Read More >>"> Perhaps It Never Will (Chapter 13) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Perhaps It Never Will
MENU
About Us  

“Kau mau lagi?” tawar Will pada Hayley yang kepalanya berada di atas paha Will.

            Mereka kembali ke tempat semula, sisi jembatan sungai Eye, malam itu setelah sebelumnya berjalan ke toko roti Miss Tiana. Toko roti tersebut memang masih tutup, tapi bukan Will namanya jika tidak memiliki cara. Ia berpura-pura sakit di hadapan Miss Tiana yang sudah memakai piama tidurnya. Miss Tiana memang tidak membuka tokonya selama beberapa hari karena suaminya juga sedang sakit. Dan ketika melihat akting Will yang terlalu hebat, ia langsung menyanggupi untuk membuat dua roti.

            Dan disinilah mereka sekarang; Will duduk di sisi jembatan dengan kepala Hayley yang berada di pangkuannya.

            “Tidak, sudah kenyang,” jawab Hayley. Ia menatap ke langit, mencoba menghitung bintang-bintang yang bertebaran. “Kau selalu menawariku bagianmu, memang ingin berbagi atau mencari muka?” goda Hayley.

            Will terkekeh. Raut wajahnya bersinar begitu indah. Hayley tidak lagi tertarik menghitung bintang.

            “Kau mau tahu sesuatu?” Will menyelipkan helaian rambut Hayley ke belakang telinga.

            “Apa itu?”

            “Aku belum mencuri sepeda selama satu bulan.” Detik itu juga tawa keras menguasai sungai. Campuran tawa Hayley dan tawa Will. Yang menurut Will terdengar sempurna, bagai sereal dan susu, yang memang ditakdirkan untuk bersama.

            “Will.”

            “Ya, Love?” sahut Will.

            “Apakah aku masih bisa bertanya banyak tentangmu?” tanya Hayley agak ragu.

Mulut Will melengkung membentuk senyuman. “Itu terhitung sebagai pertanyaan. Kau punya dua kesempatan lagi.”

Hayley mengubah posisinya menjadi duduk. “Aku tidak tahu nama tengahmu.” Hayley menggigit bibir bawahnya.

            Will mendekatkan bibirnya pada telinga Hayley, membuat hawa malam itu tiba-tiba menjadi panas. “Raven, Love. Nama tengahku Raven.”

            “William Raven Morrison,” ucap Hayley. Will tidak pernah mendengar seseorang menyebutkan namanya dengan seindah itu. “Bagus,” lanjut Hayley memuji.

            “Lebih bagus dari Wilhelmina?” goda Will yang balas tersenyum miring.

            Hayley menggeleng defensif. “Tidak juga.” Will tertawa lagi, ini pertama kalinya Hayley melihat Will tertawa lebih dari satu kali selama sehari. “Oke, pertanyaan selanjutnya. Tapi, kau tidak harus menjawab kalau kau tidak mau, aku mengerti—“

            “Ask me,” potong Will menarik Hayley ke dalam pelukan.

            Hayley menempelkan telinganya di dada Will. Mendengarkan ritme detak jantung Will yang familiar. “Sewaktu di bandara, ada seseorang yang memanggilmu. Apa itu Ayahmu?”

            Wajah Will menjadi kosong. Rasa bersalah langsung menyelimuti perasaan Hayley, ia buru-buru menjauhkan diri. “Will, aku minta maaf—“

            “Bukan. Itu Paman Mark. Ayahku pergi sebelum aku lahir. Jangan merasa kasihan padaku, he was an asshole. Mom and I were better off without him,” jawab Will. Satu lengannya kembali menarik Hayley untuk mendekat. “It was always just the two of us, Mom and I. Di sini, di The Cotswolds. Mom meninggal sewaktu aku berumur lima belas. Aku masih ingat hari menyedihkan itu, aku pulang ke rumah setelah baru saja selesai membuat lirik lagu untuk band sahabatku. Aku tak sabar memberitahu Mom, dia selalu senang membaca tulisan-tulisanku. Tapi sore itu, tidak seperti biasanya, banyak tetangga yang mengelilingi rumah. Ekspresi mereka terlihat takut ketika melihat kedatanganku.”

            “Aku baru menyadari sesuatu buruk terjadi ketika Jones, sahabat Mom berkata, ‘Aku minta maaf, Will. Ibumu sudah pergi. Overdosis obat. Dia ditemukan tergeletak di ruang tamu oleh kurir surat.’ Kau mau tahu apa yang kulakukan? Tidak ada. Aku hanya berdiri diam membeku di depan pintu. Aku tidak menangis. Tidak berteriak marah. Mom memang sering meminum obat, tapi dia tidak pernah mau memberitahuku obat apa itu. Setelah kematiannya aku baru tahu, itu obat antidepresan. Aku tinggal dengan Gigi, Kakekku, sampai berumur dua puluh setelahnya, dan pindah ke London untuk mengejar karirku sebagai penulis,” jelas Will sambil menatap kosong ke arah air sungai yang warnanya hampir sama dengan warna langit malam yang gelap. Bibir bawah Will bergetar. Ternyata bertahun-tahun berlalu, hal ini tidak semakin mudah baginya.

Hayley tanpa sadar sudah mengeluarkan air matanya sejak tadi. Ia lalu menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Will dan memeluk tubuh kokoh yang rapuh itu dengan erat. Mereka hanyut dalam keheningan selama beberapa saat. Will sangat membutuhkan ini, sebuah pelukan. Ia bahkan lupa kapan terakhir kali dipeluk seperti ini. Will menghirup wangi tubuh Hayley dalam-dalam, dan pada detik itu juga ia bisa menulis ribuan kata tentang aroma apel yang menguar dari tubuh indah itu.

“Willy, hal apapun itu yang belum bisa kau beritahu padaku, kuharap itu bukan hal buruk. You’ve been through a lot. I want you to find your happiness. You deserve it. Janji?” Hayley menyodorkan jari kelingkingnya.

You are my happiness, Hayley.

            Will tidak menjawab selama beberapa saat, namun akhirnya ia mengangguk dan menautkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking Hayley sambil berkata, “I promise, Love.”

                 Lagi-lagi janji yang tidak akan bisa ditepati.

***

Madison tersenyum lebar ketika Hayley menyambutnya di depan pintu rumah Jane dengan Josephine yang tertidur di gendongannya. Beberapa detik kemudian dari belakang tubuh Madison yang semakin kurus muncul Jenna yang berlari sangat kencang ke arah Hayley dan memeluk kakak tirinya itu dengan erat sampai Hayley kesulitan bernafas.

            Jeremy, yang menggandeng tangan January dan Jillian, tersenyum tipis ketika tatapannya bertemu dengan tatapan Hayley. Tidak ada headphones yang menutupi telinganya kali ini.

            Hayley tersenyum haru melihat kedatangan keluarganya. Semuanya terasa seperti mimpi, dan jika benar ini mimpi, ia tidak mau bangun sama sekali.

            “Welcome home,” ucap Hayley lalu memeluk Madison yang menangis haru. “I’m glad you are here.”

            Madison mengangguk di dalam pelukan lalu mencium pipi Hayley sebelum melepaskan diri. “Kau kompasku, Hay. Aku pasti akan datang.”

            “Oh, sayang-sayangku,” ucap seseorang dari arah belakang Hayley.

            “Grandma!” pekik Jenna dan January bersamaan. Mereka berhambur memeluk Jane yang terlihat sangat bahagia menyambut  cucu-cucunya.

            Berbeda dengan Jenna dan January yang langsung melepas rasa rindu, Jeremy dan Jillian masih berdiri kaku di dekat pagar sambil tetap bergandengan tangan. Hayley, dengan senyuman yang sangat tulus, akhirnya berjalan menghampiri kedua anak lelaki itu.

            “Jeremy, Jillian, kalian terlihat semakin tinggi. Apa Mads memasukkan vitamin rahasia ke dalam makanan kalian? Rasanya tidak adil jika aku tidak tahu,” gurau Hayley berjongkok di hadapan adik-adik tirinya.

            Jillian menggeleng dengan polosnya. “Tidak. Mum hanya memberi kami pancake dengan parutan keju di atasnya.”

            Hayley terkekeh. “Baiklah kalau begitu, aku akan meminta Mads membuatkan itu untukku, lagipula—“

            Perkataan Hayley terpotong karena tiba-tiba tubuh Jeremy menubruk tubuhnya—Jeremy memeluknya. Hal tersebut membuat Hayley hampir terjungkal ke belakang karena tak siap, tapi untungnya ia sedang dalam keadaan seimbang. Sontak, Hayley terperangah. Jeremy tidak pernah mau memeluk siapapun kecuali Madison, itu pun hanya dalam keadaan tertentu.

            Dan sekarang, ketika merasakan tangan mungil itu melingkar di lehernya, Hayley tak bisa menahan butiran-butiran air mata yang mendesak ingin turun. Ia balas memeluk Jeremy dan mengusap lembut punggung anak lelaki itu.

            “I am so happy to see you, Jer. I missed you,” bisik Hayley lalu menarik tangan Jillian dengan lembut untuk ikut bergabung. Sehingga sekarang mereka bertiga saling memeluk satu sama lain dengan penuh sayang.

            Madison yang sejak tadi memerhatikan kejadian di hadapannya langsung memalingkan wajah ke arah lain untuk menghapus air mata. Jane akhirnya menyuruh mereka untuk masuk, ia sudah menyiapkan berbagai makanan lezat untuk merayakan kedatangan Madison dan anak-anaknya. Jenna yang sudah kelewat lapar, langsung mencomot chicken sandwich tanpa disuruh, membuat Jane tertawa geli.

            “Grandma, aku benci kereta,” ucap January tiba-tiba. Ia duduk di sebelah Jenna sambil mengunyah puding coklat.

            “Kenapa?” tanya Jane sembari menyuapkan sushi ke mulut Josephine yang sudah terbangun dari tidurnya.

            “Aku benci orang, dan di dalam kereta semuanya orang. Jadi aku benci kereta,” jawab January enteng. Jane hanya menggeleng tak percaya lalu melempar tatapan meminta penjelasan kepada Madison. Madison mengendikan bahu lalu pura-pura menyibukkan diri dengan tas nya.

            “Well, kurasa kita punya banyak persamaan. Aku juga benci orang,” sahut Hayley ikut bergabung ke meja makan. Ia tersenyum menerima sodoran piring berisi puding dari Jillian.

            “Aku juga benci orang!” seru Josephine tak mau ketinggalan. Padahal ia tak begitu paham apa yang ia katakan.

            “Aku juga!” Kali ini Jillian.

            “Kau tidak membenci orang, Jilly. Kau terlalu friendly untuk membenci,” sanggah Jenna santai.

            “Tidak, aku benci orang! Aku benci orang!” sergah Jillian tak terima. Mengacungkan garpunya ke udara.

            Keadaan menjadi sedikit tidak terkendali. Bukan Jillian saja yang berteriak, tapi juga January dan Josephine yang seperti mesin, otomatis ikut bergabung.

            “Kids!” tegur Madison. Seketika ruang makan menjadi hening. “Aku paham kalian semua lelah, jadi tolong bekerja sama lah untuk makan dengan damai dan tidak berisik. Setelah itu kalian boleh langsung beristirahat.”

            Jeremy yang sejak tadi hanya fokus pada makanannya tiba-tiba beranjak berdiri. “Aku sudah kenyang dan tidak terlalu lelah. Boleh aku jalan-jalan sebentar, Mum?” pintanya.

            Madison seperti akan mengatakan tidak ketika Jeremy meneruskan, “Tidak lama, aku hanya ingin ke rumah Matthew.”

            “Baiklah. Kau mau aku menemanimu?” tawar Madison meskipun wajahnya sudah terlihat lelah.

            Jeremy menggeleng. “Tidak perlu, Mum. Aku bisa sendiri.”

            “Good boy. Pemberani,” puji Jane tersenyum bangga. “Hati-hati, Sayang,” lanjutnya ketika Jeremy sudah berjalan keluar rumah.

            Jenna hanya menatap malas ke arah Madison dan Jane lalu menguap lebar. “Aku juga good girl dan pemberani, tapi saat ini aku sedang lelah dan sangat butuh istirahat.” Jenna menekankan kata istirahat. Membuat Hayley tidak bisa menahan kekehan geli.

            “Ayo, kau dan January tidur di kamarku,” ajak Hayley berjalan ke arah tangga menuju lantai atas.

            “Benarkah?” tanya keduanya tak percaya. Mata mereka berdua berbinar-binar.

            Hayley mengangguk. “Ayo, princesses.”

            “YEAY!” pekik Jenna dan January bersorak gembira sambil berlari menaiki tangga.

            Madison menggelengkan kepala sambil tersenyum. Tak bisa dipungkiri, ia memang sangat sedih ketika suaminya harus dipenjara meskipun ia sendiri yang melapor. Tapi rasa sedih itu setara dengan kebahagiaan dan kedamaian hati anak-anaknya ketika tidak lagi melihat pertengkaran dan kekerasan fisik di sekitar mereka.

            “Dia terlihat sangat bahagia di sini,” ujar Madison memerhatikan senyum Hayley yang lebar.

            “Yes, she does.” Jane mengangguk setuju. “Sayangnya, sebentar lagi dia harus kembali ke New York.” Ekspresinya berubah sedih setiap kali mengingat waktunya dengan Hayley yang hanya tinggal menghitung hari.

            “It will happen, Ma. New York is her home. There is no better place than home.” Madison mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru rumah; mengamati ruang tamu tempat dulu ia biasa menonton TV, tangga yang selalu ia lewati sambil berlari pagi-pagi di hari Natal, dan ruang makan tempat biasa ia mengobrol dari hati ke hati dengan Jane tentang lelaki yang ia suka.

            There is no better place than home.

Tags: twm23

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Luka Dan Perkara Cinta Diam-Diam
5303      2097     22     
Romance
Kenangan pahit yang menimpanya sewaktu kecil membuat Daniel haus akan kasih sayang. Ia tumbuh rapuh dan terus mendambakan cinta dari orang-orang sekitar. Maka, ketika Mara—sahabat perempuannya—menyatakan perasaan cinta, tanpa pikir panjang Daniel pun menerima. Sampai suatu saat, perasaan yang "salah" hadir di antara Daniel dan Mentari, adik dari sahabatnya sendiri. Keduanya pun menjalani h...
Jelita's Brownies
2915      1259     11     
Romance
Dulu, Ayahku bilang brownies ketan hitam adalah resep pertama Almarhum Nenek. Aku sangat hapal resep ini diluar kepala. Tetapi Ibuku sangat tidak suka jika aku membuat brownies. Aku pernah punya daun yang aku keringkan. Daun itu berisi tulisan resep kue-kue Nenek. Aku sadar menulis resep di atas daun kering terlihat aneh, tetapi itu menjadi sebuah pengingat antara Aku dan Nenek. Hanya saja Ib...
SORRY
14433      2740     11     
Romance
Masa SMA adalah masa yang harus dipergunakan Aluna agar waktunya tidak terbuang sia-sia. Dan mempunyai 3 (tiga) sahabat cowok yang super duper ganteng, baik, humoris nyatanya belum untuk terbilang cukup aman. Buktinya dia malah baper sama Kale, salah satu cowok di antara mereka. Hatinya tidak benar-benar aman. Sayangnya, Kale itu lagi bucin-bucinnya sama cewek yang bernama Venya, musuh bebuyutan...
Call Kinna
3897      1564     1     
Romance
Bagi Sakalla Hanggra Tanubradja (Kalla), sahabatnya yang bernama Kinnanthi Anggun Prameswari (Kinna) tidak lebih dari cewek jadi-jadian, si tomboy yang galak nan sangar. Punya badan macem triplek yang nggak ada seksinya sama sekali walau umur sudah 26. Hobi ngiler. Bakat memasak nol besar. Jauh sekali dari kriteria istri idaman. Ibarat langit dan bumi: Kalla si cowok handsome, rich, most wante...
Allura dan Dua Mantan
2957      946     1     
Romance
Kinari Allura, penulis serta pengusaha kafe. Di balik kesuksesan kariernya, dia selalu apes di dunia percintaan. Dua gagal. Namun, semua berubah sejak kehadiran Ayden Renaldy. Dia jatuh cinta lagi. Kali ini dia yakin akan menemukan kebahagiaan bersama Ayden. Sayangnya, Ayden ternyata banyak utang di pinjol. Hubungan Allura dan Ayden ditentang abis-abisan oleh Adrish Alamar serta Taqi Alfarezi -du...
Negeri Tanpa Ayah
8608      1925     0     
Inspirational
Negeri Tanpa Ayah merupakan novel inspirasi karya Hadis Mevlana. Konflik novel ini dimulai dari sebuah keluarga di Sengkang dengan sosok ayah yang memiliki watak keras dan kerap melakukan kekerasan secara fisik dan verbal terutama kepada anak lelakinya bernama Wellang. Sebuah momentum kelulusan sekolah membuat Wellang memutuskan untuk meninggalkan rumah. Dia memilih kuliah di luar kota untuk meng...
Palette
3918      1575     6     
Romance
Naga baru saja ditolak untuk kedua kalinya oleh Mbak Kasir minimarket dekat rumahnya, Dara. Di saat dia masih berusaha menata hati, sebelum mengejar Dara lagi, Naga justru mendapat kejutan. Pagi-pagi, saat baru bangun, dia malah bertemu Dara di rumahnya. Lebih mengejutkan lagi, gadis itu akan tinggal di sana bersamanya, mulai sekarang!
RUMIT
4124      1399     53     
Romance
Sebuah Novel yang menceritakan perjalanan seorang remaja bernama Azfar. Kisahnya dimulai saat bencana gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi yang menimpa kota Palu, Sigi, dan Donggala pada 28 September 2018. Dari bencana itu, Azfar berkenalan dengan seorang relawan berparas cantik bernama Aya Sofia, yang kemudian akan menjadi sahabat baiknya. Namun, persahabatan mereka justru menimbulkan rasa baru d...
Aku Benci Hujan
4944      1410     1     
Romance
“Sebuah novel tentang scleroderma, salah satu penyakit autoimun yang menyerang lebih banyak perempuan ketimbang laki-laki.” Penyakit yang dialami Kanaya bukan hanya mengubah fisiknya, tetapi juga hati dan pikirannya, serta pandangan orang-orang di sekitarnya. Dia dijauhi teman-temannya karena merasa jijik dan takut tertular. Dia kehilangan cinta pertamanya karena tak cantik lagi. Dia harus...
Hujan Paling Jujur di Matamu
5404      1483     1     
Romance
Rumah tangga Yudis dan Ratri diguncang prahara. Ternyata Ratri sudah hamil tiga bulan lebih. Padahal usia pernikahan mereka baru satu bulan. Yudis tak mampu berbuat apa-apa, dia takut jika ibunya tahu, penyakit jantungnya kambuh dan akan menjadi masalah. Meski pernikahan itu sebuah perjodohan, Ratri berusaha menjalankan tugasnya sebagai istri dengan baik dan tulus mencintai Yudis. Namun, Yudis...