Diantara domba-dombanya yang lain, Pablo yang paling kuat. Namun, entah mengapa kali ini hanya Pablo sendirian yang sakit. Matt tidak tega meninggalkan domba kesayangannya itu meskipun salah satu pekerjanya, Damian, menyuruhnya untuk pulang dan menawarkan diri untuk menjaga Pablo sampai besok pagi.
“Tidak perlu, aku akan di sini sampai dia sembuh,” tolak Matt menatap sedih ke arah dombanya yang terlihat lesu di ujung kandang.
“Kau harus pulang, Matt. Aku melihat anak kecil dan seorang wanita masuk ke rumahmu sebelum aku datang kesini,” jelas Damian yang sontak membuat Matt berdiri dari duduknya dan menatap Damian dengan lekat.
“Apa maksudmu?” tanya Matt menuntut penjelasan.
“Ada seorang anak lelaki dan seorang wanita yang masuk ke rumahmu. Kupikir itu kerabatmu. Kau harus pulang dan temui mereka.”
Matt tahu betul siapa anak lelaki itu. Ia hanya pernah memberikan satu kunci rumah kepada orang lain. Tetapi ia tidak tahu siapa wanita yang dimaksud Damian. Ia bergegas berjalan meninggalkan kandang domba menuju rumahnya. Biasanya ia akan menggunakan senter untuk menerangi jalan, tapi kali ini ia sama sekali tidak membutuhkan itu.
Lampu ruang tamunya terlihat menyala. Tanpa mengetuk pintu, Matt masuk ke dalam rumahnya dan langsung disambut oleh tatapan ketakutan Jeremy yang sedang meringkuk di atas sofa.
“Jeremy, kau tidak seharusnya berada di sini. Apakah Jane, Madison, atau Hayley tahu kau berada di sini tengah malam seperti ini? Meskipun aku bukan orang asing, tapi kau tidak seharusnya berada di sini sekarang.” Matt terlihat frustasi. Ia menyesal telah memberikan kunci rumahnya.
“Kau memang bukan orang asing, Matthew James Morrison.” Itu bukan suara Jeremy. Suara itu terdengar dari belakang tubuhnya.
Tubuh Matt membeku. Tanpa berbalik pun ia sudah tahu siapa pemilik suara itu. Hayley.
Selama bertahun-tahun tidak ada yang pernah menyebut nama lengkapnya. Ia pun lebih suka dikenal dengan hanya nama Matt atau Matthew. Bukan Tuan Morrison atau semacamnya. Dan dengan Hayley yang sudah mengetahui nama panjangnya, itu berarti satu hal; Hayley mengetahui sesuatu yang disembunyikannya.
“Berbulan-bulan kau berbohong di hadapan wajahku. Berlagak seolah-olah kau tidak tahu apa-apa. Kau tahu penyebab aku menangis waktu itu. Kau tahu aku sedang mencari seseorang yang kutemui di bandara. Kau dan Jane... Ya Tuhan. Kalian tahu siapa Will. Selama ini kalian tahu siapa Will dan tidak pernah memberitahuku apapun.” Hayley menggeleng sambil tertawa tanpa humor.
“Hayley, duduklah—“
“Kau membiarkanku bertanya-tanya seperti orang bodoh tak tahu arah tentang siapa Will sebenarnya tanpa tahu jika selama ini kakeknya ada di hadapanku. Gigi, kau Gigi. Aktingmu, Jane, dan Will sangat hebat, kalian pantas menerima Oscar.” Urat-uratnya mulai muncul di leher, pertanda jika ia menahan amarah.
“Kupikir kalian keluargaku... Kupikir aku sudah menemukan apa yang kucari. Kupikir—“ Ucapan Hayley terpotong dengan kedatangan Jane dan Madison yang masuk ke rumah Matt secara tiba-tiba. Mereka langsung tahu apa yang terjadi di detik Hayley menatap Jane dengan pandangan jijik.
“Hayley, kau membuat Jeremy takut,” ucap Jane yang langsung berlari memeluk Jeremy di atas sofa. Jeremy menutup kedua telinganya sambil terisak. Madison dengan cepat langsung menggendong putranya keluar dari rumah Matthew.
Hayley berjalan mendekat ke arah Matthew dan Jane dengan tatapan tajam. “Kalian semua pendusta kelas atas. Tidak ada bedanya dengan Logan di New York. Aku menyesal menginjakkan kaki di sini. Aku menyesal bertemu kalian.”
Patah hati kedua memang tidak ada bedanya dengan patah hati pertama, begitupun seterusnya. Rasa sakitnya tidak akan pernah berkurang. Hayley menyentuh dadanya tanpa sadar, sakit sekali ketika lagi-lagi orang-orang yang ia percaya malah menyakitinya dengan hebat.
Hayley tak tahu mengapa mereka semua melakukan itu. Apakah ini semua salahnya? Salahnya karena hadir secara tiba-tiba di kehidupan mereka yang berantakan?
Hayley sudah hendak berlari ke luar rumah ketika Matthew berkata, “Will menghamili Lily.”
Seketika dunia terasa hening. Tidak ada kehidupan. Tidak ada tiupan angin. Tidak ada hawa dingin. Semuanya seperti lenyap dimakan kegelapan. Yang terdengar hanya suara detak jantung Hayley yang berpesta. Hayley berbalik menghadap Matthew, tatapannya kosong. Air mata sudah jatuh menguasai pipinya.
“Lily-Rose Hughes?” tanya Hayley lirih. Matanya menatap nanar ke arah tembok di belakang Matt.
“Ya, adik Ronald Hughes atau yang biasa kau kenal dengan Ronnie,” jawab Jane karena Matthew tidak bergeming. Jane tidak berani menatap Hayley. Rasa bersalahnya sedang menguasai.
Hening. Lidah Hayley terlalu kelu untuk membentuk sebuah kata. Ia seharusnya mengatakan sesuatu. Ia seharusnya marah pada semua orang di sini yang telah tega membohonginya, membuatnya seperti orang bodoh, dan tidak menghargai kehadirannya. Namun, tidak ada yang bisa dilakukannya kecuali menangis.
Jane tampak ingin memeluknya, tapi wanita paruh baya itu tahu diri.
Bayi yang dikandung di perut Lily, yang tadi pagi baru saja dilihatnya, ternyata adalah darah daging Will. Anak Will dan Lily. Will dan Lily. Tidak pernah terlintas di pikiran Hayley tentang hal itu. Ia terlalu hanyut dalam fantasi indahnya bersama Will sampai lupa jika ada lubang-lubang yang siap menjebloskannya kapan saja.
“Aku mengusirnya karena hal itu,” mulai Matthew. “Dia mengingatkanku pada Ayahnya, yang menghamili putriku dan kabur begitu saja. Will tetap pergi ke London setelah mengetahui kehamilan Lily. Ia berkata bahwa dirinya dijebak oleh Lily dan aku tidak memercayai omong kosong itu. Aku tidak tahu apa yang membuatnya kembali ke sini padahal ia telah bersumpah di hadapanku bahwa ia tidak akan pernah kembali ke sini selama aku masih hidup. Mungkin karena sekarang dia sudah menganggapku mati, dia kembali.”
“Bagaimana kalau memang dirinya dijebak?” Hayley menatap Matthew. Ia masih berharap jika ini semua tidak benar.
Matthew menggeleng lesu. “Will menyukai pesta lebih dari siapapun di The Cotswolds. Dia hampir tidak pernah di rumah selama malam musim panas tahun lalu. Hubungan kami memang sudah tidak sedekat dulu, tapi aku percaya jika Will tidak akan melakukan hal yang ku larang. Aku mendengar banyak sekali desas-desus jika Will menjalin hubungan dengan lebih dari satu wanita.
“Aku tidak percaya tentang hal itu, aku tetap memercayai cucuku sampai suatu pagi aku menemukan dia dan Lily di dalam kamar dan besok paginya dengan wanita yang berbeda. Terus seperti itu selama berminggu-minggu. Aku merasa gagal, Hayley. Aku tidak mendidiknya untuk menjadi lelaki seperti itu.” Matthew membuang muka ke arah lain untuk mengusap air matanya. Jane di sampingnya hanya diam sambil terus mengusap bahu Matthew untuk memberi kekuatan.
“Aku memang tidak tahu apapun tentang Will, tapi seharusnya kau menjadi satu-satunya orang yang mempercayainya,” balas Hayley. “Kau kakeknya.”
Penjelasan Matthew terdengar seperti berbeda dimensi. Will yang selama ini Hayley kenal berbeda jauh dengan Will yang Matt deskripsikan. Will yang ia kenal adalah Will yang memeluknya ketika ia menangis, Will yang berakting sakit di depan Miss Tiana demi dua buah roti, Will yang bertengkar dengan kelinci di semak-semak, Will yang mencuri sepeda selama dua jam dan mengembalikannya tanpa lecet, Will yang menunjukkan tempat favoritnya, Will yang membuatnya tertawa terbahak-bahak tanpa beban.
Will teman heningnya.
Hayley seketika teringat dengan pertemuan keduanya dengan Will di toko buku ketika lelaki itu pura-pura tidak mengenalinya. Ketika Will membeli buku parenting.
“Orang tua baru, huh?”
“Beberapa bulan lagi.”
Will membeli buku parenting untuk dirinya sendiri dan Lily. Will membeli buku itu agar ia bisa menerapkan ilmu-ilmu yang ada di dalamnya dan menjadi orang tua yang baik untuk anaknya bersama Lily kelak. Hayley tidak begitu memikirkan percakapan itu, ia terlalu fokus pada rasa sedihnya karena Will tidak mengingatnya.
Ia semakin merasa seperti badut yang bodoh. Semua orang di sini mengetahui semua kebenaran itu kecuali dirinya. Dan parahnya lagi, tidak ada seorang pun yang berniat untuk memberitahunya seakan perasaan Hayley bukan apa-apa.
Hayley baru akan membuka pintu hatinya untuk Will, untuk membiarkan lelaki itu secara sepenuhnya masuk ke dunianya dan menjadikan dirinya rumah untuk Will pulang. Tapi ternyata Will tidak akan pernah masuk, ia sudah memiliki rumah sendiri. Bersama Lily dan anak yang dikandungnya.
Will dan Hayley memiliki kesamaan. Mereka berdua sama-sama menggunakan kehadiran satu sama lain untuk sebuah distraksi dan kabur dari masalah yang sedang mereka hadapi. Mereka hanya rumah singgah untuk satu sama lain. Bukan rumah untuk tinggal selamanya. Hayley sadar akan hal itu sekarang.
Tidak ada masa depan untuknya dan Will.
Hayley akan kembali ke New York, memperbaiki karir dan namanya. Melupakan apa yang terjadi di sini demi kebaikannya.
Will akan tinggal di sini bersama keluarga kecilnya dan hidup bahagia tanpa mengingat bahwa Hayley pernah hadir di hidupnya.
Untuk pertama kalinya selama hampir empat bulan, ia merindukan suara jalanan kota New York yang ramai. Suara itu lebih baik dibandingkan keheningan beralas dusta seperti saat ini.
Perhaps it never will.
Mungkin tidak akan pernah.
Perhaps it never Will.
Mungkin tidak akan pernah ada Will di hidupnya.
***