Sudah
berjam-jam Will duduk di samping ranjang dengan piring yang masih dipenuhi
makanan. Sejak pagi, Lily tidak mau makan. Will sampai kehabisan ide untuk
membujuknya. Karena hampir setiap hari hal seperti ini terjadi.
Lily hanya terus merengek; ingin
dipeluk, ingin dipijat kaki, ingin diusap punggung, dan masih banyak lagi. Will
hampir tidak punya waktu untuk menulis. Karena jika Lily menyadari kepergian
Will dari sisi wanita itu sebentar saja, ia akan langsung kembali merengek dan
uring-uringan.
“Makan, Ly. Kasihan bayinya. Jangan
egois,” bujuk Will tanpa nada halus seperti biasanya. Tangan kanannya sudah
siap untuk menyuapkan sesendok bubur ke mulut Lily.
“Aku tidak mau, Will. Semua yang
masuk ke mulutku rasanya aneh,” tolak Lily yang saat ini duduk bersandar pada
kepala ranjang. Dihadapannya televisi menyala menayangkan film The Notebook.
Will membuang muka ke arah lain.
Tidak mau Lily melihat wajah kesalnya. Ia menarik nafas lalu mengeluarkannya
perlahan terus menerus secara berulang kali.
“Aku ke toilet dulu,” ucap Will lalu
beranjak dari kursinya di sisi ranjang.
“Jangan lama-lama,” pinta Lily
merengek, lagi.
Will tidak menjawab, ia terus
melangkah ke arah toilet di rumah Lily dan baru berhenti ketika pintu di
belakangnya sudah tertutup rapat. Ia bersandar pada pintu itu sambil terus
mengatur nafas. Rasanya semakin hari semakin sulit. Ia ingin kembali ke
kediamannya. Ia ingin kembali ke sisi Hayley.
Will sangat merindukan wanita itu.
Lebih dari apapun.
Beban di hatinya sangat berat. Rindu
tak terucap perlahan menenggelamkannya ke dasar kehancuran.
Setiap hari, Will bertanya-tanya apa
yang sedang dilakukan Hayley dan apa yang sedang dirasakannya. Apakah ia sedih?
Apakah ada seseorang di sana yang menghiburnya? Will tahu Hayley pasti kecewa
dengan kepergiannya yang tiba-tiba dan tanpa kabar. Tapi, hanya ini jalan
satu-satunya.
Will menatap pantulan dirinya di
cermin. Perlahan, ia tertawa. Menertawakan kebodohan yang membawanya kesini dan
menjeratnya ke permasalahan yang tak berujung. Sebenarnya ia bisa saja pergi
dari sini dan tak pernah kembali, tetapi itu juga lah yang dilakukan Ayahnya 25
tahun yang lalu.
Pergi meninggalkan Ibunya yang
sedang hamil dirinya tanpa kabar.
Membuangnya.
Menelantarkannya.
Seakan untuk lahir ke dunia saja ia
tidak pantas. Tidak ada yang menginginkannya.
Bahkan orang tuanya sendiri.
Will menonjok dinding di samping
cermin dengan keras, bersamaan dengan suara ketukan pintu dan suara Lily dari
luar toilet.
“Will, kau lama sekali di dalam. Aku
mual. Boleh aku masuk?” Lily terus mengetuk pintu tanpa henti ketika Will tidak
menjawab.
Will berdeham, berusaha menyatukan
dirinya kembali. “Tunggu sebentar, aku sedang melakukan hal yang tidak-tidak.
Kau tidak ingin melihatnya.”
Lily semakin mual mendengarnya. “Ew,
Will.”
Beberapa menit kemudian, Will keluar
dari toilet. Ia sama sekali tidak kaget ketika melihat Lily yang masih setia
berdiri di depan toilet dengan wajah ditekuk. Perut wanita itu sudah semakin
membesar dibanding terakhir kali Will mengunjunginya tiga bulan lalu.
“Masih mual?” tanya Will.
Lily mendongak, matanya berair.
Meskipun hal ini sudah sering terjadi, tetapi Will masih kesulitan untuk
menghadapi mood Lily yang berubah-ubah
dalam sepersekian detik.
“Aku tidak mual. Aku hanya ingin
terus bersamamu, tapi sepertinya kau tidak mau.” Lily kembali menunduk,
memainkan ujung gaun tidurnya.
Will sebisa mungkin membuat wajahnya
terlihat biasa saja. Padahal sebenarnya ia ingin berteriak mengungkapkan
kekesalan sekeras-kerasnya. “Lily, lihat aku.”
Lily mendongak secara perlahan.
Matanya masih berair, namun entah kenapa tidak ada dorongan untuk menghapus air
mata itu seperti ketika ia melihat Hayley menangis di depan Goldie’s Bookshop
kala itu.
“Kau tidak boleh terus seperti ini.
Kau egois. Tidak memikirkan bayi kit—bayi itu. Tidak memikirkan aku. Aku punya
kehidupan, Ly. Aku punya pekerjaan, tidak bisa terus menerus di sini dengan
kau yang seperti ini.” Rahang Will menegang ketika mengatakannya.
Satu bulan sudah ia berada di sini,
di kediaman Hughes. Menuruti permintaan Paman Mark. Dan selama itu pula lah ia
tidak mendengar kabar apapun dari Hayley. Meskipun masih satu wilayah, ia tidak
berani mengambil resiko. Lily masih belum berubah sejak kedatangannya, wanita
hamil itu masih enggan untuk makan dan melakukan aktivitas lain selain menonton
TV, tidur, dan merengek.
Sejujurnya, Will lelah. Ia juga tak
tega melihat Lily yang seperti itu, akan tetapi rasanya tidak adil jika ia
terus menerus meninggalkan pekerjaan dan kewajibannya.
“Kau selalu seperti itu, Will. Bukan
kau yang hamil, tapi aku. Aku yang merasakannya, kau tidak mengerti apa-apa.
Aku hanya ingin merasakan keberadaanmu di dekatku, itu saja. Aku selalu ingin
berada di dekatmu. Aku... aku selalu ingin seperti itu sejak pertama kali kau
memboncengku dengan sepeda lima belas tahun lalu.” Air mata berkilauan di mata
Lily.
Will menggeleng lalu tertawa tanpa
humor. “Oh, cut the shit, Lily. Kita
semua tahu kau menjebakku. Jangan berlagak seolah kau korban di sini.”
“Kau juga menikmatinya malam itu!”
pekik Lily. Ia mengacak-acak rambutnya seperti orang kesetanan.
“Because
I was drunk as fuck and you took advantage of it!” balas Will tak kalah
keras. Ia menggertakan giginya.
Tangis Lily semakin keras. “Kalau
begitu, aku buang saja anak ini. Kalau kau tidak mau, untuk apa aku
mengurusnya.”
Will berjalan mendekati Lily hingga
dadanya menempel pada dada Lily. “Don’t
you dare. Bayi itu tidak salah, kau yang salah.”
Anehnya, Lily malah tertawa.
“Lihatlah dirimu, William. Mengakuinya atau tidak, aku berhasil. Aku berhasil
menyentuh sesuatu di dalam dirimu yang kau harap tidak seorang pun tahu.
Kelemahanmu. Kau tidak mau seperti Ayahmu. Kau tidak mau bayi ini memiliki
nasib yang sama sepertimu. Dibuang.”
That’s
it.
Will menonjok tembok di samping
Lily, membuat wanita itu tersentak. Ia lalu mendekatkan bibirnya pada telinga
Lily dan berbisik, “Fuck you. That kid in
your womb, they deserve a better mother.”
Karena tidak mau hilang kendali dan
menyakiti fisik wanita hamil di hadapannya, Will berjalan cepat ke kamar tamu
untuk mengambil barang-barangnya dan keluar dari rumah yang menurut Will
bagaikan penjara itu.
“Beritahu aku jika kau merasakan
kontraksi. Aku akan menemanimu selama persalinan nanti, tapi setelah itu,
selesai. Aku akan merawat anakku, sendirian,” ucap Will ketika melewati Lily
yang masih berdiri kaku di depan toilet.
Lily menangis sejadi-jadinya. Sampai
Paman Mark yang berada di lantai atas berlari untuk menemuinya dan menanyakan
apa yang terjadi. Ia baru menyadari apa yang terjadi tatkala melihat sosok Will
yang sudah keluar melewati pagar.
Maafkan
aku dan putriku, William. Batin Paman Mark.
***
Sore yang cukup sempurna, warna
langit kemerahan yang memanjakan mata. Hembusan angin yang membuat pepohonan
berdansa. Suara aliran sungai yang menentramkan jiwa. Hayley baru saja mendapat
email mengenai tiket keberangkatannya
ke New York sore itu. Seminggu lagi, seminggu lagi ia tidak akan duduk di sisi
sungai dengan kedua kaki yang berada di dalam air seperti ini.
Tidak seperti siang waktu itu, sore
ini tidak ada remaja-remaja yang berenang di sungai. Hanya ada Hayley dan isi
otaknya yang tak hentinya untuk bertanya—di mana Will?
Ia menunduk menatap bayangan dirinya
sendiri di pantulan permukaan air. Menyedihkan. Akhir-akhir ini ia tak tega
melihat dirinya sendiri di depan cermin. Rasanya ingin menangisi wanita yang
balas menatapnya itu yang sayangnya adalah dirinya sendiri.
Matthew sempat menawarkan diri untuk
menemaninya ke sungai, tapi meskipun tawaran itu menggiurkan hati, Hayley tetap
menolak. Ia tidak bisa. Tempat itu adalah tempatnya dengan Will, jika ada
seseorang yang ia inginkan untuk duduk di sebelahnya, orang itu Will.
Toko roti Miss Tiana tutup hari ini.
Biasanya, Hayley akan membeli roti itu sebelum berjalan kesini. Ia melakukan
itu semua, hampir setiap hari, untuk menghalau rasa sepi yang menggerogoti.
Karena tidak tahu harus melakukan
apa lagi untuk mengisi sorenya yang sepi, Hayley memutuskan untuk berenang. Ia
menanggalkan pakaiannya satu persatu hingga hanya tersisa bra dan celana dalam lalu masuk ke dalam air.
Ia menggerakkan tangan dan kakinya
mendorong air dari ujung ke ujung. Ketika kepalanya masuk ke dalam air,
bayangan kerumunan orang di New York yang memanggil-manggil namanya menghantui.
Bayangan wajah sedih Yasmine ketika mengatakan bahwa semuanya gagal, karir
Hayley hancur dan Yasmine kehilangan pekerjaan. Bayangan wajah kemenangan Logan
yang tersenyum miring dengan Jessie disampingnya.
Hayley buru-buru keluar dari air dan
menghirup udara sebanyak-banyaknya. Dadanya terasa terbakar karena terlalu lama
berada di dalam air. Nafasnya masih belum teratur ketika tiba-tiba ia mendengar
suara berat yang familiar.
“Kau melupakan handukmu, Love.”
Tanpa berpikir panjang, Hayley
berbalik dan menemukan sepasang bola mata biru laut yang menatapnya.
“Son of bitch,” desis Hayley lalu mencipratkan air sungai ke arah orang itu secara brutal. “Kukira kau sudah mati.”
“I’m sorry, Love,” lirih Will. Sama sekali tidak menghindar dari cipratan air. “I’m sorry.”
***
Mereka
berjalan dalam keheningan yang menyiksa. Hayley hanya diam sejak keluar dari
dalam air dan menerima uluran handuk dari Will tadi. Sedangkan Will sendiri
masih terlalu takut untuk memulai percakapan. Ia sadar bahwa banyak yang harus
ia jelaskan pada Hayley sekarang, tapi entah kenapa lidahnya terasa kelu.
Wajah Hayley datar, tidak ada emosi
atau kekesalan dalam ekspresi wajahnya. Hal tersebut juga lah yang membuat Will
khawatir. Ia mati-matian menahan diri untuk tidak memeluk Hayley lalu berlutut
padanya saat itu juga. Ia lebih memilih Hayley marah mengungkapkan kekesalannya
daripada hanya diam seperti sekarang.
Kediaman Jane sudah tinggal beberapa
meter lagi, namun Will masih belum mengatakan apapun. Sampai akhirnya, mereka
melihat Ronnie yang baru saja keluar dari salah satu toko obat. Ekspresi wajah
Ronnie berubah mengeras tatkala melihat Will dan Hayley yang berjalan
beriringan.
Berbeda dengan Will yang tetap
berekspresi sama, tidak terpengaruh apapun.
“Hai, Ronnie,” sapa Hayley yang
terdengar jelas seperti terpaksa.
Ronnie hanya mengangguk singkat lalu
berjalan pergi tanpa melirik ke arah Will sekalipun. Hal tersebut lantas
membuat Hayley akhirnya menoleh ke arah Will yang berdiri di sampingnya. Dan
pada detik itu pula Will sadar jika sejak tadi Hayley tidak berekspresi datar,
wajahnya dipenuhi kekecewaan. Itu lebih buruk.
“Aku tidak punya waktu dan tenaga
lagi untuk menghadapi ini semua. Jelaskan padaku apa yang terjadi atau tidak
sama sekali,” ucap Hayley akhirnya.
“Aku minta maaf.” Will menarik
tangan Hayley untuk berpindah ke sisi jalan.
Lalu hening, tidak ada kata-kata
susulan.
“Hanya itu?” tanya Hayley tak
percaya. Ia menggeleng tak habis pikir. “Aku paham, Will. Kita belum mengenal
satu sama lain lumayan lama. Tapi, kupikir tidak perlu mengenal seseorang
terlalu dalam untuk sekedar berbicara atau mengabari bahwa kau akan pergi
selama beberapa waktu. Aku khawatir setengah mati, kau tahu? Yang parahnya
lagi, kau ingkar janji. Aku menunggumu di jembatan siang itu. Kau membuatku
sadar bahwa kehadiranku tidak terlalu penting bagimu.”
“Love,
jangan berbicara seperti itu.” Will memohon.
“Kupikir kita teman. Kupikir... Oh
Tuhan.” Wajah Hayley memerah, matanya dibanjiri air mata. Kebenaran-kebenaran
mulai menyadarkannya. Selama ini, ia terlalu terobsesi dengan idenya tentang
Will. Ia terlalu berharap lebih pada Will. Padahal ia tahu betul bahwa berharap
pada sesama manusia hanya akan berakhir dengan kekecewaan. Sampai-sampai
perkataan Ronnie pun tidak ia pikirkan. Ia menganggap sosok Will adalah
penyelamat bagi hidupnya yang berantakan, padahal Will hanyalah orang asing
yang kebetulan menolongnya di bandara. Will hanya kesepian dan kebetulan Hayley
datang di hidupnya.
Meskipun di dunia ini tidak ada yang
namanya kebetulan, tetapi untuk saat ini Hayley tidak percaya akan hal itu.
Will dibuat hancur melihat air mata
Hayley yang kini turun membasahi pipi. Ia merutuki dirinya sendiri di dalam
hati. Bukan hanya Lily saja yang ia sakiti, tapi juga Hayley.
“Love—“
“Jangan memanggilku dengan sebutan
itu,” potong Hayley menggeleng tak terima. “Kedengarannya seperti hinaan, kau
tidak bersungguh-sungguh mengatakannya.”
Will menarik nafas dalam-dalam.
“Hayley, pertama, aku benar-benar minta maaf. Siang itu aku sama sekali tidak
melupakan janjiku untuk menemuimu di jembatan. Ada sesuatu mendadak yang harus
kuhadapi, aku belum bisa mengatakan sesuatu itu padamu. Tidak sekarang, tapi
aku janji akan memberitahumu di waktu yang tepat nanti.”
“Aku sadar aku mengacaukan semuanya.
Tapi yang harus kau ketahui adalah bahwa kau sangat berarti bagiku. You are my muse, Hay. The inspiration of my
writing. You’re my silent-friend. And I realized that want us to be more than
that.”
Hayley menatap ke langit yang sudah
mulai menggelap. “Aku tidak tahu apa-apa tentangmu, Will. Kau tidak pernah
memberiku kesempatan untuk mencari tahu. Kau selalu menutup rapat pintu masuk
ke dalam dirimu.”
“Ask
me now. Ask me anything.” Ekspresinya terbuka, otot-otot di wajahnya
mengendur.
Hayley mengamati wajah itu dengan
seksama. Tangannya terangkat untuk mengusap rahang kokoh pria itu. Kantung mata
Will terlihat membesar, ternyata bukan hanya dirinya saja yang kesulitan tidur
selama ini. Dahi Will mengerut, menampakkan lipatan-lipatan yang dengan cepat
menghilang ketika Hayley mengusapnya dengan lembut.
“Who
are you, William Morrison?” tanya Hayley dengan suara yang sangat pelan.
Will menyentuh pergelangan tangan
Hayley yang masih berada di wajahnya. “I
am who you want me to be.”
Hayley menggeleng. “Do you remember me?” tanya Hayley yang
membuat Will membeku. “Do you know who I
really am, Will?” lanjut Hayley yang kini mengusapkan hidungnya di pipi
Will.
Ada jeda selama beberapa saat yang
Will gunakan untuk memejamkan mata, merasakan sentuhan lembut Hayley yang
memabukkan. “Hayley Wilhelmina Lexington. Aktor Amerika yang dijebak oleh
mantan pacarnya sendiri, Si Bangsat Logan. Kau berada di sini karena skandal
sampah itu. Tapi bagiku, kau bukan orang itu. Kau hanya Hayley, kasir Goldie’s
Bookshop tercantik di The Cotswolds. Kau teman heningku yang rela keluar rumah tengah
malam hanya untuk mengobrolkan hal tak penting denganku.”
“I
remember you, Love. I really do. I mean, how can I not? Kau tidak pernah
pergi dari pikiranku sejak kejadian di bandara itu,” jelas Will. Kedua
tangannya kini berada di pinggang Hayley, menarik wanita itu lebih dekat.
Hayley mendongak menatap Will yang
sudah menatapnya dalam-dalam sejak tadi. Mata Hayley sedikit melebar mendengar
penjelasan di luar dugaan itu. “Tapi, tapi kau tidak mengenaliku ketika pertama
kali kita bertemu di toko buku.”
“I
had to. Aku tidak tahu perasaan apa yang ada di dalam hatiku tentangmu saat
itu. Dan kupikir, dengan pura-pura tidak mengenalimu, semuanya akan terasa
lebih baik. Kau seorang aktor terkenal, aku hanya penulis yang dikenal dengan
nama pena yang hidupnya berantakan. Kita tidak punya kesempatan. Tapi, aku
tidak bisa berhenti untuk terus ingin bersamamu. Aku tidak tahu cara
menghentikannya.” Will tidak lagi menatap mata Hayley, terlalu berat baginya.
Ia menatap ke arah lain, ke perkebunan hijau yang dilahap langit malam.
Mungkin itu pula lah yang dirasakan
Lily terhadapnya.
Dan mungkin juga, ini karma
untuknya.
“Kau selalu buru-buru ketika bertemu
denganku, apa alasan sebenarnya?” tanya Hayley lagi.
“Ini mungkin terdengar aneh, tapi
setiap kali aku melihat wajahmu, mendengar suaramu, dan berada di dekatmu,
ribuan kata-kata indah terlintas di pikiranku. Aku ingin buru-buru
menuangkannya ke dalam tulisan, takut-takut semuanya menghilang dengan memori
tentangmu di dalamnya. Aku ingin mengabadikanmu di dalam tulisan, Hayley. Agar
suatu saat ketika kau pergi, bagian dari dirimu akan selamanya menjadi
milikku.”
Hayley tidak bisa menahannya lagi.
Ia mendaratkan bibirnya pada bibir Will. Membuat lelaki itu tersentak selama
beberapa detik sebelum akhirnya membalas ciuman itu. Hayley mengalungkan kedua
lengannya di leher Will, mendekatkan diri pada tubuh kokoh itu semampu yang ia
bisa. Ia membiarkan Will menguasai bibir dan jiwanya, menaruh seluruh kepercayaannya
melalui sentuhan antar bibir itu.
Will dan Hayley hanyut dalam dunia mereka. Mereka tak menyadari tatapan sedih Jane yang sejak tadi berdiri di dalam toko obat tempat Ronnie beberapa menit lalu berdiri.