Bagian Kedua
✧
Afuya duduk di meja makan seusai sarapan sembari menunggu Meira menyiapkan bekalnya ke sekolah. Gadis itu melamun sejenak. Ia masih berpikir dan membayangkan kejadian semalam yang membuatnya jadi tidur terlalu larut. Kakek sepertinya masih tidur, atau bahkan sudah pergi ke ladang. Afuya tidak mendapati kakeknya pagi ini. Setelah semuanya siap, gadis tersebut langsung mengayuh sepeda sembari menoleh kanan-kiri sejenak memastikan kejadian semalam.
Hanya padi yang masih menghijau. Tidak ada alang-alang ataupun rumput liar setinggi rumah ingin menelannya. Ternyata benar, itu mungkin hanya halusinasi milik Afuya saja yang berlebihan. Pukul enam pagi, terlihat banyak orang-orang desa yang sudah berangkat ke ladangnya masing-masing. Walau sekadar melihat padi, ada juga yang masih mengurusi ladang kosongnya. Afuya menghirup udara pagi sejenak. Merasakan kesejukan yang begitu berbeda dengan udara kota.
Tanpa terasa gayuhan ringan sepeda butut tersebut hampir berada di depan rumah Eryn. Afuya tersadar bahwa tujuannya kali ini ingin menghindari seorang pemuda dari kuah itu. Dengan segera ia menambahkan tenaga untuk tempo gayuhan yang lebih cepat. Winter menguap lalu mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan secara bergantian. Pemuda tersebut berjalan ke arah halaman rumah milik bibinya. Tentu saja, waktu yang pas mempertemukan dua anak SMP.
Afuya tanpa melihat, terus berusaha untuk fokus ke depan. Sementara Winter langsung membelalak lebar ketika seorang gadis yang baru dikenalnya kemarin lewat depan rumah Eryn. Otomatis tanpa disuruh, kedua kaki Winter seakan ditarik untuk mendekat ke arah jalanan. Hanya demi menyapa Afuya yang tergesa-gesa seperti dikejar sesuatu. Iya, tidak salah. Gadis itu memang dikejar pemuda dan takut jika mereka malah saling beradu sapa.
Winter sedikit berlari. "Afufu!" panggilnya sembari sepasang mata terus tertitik pada Afuya yang semakin menjauh.
"Hoi! Afufu, tunggu!" Winter segera berlari masuk ke rumah Eryn.
Tujuan awal masuk kamar mandi, curi muka dan gosok gigi. Lalu beralih mengambil sepasang seragam sekolahnya, kemudian memakai dan menyemprotkan parfum hampir menghabiskannya setengah. Menyisir rambut tanpa menggunakan alat, hanya dengan cara cepat melalui jari-jemarinya. Memakai kaos kaki kemudian berjalan keluar memakan sepatu. Eryn yang masih bergelut dengan bahan masaknya di dapur, langsung menghampiri keponakannya.
"Nggak mandi?" tanya wanita pemilik rumah.
"Nggak, Bi. Afuya sudah menunggu." Jawaban Winter sebagai alasan hanya demi berangkat bareng dengan gadis yang baru saja dikenalnya.
"Mana dia? Kok, nggak ke sini dulu?"
Winter berdiri mengulurkan tangannya guna bersalaman dengan sang bibi. "Sudah di stasiun, Bi. Aku berangkat dulu."
"Belum matang sarapannya," ucap Eryn merasa bersalah.
"Nanti sarapan di sekolah saja, Bi," timpal Winter menjadi akhiran Eryn menyaksikannya berlari menuju stasiun kereta.
Afuya merasa tenang, tetapi tidak begitu yakin. Faktanya, ia masih kepikiran jika saja Winter tiba-tiba muncul di sebelahnya dan mengagetkan. Beberapa kali celingak-celinguk hanya untuk memastikan tidak ada anak yang menggunakan seragam sama dengan dirinya. Kereta sudah berhenti. Afuya memasang earphone yang dihubungkan dengan ponselnya sembari menunggu gilirannya untuk masuk. Tidak begitu lama dan berebut, kereta pagi memang sedikit sepi. Menoleh kanan-kiri dilihatnya masih banyak kursi kosong, sehingga Afuya bisa memilik duduk di dekat jendela.
Menunggu beberapa menit sebelum kereta benar-benar jalan, sudut mata Afuya ke arah jendela menyaksikan seorang remaja lelaki berlari. Gadis itu memastikan lagi, pikirnya orang lain ternyata salah. Benar, remaja itu adalah Winter. Afuya menyelamkan diri agar kepalanya tidak terlihat oleh pemuda itu. Afuya menutupi wajahnya dengan tas sekolah yang dibawa. Akibat kursi sebelah gadis tersebut kosong, sudah jelas Winter bisa menyaksikan gadis yang menghindarinya tadi.
Winter berdiri di sela antara kursi kiri dan kanan. Ia mengangkat kedua alisnya, sehingga menghasilkan beberapa garis kerutan pada dahinya. Kemudian dilonggarkan, beralih menyipitkan mata sembari tersenyum geli melihat Afuya. Tentu saja, Winter memanfaatkan kesempatan dari peluang yang diberikan kursi kosong tersebut. Ia berjalan pelan seakan hatinya sedang berbunga-bunga. Duduk langsung memiringkan sedikit posisinya menghadap Afuya yang masih menyembunyikan wajahnya.
Tarikan sudut bibir Winter semakin memanjang. "Kayaknya takut banget, ya, sama aku?" ucap Winter diiringi ketawa kecilnya.
Afuya masih belum mengalihkan tas yang menutupi wajah. Gadis itu tetap fokus memandangi suasana di luar dan merasakan kereta mulai berjalan. Winter sudah tidak sabar lagi. Pemuda itu merebut tas warna cokelat milik Afuya. Otomatis pemilik tas tak terima dan menariknya balik. Saat berebut itulah keduanya saling beradu tatap meski wajah Afuya terlihat begitu kesal terhadap lawan interaksinya.
"Apaan, sih!" protes Afuya lirih.
"Tadi aku panggil, kenapa ninggalin? Kan, enak bareng."
"Nggak."
"Biar kamu ada yang jagain." Winter menyombongkan muka.
"Dih! Aku bisa sendiri," Afuya masih tetap membuang muka ke arah jendela.
Winter semakin tidak tahan dengan gerak-gerik gadis di sebelahnya. Ia beralih mencolak-colek lengan kanan Afuya beberapa kali. Sekali dua kali tidak masalah, ini terhitung lebih dari itu sehingga membuat Afuya semakin kesal dibuatnya.
"Bisa diam, nggak?"
Winter tertawa tanpa henti membuat beberapa orang mengalihkan pandang ke arahnya. "Nggak." Pemuda itu masih melanjutkan tertawa.
"Kayak orang pedofil!" timpal Afuya lirih karena takut ada yang mendengar mereka.
"Setua itukah aku?" Winter beralih memasang wajahnya penuh tanya. Tak lama kemudian berganti lagi ke setelan semula, tertawa menggemaskan mengusili Afuya. "Sini bagi, Nak," lanjutnya merampas sebelah earphone berkabel itu diiringi ketawa khasnya.
"Ih, nggak sopan!" Afuya yang spontan, tanpa sadar meninggikan nada bicaranya. Sehingga membuat dirinya pribadi malu sendiri.
Afuya melepas sambungan earphone dengan ponselnya lalu memberikan earphone itu pada remaja laki-laki di sebelahnya dengan terpaksa. Winter menerimanya dengan senang hati, bukan karena ia mau. Pemuda itu bahkan memilikinya dengan harga yang lebih mahal dibandingkan punya Afuya. Namun, dengan begitu alasan akan mudah diterima jika Winter ingin tetap mendekati gadis itu.
Afuya malas menanggapi pemuda di sampingnya hingga kereta berhenti di stasiun dekat dengan sekolah mereka. Winter masih tetap membuntuti gadis yang bersamanya sedari tadi. Ia lebih memilih jalan di belakang dibandingkan tepat pada sampingnya. Simpelnya, Winter ingin mengamati siapa saja yang akan menyapa Afuya selagi jalan ke arah kelas. Hingga gadis itu sudah mengangkat kakinya dari koridor depan kelas, barulah Winter memutuh arah dan berjalan ke arah kelasnya melewati lapangan.
✧
Jam pelajaran dan waktu istirahat pertama berjalan seperti biasanya. Hingga tibalah saat istirahat kedua, Afuya tidak bisa menikmati waktu makan siangnya dengan tenang. Siswi di kelasnya berbondong-bondong menghadapnya hanya untuk memenuhi hasrat rasa perasaan mereka. Banyak pertanyaan yang terlontar untuk menjadi lauk pahit pada bekal milik Afuya.
"Sejak kapan Kau bisa dekat dengan mas Winter, Fu?"
"Kalian pacaran?"
"Kok, bisa? Gimana caranya?"
"Aku iri, deh. Mas Winter itu sudah tinggi, pintar, ganteng, paket lengkap nggak, sih?"
Mereka berempat memposisikan diri pada dialognya masing-masing. Saling bersahut tanya sebelum dijawab oleh Afuya pribadi. Jelas saja, Afuya langsung tegas menolak semua bentuk tuduhan dari pertanyaan temannya itu dengan satu kata yaitu 'nggak'. Tanpa memberikan alasan lagi, Afuya segera meninggalkan mereka dan membawa bekal makan siangnya ke kantin. Meski tidak fokus karena keramaian, setidaknya ia bisa makan dengan tenang tanpa diganggu oleh teman sekelasnya.
Ternyata, semua perkiraan dan rencana Afuya tidak berjalan dengan mulus. Hal yang paling tidak diharapkan olehnya hadir sekelas banyaknya kekesalan sedari pagi tak kunjung hempas darinya. Tiga anak lelaki tiba-tiba saja duduk di depannya. Meja kantin yang sudah disediakan berenam itu sebelumnya masih terisi Afuya seorang. Sehingga memberikan peluang untuk tiga anak lelaki yang entah dari mana munculnya. Satu membawa nasi goreng, satunya lagi nasi krengsengan dan yang paling tidak asing lagi bagi Afuya, membawa nasi krawu ayam.
"Kebetulan macam apa, nih?" Salah satu dari mereka memulai obrolan.
"Bukan kebetulan lagi ini, mah," sahut pemuda lelaki yang melekatkan kekesalan pada Afuya dari pagi.
"Kita duduk sini boleh, ya. Ada Winter juga, nih. Kalian bisa pacaran tanpa harus ketemuan setelah sekolah," ucap satunya lagi.
Afuya membanting pandangannya dan memilih untuk tetap fokus terhadap bekal makanan yang dibawanya. Tidak peduli apa yang dikatakan tiga siswa kelas 9-A itu. Afuya merasa tidak ada hubungan apapun terhadap mereka, terkecuali satu remaja lelaki yang paling tinggi di antara mereka bertiga. Mungkin, hari-hari berikutnya Winter akan semakin menghantui.