Bagian Pertama
✧
"Tadi saat di kelas, banyak yang membahas tentang sebuah penyakit yang diakibatkan oleh tanaman pangan sehingga memakan banyak korban jiwa. Kau tahu berita itu?" tanya Afuya.
"Satu setengah tahun setelah aku lahir," jawab Winter seakan dia sudah terkoneksi oleh umpan dari gadis di sebelahnya.
"Tahun lahirku, dong?" sahut Afuya semakin penasaran.
"Kemungkinan iya."
"Di mana itu?" Afuya masih mendorong Winter untuk mendapatkan informasi lebih.
Remaja lelaki tersebut mengangkat kedua bahunya, seakan mengisyaratkan sebuah jawaban ketidak tahuan atas pertanyaan tersebut. Afuya merasa sedikit kecewa karena tidak berhasil menggali informasi yang akurat. Melihat waktu berjalan menuju malam, Afuya tersadar bahwa tujuannya tadi hanya mengantarkan pesanan roti. Ia malah lalai dan tergoda mengobrol sebentar dengan Winter.
Pada akhirnya hanya mendapatkan jawaban yang kosong, Afuya memutuskan berpamitan untuk pulang. Mengingat senja semakin habis, pasti di rumah ia akan terkena marah oleh Meira. Winter berdiri, dengan tujuan yang sama. Meski hanya melangkah saja, Winter butuh niat untuk kembali ke rumah Eryn. Beruntung ada Afuya yang menemaninya meski dalam waktu singkat. Sebelum saling berpisah, sepenggal kalimat dari Winter terucap.
"Besok tunggu aku di sini, ya. Kita berangkat bareng."
Tidak lagi marah, Afuya malah tersenyum sembari mengangguk malu-malu kucing. Tanpa berlama lagi, gadis itu mulai mengayuh sepeda dengan cepat karena hatinya sudah merasa was-was akan dimarahi Meira. Winter masih berdiri di tengah jalan, menyaksikan gadis berkuncir satu seperti ekor kuda tersebut, hingga bayangannya tidak tertangkap oleh sepasang netra milik Winter.
Sesampainya Afuya di halaman rumahnya, terlihat Meira sedang menyilangkan tangannya di dada. Firasat Afuya tidak enak. Wanita itu membuat putrinya menjadi merinding. Wajah serius tanpa senyum dipaparkan Meira dengan perpaduan ekspresi datar dan mengancam. Afuya menundukkan kepala, berjalan pelan ke arah pintu.
"Lambat sekali?" Meira menghentikan putrinya.
Mau tak mau, Afuya harus menyahuti sang bunda. "Afuya sengaja, Bun. Tadi duduk-duduk dulu di sekitar ladang," jawab gadis itu sedikit gugup.
"Bohong pasti. Ketemu sama anak laki-laki, ya?"
Seketika Afuya mengerutkan kening dan mengalihkan tatapannya pada Meira. "Ngapain, Bun? Lagian juga siapa yang bermain hampir menjelang malam. Sudahlah, Bun, Afuya mau mandi." Gadis itu tanpa disuruh langsung hempas masuk ke dalam rumah.
Mata Meira masih mengikuti punggung anaknya. Sebelum Afuya benar-benar masuk kamar mandi, wanita itu bergeming pelan seakan ngedumel tak terima atas jawaban gadis tersebut. "Awas saja kalau ketemuan sama anak lelaki."
Pukul tujuh malam, tak didapati sang kakek di rumah. Afuya sengaja tanpa pamit pada Meira langsung keluar rumah menuju toko kelontong dengan berjalan kaki. Perasaan menakutkan semalam saat melihat ladang sekarang sudah tidak lagi muncul. Afuya sudah melupakannya. Mungkin, ia hanya terpaksa melupakan kejadian semalam. Toko kelontong terlihat begitu sepi, hanya kekek tua duduk di kursi goyangnya yang nampak oleh kedua mata Afuya.
Tanpa menunggu waktu lama, gadis itu langsung memasuki toko kelontong. Pria tua tersebut sudah tahu jika ada yang tiba-tiba masuk tanpa mengetuk pintu, tak lain ialah cucu kesayangannya. Seperti biasa, Afuya langsung menyentuh kedua bahu sang kakek lali memijatnya pelan. Kali ini bukan dengan tujuan meminta uang tambahan, tetapi untuk mendapatkan jawaban dari segudang pertanyaan di kelapanya. Afuya berpikir, kakeknya pasti tahu karena di desa beliau terbilang sepuh dan paling tua.
"Minta uang lagi, Nduk?"
Afuya sedikit terkejut langsung menolak belakangi kalimat kakeknya. "Nggak, Kek. Afuya hanya ingin bertanya. Kakek pernah mendengar tentang suatu kejadian dari yang diakibatkan oleh tanaman pangan sehingga memakan banyak korban jiwa?"
Pria tua tersebut melipat koran yang dibacanya kemudian meletakkan pada meja di sebelah timbangan. Afuya ditariknya pelan ke arah depannya. Pria tua itu mengusap lembut kepala Afuya, menatap polos wajah cucunya yang mulai dewasa. Selepas itu beralih menepuk-tepuk pelan bahu kecil Afuya. Perlakuan lembut sang kakek, tidak membuat gadis itu merasa aneh. Namun, yang dirasakan adalah seperti kehadiran seorang ayah.
"Puya... nggak ada kejadian seperti itu. Hanya cerita orang-orang yang dibuat-buat. Jangan mudah percaya, ya. Sekolah yang bener. Sudah, sana pulang, Kakek mau tutup toko."
"Biasanya tidak tutup jam segini, Kek?" tanya Afuya menghentikan kakeknya yang mulai berdiri meraih penggembok kunci.
Pria tua itu tanpa melihat cucunya, sambil bicara untuk menjawab pertanyaan. "Sudah sepi. Kakek mau nonton pertandingan bola di rumah."
Afuya tidak tanya lagi kalau sang kakek sudah menjawab sedemikian rupa. Sepenggal kalimat dari kakeknya merupakan salam perpisahan berakhirnya obrolan singkat yang telah dibangun oleh Afuya. Selepas menutup pintu toko dengan rapat, gadis tersebut berjalan di sebelah kakeknya yang mulai membungkuk. Entah mengapa rasanya Afuya begitu nyaman berdua dengan sang kakek dibandingkan bundanya di rumah. Bagi Afuya, kakek adalah segalanya.
✧
Hari silih berganti. Afuya sengaja bangun lebih awal agar bisa berangkat lebih pagi. Alasannya masih sama pada Meira, agar tidak terlalu tergesa-gesa saat mengayuh sepeda butut milik kakek yang mulai usang dan karatan. Namun, sebenarnya bukan karena itu, tetapi ia sudah memiliki sebuah janji pada Winter untuk menghampiri pemuda tersebut di rumah Eryn. Meira percaya saja, karena ia juga kasihan jika Afuya berlarian mengejar kereta, apa lagi jika sampai ketinggalan.
Seusai berpamitan dan mengayuh sepedanya, tibalah gadis itu di depan rumah Eryn. Sang pemilik rumah sengaja sudah berdiri di halamannya sembari celingak-celinguk menunggu Afuya dan sepedanya yang kian mendekat. Gadis itu menurunkan standar sepeda kemudian disambut oleh Eryn. Bibi dari Winter tersebut merasa senang ketika melihat Afuya. Entah mengapa jika saja ia adalah orang tua Winter, pasti sudah menjodohkannya dengan Afuya.
Eryn tersenyum. "Winter nggak nakal 'kan, sama Kamu?"
"Enggak, Tan. Winter-nya di mana?" tanya Afuya sembari melihat ke arah dalam rumah.
"Lagi sarapan. Tunggu, ya, sebentar lagi pasti selesai. Baik-baik ya, Kamu sama Winter. Nanti kalau anak itu nakal, bilang aja ke Tante." Eryn meraih tangan Afuya seakan memasrahkan keponakannya pada gadis itu.
"Winter... nggak nakal 'kok, Tan. Hanya ngeselin aja," timpal Afuya dengan polosnya.
Setelah hampir beberapa menit mengobrol sebentar dengan Eryn, akhirnya yang ditunggu keluar juga. Winter langsung merogoh sepatu di rak sebelah pintu rumah, kemudian menggunakannya. Tanpa lupa pemuda itu berpamitan dengan menyahut tangan Eryn lalu mencium punggung tangannya. Afuya mengikuti gerak-gerik Winter.
Sepeda Afuya yang terparkir langsung diambil alih oleh keponakan Eryn. Segeralah ia duduk di sadel sepeda kemudian menepuk pelan sadel boncengan di belakangnya untuk memberikan kode pada Afuya. Gadis pemilik sepeda butut tersebut duduk dengan posisi menghadap ke samping kiri. Sepeda Afuya terlihat begitu kecil ketika ditunggangi oleh mereka yang sama-sama tinggi dari remaja seusia mereka pada umumnya.