Jenna meraung-raung ketika Hayley memasukkan semua barang-barangnya ke dalam koper dengan asal. Ia tidak peduli. Ia hanya ingin cepat-cepat pergi dari sini. Jam dinding menunjukkan pukul empat pagi, tapi hal itu tak membuat Jenna berhenti berusaha untuk menghalangi Hayley membereskan barangnya.
“Hayley, kita baru bertemu lagi setelah berbulan-bulan! Kau tidak boleh pergi!” Jenna menarik cardigan yang dikenakan Hayley.
“Kau tidak mengerti, aku harus pergi.” Hayley mengusap air matanya dengan kasar. Ia tidak kuasa untuk menatap Jenna yang sudah berurai air mata di jam empat pagi. Anak perempuan itu terbangun ketika mendengar suara gaduh Hayley dan Madison yang beradu argumen.
Madison tidak mengizinkan Hayley pergi. Dirinya yakin jika Matt dan Jane melakukan itu bukan tanpa alasan. Ia menyuruh Hayley untuk mendengar penjelasan mereka terlebih dulu. Namun, Hayley sudah benar-benar lelah. Tempat ini sudah tidak terasa seperti rumah lagi. Ia harus cepat-cepat pergi sebelum hatinya semakin remuk.
“Hayley, ini rumahmu! Di sini, bersamaku. Sadarkah kau tentang hal itu?” Jenna masih berusaha. Kali ini ia menghalangi pintu lemari agar Hayley tidak bisa mengambil pakaiannya untuk dipindahkan ke koper. Hayley menyingkirkan tubuh mungil Jenna dalam sekali dorongan.
“Aku sudah tidak punya rumah, Jenna. Tidak ada tempat yang layak ku sebut rumah untuk pulang,” balas Hayley. Tangannya mengambil pouch make-up miliknya lalu memasukkan benda itu ke dalam koper.
“Ini tempat tinggalku, Hayley. Bukan rumah, aku sudah lama tak berumah.”
Perkataan Will sore itu seketika terngiang-ngiang di telinga Hayley. Ia buru-buru mengusir suara berat itu dari pikirannya dan memfokuskan diri untuk menutup koper. Di sebelahnya, Jenna semakin menangis histeris. Ia benar-benar tidak mau kehilangan Hayley untuk yang ke sekian kalinya. Ia membutuhkan sosok Hayley di hidupnya.
Hayley keluar kamar bersama koper yang ditariknya tanpa berusaha untuk menenangkan Jenna terlebih dulu. Madison dan Jane sudah berdiri di ruang tamu ketika Hayley menginjakkan kaki di lantai bawah. Madison payah dalam menyembunyikan rasa sedihnya, sama seperti Jenna, ia menangis tersedu-sedu, sedangkan Jane menunduk. Tidak berani menatap Hayley. Jane juga terlihat sama sekali tidak berusaha untuk memberikan penjelasan, membuat Hayley tersenyum getir melihatnya.
“Aku benar-benar mendapatkan momen luar biasa di tempat ini. Terima kasih, Jane, sudah menerimaku di sini dengan tangan terbuka dan coklat hangat. Aku tidak akan melupakan kebaikanmu selama ini. Terima kasih juga sudah menyadarkanku jika semua hal baik itu hanya sementara. Terima kasih atas pelajaran hidupnya.” Hayley menatap Jane, berharap wanita paruh baya itu akan membalas tatapannya. Namun, nihil. Lagi-lagi harapannya tak berarti apa-apa. Jane tetap tidak menatapnya dan tidak mengatakan apapun.
Hayley berganti menatap Madison. Ia menyodorkan novel The Midnight Library milik Will yang belum sempat—belum mau—ia kembalikan. “Berikan ini pada cucu Matthew. Katakan padanya aku tidak membencinya. Tapi kuharap aku tidak pernah melihatnya lagi.”
Tubuhnya tersentak ketika tiba-tiba Madison memeluknya. Madison tidak mengatakan apapun, hanya terus terisak sampai Hayley melepaskan diri dan keluar dari rumah paling nyaman yang pernah ia tempati itu. Meninggalkan berjuta-juta kenangan dan luka. Kenangannya bersama Will, bersama Matt, dan bersama Jane.
Penerbangannya ke New York masih dua hari lagi, tetapi ia akhirnya memilih untuk membeli tiket lagi untuk hari ini. Semakin lama ia di sini, semakin hancur ia dibuatnya. Hayley menatap rumah Jane lalu Goldie’s Bookshop untuk yang terakhir kali. Ia tidak berpamitan pada Ronnie karena dua atau tiga jam lagi Ronnie pasti akan tahu apa yang terjadi. Ronnie juga pendusta, ia tidak memberitahu Hayley siapa Will sebenarnya selain peringatan-peringatan tak berguna itu.
Setelah menumpangi taksi dan sampai di bandara, Hayley memasang poker face-nya. Ia menghabiskan waktu selama perjalanan dengan menangis di dalam taksi. Semuanya selesai di sini. Ketika sampai di New York nanti, ia akan membuka lembaran baru tanpa Will. Ia akan menata hidupnya kembali tanpa Will. Ia akan melakukan hal-hal yang dulu dilakukannya tanpa Will.
Karena sebenarnya, Will tidak pernah ada.
Itu lebih baik dibanding harus menangisi keadaan.
Selamat tinggal, The Cotswolds. Tolong jaga Will untukku.
***
Sungguh aneh.
Goldie’s Bookshop belum buka di jam sepuluh pagi.
Will mengintip lewat jendela. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalam toko buku itu. Biasanya Hayley sudah sibuk merapikan buku-buku di rak atau membersihkan meja kasir. Sesuatu pasti telah terjadi.
Entah mengapa, perasaan tak enak sudah menyerang Will sejak ia bangun pagi tadi. Perasaan itu pula lah yang menuntunnya untuk ke sini. Ia yakin perasaan itu ada hubungannya dengan Hayley. Namun, sampai sekarang ia tidak tahu apa yang sedang terjadi.
Will berjalan mondar-mandir di depan toko. Ia berharap Hayley akan datang dengan senyum manis andalannya dan berkata bahwa dirinya telat bangun sehingga Goldie’s Bookshop belum juga buka. Akan tetapi, seseorang yang sekarang berdiri di hadapannya bukan Hayley, melainkan adiknya, Jeremy.
Jeremy berdiri di dekat kotak surat Goldie’s Bookshop. Will tidak menyadari kedatangan anak lelaki itu jika jaketnya tidak ditarik.
“Jer, sedang apa kau di sini? Di mana Hayley?” tanya Will tanpa babibu.
Jeremy tidak menjawab. Ia malah menyodorkan sebuah novel yang membuat Will membeku seketika. Novel The Midnight Library miliknya yang ia kira sudah hilang entah jatuh di mana. Ia menatap Jeremy dan novel itu secara bergantian, tetapi dua-duanya seperti sama-sama benda mati. Sama-sama bungkam.
Will membuka novel itu dan tangannya langsung terhenti ketika melihat sebuah paragraf yang ditebalkan oleh pena penanda. Ia tidak ingat pernah melakukan itu pada novelnya. Namun kemudian ia sadar, Hayley yang melakukannya.
Tapi mungkin semua kehidupan memang seperti itu. Mungkin bahkan kehidupan-kehidupan yang paling kelihatan intens sempurna atau yang paling layak dijalani pun akhirnya akan terasa sama. Berekar-ekar kekecewaan, kemonotonan, sakit hati, dan persaingan tapi dengan kilasan keajaiban dan keindahan.
Hayley menebalkan tulisan itu dengan pena penanda berwarna hijau neon. Bukan hanya itu saja, di bagian belakang novel terdapat sebuah tulisan tangan; sebuah surat.
Will,
Jika kau tanya apakah aku kecewa? Tentu saja. Ini menyakitkan. Kau membohongiku. Kau membiarkanku tidak mengetahui apapun tentang kehidupanmu. Aku tidak butuh roti Miss Tiana, aku tidak butuh kau mencuri sepeda, aku tidak butuh kau bertengkar dengan kelinci, aku tidak butuh teman hening. Aku hanya membutuhkan kebenaran tentang siapa kau sebenarnya. Aku hanya membutuhkanmu seutuhnya.
Kau membuatku merasa bersalah karena telah mengambilmu dari Lily dan calon anakmu. Seharusnya dari awal kau tetap pura-pura tak mengenalku, sehingga sakitnya tidak akan seperti ini. Aku tidak mau merebut kebahagiaan keluarga kecilmu, aku tidak dibesarkan untuk menjadi wanita seperti itu.
Will, waktuku bersamamu adalah waktu terbaik dalam hidupku. Tapi seperti yang Matt Haig tuliskan di novel ini, pada akhirnya semuanya akan tetap terasa sama. Menyakitkan. Waktu kita untuk bersama telah berakhir. Kau tidak akan melihatku ketika kau membaca tulisan ini. Dan kau juga tidak akan pernah melihatku lagi.
Kau pernah bilang, jika bagimu rumah bukanlah sebuah bangunan tempat di mana kita tinggal, melainkan seseorang. Kau benar, selama ini rumahmu sudah menunggu. Go home, Will. Lily and your future baby are waiting for you.
You go to yours,
and I’ll find mine.
Mungkin tidak sekarang, tapi suatu saat nanti. Suatu saat nanti, aku akan memiliki tempat pulang sendiri.
Terima kasih sudah mengubah hidupku, Teman Hening.
Hayley.
Tidak, ini semua tidak mungkin terjadi. Baru kemarin malam mereka menghabiskan waktu bersama. Will sudah memiliki banyak rencana untuk mereka. Will menggeleng kuat dan menatap Jeremy panik.
“Di mana Hayley?” tanya Will karena Jeremy tidak kunjung menjawab pertanyaan itu.
Jeremy meneteskan air mata ketika menjawab, “Dia sudah pergi. Hayley sangat kecewa, dia bilang dia tidak akan kembali.”
Will mengacak rambutnya frustasi. Dunianya terasa jungkir balik hanya dalam waktu semalam. Ini semua memang salahnya, seharusnya kebenaran itu keluar dari mulutnya di detik pertama mereka bertemu di toko buku. Tapi rasanya hal itu mustahil, Will tidak mau merusak sesuatu yang indah. Karena tidak ada lagi sesuatu yang membuatnya semangat ketika beranjak dari kasur di pagi hari selain menulis dan Hayley.
“Aku harus menyusulnya sebelum terlambat,” ucap Will penuh keyakinan. Ia hendak berlari menjauh dari Goldie’s Bookshop dan berniat menuju bandara ketika sosok Ronnie tiba-tiba menghalangi jalannya. Entah sejak kapan teman masa kecilnya itu sudah berdiri di tempat itu.
“Aku yakin seratus persen jika saat ini Hayley Lexington sudah berada di atas awan. Kau sudah terlambat, William.” Ronnie menatap Will dengan tatapan penuh benci. “Tapi, kau belum terlambat untuk satu hal, bertemu anakmu sebelum Lily membuangnya ke panti asuhan,” lanjut Ronnie.
Will memucat. “Apa maksudmu?”
Ronnie maju satu langkah mendekati Will dan tanpa diduga langsung melayangkan tinju ke arah wajah tampan itu. “Lily mengalami kontraksi dan sedang di perjalanan menuju rumah sakit. Dan setelah melahirkan anakmu, ia akan membuangnya.”
Will mengusap darah yang keluar dari hidungnya. Rasa ingin membalas pukulan itu begitu kuat. Kobaran api amarah hampir menguasai jiwanya. Namun, dengan sekuat tenaga ia mengubur amarah itu dalam-dalam.
“Pukulan itu untuk kau yang menghamili adikku,” jelas Ronnie.
“Adikmu menjebakku, asshole,” balas Will sengit.
“Kau terus mengatakan itu kepada orang-orang dan lihatlah apakah ada satu pun orang yang mempercayaimu? Tidak ada. Bahkan kakekmu sendiri pun tidak.” Ronnie tertawa mengejek.
“Jika Lily membuang anak itu, bisa kupastikan Isabel akan bernasib sama,” ancam Will. Ia menatap Ronnie sengit.
Jeremy sudah hilang entah kemana. Will tidak menyadari kepergiannya. Ia benar-benar tidak punya waktu untuk mencari Jeremy karena ia harus langsung pergi ke rumah sakit untuk menemui seseorang yang menurut Hayley adalah rumahnya.
Hayley salah besar tentang hal itu.
Karena bagi Will, tidak ada tempat yang layak disebut rumah selain berada di samping Hayley.