Diadjeng perlahan turun dari motor Seno. Dengan helm serta jaket yang masih ia kenakan, ia berjalan cepat membuka pagar rumahnya. Ia membuka pelan-pelan sehingga tidak ada suara berderit dari pagarnya yang biasa berbunyi ketika dibuka. Diadjeng bergegas menuju ke bilik jendela. Seno menuntun sepeda motornya ke halaman rumah Diadjeng. Ia berusaha menuntun motornya dengan perlahan supaya tidak menimbulkan suara. Diadjeng menoleh ke Seno memastikan semuanya aman. Ia memberikan sinyal supaya Seno tetap menjaga ketenangan, ia menoleh ke belakang dan menaruh satu jari telunjuknya di depan bibirnya. Kemudian, Diadjeng mengintip dari jendela teras. Ia ingin memastikan jika orangtuanya sedang tidur atau pergi keluar. Bisa gawat jika ibunya tahu ia habis menonton konser musik rock dengan Seno. Ibunya paling membenci musik rock, katanya 'musik teriak-teriak yang tak dapat dinikmati.'
Diadjeng menoleh ke belakang melihat Seno masih sibuk menata sepeda motornya. Ia menatap wajah Seno yang terlihat mengantuk. Ia meminta Seno untuk singgah sebentar supaya bisa minum kopi dulu di rumahnya.
"Mas Seno, enggak mau mampir dulu? Aku buatkan kopi lalu Mas Seno pulang. Sepertinya Bapak dan Ibu sudah tidur, jadi kita berdua aman," ujar Diadjeng. Ya seperti biasa setiap kali mereka keluar jalan-jalan, Seno baru bisa mampir jika kedua orangtua Diadjeng tidak di rumah, atau sedang tidur, atau bahkan hal lainnya. Seno turun dari sepeda motor dan melepas helmnya.
"Sebentar ya, tunggu sini dulu. 15 menit lagi aku kembali membawakan kopi Mas," ujar Diadjeng lalu masuk ke rumah. Seno mengangguk. Ia memerhatikan sekeliling rumah Diadjeng. Ruang tamu sudah gelap, lampunya mati. Kemudian ruang lainnya juga gelap. Seno menghela napas lega. Ia selamat kali ini. Ia akan habis jika ibu Diadjeng melihatnya berpakaian tidak rapi. Terlebih jika tahu Diadjeng dan dirinya habis menonton konser musik rock di SMA miliknya dulu.
"Ini kopinya. Silakan dinikmati," ujar Diadjeng pada Seno. Seno menuang kopinya ke alas gelasn.ya agar panasnya menguap lebih cepat. Sembari menunggu dingin, Seno bertanya pada Diadjeng, "Ajeng, Ibu dan Bapak di mana? Apa kamu yakin mereka sudah tidur? Tumben sekali tidak kelihatan," tanya Seno. Ia hanya ingin memastikan saja untuk mengusir kegelisahan hatinya itu.
"Tadi orangtuaku pergi ke kondangan teman mereka. Tapi mungkin mereka sudah pulang dan tidur di kamar. Biasanya sih, mereka tak pernah lama jika pergi ke kondangan."
"Lalu Mas Rendra? Dia juga ikut ke kondangan?" tanya Seno mencurigai kalau-kalau keberadaanya diketahui kakak sulung Diadjeng.
"Enggak, Mas Rendra sibuk mengurus printilan pernikahannya. Sambil diminum saja Mas, supaya Mas Seno juga dapat segera pulang. Enggak ilok kalau Mas Seno terlalu lama di sini," ucap Diadjeng mengingatkan Seno meminum kopinya. Seno menurut saja, ia rasa kopinya sudah mulai dingin.
"Mas Rendra menikah, kok kamu baru bilang sekarang?" tanya Seno terperangah. Biasanya Diadjeng selalu memberitahu kabar penting padanya dengan cepat karena ia tahu jadwal latihan band serta manggung Band Gokil cukup padat. Sehingga Diadjeng selalu memberitahu Seno h-sebulan ketika acara penting itu berlangsung.
"Maaf ya, Mas. Aku sepertinya lupa bilang," kata Diadjeng meminta maaf. Soal pernikahan kakaknya ia memang belum bercerita ke Seno.
"Kapan menikahnya?" tanya Seno lebih lanjut. Diadjeng menjawab, "Mas Rendra dan Mbak Gayatri akan menikah sekitar dua minggu lagi. Tolong usahakan Mas Seno datang ya. Aku harap Mas Seno enggak sibuk dengan konser, rekaman, atau album, atau kegiatan band pada hari itu. Bisa kan, Mas?" tanya Diadjeng. Seno mengangguk mengiyakan lalu berkata, "Kowe yakin aku melu nikahan masmu oleh karo ibumu?" tanya Seno kini memastikan soal persetujuan ibu Diadjeng. Diadjeng tidak bisa memberikan jawaban pasti. Belum lama mereka di teras, ibu Diadjeng berteriak dari dalam rumah, "Di!! Siapa yang di teras?" sahut suara Ibu Tika lantang. Ia menoleh ke arah Diadjeng dengan wajah terkejut. Seno berdiri dari kursinya dan berlari bersembunyi di balik kursi.
"Waduh, gawat! Bisa habis aku. Aku pulang, ya?" ujar Seno tergesa. Ia buru-buru berdiri lalu dicegah oleh Diadjeng.
"Jangan dulu Mas, habiskan dulu kopinya. Sebaiknya Mas Seno bersembunyi di belakang semak-semak itu. Kalau di belakang kursi, ibuku pasti tahu," ujar Diadjeng menunjuk semak-semak di dekat pohon mangga halaman rumahnya. Semak-semak itu cukup rimbun sehingga jika Seno bersembunyi di situ tidak akan kelihatan.
"Ayo, Mas cepat sembunyi!" kata Diadjeng sembari meminta Seno cepat bersembunyi. Bayangan ibunya terlihat samar-samar dari pantulan lampu teras. Diadjeng segera menjawab panggilan ibunya, "Enggak ada siapa-siapa, Bu!" Dari balik semak-semak rimbun, Seno berharap persembunyiannya aman dari pandangan ibu Diadjeng.
"Siapa toh yang ngobrol di teras denganmu?" tanya ibu Ajeng memastikan lagi.
"Enggak ada, Bu. Emm ..., Ibu kapan datang? Bukannya tadi Ibu dan Bapak ke kondangan ya?" tanya Diadjeng mengalihkan topik.
"Iya, kan sudah selesai sayang. Jam 20.00, tadi Ibu sampai rumah. Kamu habis darimana toh? Keluar ke mana? Sama siapa dan acara apa?" tanya ibu Ajeng lengkap. Diadjeng tersenyum. Ia berusaha menyembunyikan kegugupannya di depan ibunya. "Ini tadi habis dari acara ulang tahun Widya. Widya mengundang untuk makan di rumahnya."
"Oh begitu. Ya sudah kalau begitu. Lah, ini kok ada gelas kopi? Kamu minum kopi?" Ibu Ajeng melirik gelas kopi yang berada di atas meja.
"Bukan—eh, iya Bu. Habis ini Diadjeng mau latihan sebentar untuk presentasi di sekolah besok. Daripada ngantuk, Diadjeng buat kopi supaya sedikit terjaga."
"Oh, ya sudah. Jangan tidur larut malam ya! Jangan terlalu memaksakan juga. Ibu kembali lagi ke kamar ya," kata Ibunya lalu masuk kembali ke rumah. Begitu ibunya masuk, Diadjeng cepat-cepat menghampiri Seno yang bersembunyi di balik semak-semak. Nyawanya hampir tak selamat di tangan ibunya.
"Maaf ya Mas, ibuku tiba-tiba muncul. Habiskan dulu Mas, kopinya."
"Iya, Ajeng. Makasih ya, buat kopinya. Aku harus balik sekarang. Besok kamu kuantar ke kerja ya?" ucap Seno menawarkan diri mengantar Ajeng.
"Enggak perlu, Mas. Besok aku sepertinya lembur lama di sekolah. Sebaiknya aku membawa kendaraan sendiri."
"Enggak apa. Besok aku free dan enggak ada jadwal latihan. Kuantar saja. Jam berapa besok?"
"Jam 06.00 sudah sampai sini ya Mas. Karena jalanan pasti macet kalau siang berangkatnya."
Seno mengangguk. Ia lalu meneguk habis kopinya dan berpamitan pada Diadjeng. Tak lupa Seno mencubit pipi Diadjeng sebagai salam sebelum ia pulang. Diadjeng dari jauh melihat motor Seno pergi dari rumahnya perlahan. Ia tersenyum senang karena malam ini bisa menghabiskan waktu bersama dengan Seno. Diadjeng segera masuk ke rumah dan membawa dua gelas kopi. Ayah Diadjeng yang melihat putrinya baru masuk rumah menegurnya, "Dari mana Diadjeng?"
"Dari teras Pak." Diadjeng segera menuju ke dapur namun bapaknya menegurnya kembali.
"Kenapa pakai baju yang rapi sekali?" tanya ayah Diadjeng.
"Oh tadi dari ulang tahun Widya, Pak." Diadjeng mempercepat langkahnya ke dapur untuk mencuci gelas kopi. Bapak Diadjeng yang melihat ulah anaknya sedikit kebingungan karena tak biasanya Diadjeng minum kopi. Akhirnya, bapak Diadjeng kembali ke kamarnya.
"Bu, Diadjeng tumben minum kopi. Dia ada acara apa besok memangnya kok mau begadang?"
"Katanya sih, dia mau presentasi besok. Dia sudah masuk rumah belum Pak?"
"Sudah barusan. Ya sudah kalau begitu, bapak kira ada tamu tadi waktu kita pergi ke manten. Barangkali Seno sudah ke sini tadi waktu kita enggak di rumah?" ujar bapak Diadjeng.
"Haduh, kalau sampai Seno ke sini Ajeng pasti ibu omeli. Ibu enggak suka kalau Seno kemari, lelaki yang kerjaannya enggak jelas seharusnya enggak perlu dekat-dekat dengan anak kita, Pak."
"Diadjeng itu sudah dewasa Bu, dia bisa menentukan mana yang terbaik buat dirinya sendiri. Ibu enggak perlu lah, mengomelinya soal laki-laki. Seleranya Diadjeng berbeda dengan selera ibu," kata bapak Diadjeng berusaha netral. Ibu Diadjeng tak mau mengalah, ia menambahkan lagi, "Pokoknya ibu tetap enggak setuju kalau mereka dekat terus apalagi sampai menikah. Ibu sudah punya rencana untuk menjodohkan Diadjeng dengan anaknya Bu Wijaya yang dosen itu." Bapak Diadjeng tidak mau membalas omelan istrinya itu. Ibu lalu menarik selimutnya kemudian mendahului suaminya tidur. Ayah Diadjeng mematikan lampu kamar dan segera tidur.
*
Diadjeng melihat layar HP-nya yang menunjukkan pukul setengah lima pagi. Ia bergegas mandi dan bersiap ke sekolah. Ia harap Seno tidak mendapat omelan dari orangtuanya.
"Pagi, Ajeng. Kamu berangkat dengan siapa, dengan Bapak?" tawar bapaknya pada Diadjeng.
"Enggak, Pak. Diadjeng berangkat sama Mas Seno. Kemarin sudah janjian."
"Seno? Kamu masih dekat dengan dia." Ibu mengambil piring lalu memberikan pada suaminya yang sejak tadi membaca koran.
"Iya, Bu. Gimana enggak dekat, Diadjeng kan masih pacaran sama Mas Seno."
"Berapa lama kalian berpacaran?" tanya ibu Diadjeng.
"Cukup lama, Bu. Sekarang menginjak usia 4 tahun."
Ibu menggelengkan kepalanya lemas. Dari dulu ia tak pernah merestui hubungan Seno dengan anaknya. Baginya Seno hanya lelaki tidak jelas yang akan membuat masa depan anaknya menjadi gelap. Apa yang diharapkan dari seorang menantu yang pekerjaannya menjadi vokalis band?
"Kamu sudah memintanya mencari pekerjaan lain? Ibu khawatir Di, kamu akan hidup susah mengingat dia cuma vokalis band." Bapak kemudian meletakkan sendoknya di piring lalu ikut menceramahi Diadjeng, "Ibu kamu benar, Di. Band hanyalah hobi semata. Ia harus segera mencari pekerjaan baru yang lebih tetap dan lebih menjanjikan."
"Bu, Pak, Diadjeng tahu maksud Bapak dan Ibu. Aku juga sudah meminta Mas Seno mencari pekerjaan tetapi Mas Seno belum menemukan yang sesuai dengannya. Sehingga sampai sekarang Mas Seno masih sibuk mengembangkan bandnya."
"Ya kamu harus memberi Seno itu target, Di. Kamu sebagai calon istrinya jangan mau termakan janji dan gombalannya. Misalnya kalau sampai bulan Agustus Seno belum dapat kerja baru, ya putus saja. Ibu iki matur ngene supaya kowe ora bingung yen wis nikah sesuk. Kebutuhan hidup akan semakin meningkat dan mahal. Kalau hanya kamu saja yang kerja, mana cukup." Diadjeng hanya diam mendengar ibunya bicara. Ia tahu ibu dan bapaknya tak pernah menyetujui hubungannya dengan Seno. Diadjeng menyelesaikan sarapannya dan bersiap menunggu Seno di luar. Ketika ia hendak ke teras, Seno masuk lebih dulu.
"Selamat pagi Bu, Pak."
"Pagi," sahut orangtua Diadjeng bersamaan. Jawaban singkat itu membuat Seno yakin jika kedua orangtua Ajeng masih belum menerimanya sebagai calon mantu.
"Aku berangkat dulu, Bu, Pak. Pulangnya Diadjeng juga sama Mas Seno."
"Kalau begitu saya dan Ajeng permisi dulu, Bu, Pak," ujar Seno berpamitan. Sejoli itu kemudian keluar lalu berlekas pergi ke sekolah Ajeng. Seno memasangkan helmnya pada Ajeng sembari berkata, "Maaf Jeng, kamu selalu diomeli gara-gara pekerjaanku. Akhir-akhir ini aku sedang mencari pekerjaan tetapi tidak ada yang sesuai dengan bidangku."
"Sudahlah Mas, orangtuaku memang begitu. Mereka hanya ingin aku bahagia dengan orang yang tepat. Buatku, Mas Seno itu orang yang tepat. Kita kan sudah melewati ini selama hampir 4 tahun, Mas. Kita berdoa saja semoga Bapak dan Ibu dapat memberi restu untuk hubungan kita."
Seno lalu mencubit kedua pipi Diadjeng. Ia lega karena wanita yang ia sanding adalah Diadjeng. Bukan sembarang wanita yang sesukanya dekat karena ia anak band lalu pergi begitu saja karena tak mendapat restu dari orangtua. Seno berjanji pada dirinya untuk mendapat pekerjaan yang lebih baik daripada sekedar menjadi vokalis band. Tetapi untuk saat ini ia akan fokus mengembangkan band miliknya itu. Barangkali saja bandnya dapat berkembang dan terkenal, sehingga ia dapat menjanjikan sesuatu yang lebih untuk orangtua Diadjeng.
-tbc-
Footnote:
Ibu iki matur ngene supaya kowe ora bingung yen wis nikah sesuk: ibu memberitahumu supaya kamu tidak bingung ketika sudah menikah nanti.