Diadjeng menggenggam tangan Seno erat. Ia tak tahu-menahu soal secarik kertas yang hendak dibaca ibunya itu. Pastinya kertas itu menjadi penentu hubungan cintanya dengan Seno. Diadjeng mecoba membaca kertas tersebut dari sebaliknya namun tulisan ibunya tidak tembus hingga ke belakang kertas.
"Ibu akan membacakan ini sekali, jika kamu kurang jelas, kamu dapat bertanya setelah ibu membaca. Syarat menjadi menantu dari Bapak Redi. Satu, seiman. Dua, memiliki pekerjaan yang jelas dan penghasilan tetap. Tiga, setia dengan Diadjeng. Empat, mampu membanggakan mertua. Terakhir, pernah mengantar Diadjeng dengan mobil."
Diadjeng menoleh dan ia langsung memberikan protes pada ibunya, "Bu, kenapa yang terakhir ada mobilnya toh? Ibu mau cari menantu apa sales mobil?" omel Diadjeng sedikit kecewa karena ibunya meminta mobil dari Seno. Awalnya yang Diadjeng dengar sangat masuk akal, namun beberapa dari poin yang ibu Diajeng sebutkan tidak masuk akal bagi Diadjeng. Ada poin-poin yang dipaksakan oleh ibunya. Bagi Diadjeng poin-poin yang dipaksakan ini hanya akan menjadi syarat penghambat yang telah ibunya susun dengan sengaja.
"Diadjeng, semua yang ibu sebutkan tidak boleh diganggu gugat. Kalau Seno tidak bisa memenuhi salah satu ya maaf saja, sebaiknya kamu mencari wanita lain untuk menjadi istrimu," tutup Ibu Tika langsung memberikan peringatann keras pada Seno.
"Bu, ibu keterlaluan. Aku apa pernah minta diantar dengan mobil? Kenapa Mas Seno diminta menjemputku dengan mobil?! Pak, bilangin Ibu toh Pak!" protes Diadjeng pada orangtuanya. Seno hanya diam saja lemas mendengar penjelasan ibu Diadjeng. Ia tak tahu bagaimana memenuhi semua syarat ibu Diadjeng.
"Bapak setuju dengan ibumu. Bagaimana pun, Seno setidaknya memiliki transportasi yang nyaman untukmu berkendara."
"Nyaman Pak, Bu. Naik sepeda motor jauh lebih hemat dan tidak kena macet. Kenapa sekarang jadi menyusahkan Mas Seno, Bu?" tanya Diadjeng kembali pada ibunya. Ibunya melipat kertas berisi tulisannya itu dan berkata, "Kalau susah ya sudah, sebaiknya kamu pulang sekarang dan jangan berhubungan dengan Diadjeng lagi," titah ibu Tika keras. Seno menggenggam tangan Ajeng lalu berujar, "Saya terima Bu. Saya akan berusaha memenuhi syarat yang Ibu sebutkan satu per satu." Diadjeng menggeleng. Ia lalu berbisik, "Gimana toh mas, kan kamu enggak punya mobil?" ujar Diadjeng pelan di telinga Seno. Seno kemudian bertanya pada ibu Tika, "Lalu kapan saya dapat mulai memenuhi syarat itu Bu?" tanya Seno pada ibu Tika.
"Lebih cepat tentu lebih baik. Jika kamu siap, kamu bisa memenuhinya mulai besok."
Seno mengangguk mengerti. Kini tinggal cara memenuhi syarat-syarat itu yang harus ia pikirkan. Sebaiknya ia bercerita ke teman-temannya mungkin mereka bisa membantu sedikit. Ia sedang buntu solusi, pikirannya tak fokus karena memikirkan hal lain.
"Apa ada yang belum jelas Seno?" tanya ibu Diadjeng. Seno menggeleng. Ia paham maksud permintaan orangtua Ajeng, hanya saja belum ada cara untuk memenuhinya.
"Ya sudah, terimakasih ya karena telah datang malam ini. Silakan kalau mau dilanjut ngobrol dengan Diadjeng enggak apa-apa," ujar Pak Redi. Pak Redi dan Bu Tika meninggalkan Seno dan Diadjeng berdua di ruang tamu. Seusai orangtua Ajeng masuk, Ajeng menyerbu Seno dengan berbagai pertanyaan.
"Piye toh Mas kamu? Jangan mau, kalau ibuku minta hal yang aneh-aneh. Mbok ya nolak kalau ibuku minta yang aneh-aneh itu," protes Diadjeng yang lalu meminta Seno untuk protes juga atas permintaan ibunya itu.
"Nolak gimana Jeng? Kalau aku nolak, yang ada Ibumu bawa calon menantu lain," kata Seno menimpali Diadjeng yang protes mengenai syarat ibunya.
"Lah sekarang kalau diterima, memang kamu bisa memenuhinya semua? Soal kerjaan, soal mobil, soal apa lagi tadi? Ibu itu memang begitu Mas. Kenapa kok dituruti? Mas tahu enggak kenapa ibu membuat syarat seperti itu, supaya Mas Seno gagal menikahiku."
"Sabar Jeng, kamu yang tenang. Kan aku yang diminta memenuhinya, kamu enggak usah khawatir. Nanti aku pikirkan cara supaya bisa memenuhinya."
"Enggak khawatir piye Mas? Ini ora mung menyangkut Mas Seno. Ini yoh soal aku, soal masa depan kita Mas. Kalau mas Seno enggak bisa memenuhi permintaan ibu, sama saja aku dinikahkan dengan pria lain," ujar Diadjeng pada Seno kesal. Menurut Ajeng permintaan ibunya tak wajar. Ia tak pernah meminta diantar naik mobil kalau berangkat ke sekolah, ia memilih mengendarai motor matic miliknya. Naik mobil baginya hanya menambah kemacetan, terlebih sekolahnya jauh dari rumah. Kalau naik mobil, ia harus bangun pagi sekali supaya tidak kena macet di jalan. Kalau ia terlambat karena naik mobil untuk apa ia mengendarainya?
Seno menatap Diadjeng lekat-lekat, ia ingin meyakinkan calon istrinya itu sekali lagi, "Saat ini aku enggak bisa beritahu cara untuk memenuhi syarat ibumu. Tapi aku akan lakukan yang diminta ibumu."
"Yah, kalau gagal itu loh gimana Mas? Gimana kalau ibu sudah menyiapkan calon lain? Gimana kalau ibu sudah ancang-ancang cari pacar baru buat aku?"
"Enggak akan. Kamu percaya aku enggak? Seandainya kamu memang dikenalkan dengan pria lain, kamu apa menuruti ibumu?" tanya Seno kini membahas jodoh pilihan ibu Diadjeng. Diadjeng menggeleng dan menanggapi, "Enggak lah mas. Aku ini punyamu, dari sejak dulu aku dengan mas Seno, aku sudah paham dengan kondisi mas. Soal pekerjaan pun juga begitu, aku juga paham dengan pekerjaan band mas Seno. Aku percaya mas Seno bisa pelan-pelan mewujudkan permintaan ibuku, cuma permintaan ibu tadi mengada-ada. Enggak mungkin mas Seno tuku montor buat nyanggupi syarate ibu."
"Enggak Jeng. Aku akan cari cara lain selain membeli mobil. Aku juga enggak akan nyerah, mundur gitu tok. Aku bakal usaha, sekarang kamu tenang dulu. Percaya sama aku. Kali ini aku butuh dukunganmu banyak, Jeng," ujar Seno seraya menggenggam tangan Diadjeng erat dan ia mengembuskan napas berat kali ini. Ia menggenggam tangan Ajeng lalu berujar, "Pokoknya tugasmu satu Jeng, dungane karo percaya. Ya wis, aku balik sek ya. Sudah malam sekali ini, enggak enak sama bapak lan ibumu. Aku pamit Jeng."
"Sebentar yo Mas, aku panggilkan Bapak dan Ibu," ucap Diadjeng lalu ke kamar memanggil orangtuanya. Tak lama orangtua Diadjeng keluar. Seno kemudian segera berpamitan pada orangtua Diadjeng.
"Pak, Bu, kula badhe kundur rumiyin."
"Iya, atos-atos! Jangan lupa ya syaratnya!" ujar Ibu Diadjeng berusaha mengingatkan Seno. Seno hanya tersenyum lalu menyalami kedua orangtua Diadjeng.
"Hati-hati ya Mas, jangan mengantuk saat menyetir! Kabari aku kalau sudah di rumah!" kata Diadjeng pada Seno. Diadjeng mengantar Seno sampai pada pintu gerbang rumahnya. Seno segera menancap gas dan perlahan motornya pergi dari halaman rumah Diadjeng. Orangtua Diadjeng telah masuk ke kamar mendahului dirinya. Diadjeng memutuskan ke kamar Bapak dan Ibunya untuk menanyakan soal syarat-syarat tadi. Beberapa syarat ibunya terdengar menyesakkan hatinya, pun juga menyesakkan Seno. Ia tak mau Seno terbebani hanya karena permintaan ibunya tadi.
"Bu, soal permintaan ibu yang terakhir, apa enggak bisa dihilangkan? Aku ngerti maksud ibu dan bapak baik, tapi Mas Seno pekerjaannya cuma manggung sana-sini, terlalu berat untuk beli mobil," ucap Diadjeng sembari memohon pada ibunya untuk mengurangi prasyaratnya itu.
"Memang tadi ibu bilang harus beli? Pokoknya dia pernah mengantarmu naik mobil. Entah beli, entah sewa, entah pinjam, terserah Seno," ujar Bu Tika sambil merapikan meja riasnya.
"Memang kenapa toh Bu, dengan naik sepeda motor? Justru kalau naik mobil lama dan macet di jalan."
"Wis toh, Di. Ibu kan memberitahu Seno seperti tadi supaya dia bisa termotivasi mencari pekerjaan lain dan bisa membeli mobil," terang ibu memperjelas maksud dan keinginannya.
"Memang dulu Ibu dilamar Bapak dengan mas kawin mobil?" tanya Diadjeng. Ia mengira bapaknya dulu melamar ibunya dengan mobil sehingga ibunya ngotot meminta Seno membawa mobil.
Pak Redi menggeleng, "Enggak, dulu Bapak melamar ibumu dengan perhiasan. Tapi itu zaman dulu Di, zaman sekarang kan berbeda. Tuntutan semakin banyak dan kebutuhan semakin meningkat. Wajar jika ibumu meminta seperti tadi, supaya Seno mau berusaha mencari pekerjaan lain. Demi masa depanmu juga toh!" kata Pak Redi pada anak bungsunya itu.
"Wajar gimana toh, Pak, Bu!? Mana ada calon mertua yang kasih syarat-syarat begitu kalau mau jadi mantu!? Bapak karo Ibu mung gawe Mas Seno pusing. Pokok, yen mas Seno lara gara-gara iki, Diadjeng ya melu lara wae," protes Diadjeng tak terima dengan syarat dari ibunya tadi.
"Kamu itu ngomong apa toh, Di? Mbok sing apik yen ngomong, ojok angger ngomong."
Tak ingin mendengar alasan ibu dan bapaknya lagi, Diadjeng keluar dari kamar orangtuanya Diadjeng beranjak dari ruang tamu dan masuk ke kamarnya. Ia benar-benar takut jika Seno jatuh sakit karena memikirkan syarat dari ibunya itu. Diadjeng kini memandangi semua fotonya dengan Seno yang ia pajang. Ia mengambil foto yang ia letakkan di meja belajarnya. Kemudian ia menarik napas dalam lalu mengembuskannya kasar, "Sial sekali kita ini Mas. Kalau kayak gini, gimana aku bisa bantu kamu? Ibu dan Bapak selalu begitu, enggak pernah mau mendengarkanku. Heran, memang dulu mereka dipersulit begini. Bikin syarat mantu kayak malak orang aja. Diadjeng menghubungi kakaknya. Ia menceritakan apa yang telah ibu dan bapaknya lakukan malam ini padanya. Ia berharap kakaknya mau memberikan solusi untuk masalah ini. Diadjeng tidak tahu harus bercerita pada siapa jika bukan pada kakaknya. Ia berharap setelah ia mengirimkan pesan pada kakaknya di WA, kakaknya meneleponnya dan membantunya mencari solusi untuk masalah ini. Hanya kakaknya yang selalu berada di pihaknya, kakaknya berani mendukung keputusan Diadjeng apa pun yang akan Diadjeng putuskan selalu didukung kakaknya. Tak jarang kakaknya berselisih dengan orangtuanya karena turut membela Diadjeng. Sehingga mungkin dengan ia bercerita pada kakaknya, ibu dan bapaknya bisa melunak kemudian membatalkan semua persyaratan mantu yang telah mereka buat. Paling tidak ini merupakan solusi awal yang bisa Diadjeng lakukan saat ini.
*