Aldo memberi aba-aba pada teman-temannya, "One, two, one, two, three!!" seketika ruangan studio milik Aldo dipenuhi lagu kebangsaan Gokil band. Gokil band yang dibentuk Seno dua tahun lalu dan masih sibuk manggung. Empat orang dalam band mereka sudah cukup untuk mengguncang panggung konser. Aldo memegang keyboard, Danu pegang drum, Panji pegang bass, lalu Seno pegang gitar melodi sekaligus sebagai vokalis. Untuk manggung di ranah kota Surabaya, mereka sudah sering mengisinya. Apalagi jika kebetulan RT atau RW Danu merayakan hari 17 Agustus. Biasanya band mereka yang diundang. Bukan karena biaya manggung mereka lebih murah, tetapi karena mereka memang ingin promosi ke orang lain. Pernah sekali mereka diundang ke acara Pemkot Surabaya. Tentu saja mereka menerimanya dengan senang hati. Akhir-akhir ini mereka sibuk membuat lagu baru untuk album mereka. Seminggu tiga kali mereka berkumpul untuk sekedar latihan. Meski tidak ada lagu baru, mereka sering berlatih dengan lagu lama mereka atau dengan lagu-lagu populer yang mereka dengar di radio maupun TV.
"Oit Sen, kamu masih pacaran sama Diadjeng? Gimana hubunganmu, aman enggak? Masih susah, masih ribet ya?" tanya Danu mendadak berbicara soal Diadjeng.
"Ya, gitu. Kadang mulus kadang seret. Kenapa emang?" tanya Seno balik. Danu menggeleng kemudian berkata, "Ya, kalau kamu seret karena omelan ibunya, band ini juga yang kamu salahin. Lagipula kenapa enggak cari cewek lain sih, yang mertuanya enggak seribet Ajeng?" tanya Danu pada Seno. Ia tak habis pikir jika Seno masih saja betah berpacaran dengan Diadjeng. Terlebih saat Seno dituntut untuk melakukan sesuatu di luar kemampuannya.
"Kamu ingat enggak Sen, kita pernah sampai harus balik ke Malang.gara-gara kamu lupa bawa oleh-oleh buat Ajeng? Terus emaknya Ajeng seenak jidat minta ke kamu, yang artinya minta ke kita juga. Maksudku, kita udah di bibir tol Malang dan hampir mau masuk tol. Eh enak banget tuh ya, emaknya Ajeng minta dibelikan oleh-oleh. Terus yang paling nyebelin juga, kamu turutin tuh permintaan nyai ratunya Ajeng," cerita Danu sembari mengingatkan Seno. Ia bercerita dengan nada kesal. Sedang Aldo serta Panji tertawa mendengar cerita Danu, "Santai kali Dan. Kebisaan yoh awakmu, kejadian wis keliwat suwi, tapi nesumu sampe sak iki, jek kon bahas terus, arep sampe kapan toh lehmu ngamuk?" protes Panji pada kawannya itu.
"Gini Dan, aku dan Diadjeng sudah masuk tahap serius. Aku berencana menikahinya. Aku mungkin bisa cari wanita yang orangtuanya lebih simpel dari dia. Tapi tetap kan, capek kalau harus menyesuaikan diri lagi, pengenalan lagi. Iya kalau wanita baru ini akan lebih baik dari Diadjeng, kalau lebih buruk, rugi aku."
Danu mengangguk paham, "Iya sih, tapi Ajeng itu guru. Masa depannya cerah, kalau dia beneran nikah sama kamu, yang ada jadi gelap tuh masa depannya. Wajar kalau emaknya enggak kasih restu ke kamu."
"Eh, resek bener jadi orang. Bukannya bantu malah ngompori. Aku mau buktikan ke orangtuanya, kalau band ini punya harapan. Kalau vokalis band kayak aku, punya peluang sama seperti pekerja kantor lainnya." Aldo mengangguk sembari bertepuk tangan, "Keren Sen. Aku dukung kamu dengan Diadjeng 100%."
"Eh sebentar, Diadjeng telepon. Halo, iya Jeng ada apa? Udah pulang sekolah belum? Nanti malam enggak ada acara, ada apa? Apa melamarmu?!! Malam ini? Waduh, aku belum siap apa-apa. Iya, aku datang. Ya sudah sampai nanti malam ya!!"
"Kenapa Sen? Kena omel lagi kamu?" tanya Panji.
"Enggak tahu juga. Intinya, nanti malam aku diminta menghadap orangtua Diadjeng."
"Wow, serius tuh?" Panji meletakkan bass-nya di sofa panjang studio. Ia lalu duduk menghadap Seno memperjelas pertanyaannya lagi, "Menghadap gimana? Lah opo wis mantep ancen? Ojok-ojok padha karo aku, Sen. Wis siap urung karo kabeh panjalukane mertuamu?"
Danu berusaha membenarkan Panji, "Nah loh, bener tuh si Panji. Apa kamu siap Sen? Jangan-jangan nanti seperti Panji. Diminta datang ke rumah pacar bukan malah diberi restu tapi suruh putus. Tenan e awakmu wis siap lahir batin?"
Seno menghembuskan napas berat. Ia tidak tahu tujuannya diundang ke rumah Diadjeng untuk apa. Pastinya untuk suatu hal yang lain, firasatnya memang berkata sebaiknya ia tak datang ke rumah Diadjeng. Tapi jika ia tidak datang, apa kata orangtua Diadjeng. Apa kata pacarnya itu?
"Menurut kalian gimana? Sebaiknya aku datang tidak nanti malam? Kalau enggak datang, enggak enak sama orangtua Diadjeng. Bagaimana pun mereka akan jadi bapak dan ibuku juga." Aldo yang awalnya bermain HP kini ikut nimbrung dan memberikan saran untuk temannya itu, "Datang saja. Mencegah atau mengantisipasi respon yang lebih buruk dari mertuamu itu juga perlu. Kalau kamu enggak datang, bisa-bisa bukan kamu yang rugi tapi Diadjeng mungkin akan kena imbas juga."
"Aku jane ora setuju Sen, kowe mrono. Tapi ya gimana lagi, yen wis wayahe mrono ya kudu mrono. Namanya pria Sen, pantang mundur sebelum berjuang," ujar Danu yang meyakinkan Seno. Semula Danu tak yakin dengan keputusan temannya untuk pergi menemui orangtua Diadjeng. Namun, kini ia akan mendukung sahabatnya itu.
"Suwun yo. Sekarang kita latihan saja. Yo dunga'no mengko bengi lancar acaraku." Seno memutuskan untuk tidak membahas acaranya malam itu dengan keluarga Ajeng. Siang ini ia mencoba untuk melupakan soal Ajeng sejenak dan fokus pada latihan band Gokilnya. Sebelum memulai latihan kembali, Panji sebagai satu-satunya admin sosmed Band Gokil mengajak teman satu band mereka foto bersama. "Kita foto dulu rek, ben onok upload'an anyar. Suwi aku ora upload nak Instagram. Siji, loro, telu! Mesem!!" Panji melihat hasil jepretannya kemudian ia menunjukkan ke seluruh temannya. "Piye diupload ora?" Danu, Aldo, dan Seno mengangguk dan menyetujui gambar jepretan Panji tadi. Begitu mendapat persetujuan mereka Panji mengupload foto itu di Instgram mereka. Tak lupa caption khas band Gokil ia letakkan di postingan foto itu. "Gas enggak nih album baru Gokil Band?" ketik Panji di caption postingan mereka.
"Wis, Sen sak iki latihan sek. Pokokne, kowe kudu yakin, Sen! Tunjukkan kalau kamu memang pantas untuk Ajeng," ujar Aldo menyemangati lagi. Seno mengangguk. Ia sedikit lebih lega setelah teman-temannya memberi semangat untuknya. Ia kini menyiapkan mentalnya untuk bertemu ibu Ajeng. Semoga saja segala hal yang buruk di pikirannya tidak terjadi.
*
Sepulang latihan band tadi, Seno pulang ke rumah dan segera bersiap-siap ke rumah Ajeng. Kedua orangtua Seno yang memandang Seno mondar-mandir cermin di rumah membuat mereka bertanya, terutama ibu Seno. "Sen, kamu dari tadi mondar-mandir cermin itu ngapain? Mau ada acara band ta, kok rapi banget sih?" tanya ibu Seno. Seno kemudian menjawab dan menceritakan telepon dari orangtua Ajeng barusan. "Tadi ibu Ajeng telepon Bu. Aku diminta ke rumah Ajeng dan menemui orangtua Ajeng." Ibu Seno meletakkan piring dan kini ayah Seno bertanya pada Seno, "Loh kenapa kamu yang diminta datang ke sana sendiri? Memang mau lamaran kamu?" tanya ayah Seno. Seno menggeleng dan menjelaskan pada orangtuanya itu dengan sabar, "Bukan, ini bukan lamaran Bu, Pak. Orangtuanya Ajeng cuma mau ketemu Seno dan mengenal Seno lebih jauh saja."
"Bukannya dulu kita sudah bertemu mereka. Bukannya ibu Ajeng enggak suka sama kamu Sen? Apa sekarang sudah berubah sikapnya?" tanya ibunya. Seno menggeleng dan menjawab sejujurnya, "Belum Bu. Tapi siapa tahu dengan Seno menemui langsung di rumah mereka, ternyata mereka berubah. Kalau Seno enggak datang, Ajeng kasihan Bu."
"Ibu kan dulu pernah bilang sama kamu. Cari cewek yang orangtuanya itu enggak ribet. Orangtua Ajeng itu ribet banget. Kamu lihat sendiri kan dari cara mereka enggak suka dengan bandmu. Padahal harusnya dia bisa memberi dukungan ke kamu. Kalau ibu sih setuju dengan Ajeng, tapi ibu enggak suka dengan orangtuanya. Mungkin kamu juga harus berpikir ulang untuk menikahinya sebelum hubungan kalian terlalu jauh. Ingat, menikah itu bukan dengan anaknya saja, tetapi dengan keluarganya dengan orangtua Ajeng juga."
"Sudah Bu, biarkan Seno yang memutuskan saja. Kita enggak perlu ikut campur," kata ayah Seno. Ibu kemudian berkata lagi, "Kamu enggak ada tertarik gitu sama anak temannya ibu yang namanya Ratri. Dia itu kerja di kantor pajak loh. Dia juga baik dan sering juga main kemari. Ya, kamu saja yang tidak tahu dan enggak pernah ketemu. Kamu kan sibuk latihan terus, lalu jalan bareng Ajeng terus."
"Bu, aku berangkat ya. Doakan saja semua lancar. Semoga juga keluarga Ajeng bisa menerima Seno." Seno kemudian pamit pada kedua orangtuanya. Seno menyalakan motornya dan mulai mengendarai menuju ruumah Ajeng. Perjalanan dari rumahnya menuju ke rumah Ajeng memakan waktu sekitar setengah jam, jika jalanan malam itu tidak macet. Biasanya sih, macet sehingga ia harus menghabiskan waktu perjalanan selama 45 menit. Seno berusaha menghibur dirinya dari pikiran-pikiran negatif dengan cara menyanyi di atas motor. Pikirannya saat itu penuh dengan penolakan orangtua Ajeng. Tetapi daripada ia berpikir soal itu, lebih baik ia menghibur dirinya sendiri dengan menyanyikan beberapa lagu favoritnya dari Dewa. Ia menyanyi dengan kaca helm tertutup, beberapa orang yang berhenti di sampingnya saat lampu merah tak jarang menoleh ke Seno karena suara Seno begitu keras dan merdu. Seno tahu jika suaranya itu membuat sebagian orang meliriknya saat lapu merah, tapi ia tak menggubrisnya.
Setelah berjalan hampir 45 menit, Seno sampai di rumah Ajeng. Ia membunyikan bel rumah Ajeng kemudian satpam rumah Ajeng membukakan pagar. Satpam itu menyapa Seno ramah, "Malam Mas Seno! Masuk langsung aja Mas. Bapak dan Ibu di dalam kok," katanya memberitahu. Seno segera memarkir sepedaya dekat pos satpam situ. Ia lalu mengeluarkan sisir dan menyisir rambutnya lebih dulu. Kemudian ia berjalan masuk ke rumah Ajeng. Rumah Ajeng memang berada di perumahan elit. Rumah Ajeng sendiri saja memiliki halaman luas. Di halaman luas itu lah, ayah Ajeng memarkir 3 mobilnya. Ketika berada persis di depan pintu rumah Ajeng, Seno mengembuskan napasnya panjang. "Kamu bisa Sen!" ucapnya menyemangati dirinya sendiri.
"Selamat malam, Seno!" sapa Ibu Diadjeng ramah. Ibu Tika menghampiri Seno dan mempersilahkannya untuk segera masuk ke rumah.
"Silakan masuk. Diadjeng, kamu sebaiknya ganti baju dulu dan mandi. Biar ibu dan bapak dulu saja yang bertanya," ujar ibu Tika.
"Selamat malam Bu, Pak." Seno memberi salam kembali pada orangtua Diadjeng. Ia lalu diajak ruang tamu dimana tempat itu dijadikan untuk diskusi keluarga. Seno memutar pandangnya ke seluruh ruang tamu tapi tak mendapati Ajeng telah selesai dari bersih diri.
"Kamu mau minum apa?" tanya ibu menawarkan minum.
"Saya minum air putih saja Bu, mboten usah repot-repot." Ibu lalu pergi ke dapur mengambil nampan berisi segelas air putih. Sembari ibu mengambil minuman, ayah Ajeng bertanya pada Seno, "Sudah siap belum kamu?"
"Siap apa Pak?" tanya Seno belum mengerti tujuannya diminta ke rumah Ajeng saat ini.
"Untuk kami tanya-tanya singkat. Ibu dan Bapak ingin menilai keseriusanmu dengan Diadjeng." Seno menarik napas panjang sekali. Ia tak tahu nasibnya akan menjadi apa setelah ini. Ibu akhirnya datang membawakan segelas air putih.
"Enggak perlu tegang, ini hanya sebentar. Bukan wawancara kerja kok, tenang saja," kata bapak Didjeng, Redi.
"Begini Seno, sebenarnya kami ingin memastikan lagi seberapa serius kamu dengan Diadjeng. Bagaimana hubungan kalian sejauh ini? Kapan rencananya kamu melamar Diadjeng? Kalian sudah lama kan berpacaran, masa tidak ada progressnya sama sekali?" tanya ibu Diadjeng tanpa basa-basi.
"Rencana saya tahun depan, Bu. Saya sudah mulai menyiapkan sejak tahun ini."
"Oh bagus kalau begitu. Sudah ada tabungan ya berarti?" tanya ibu Ajeng kembali memastikan persiapan Seno menikahi putrinya. Seno menelan ludahnya ketika ditanya soal tabungan. Ia menjawab jujur Bu Tika dan memberi penjelasan, "Sudah Bu. Tetapi memang belum banyak terkumpul," ucap Seno merendah. Ia selalu menyisihkan sebagian penghasilan bandnya untuk ditabung. tetapi tak memiliki begitu banyak tabungan di bank. Mungkin juga belum cukup untuk menikah.
"Kira-kira berapa saldo tabunganmu?" tanya Ibu langsung tanpa basa-basi. Bapak yang mendengar itu sedikit terkejut karena istrinya keterlaluan jika bertanya soal uang.
"8 juta rupiah, Bu," jawab Seno dengan suara pelan.
"8 juta saja?!! Nikah macam apa yang 8 juta itu?" celetuk Ibu Diadjeng dengan nada sindiran pada Seno. Seno berusaha menenangkan hatinya. Ia meneguk air di hadapannya dan berusaha menghadapi orangtua Diadjeng dengan sabar.
"Bu, biar Bapak saja toh yang bertanya. Ibu kan sudah janji tadi," ujar Pak Redi mengingatkan istrinya itu.
"Pekerjaanmu sekarang apa Seno?" tanya Pak Redi.
"Saya vokalis band Gokil. Band kami biasanya dipanggil untuk acara pernikahan serta ikut lomba band beberapa kali."
Ibu dan Bapak Diadjeng menghela napas berat. Jawaban Seno membuat raut wajah Pak Redi yang semula tenang menjadi berkerut bagian alisnya. Ibu lalu duduk di samping suaminya dan ikut nimbrung, "Begini Seno, jika kamu ingin menikahi Diadjeng, kamu harus melakukan beberapa hal sebagai syarat dari pernikahanmu. Anggap saja jika syarat-syarat ini berhasil kamu penuhi, saya dan Bapak dapat memberi restu padamu." Bapak menoleh ke arah istrinya itu tak percaya, "Bu, sudah biar Bapak saja yang bicara. Ibu diam dulu toh," kata Bapak menenangkan istrinya.
"Lah aku geregeten Pak. Bisa-bisanya pacaran sama anak kita tapi kerjaan enggak pasti."
"Sebentar toh, Bu. Kamu ada pekerjaan selain menjadi vokalis band?" tanya Pak Redi lagi.
Seno menggeleng, "Enggak ada Pak. Pekerjaan sementara saya menjadi vokalis band. Tapi saya jamin kalau penghasilan dari band saya cukup untuk sekedar membiayai Diadjeng dan saya." Perlahan Seno membasahi tenggorokannya yang mulai kering. Dari pintu kamar depan, Diadjeng keluar dan duduk di samping Seno. Ia memperhatikan dari jauh jika Bapak dan Ibunya, serta Seno sedang bicara serius. Wajah Bapak yang biasa ramah dan senyum pada siapa pun tak nampak. Terlebih Ibu yang entah kenapa membuat dada Diadjeng semakin sesak, ia khawatir akan nasib hubungannya.
"Sampai mana Pak, Bu, wawancaranya?" tanya Diadjeng yang baru mengikuti percakapan Seno dengan orangtuanya. Kedua orangtua Diadjeng tidak menggubris pertanyaan anaknya itu. Ibu lalu berujar, "Begini saja, jika kamu ingin menikah dengan Diadjeng, ada beberapa syarat yang harus kamu penuhi. "
Ibu Tika mengeluarkan secarik kertas dari saku celananya. Ia memakai kacamatanya dan membaca kertas yang berada di tangannya itu. Diadjeng menoleh ke secarik kertas yang berada di tangan ibunya. Ia menoleh ke bapaknya, tampak sepertinya bapaknya tidak melakukan hal lain selain diam. Diadjeng menoleh ke arah Seno yang mulai pucat. Pacarnya kini tampak seperti kehabisan tenaga, lemas, dan khawatir. Diadjeng lalu menggenggam tangan Seno kuat. Ia dan Seno pasrah pada selembar kertas yang akan dibaca ibunya itu.
-tbc-
———————————
Footnote
Kebisaan yoh awakmu, kejadian wis keliwat suwi, tapi nesumu sampe sak iki, jek kon bahas terus, arep sampe kapan toh lehmu ngamuk? : Kebiasaan ya kamu, kejadian sudah lama tapi kamu marah sampai sekarang, dan selalu kamu bahas, mau sampai kapan kamu marah begitu?
mboten : tidak
Lah opo wis mantep ancen? Ojok-ojok padha karo aku, Sen. Wis siap urung karo kabeh panjalukane mertuamu : Lah memang sudah mantap? Jangan-jangan sama sepertiku, Sen. Sudah siap belum dengan segala permintaan mertuamu?
Tenan e awakmu wis siap lahir batin : Sungguh kamu sudah siap lahir batin
Aku jane ora setuju Sen, kowe mrono : Aku sebenarnya tidak setuju kamu ke sana.
Yo dunga'no mengko bengi lancar acaraku : Ya doakan, nanti malam lancar acaraku.
Pokokne, kowe kudu yakin .... : pokoknya, kamu harus yakin ...