Bagian Kedua
✧
Mereka berdua hampir sampai di dekat stasiun kereta. Menyeberangi jalan raya kemudian memasuki gerbang area stasiun. Winter terlihat mengeluarkan tenaga ekstra untuk menyeberang. Pasalnya ia sekarang memiliki beban tumpuan yang lumayan berat. Ketika sampai di parkiran, Winter mengembuskan napas beratnya sedikit kasar. Sehingga didengar oleh Afuya bahwa pemuda itu seperti kesal menboncengnya.
"Aku berat?" tanya Afuya sembari turung dari sepeda.
Winter menurunkan standar dan memasang kunci pada sepeda. "Iya," jawabnya singkat.
Mendengar balasan yang jelas dari lawan bicaranya, membuat Afuya semakin kesal. Karena menganggap Winter tidak tahu diri. Sudah ngikut, ngatain berat juga. "Kalau begitu jalan kaki aja, nggak berat." Afuya berjalan menuju tempat penungguan dan akan mengecek tiket meninggalkan remaja lelaki itu.
"Serba salah emang." Merasa gadis yang bersamanya marah, Winter langsung berlari mengejarnya. Kemudian berjalan cepat mensejajari Afuya.
"Kamu berat karena Kamu tinggi, Afufu." Winter masih mencoba membujuk gadis yang bersamanya itu dari masa merajuk.
Afuya belum ingin membuka obrolan dengan remaja lelaki yang duduk di sebelahnya. Hingga di kereta pun Winter seakan mengoceh sendiri. Hari ini sungguh kebalikan dari kemarin. Perjalanan singkat di kereta telah selesai. Afuya turun lebih dulu dan berjalan cepat meninggalkan Winter di belakangnya. Pemuda itu justru malah semakin mendekat. Beberapa kali tapi tas ranselnya ditarik oleh Winter. Afuya hanya memumukul lengannya. Namun, remaja lelaki itu selalu menghindar sehingga menambah sebuah kekesalan lagi untuk Afuya.
✧
Matahari berangsur pulang. Tepat pukul tiga sore bel pulang dideringkan. Sudah menjadi sebuah rutinitas dan penghargaan tersendiri untuk keluar kelas urutan awal sebelum teman-temannya. Afuya bergegas menuju ke ruang bimbingan konseling guna mengambil ponselnya. Setelah beberapa jam tidak berjumpa dengan anak-abak kelas 9-A, entah ini bisa dikatakan senang atau bukan. Lelaki tinggi telah bersandar di sebelah tangga dekat dengan ruang bimbingan konseling.
Benar, tidak salah lagi itu adalah pemuda yang pergi pulang bersamanya. Afuya sengaja lewat di depan remaja tinggi tersebut. Ia juga tak lupa memasang wajahnya datar penuh kekesalan. Winter yang telah me-notice-nya tersenyum singkat nan lebar.
"Cewek... masih marah?" sapa Winter diiringi ketawa.
Afuya merasa dipermainkan. Gadis itu langsung membuang muka dan berjalan cepat menuju stasiun. Kali ini Winter tidak mengejarnya untuk jalan saling bersamaan. Lebih tepatnya, memposisikan jarak yang tidak begitu jauh juga untuk mengawasi gerak-gerik Afuya yang semakin menggemaskan saat marah menurut Winter.
Sampailah mereka di stasiun. Tak terlalu lama menunggu, saat kereta telah siap, Afuya segera naik dan memilih duduk. Winter mengikuti gadis tersebut dan langsung sergap tempat duduk persis di sebelah Afuya. Beberapa saat, semua tatanan di luar kereka mulai berjalan ke arah berlawanan. Memberikan waktu senggang sejanak, Winter membuka sesi pertanyaan.
"Kenapa ngambek begitu?"
Afuya sudah merasa letih dan tidak ingin menanggapi pemuda di sebelahnya dengan kalimat. Ia menyodorkan kertas putih hasil ulangan harian matematika yang dibagikan di sekolah tadi. Winter tanpa sungkan menerima dan membuka kertas ulangan yang dilipat menjadi dua tersebut. Sedikit terkejut, tetapi juga banyak tertawanya.
"Nilai ulangan matematika, 17?" Winter menjeda kalimatnya dengan tertawa renyah. Untung saja masih bernada ringan. "Jelek sekali hasilnya. Hahaha...."
Afuya langsung merampas kembali kertas yang masih berada di tangan Winter tersebut. Bukannya diturut berduka cita atas nilai minimumnya, pemuda itu justru menertawakan Afuya seakan mengejeknya habis-bahisan. Jelas saja, gadis itu menjadi merah padam seperti ada api yang telah menyulutnya. Emosi Afuya begitu bergejolak tak terima jika hasil ulangannya dicap jelek, tetapi memang beneran kurang mencapai target saja.
"Mau aku ajarin?" Tiba-tiba, Winter menawarkan sebuah opsi untuk mengorbankan dirinya sebagai senior dalam mengajari mata pelajaran matematika.
Karena begitu putus asa tidak bisa soal pelajaran hitung-berhitung tersebut, Afuya merasa tertarik akan tawaran Winter. Setelah memastikan dan meyakinkan apakah ucapan pemuda itu sungguh-sungguh, Afuya melihat sebentar wajah Winter. Sedangkan remaja lelaki itu malah kebingungan dengan gadis di sebelahnya yang melihatnya dengan tatapan sinis.
"Di mana?" Winter terkejut ketika gadis tersebut tertarik atas tawarannya.
"Di rumahmu aja."
"Jangan!"
"Kenapa?"
"Bunda, pasti tidak mengizinkan." Afuya seperti menekuk wajah masamnya.
"Tujuannya baik, kok. Kenapa nggak boleh?" Winter mulai serius dalam menanggapi Afuya.
"Kalau Kamu cewek mungkin boleh," balas Afuya tanpa menatap Winter di sebelahnya.
"Aku harus jadi cewek dulu gitu?" Pertanyaan Winter semakin keluar dari topik awal pembahasan.
Afuya semakin dibuatnya kesal. Pengumuman kereta telah berbunyi, menandakan akan sampai di stasiun tujuan sebentar lagi. Tanpa menjawab pertanyaan terakhir yang dilontarkan oleh Winter, Afuya lebih memilih berdiri dan bersiap-siap di dekat pintu gerbong untuk turun. Ketika pintu gerbong terbuka, gadis itu menjadi orang pertama yang turun, kemudian diikuti oleh Winter di belakangnya.
Tanpa disuruh, Winter langsung berlari mendahulu Afuya yang santai berjalan menuju parkiran. Pemuda itu sudah memegang setir di sepeda butut milik kakek dari gadis yang bersamanya tadi. Padahal, pemiliknya saja masih berjalan santai, kenapa ia begitu antusian untuk pulang berboncengan? Seusai Afuya membuka gembok pengunci sepeda, Winter bergegas memposisikan arah sepeda ke gerbang keluar dari stasiun.
Afuya duduk dengan posisi menghadap samping, kemudian Winter mulai mengayuh pedal. Tidak banyak obrolan karena jika naik sepeda, jarak rumah Eryn dengan stasiun kereta hanya menghabiskan waktu lima menit saja. Ketika sampai di jalanan depan rumah Eryn, Afuya turun agar ia beralih posisi. Namun, Winter malah tak kunjung turun dari sepeda. Jelas Afuya langsung meminta sepedanya.
"Kenapa turun?" tanya Winter seperti orang yang tak punya dosa.
"Kenapa nggak turun?" Afuya melontarkan balik pertanyaan remaja lelaki tersebut.
"Aku ikut ke rumahmu," jawab Winter seperti orang tak punya dosa tahap dua.
"Heh! Jangan sekarang!" tolak Afuya mentah-mentah.
Ide keusilan Winter muncul. Karena tidak mendapatkan jawaban pengiyaan yang memuaskan, Winter langsung mengayuh sepeda butut itu dengan cepat. Meninggalkan gadis yang diboncengnya tadi masih berdiri mematung di jalan depan rumah Eryn. Karena merasa ditinggal sedangkan jika berjalan kaki, jarah rumahnya juga masih jauh. Afuya memutuskan untuk mengejar Winter yang membawa sepedanya.
Definisi semakin kukejar semakin kau jauh, Winter malah mempercepat tempo gayuhannya pada pedal sepeda. Otomatis membuat Afuya semakin naik pitam dan spontan berteriak agar pemuda itu memberikan sepedanya. Namun, hasil berkata lain. Tanpa berpikir panjang, Afuya menghentikan larinya sejenak untuk memungut segenggam batu kerikil yang siap dilemparkan ke penculik sepedanya.
Tawa keras Winter membuat Afuya semakin geram. "Hei! berhenti! Kembalikan sepedaku!" Gadis itu melempat semua batu kerikil yang digenggamnya hingga terkena punggung Winter.
"Aduh!"