Bagian Pertama
✧
Afuya dimarahin habis-habisan oleh Meira. Sebagaimanapun gadis itu menjelaskan tentang niat Winter yang hanya akan mengajari Afuya soal matematika, tidak dipercaya oleh wanita tersebut. Meira tak ingin mendengar semua kalimat yang akan terlontar dari mulut anak gadisnya. Yang ia ketahui ialah Afuya kepergok pulang bersama seorang remaja laki-laki. Hal itu yang membuat Meira marah besar.
Mengapa demikian? Sifat Meira yang terlalu protektif dan mengekang anaknya itu berawal dari sebuah permasalahan dalam kisah kehidupan keluarga kecilnya. Semenjak Afuya berusia tiga tahun, ayahnya salah jalan dengan melakukan perselingkuhan. Sialnya, Meira baru mengetahui empat tahun setelahnya. Ketika usia Afuya tujuh tahun, barulah Meira memutuskan bercerai.
Dari hal tersebut, membuat Meira tidak mempercayai seorang lelaki lagi kecuali ayahnya. Terlalu menyakitkan jika diingat. Afuya sejak saat itu pula tidak diizinkan berteman dengan dengan anak laki-laki, bahkan teman sekelasnya sendiri. Berapa kali Meira melarang Afuya sekolah dengan jarak terlalu jauh. Karena hal yang ia takutkan sekarang terjadi. Wanita tersebut tidak bisa mengawasi putrinya. Ini semua karena sang ayahnya terlalu sayang pada Afuya, sehingga mengizinkan gadis itu bersekolah ke Surabaya.
Afuya masih berdiri termenung di ruang tamu. Meira di hadapannya siap menelan hidup-hidup. "Mulai sekarang, ponsel Kamu Bunda pegang. Bunda akan kasih saat berangkat sekolah, dan pulang sekolah Bunda pegang kembali," ucap Meira mengancam anaknya.
"Tapi, Bun. Afuya nggak punya nomernya dia." Afuya menolak kalimat sang bunda.
"Bukan nggak punya, tapi belum punya. Lihat saja, entah anak itu atau Kamu yang nggak lama akan balik lagi."
Afuya mendekat ke ibunya yang merogoh tas ransel cokelat miliknya untuk mengambil ponsel. "Bunda, Afuya punya ponsel juga untuk kebutuhan sekolah. Kalau cuma dibuat menghubungi saja, kapan Afuya menggunakan ponselnya?" Gadis itu memohon agar ponselnya tidak jadi disita.
"Nggak ada alasan! Bunda nggak mau Kamu disakiti oleh lelaki seperti Bunda!" Meira masih ke dalam kamarnya, membiarkan Afuya sendiri.
Tapi Winter baik, Bun. Nggak seperti ayah.
Malam tiba membawa segala kehampaan. Afuya baru keluar kamar setelah bebersih diri. Ia membuka tudung saji di meja makan, berharap ada makanan yang tinggal santap di sana. Namun, realitanya hanya nasi putih saja dengan lauk tahu dan tempe goreng. Dilihatnya kamar Meira masih tertutup seperti sedia kala. Kakeknya juga tidak ada di rumah. Afuya putuskan untuk ke toko kelontong sembari menikmati angin malam.
Menggerakkan ganggang pintu ke arah bawah dengan hati-hati agar Meira tidak terbangun. Setelah pintu terbuka setengah, gadis itu melangkah maju kemudian berbalik arah dan menutupnya kembali. Seperti biasanya, sepi dan sunyi. Suara jangkrik terdengar begitu nyaring bersahutan. Bulan terlihat tersenyum kali ini. Afuya menarik ujung bibirnya, terlukis senyum manis. Rasa rindu terhadap sosok ayah tanpa diminta hadir membuat ia mengurungkan senyum gembira.
Berjalan sembari berjinjit kemudian melompat singkat di jalanan beraspal, tetapi penuh lubang dan retak. Tidak begitu lama untuk sampai di toko kelontong milik sang kakek. Sekitar pukul setengah delapan, waktu itu tidak beperti kemarin. Terlihat kakek belum ada tanda-tanda menutup tokonya. Afuya mempercepat jalannya. Dari jarak sekitar empat meter ke pintu, pria tua itu sudah tahu gadis tersebut menuju ke arahnya.
Hampir bisa dikatakan menjadi sebuah rutinitas untuk Afuya selalu ke toko kelontong setiap malam. Ia begitu bosan hanya di rumah dengan Meira. Interaksi antar mereka berdua tidak sebaik interaksinya dengan kakek. Sehingga, membuat Afuya seperti tinggal sendiri di rumah kecil tersebut. Mengingat dirinya anak tunggal dan hanya tinggal bertiga saja, ditambah sekolah beda kota membuatnya hanya memiliki sedikit teman di sekitar tempat tinggal. Bahkan bisa dibilang, dia tidak memiliki teman seusianya. Tidak ada salahnya jika dirinya berniat lebih dekat dengan Winter, pikir Afuya.
Gadis itu masuk tanpa berbalik arah menutup pintu, karena pintu bisa tertutup sendiri. "Kakek!" sapa Afuya sedikit lemas.
"Ya...?"
Afuya mengambil dudukan kecil di bawah meja kemudian ia geser untuk tempat duduknya. "Afuya lapar, Kek," kesalnya.
"Ibumu tidak masak?" tanya pria tua sembari menghitung uang pemasukan di toko kelontong.
Afuya memainkan kacang tanah yang ada di kotak penjualan itu dengan memasukkan lalu mengeluarkannya dari wadah penimbang. "Hanya ikan tempe sama tahu goreng. Afuya bosan, Kek."
"Masak mie di sini, ambil aja di rak mau mie apa."
Mendengar ucapan kakeknya, Afuya menjadi semangat dan langsung berdiri. Berjalan ke arah rak yang berjajar mie instan, lalu berdiam sejenak memilih mana yang cocok serta diinginkannya. Mie instan dengan bungkus hijau rasa soto menjadi pilihan yang tepat untuk menghangatkan diri. Afuya mengambil dua bungkus. Tanpa ditawarkan, gadis itu memang sengaja memasak lebih banyak dari porsinya. Barangkali sang kakek juga tergoda untuk ikut makan.
Di toko kelontong, ada kompor kecil di sebelah pojok ruangan dekat jendela. Afuya membuka jendela tersebut lalu mengisi air kran dan memasaknya. Sembari menunggu air mendidih, gadis itu membuka bungkus bumbu-bumbu yang akan dituangkannya ke mangkuk. Tiba saja, pria tua tersebut mematikan musik di radio yang sedari tadi menyala. Suara tua khas itu melontarkan pertanyaan pada Afuya.
"Anak laki-laki pakai seragam persis milikmu tadi ketemu kakek."
Winter?
"Dia ganteng. Sepertinya suka sama kamu, Puya," lanjut sang kakek.
Sembari memasukkan dua mie ke dalam panci kecil, gadis itu menanggapi. "Cuma teman, Kek. Dia juga akan lulus di tahun ini," Afuya menolak ucapan kakeknya.
"Lho, malah oke itu. Bisa jagain Kamu nanti. Tapi kalian masih kecil, jangan serius pacaran dulu. Fokus sekolah, nanti kalau sudah sama-sama dewasa baru boleh. Kakek nggak ngelarang, tapi kalau sekadar teman saja sering main ke sini, boleh saja. Nanti kakek ajak ke ladang."
"Dia baru Afuya kenal kemarin lusa, Kek. Karena berangkat sekereta aja, nggak lebih." Afuya masih tidak mau jika kakeknya terus seakan menjodohkan dirinya dengan Winter.
"Menurut Kakek, dia baik, sopan, pinter, juga ganteng. Sayang kalau kamu nggak dapatin dia, Puy."
Ih, Kakek apaan, sih. Mana ada dia sopan? Lagian bikin canggung saja, kan. Awas aja kalau Winter sampai nyuruh kakek yang nggak-nggak.
Obrolan itu berakhir dengan Afuya yang menuangkan mie ke mangkok kemudian menambahkan sedikit air untuk dijadikan kuah. Lalu, ia membawa dua sendok dan dua garpu. Satu pasang untuknya, satu pasang lagi untuk pria tua tersebut. Seusai effort menyajikan mie instan, sang kakek malah menolaknya. Alasan lain karena sudah kenyang. Terpaksa Afuya harus menghabiskan dua bungkus mie instan itu sendirian. Perutnya terasa begitu penuh, tetapi ia harus berusaha semaksimal mungkin agar tidak menyisakan hasil masakannya atau membuangnya.