Bagian Ketiga
✧
Afuya tidak menjawab dan menanggapi sama sekali pertanyaan di dalam obrolan ketiga remaja lelaki di depannya. Di pikiran gadis itu hanya fokus makan dan menyelesaikan lebih cepat agar bisa segera meninggalkan kantin. Ternyata bel masuk menyelamatkan dirinya. Tidak perlu membuat alasan sedemikian rupa, Afuya tanpa pamit langsung meninggalkan segerombolan siswa 9-A tersebut.
Meskipun dalam kondisi masih kesal, setidaknya perut Afuya sudah kenyang terisi makanan. Gadis itu berbeda dari remaja pada umumnya. Kebanyakan dari mereka akan mengantuk jika perut sudah merasa penuh. Sedangkan Afuya malah lebih semangat saat perutnya itu telah terisi. Ia lebih fokus dan mudah mencerna berbagai materi dari pelajaran. Hingga jam-jam terakhir, mapel IPS bab sejarah membuatnya membelalak penuh pertanyaan.
Guru sempat menyinggung beberapa peristiwa bencana alam yang mempengaruhi sejarah. Semua murid antusias mengikuti pelajaran, termasuk Afuya yang mulai muncul berbagai pertanyaan di pikirannya. Saat sang guru membuka sesi diskusi sebelum meninggalkan kelas, semua siswa ramai sendiri saling membahas dengan teman sebelahnya. Afuya tidak berkecimpung dalam diskusi, ia fokus menyimak obrolan temannya yang semakin serius.
"Pernah ada nggak, sih, wabah penyakit yang disebabkan oleh tanaman pangan sehingga memakan banyak korban jiwa?" tanya salah satu siswi di kursi sebrang yang masih bisa didengar Afuya secara jelas.
"Oh, itu. Kata nenekku dulu memang ada. Aku lupa tempatnya," sahut sebelah.
"Akibatnya dari apa itu?" Satu siswi lainnya ikutan penasaran.
"Katanya 'sih, dari tanahnya gitu. Beritanya juga sudah lama."
Pembahasan mereka terputus akibat bel pulang telah dibunyikan. Afuya seperti biasa, berbegas membereskan buku dan alat tulisnya kemudian keluar paling awal dan menuju ruang bimbingan konseling. Hanya untuk mengambil ponsel yang ia titipkan. Kali ini, Afuya tidak mendapati Winter di sebelah tangga, mungkin saja kemarin hanya kebetulan semata. Gadis itu berusaha sekuat mungkin agar tidak memikirkan pemuda yang dikenalnya kemarin. Namun tetap saja, Winter selalu hadir di kepala Afuya.
Saat duduk di kereta, mereka berdua tidak satu gerbong. Winter terlihat merenung, tidak semangat pagi tadi. Ia juga tidak mencari-cari di mana Afuya duduk. Sedangkan Afuya mencoba tidak memikirkan Winter malah semakin merasa kurang saat dirinya hanya sendirian. Meski singkat, cara berkenalan mereka cukup mengesankan, sehingga membuat keduanya seakan sudah kenal sejak lama.
Kereta telah tiba, Afuya masih merasa ada yang kurang tanpa Winter. Saat di parkiran untuk mengambil sepedanya, Afuya melihat pemuda itu meninggalkan stasiun kereta tanpa menunggunya. Sebenarnya bukan berharap ditunggu, tetapi gadis tersebut merasa aneh saja, seperti ada yang berubah dari Winter secara sekejap. Karena kemarin dilihatnya remaja itu hanya jalan kaki saja bahkan kali ini juga, Afuya sedikit mengulur waktu agar tidak mendahului Winter.
Dirasa cukup, mulailah cucu dari pemilik sepeda butut tersebut mengayuh sepeda. Saat di dalam sampai di depan rumah Eryn, Afuya tidak melihat Winter sama sekali. Ia senang, tetapi tak tenang. Terus berlanjut mengayuh pedal, pikiran Afuya tertuju pada sebuah cerita yang dibahas teman-temannya di sekolah. Ia berniat menanyakan kejadian tersebut dan mencari tahu kebenaran.
Baru memarkirkan sepeda butut di pohon depan rumah Afuya melihat Meira sibuk menghitung dan membuka roti pesanan yang akan diantarkan sore ini. Gadis itu mengurungkan niatnya untuk bertanya pada sang bunda. Opsi lain muncul di otaknya yang cemerlang. Teringat kakek, Afuya bersegas masuk rumah kemudian berganti pakaian. Sebelumnya saat akan memasuki rumah, Afuya tak lupa mengucapkan salam yang menandakan dirinya telah sampai dengan selamat.
Berganti pakaian sekolah mendaji pakaian biasa yang santai, Afuya berjalan menuju dapur pembuatan roti. Tidak seperti izin akan pergi bermain yang pastinya akan mendapatkan pertanyaan bejibun. Gadis itu lolos seleksi perizinan karena menggunakan kakek sebagai alasannya. Sore begini, kakek Afuya jarang di toko kelontong. Pria tua tersebut lebih sering menghabiskan waktu senja di ladang.
Sebelum meninggalkan halaman rumah, Afuya dihentikan oleh suara wanita yang tidak asing di telinganya. "Afuya, bisa tolong Bunda sebentar?"
Gadis itu mengurungkan niatnya lalu menurunkan standar sepeda ke tanah. "Iya, Bun?" timpal Afuya sembari berjalan ke arah sumber suara yang tak jauh dari posisinya berdiri.
"Bantu Bunda mengantarkan pesanan roti ini, ke desa sebelah, ya." Meira menyodorkan sekardus besar berisi roti pada anak gadisnya sedangkan ia menulis nota di kertas.
Itu kan, desa tempat Winter tinggal di rumah Tante Eryn.
"Baiklah, Bun." Tanpa berpikir panjang, Afuya mengiyakan perintah ibunya.
"Atas nama Bu Lisdiyana, pesan tujuh puluh roti, Bunda kasih lebihan satu di dalam. Nanti bilang, habisnya seratus lima puluh ribu rupiah." Meira memberikan catatan nota pada putrinya.
Afuya mengangkat kardus berukuran lumayan besar itu lalu ia letakkan di boncengan sepeda. "Oke, Bun. Afuya berangkat, ya," balas gadis itu sembari mengikat kardus pada sepedanya agar tak jatuh.
Hampir pukul setengah lima sore, Afuya tidak mengebut saat mengayuh sepedanya. Sebab, roti yang diantarkan akan dipergunakan setelah jam enak sore. Afuya jadi sedikit lebih santai sembari menikmati pemandangan ladang luas waktu senja. Beberapa saat ia teringat untuk bertanya soal tadi pada kakeknya. Namun, ketika melihat kembali perladangan, ternyata sang kakek tidak ada di sana. Mungkin seusai mengantarkan roti, Afuya berniat langsung pergi ke toko kelontong tanpa kembali pulang untuk meminta izin pada bundanya terlebih dahulu.
✧
Transaksi dari pengiriman roti ke rumah Lisdiyana telah berhasil. Afuya mendapatkan sejumlah uang yang pas dan ucapan terima kasih. Namun, wanita pemesan roti tersebut tidak menerima bonus pemberian dari Meira. Ia memberikan sebuah roti bonusan tersebut kepada Afuya karena gadis itu terlihat sedikit lesu. Afuya sempat beberapa kali menolak, tetapi pada akhirnya ia tetap saja menerima sebuah roti pemberian Lisdiyana tersebut.
Saat berangkat melewati jalanan depan rumah Eryn tadi Afuya tidak memikirkan akan bertemu tidaknya ia dengan Winter. Waktu beranjak pulang lewat jalan yang sama, entah mengapa Winter begitu melekat di pikiran gadis itu. Sehingga Afuya merasa apakah dirinya mempunyai salah terhadap pemuda yang baru dikenalnya kemarin? Karena saat pulang tadi Winter seakan tidak mengenalinya.
Afuya mengayuh sepeda sedikit cepat. Jaraknya semakin pendek dengan jalanan depan rumah Eryn. Perkampungan itu begitu sepi. Tanpa sengaja, pandangan Afuya dialihkan pada seorang anak remaja laki-laki yang duduk di pembatas jalan di atas selokan yang menghubungkan antara jalan dan ladang. Pemuda itu menatap kosong perladangan yang luas. Jelas, Afuya langsung bisa mengetahui siapa remaja tersebut. Rasa khawatirnya semakin bertambah ketika Winter tidak menyadari keberadaannya. Bahkan saat menurunkan standar sepeda pun keponakan Eryn tidak menoleh.
Afuya mengambil roti di keranjangnya lalu berjalan mendekati Winter. Gadis itu duduk di dekat dan sama persis seperti pemuda di sampingnya. Kaki bergelantungan di atas selokan dengan air yang cukup dangkal. Afuya masih menyaksikan Winter tanpa kedip itu terus memandangi ladang hijau yang begitu luas. Sesekali gadis tersebut juga menyempatkan untuk membalas rasa penasarannya tentang Winter yang mematung. Namun, ia tetap tidak mendapatkan jawaban.
Afuya mengulurkan tangannya, memberikan sebuah roti pada Winter. "Mau ini?"
Winter bergidik ngeri sebab terkejut. "Sejak kapan Kau di sini?" tanyanya sembari menggeser pinggul menjauh dari Afuya.
"Lihatin ladang mau ngapain? Mengubahnya jadi hutan?"
"Eleh! Ditanya malah tanya balik," sahut Winter yang masih saling tatap dengan Afuya.
"Lah, aku yang tanya duluan! Mau roti kaga?" Afuya meninggikan nada suaranya.
Mata Winter beralih pandang pada roti yang dibawa gadis di sebelahnya. "Mau lah!" Pemuda itu langsung mengambil paksa roti yang ditawarkan oleh Afuya.