vanta lebih normal dari Alvin itu sedang berdiri di depannya, bicara padanya. Menanyakan apa yang terjadi padanya. Mungkin di mata cowok keren itu, Vanta kelihatan seperti anak kucing habis terjebur di selokan.
“Gara-gara siapa lagi kalo bukan temen lo?” Vanta jadi senewen mengingat perbuatan Alvin.
Seolah belum cukup membuat Vanta kesal dengan melengos tiba-tiba, cowok itu membuka kancing kemejanya satu per satu. Bikin Vanta dan Jessi melongo tercengang.
“E-eh! Lo mau ngapain?!” pekik Vanta saat melihat si cowok siap melepas kemejanya.
Sedangkan Jessi membekap mulut dengan sebelah tangan menyaksikan pemandangan indah yang terlalu sayang untuk dilewatkan; Toto dengan kaus hitam slim fit, dan badan yang terbentuk bak dinding balok.
“Abis cuci muka, ganti pake ini. Baju lo basah.” Toto menyelimuti kepala Vanta dengan kemejanya. Tanpa menunggu respons Vanta, cowok itu berlalu pergi, meninggalkan mereka dalam keterperangahan.
“Kelewatan itu cowok! Gue kira udah tobat, nggak taunya masih kadal!” getutu Vanta memeras kausnya yang basah di wastafel. Sudah berganti dengan kemeja milik temannya Alvin.
Jessi tidak merespons. Hanya mengamati Vanta dengan kostum barunya yang kebesaran. “Lucky banget lo, dipinjemin bajunya Toto,” gumam Jessi kemudian.
Tapi Vanta terlalu fokus pada amarahnya sampai mengabaikan ucapan Jessi barusan. Ketika keluar dari toilet, mereka mendapati seseorang bersandar di dinding depan toilet dengan kedua tangan terlipat di depan dada.
Vanta berusaha menghindari cowok itu sejauh-jauhnya, namun cowok itu bergerak lebih cepat darinya. Alvin mencekal pergelangan tangan kanannya. Meneliti Vanta dari atas sampai bawah. Hingga pandangannya berhenti pada kemeja yang tadinya tidak dipakai oleh Vanta.
“Gue anter.” Suara Alvin pelan dan tenang, namun terkesan memerintah.
Orang bodoh mana yang mau tertipu dua kali? Vanta bersumpah tidak akan percaya pada Alvin lagi. “Lepasin!”
“Pulang sama gue.”
“Lepas!” Untuk sesaat, mereka saling tatap. Raut serius Alvin dibalas reaksi keras Vanta.
Vanta mengepalkan tangan yang dicekal Alvin, lalu bersikeras menghentak tangan mereka untuk meloloskan diri dari cengkeraman Alvin. Entah apa yang membuat lelaki itu perlahan menguraikan jemarinya, Vanta tidak peduli. Yang terpenting ia bisa pergi dari sana. Meninggalkan cowok jahanam yang merusak kehidupan kampusnya.
***
Janjinya jalan-jalan dengan Jessi hampir batal gara-gara Alvin. Vanta tidak mungkin bepergian dengan kemeja longgar milik temannya Alvin. Beruntung apartemen Kak Oka lebih dekat dibanding rumahnya, sehingga tempat itu menjadi tujuan Vanta untuk mampir sebelum ke mal dengan Jessi.
“Eh, Ta, kamu mau ngerjain tugas di sini?” tanya Kak Oka ketika mendapati adiknya di depan pintu unit apartemennya.
“Nggak, Ata bentar doang. Mau ambil baju cadangan di sini. Habis itu mau ke mall sama temen.”
“Oh ...” Pandangan Oka beralih pada gadis berambut terang di samping Vanta. Dia menganggukkan kepala, tersenyum singkat sebelum mempersilakan mereka masuk.
“Ini temen kampus Ata,” ujar Vanta memperkenalkan Jessi. Cewek itu maju mengulurkan tangan pada Oka dan menyebutkan namanya.
“Gimana kuliah kamu?” tanya Oka ketika Vanta selesai berganti baju.
Vanta mengambil sebotol minuman dingin untuk diberikan pada Jessi sebelum menyahut, “Lancar.” Kecuali dengan Alvin, ingin rasanya Vanta menambahkan. “Gimana kerjaan kak Oka?”
“Lagi ada proyek baru, nih, lumayan seru,” ucap Oka antusias.
“Seru?”
“Iya, website semacam Behance, sarangnya portfolio. Terus UX Designer yang ditarik ke tim kami cukup menarik perhatian.”
“Menarik perhatian kenapa?”
“Dia masih baru tapi kerjanya cepat, efisien, dan detail. Orang yang berkunjung ke halaman web-nya juga langsung terpikat.”
“Memang web-nya kayak gimana?” tanya Vanta penasaran.
Oka menggiring Vanta ke laptopnya yang terbuka di atas meja ruang tengah. Jessi membuntuti dua kakak beradik itu sambil menyesap minuman dari Vanta, ikut penasaran.
Hanya butuh waktu sebentar untuk Oka menekan tuts di laptopnya dan membalikan layar ke arah Vanta. Situs yang didominasi warna hitam dan putih dengan pembuka yang tampak elega menjadi pemandangan pertama. Font putih yang kontras tampak jelas setiap hurufnya, ketebalan pas, jenis font sederhana dan mudah terbaca, itulah yang pertama kali menyadarkan Vanta.
VOID, teks yang terpampang pada tajuk. Kalau Vanta tak salah ingat, void memiliki arti kosong. Di sisi kanan tajuk, ada kolom putih dengan desain seperti percikan-percikan tinta tak beraturan yang menyerupai kelopak-kelopak. Jika diperhatikan lebih teliti, maka susunan itu akan membentuk mawar. Dan malaikat. Suatu jenis seni konseptual, karya yang mendobrak standar seni pada umumnya. Sangat menarik, memukau, jenius, dan juga ... mengingatkan Vanta pada lukisan black rose di kampus.
Vanta menutup mulutnya tak percaya. Apa ini hanya kebetulan? Atau ... si desainer adalah anak kampusnya?
“Lo kenapa, Ta? Abis lihat web tadi muka lo kayak orang linglung,” tukas Jessi saat mereka keluar apartemen Oka. Supir Jessi sudah menunggu di depan lobby. Bersiap mengantar mereka jalan-jalan.
“Lo inget nggak lukisan di Gallery yang gue bilang bagus?” Vanta balik bertanya.
“Yang di kampus? Emang kenapa? Apa hubungannya?”
“Konsepnya ... mirip.”
“Jadi, lo pikir itu orang yang sama?” Vanta menjawab dengan anggukan. Jessi menimpali lagi, “Kebetulan aja kali.”
“Iya, ya. Mungkin kebetulan. Gue terlalu syok, takjub, mikir dunia terlalu sempit.” Tatapan Vanta masih tak fokus saat memasuki mobil. Pengakuan Kak Oka mengenai ketidaktahuannya pada identitas asli void membuat otak Vanta sibuk berpikir dan mengait-ngaitkan VOID dengan black rose di kampus.
“Udah, jangan terlalu dipikirin. Kita jajan aja biar lo nggak stres. Lama-lama lo jadi obsessed sama tuh lukisan kalo dipikirin terus, nggak bagus.”
Jessi benar. Vanta hampir saja gila karena obsesinya pada lukisan black rose. Padahal itu hanya sebatas lukisan. Bukan karya terkenal, hanya karya yang dipajang di kampus. Kenapa dia yang heboh begini?
“By the way ...” lanjut Jessi. “Kok lo nggak pernah bilang kalo punya kakak yang ganteng?”