Read More >>"> Perhaps It Never Will (Chapter 12) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Perhaps It Never Will
MENU
About Us  

Sudah berjam-jam Will duduk di samping ranjang dengan piring yang masih dipenuhi makanan. Sejak pagi, Lily tidak mau makan. Will sampai kehabisan ide untuk membujuknya. Karena hampir setiap hari hal seperti ini terjadi.

            Lily hanya terus merengek; ingin dipeluk, ingin dipijat kaki, ingin diusap punggung, dan masih banyak lagi. Will hampir tidak punya waktu untuk menulis. Karena jika Lily menyadari kepergian Will dari sisi wanita itu sebentar saja, ia akan langsung kembali merengek dan uring-uringan.

            “Makan, Ly. Kasihan bayinya. Jangan egois,” bujuk Will tanpa nada halus seperti biasanya. Tangan kanannya sudah siap untuk menyuapkan sesendok bubur ke mulut Lily.

            “Aku tidak mau, Will. Semua yang masuk ke mulutku rasanya aneh,” tolak Lily yang saat ini duduk bersandar pada kepala ranjang. Dihadapannya televisi menyala menayangkan film The Notebook.

            Will membuang muka ke arah lain. Tidak mau Lily melihat wajah kesalnya. Ia menarik nafas lalu mengeluarkannya perlahan terus menerus secara berulang kali.

            “Aku ke toilet dulu,” ucap Will lalu beranjak dari kursinya di sisi ranjang.

            “Jangan lama-lama,” pinta Lily merengek, lagi.

            Will tidak menjawab, ia terus melangkah ke arah toilet di rumah Lily dan baru berhenti ketika pintu di belakangnya sudah tertutup rapat. Ia bersandar pada pintu itu sambil terus mengatur nafas. Rasanya semakin hari semakin sulit. Ia ingin kembali ke kediamannya. Ia ingin kembali ke sisi Hayley.

            Will sangat merindukan wanita itu. Lebih dari apapun.

            Beban di hatinya sangat berat. Rindu tak terucap perlahan menenggelamkannya ke dasar kehancuran.

            Setiap hari, Will bertanya-tanya apa yang sedang dilakukan Hayley dan apa yang sedang dirasakannya. Apakah ia sedih? Apakah ada seseorang di sana yang menghiburnya? Will tahu Hayley pasti kecewa dengan kepergiannya yang tiba-tiba dan tanpa kabar. Tapi, hanya ini jalan satu-satunya.

            Will menatap pantulan dirinya di cermin. Perlahan, ia tertawa. Menertawakan kebodohan yang membawanya kesini dan menjeratnya ke permasalahan yang tak berujung. Sebenarnya ia bisa saja pergi dari sini dan tak pernah kembali, tetapi itu juga lah yang dilakukan Ayahnya 25 tahun yang lalu.

            Pergi meninggalkan Ibunya yang sedang hamil dirinya tanpa kabar.

            Membuangnya.

            Menelantarkannya.

            Seakan untuk lahir ke dunia saja ia tidak pantas. Tidak ada yang menginginkannya.

            Bahkan orang tuanya sendiri.

            Will menonjok dinding di samping cermin dengan keras, bersamaan dengan suara ketukan pintu dan suara Lily dari luar toilet.

            “Will, kau lama sekali di dalam. Aku mual. Boleh aku masuk?” Lily terus mengetuk pintu tanpa henti ketika Will tidak menjawab.

            Will berdeham, berusaha menyatukan dirinya kembali. “Tunggu sebentar, aku sedang melakukan hal yang tidak-tidak. Kau tidak ingin melihatnya.”

            Lily semakin mual mendengarnya. “Ew, Will.”

            Beberapa menit kemudian, Will keluar dari toilet. Ia sama sekali tidak kaget ketika melihat Lily yang masih setia berdiri di depan toilet dengan wajah ditekuk. Perut wanita itu sudah semakin membesar dibanding terakhir kali Will mengunjunginya tiga bulan lalu.

            “Masih mual?” tanya Will.

            Lily mendongak, matanya berair. Meskipun hal ini sudah sering terjadi, tetapi Will masih kesulitan untuk menghadapi mood Lily yang berubah-ubah dalam sepersekian detik.

            “Aku tidak mual. Aku hanya ingin terus bersamamu, tapi sepertinya kau tidak mau.” Lily kembali menunduk, memainkan ujung gaun tidurnya.

            Will sebisa mungkin membuat wajahnya terlihat biasa saja. Padahal sebenarnya ia ingin berteriak mengungkapkan kekesalan sekeras-kerasnya. “Lily, lihat aku.”

            Lily mendongak secara perlahan. Matanya masih berair, namun entah kenapa tidak ada dorongan untuk menghapus air mata itu seperti ketika ia melihat Hayley menangis di depan Goldie’s Bookshop kala itu.

            “Kau tidak boleh terus seperti ini. Kau egois. Tidak memikirkan bayi kit—bayi itu. Tidak memikirkan aku. Aku punya kehidupan, Ly. Aku punya pekerjaan, tidak bisa terus menerus di sini dengan kau yang seperti ini.” Rahang Will menegang ketika mengatakannya.

            Satu bulan sudah ia berada di sini, di kediaman Hughes. Menuruti permintaan Paman Mark. Dan selama itu pula lah ia tidak mendengar kabar apapun dari Hayley. Meskipun masih satu wilayah, ia tidak berani mengambil resiko. Lily masih belum berubah sejak kedatangannya, wanita hamil itu masih enggan untuk makan dan melakukan aktivitas lain selain menonton TV, tidur, dan merengek.

            Sejujurnya, Will lelah. Ia juga tak tega melihat Lily yang seperti itu, akan tetapi rasanya tidak adil jika ia terus menerus meninggalkan pekerjaan dan kewajibannya.

            “Kau selalu seperti itu, Will. Bukan kau yang hamil, tapi aku. Aku yang merasakannya, kau tidak mengerti apa-apa. Aku hanya ingin merasakan keberadaanmu di dekatku, itu saja. Aku selalu ingin berada di dekatmu. Aku... aku selalu ingin seperti itu sejak pertama kali kau memboncengku dengan sepeda lima belas tahun lalu.” Air mata berkilauan di mata Lily.

            Will menggeleng lalu tertawa tanpa humor. “Oh, cut the shit, Lily. Kita semua tahu kau menjebakku. Jangan berlagak seolah kau korban di sini.”

            “Kau juga menikmatinya malam itu!” pekik Lily. Ia mengacak-acak rambutnya seperti orang kesetanan.

            “Because I was drunk as fuck and you took advantage of it!” balas Will tak kalah keras. Ia menggertakan giginya.

            Tangis Lily semakin keras. “Kalau begitu, aku buang saja anak ini. Kalau kau tidak mau, untuk apa aku mengurusnya.”

            Will berjalan mendekati Lily hingga dadanya menempel pada dada Lily. “Don’t you dare. Bayi itu tidak salah, kau yang salah.”

            Anehnya, Lily malah tertawa. “Lihatlah dirimu, William. Mengakuinya atau tidak, aku berhasil. Aku berhasil menyentuh sesuatu di dalam dirimu yang kau harap tidak seorang pun tahu. Kelemahanmu. Kau tidak mau seperti Ayahmu. Kau tidak mau bayi ini memiliki nasib yang sama sepertimu. Dibuang.”

            That’s it.

            Will menonjok tembok di samping Lily, membuat wanita itu tersentak. Ia lalu mendekatkan bibirnya pada telinga Lily dan berbisik, “Fuck you. That kid in your womb, they deserve a better mother.”

            Karena tidak mau hilang kendali dan menyakiti fisik wanita hamil di hadapannya, Will berjalan cepat ke kamar tamu untuk mengambil barang-barangnya dan keluar dari rumah yang menurut Will bagaikan penjara itu.

            “Beritahu aku jika kau merasakan kontraksi. Aku akan menemanimu selama persalinan nanti, tapi setelah itu, selesai. Aku akan merawat anakku, sendirian,” ucap Will ketika melewati Lily yang masih berdiri kaku di depan toilet.

            Lily menangis sejadi-jadinya. Sampai Paman Mark yang berada di lantai atas berlari untuk menemuinya dan menanyakan apa yang terjadi. Ia baru menyadari apa yang terjadi tatkala melihat sosok Will yang sudah keluar melewati pagar.

            Maafkan aku dan putriku, William. Batin Paman Mark.

 

***

 

            Sore yang cukup sempurna, warna langit kemerahan yang memanjakan mata. Hembusan angin yang membuat pepohonan berdansa. Suara aliran sungai yang menentramkan jiwa. Hayley baru saja mendapat email mengenai tiket keberangkatannya ke New York sore itu. Seminggu lagi, seminggu lagi ia tidak akan duduk di sisi sungai dengan kedua kaki yang berada di dalam air seperti ini.

            Tidak seperti siang waktu itu, sore ini tidak ada remaja-remaja yang berenang di sungai. Hanya ada Hayley dan isi otaknya yang tak hentinya untuk bertanya—di mana Will?

            Ia menunduk menatap bayangan dirinya sendiri di pantulan permukaan air. Menyedihkan. Akhir-akhir ini ia tak tega melihat dirinya sendiri di depan cermin. Rasanya ingin menangisi wanita yang balas menatapnya itu yang sayangnya adalah dirinya sendiri.

            Matthew sempat menawarkan diri untuk menemaninya ke sungai, tapi meskipun tawaran itu menggiurkan hati, Hayley tetap menolak. Ia tidak bisa. Tempat itu adalah tempatnya dengan Will, jika ada seseorang yang ia inginkan untuk duduk di sebelahnya, orang itu Will.

            Toko roti Miss Tiana tutup hari ini. Biasanya, Hayley akan membeli roti itu sebelum berjalan kesini. Ia melakukan itu semua, hampir setiap hari, untuk menghalau rasa sepi yang menggerogoti.

            Karena tidak tahu harus melakukan apa lagi untuk mengisi sorenya yang sepi, Hayley memutuskan untuk berenang. Ia menanggalkan pakaiannya satu persatu hingga hanya tersisa bra dan celana dalam lalu masuk ke dalam air.

            Ia menggerakkan tangan dan kakinya mendorong air dari ujung ke ujung. Ketika kepalanya masuk ke dalam air, bayangan kerumunan orang di New York yang memanggil-manggil namanya menghantui. Bayangan wajah sedih Yasmine ketika mengatakan bahwa semuanya gagal, karir Hayley hancur dan Yasmine kehilangan pekerjaan. Bayangan wajah kemenangan Logan yang tersenyum miring dengan Jessie disampingnya.

            Hayley buru-buru keluar dari air dan menghirup udara sebanyak-banyaknya. Dadanya terasa terbakar karena terlalu lama berada di dalam air. Nafasnya masih belum teratur ketika tiba-tiba ia mendengar suara berat yang familiar.

            “Kau melupakan handukmu, Love.”

            Tanpa berpikir panjang, Hayley berbalik dan menemukan sepasang bola mata biru laut yang menatapnya.

Son of bitch,” desis Hayley lalu mencipratkan air sungai ke arah orang itu secara brutal. “Kukira kau sudah mati.”

I’m sorry, Love,” lirih Will. Sama sekali tidak menghindar dari cipratan air. “I’m sorry.”


***

Mereka berjalan dalam keheningan yang menyiksa. Hayley hanya diam sejak keluar dari dalam air dan menerima uluran handuk dari Will tadi. Sedangkan Will sendiri masih terlalu takut untuk memulai percakapan. Ia sadar bahwa banyak yang harus ia jelaskan pada Hayley sekarang, tapi entah kenapa lidahnya terasa kelu.

            Wajah Hayley datar, tidak ada emosi atau kekesalan dalam ekspresi wajahnya. Hal tersebut juga lah yang membuat Will khawatir. Ia mati-matian menahan diri untuk tidak memeluk Hayley lalu berlutut padanya saat itu juga. Ia lebih memilih Hayley marah mengungkapkan kekesalannya daripada hanya diam seperti sekarang.

            Kediaman Jane sudah tinggal beberapa meter lagi, namun Will masih belum mengatakan apapun. Sampai akhirnya, mereka melihat Ronnie yang baru saja keluar dari salah satu toko obat. Ekspresi wajah Ronnie berubah mengeras tatkala melihat Will dan Hayley yang berjalan beriringan.

            Berbeda dengan Will yang tetap berekspresi sama, tidak terpengaruh apapun.

            “Hai, Ronnie,” sapa Hayley yang terdengar jelas seperti terpaksa.

            Ronnie hanya mengangguk singkat lalu berjalan pergi tanpa melirik ke arah Will sekalipun. Hal tersebut lantas membuat Hayley akhirnya menoleh ke arah Will yang berdiri di sampingnya. Dan pada detik itu pula Will sadar jika sejak tadi Hayley tidak berekspresi datar, wajahnya dipenuhi kekecewaan. Itu lebih buruk.

            “Aku tidak punya waktu dan tenaga lagi untuk menghadapi ini semua. Jelaskan padaku apa yang terjadi atau tidak sama sekali,” ucap Hayley akhirnya.

            “Aku minta maaf.” Will menarik tangan Hayley untuk berpindah ke sisi jalan.

            Lalu hening, tidak ada kata-kata susulan.

            “Hanya itu?” tanya Hayley tak percaya. Ia menggeleng tak habis pikir. “Aku paham, Will. Kita belum mengenal satu sama lain lumayan lama. Tapi, kupikir tidak perlu mengenal seseorang terlalu dalam untuk sekedar berbicara atau mengabari bahwa kau akan pergi selama beberapa waktu. Aku khawatir setengah mati, kau tahu? Yang parahnya lagi, kau ingkar janji. Aku menunggumu di jembatan siang itu. Kau membuatku sadar bahwa kehadiranku tidak terlalu penting bagimu.”

            “Love, jangan berbicara seperti itu.” Will memohon.

            “Kupikir kita teman. Kupikir... Oh Tuhan.” Wajah Hayley memerah, matanya dibanjiri air mata. Kebenaran-kebenaran mulai menyadarkannya. Selama ini, ia terlalu terobsesi dengan idenya tentang Will. Ia terlalu berharap lebih pada Will. Padahal ia tahu betul bahwa berharap pada sesama manusia hanya akan berakhir dengan kekecewaan. Sampai-sampai perkataan Ronnie pun tidak ia pikirkan. Ia menganggap sosok Will adalah penyelamat bagi hidupnya yang berantakan, padahal Will hanyalah orang asing yang kebetulan menolongnya di bandara. Will hanya kesepian dan kebetulan Hayley datang di hidupnya.

            Meskipun di dunia ini tidak ada yang namanya kebetulan, tetapi untuk saat ini Hayley tidak percaya akan hal itu.

            Will dibuat hancur melihat air mata Hayley yang kini turun membasahi pipi. Ia merutuki dirinya sendiri di dalam hati. Bukan hanya Lily saja yang ia sakiti, tapi juga Hayley.

            “Love—“

            “Jangan memanggilku dengan sebutan itu,” potong Hayley menggeleng tak terima. “Kedengarannya seperti hinaan, kau tidak bersungguh-sungguh mengatakannya.”

            Will menarik nafas dalam-dalam. “Hayley, pertama, aku benar-benar minta maaf. Siang itu aku sama sekali tidak melupakan janjiku untuk menemuimu di jembatan. Ada sesuatu mendadak yang harus kuhadapi, aku belum bisa mengatakan sesuatu itu padamu. Tidak sekarang, tapi aku janji akan memberitahumu di waktu yang tepat nanti.”

            “Aku sadar aku mengacaukan semuanya. Tapi yang harus kau ketahui adalah bahwa kau sangat berarti bagiku. You are my muse, Hay. The inspiration of my writing. You’re my silent-friend. And I realized that want us to be more than that.

            Hayley menatap ke langit yang sudah mulai menggelap. “Aku tidak tahu apa-apa tentangmu, Will. Kau tidak pernah memberiku kesempatan untuk mencari tahu. Kau selalu menutup rapat pintu masuk ke dalam dirimu.”

            “Ask me now. Ask me anything.” Ekspresinya terbuka, otot-otot di wajahnya mengendur.

            Hayley mengamati wajah itu dengan seksama. Tangannya terangkat untuk mengusap rahang kokoh pria itu. Kantung mata Will terlihat membesar, ternyata bukan hanya dirinya saja yang kesulitan tidur selama ini. Dahi Will mengerut, menampakkan lipatan-lipatan yang dengan cepat menghilang ketika Hayley mengusapnya dengan lembut.

            “Who are you, William Morrison?” tanya Hayley dengan suara yang sangat pelan.

            Will menyentuh pergelangan tangan Hayley yang masih berada di wajahnya. “I am who you want me to be.”

            Hayley menggeleng. “Do you remember me?” tanya Hayley yang membuat Will membeku. “Do you know who I really am, Will?” lanjut Hayley yang kini mengusapkan hidungnya di pipi Will.

            Ada jeda selama beberapa saat yang Will gunakan untuk memejamkan mata, merasakan sentuhan lembut Hayley yang memabukkan. “Hayley Wilhelmina Lexington. Aktor Amerika yang dijebak oleh mantan pacarnya sendiri, Si Bangsat Logan. Kau berada di sini karena skandal sampah itu. Tapi bagiku, kau bukan orang itu. Kau hanya Hayley, kasir Goldie’s Bookshop tercantik di The Cotswolds. Kau teman heningku yang rela keluar rumah tengah malam hanya untuk mengobrolkan hal tak penting denganku.”

            “I remember you, Love. I really do. I mean, how can I not? Kau tidak pernah pergi dari pikiranku sejak kejadian di bandara itu,” jelas Will. Kedua tangannya kini berada di pinggang Hayley, menarik wanita itu lebih dekat.

            Hayley mendongak menatap Will yang sudah menatapnya dalam-dalam sejak tadi. Mata Hayley sedikit melebar mendengar penjelasan di luar dugaan itu. “Tapi, tapi kau tidak mengenaliku ketika pertama kali kita bertemu di toko buku.”

            “I had to. Aku tidak tahu perasaan apa yang ada di dalam hatiku tentangmu saat itu. Dan kupikir, dengan pura-pura tidak mengenalimu, semuanya akan terasa lebih baik. Kau seorang aktor terkenal, aku hanya penulis yang dikenal dengan nama pena yang hidupnya berantakan. Kita tidak punya kesempatan. Tapi, aku tidak bisa berhenti untuk terus ingin bersamamu. Aku tidak tahu cara menghentikannya.” Will tidak lagi menatap mata Hayley, terlalu berat baginya. Ia menatap ke arah lain, ke perkebunan hijau yang dilahap langit malam.

            Mungkin itu pula lah yang dirasakan Lily terhadapnya.

            Dan mungkin juga, ini karma untuknya.

            “Kau selalu buru-buru ketika bertemu denganku, apa alasan sebenarnya?” tanya Hayley lagi.

            “Ini mungkin terdengar aneh, tapi setiap kali aku melihat wajahmu, mendengar suaramu, dan berada di dekatmu, ribuan kata-kata indah terlintas di pikiranku. Aku ingin buru-buru menuangkannya ke dalam tulisan, takut-takut semuanya menghilang dengan memori tentangmu di dalamnya. Aku ingin mengabadikanmu di dalam tulisan, Hayley. Agar suatu saat ketika kau pergi, bagian dari dirimu akan selamanya menjadi milikku.”

            Hayley tidak bisa menahannya lagi. Ia mendaratkan bibirnya pada bibir Will. Membuat lelaki itu tersentak selama beberapa detik sebelum akhirnya membalas ciuman itu. Hayley mengalungkan kedua lengannya di leher Will, mendekatkan diri pada tubuh kokoh itu semampu yang ia bisa. Ia membiarkan Will menguasai bibir dan jiwanya, menaruh seluruh kepercayaannya melalui sentuhan antar bibir itu.

            Will dan Hayley hanyut dalam dunia mereka. Mereka tak menyadari tatapan sedih Jane yang sejak tadi berdiri di dalam toko obat tempat Ronnie beberapa menit lalu berdiri.



Tags: twm23

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Luka Dan Perkara Cinta Diam-Diam
5304      2097     22     
Romance
Kenangan pahit yang menimpanya sewaktu kecil membuat Daniel haus akan kasih sayang. Ia tumbuh rapuh dan terus mendambakan cinta dari orang-orang sekitar. Maka, ketika Mara—sahabat perempuannya—menyatakan perasaan cinta, tanpa pikir panjang Daniel pun menerima. Sampai suatu saat, perasaan yang "salah" hadir di antara Daniel dan Mentari, adik dari sahabatnya sendiri. Keduanya pun menjalani h...
Reminisensi
0      0     0     
Fan Fiction
Tentang berteman dengan rasa kecewa, mengenang kisah-kisah dimasa lampau dan merayakan patah hati bersama. Mereka, dua insan manusia yang dipertemukan semesta, namun bukan untuk bersama melainkan untuk sekedar mengenalkan berbagai rasa dalam hidup.
SORRY
14450      2756     11     
Romance
Masa SMA adalah masa yang harus dipergunakan Aluna agar waktunya tidak terbuang sia-sia. Dan mempunyai 3 (tiga) sahabat cowok yang super duper ganteng, baik, humoris nyatanya belum untuk terbilang cukup aman. Buktinya dia malah baper sama Kale, salah satu cowok di antara mereka. Hatinya tidak benar-benar aman. Sayangnya, Kale itu lagi bucin-bucinnya sama cewek yang bernama Venya, musuh bebuyutan...
RUMIT
4124      1399     53     
Romance
Sebuah Novel yang menceritakan perjalanan seorang remaja bernama Azfar. Kisahnya dimulai saat bencana gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi yang menimpa kota Palu, Sigi, dan Donggala pada 28 September 2018. Dari bencana itu, Azfar berkenalan dengan seorang relawan berparas cantik bernama Aya Sofia, yang kemudian akan menjadi sahabat baiknya. Namun, persahabatan mereka justru menimbulkan rasa baru d...
SURGA DALAM SEBOTOL VODKA
6454      1559     6     
Romance
Dari jaman dulu hingga sekarang, posisi sebagai anak masih kerap kali terjepit. Di satu sisi, anak harus mengikuti kemauan orang tua jikalau tak mau dianggap durhaka. Di sisi lain, anak juga memiliki keinginannya sendiri sesuai dengan tingkat perkembangan usianya. Lalu bagaimanakah jika keinginan anak dan orang tua saling bertentangan? Terlahir di tengah keluarga yang kaya raya tak membuat Rev...
Bumi yang Dihujani Rindu
4947      1921     3     
Romance
Sinopsis . Kiara, gadis bermata biru pemilik darah Rusia Aceh tengah dilanda bahagia. Sofyan, teman sekampusnya di University of Saskatchewan, kini menjawab rasa rindu yang selama ini diimpikannya untuk menjalin sebuah ikatan cinta. Tak ada lagi yang menghalangi keduanya. Om Thimoty, ayah Kiara, yang semula tak bisa menerima kenyataan pahit bahwa putri semata wayangnya menjelma menjadi seorang ...
When Magenta Write Their Destiny
3803      1196     0     
Romance
Magenta=Marina, Aini, Gabriella, Erika, dan Benita. 5 gadis cantik dengan kisah cintanya masing-masing. Mereka adalah lima sahabat yang memiliki kisah cinta tak biasa. Marina mencintai ayah angkatnya sendiri. Gabriella, anak sultan yang angkuh itu, nyatanya jatuh ke pelukan sopir bus yang juga kehilangan ketampanannya. Aini dengan sifat dingin dan tomboynya malah jatuh hati pada pria penyintas d...
Seutas Benang Merah Pada Rajut Putih
1025      539     1     
Mystery
Kakak beradik Anna dan Andi akhirnya hidup bebas setelah lepas dari harapan semu pada Ayah mereka Namun kehidupan yang damai itu tidak berlangsung lama Seseorang dari masa lalu datang menculik Anna dan berniat memisahkan mereka Siapa dalang dibalik penculikan Anna Dapatkah Anna membebaskan diri dan kembali menjalani kehidupannya yang semula dengan adiknya Dalam usahanya Anna akan menghadap...
Call Kinna
3903      1564     1     
Romance
Bagi Sakalla Hanggra Tanubradja (Kalla), sahabatnya yang bernama Kinnanthi Anggun Prameswari (Kinna) tidak lebih dari cewek jadi-jadian, si tomboy yang galak nan sangar. Punya badan macem triplek yang nggak ada seksinya sama sekali walau umur sudah 26. Hobi ngiler. Bakat memasak nol besar. Jauh sekali dari kriteria istri idaman. Ibarat langit dan bumi: Kalla si cowok handsome, rich, most wante...
Aku Istri Rahasia Suamiku
8219      1886     1     
Romance
Syifa seorang gadis yang ceria dan baik hati, kini harus kehilangan masa mudanya karena kesalahan yang dia lakukan bersama Rudi. Hanya karena perasaan cinta dia rela melakukan hubungan terlarang dengan Rudi, yang membuat dirinya hamil di luar nikah. Hanya karena ingin menutupi kehamilannya, Syifa mulai menutup diri dari keluarga dan lingkungannya. Setiap wanita yang telah menikah pasti akan ...