Read More >>"> Perhaps It Never Will (Chapter 14) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Perhaps It Never Will
MENU
About Us  

           “Jeremy! Sejak kapan kau berdiri di situ?” tanya Matt yang baru kembali dari peternakan. Ia hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya; Jeremy yang berdiri kaku di depan pintu rumahnya.

            “Sekitar satu jam yang lalu, entahlah aku tidak memakai jam,” jawab Jeremy mengendikan bahu.

            “Halo, Nak. Kapan kau sampai?” Matthew memeluk singkat tubuh Jeremy sembari mengusap pucuk kepalanya lalu membuka pintu rumah.

            “Satu jam yang lalu atau entahlah aku tidak memakai jam.” Ia mengikuti Matthew masuk ke dalam rumah.

            Matt langsung membalikkan badan untuk menatap Jeremy. “Benarkah? Dan kau langsung kesini?”

            Jeremy mengangguk pelan. “Aku hanya ingin berjalan-jalan menghirup udara segar, tapi sepertinya alasan itu kurang pas bagi Mum. Jadi, aku bilang aku akan pergi ke rumahmu. Dan aku tidak pernah bohong.”

            “Duduklah,” titah Matthew. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman melihat bocah lelaki di hadapannya.

            Jeremy menurut. Ia duduk di sofa lalu memejamkan mata. Sebenarnya ia tidak pernah tidak bohong. Contohnya seperti sekarang, ia sebenarnya sangat lelah. Tapi, suara adik-adiknya benar-benar membuatnya pusing. Ia ingin kedamaian walaupun hanya sebentar dan rumah Matthew adalah tempat yang cocok. Ia tadinya ingin mengajak Hayley karena entah kenapa dirinya ingin terus berada di dekat Hayley. Mungkin karena rindu atau semacamnya, ia tidak tahu. Namun, Jenna pasti akan protes jika kakak kesayangannya direbut.

            Rumah Matthew sangat sepi karena hanya dihuni oleh Matthew seorang diri. Barang-barangnya pun tidak sebanyak barang di rumah Jane. Jeremy kadang bertanya-tanya, apakah Matthew tidak merasa kesepian jika terus menghabiskan hari-harinya seorang diri seperti ini? Tidak ada suara tawa, tidak ada televisi, tidak ada suara ocehan Mum, dan tidak melihat wajah siapapun ketika bangun pagi.

            Jeremy membuka mata ketika merasakan kehadiran seseorang. Matt sudah kembali ke ruang tamu dengan pakaian yang lebih bersih dan membawa dua cangkir teh hangat lalu meletakannya di meja. Ia tidak mengatakan apapun dan langsung mengambil tempat duduk di sebelah Jeremy.

            “Bagaimana kau melakukannya?” tanya Jeremy tiba-tiba. Ia menatap kosong ke arah langit-langit ruangan.

            “Melakukan apa?”

            “Ini.” Jeremy menunjuk ke sekelilingnya. “Hidup sendirian.”

            Matthew menyeruput tehnya sebelum menjawab, “Aku hanya melakukannya sebagaimana orang lain juga melakukannya untuk bertahan hidup. Terus maju.”

            Jeremy mengalihkan pandangannya ke arah Matt. “Kau tidak kesepian? Karena jujur saja, aku pernah menangis kesepian saat Jenna study tour selama dua hari. Meskipun adik-adikku yang lain ada, tapi rasanya beda.”

            Pintu rumah sengaja tidak ditutup, Matt membiarkan angin sore masuk tanpa izin ke rumahnya yang tak berjiwa.

            “Lima tahun yang lalu aku tidak sendirian,” gumam Matthew. Ada sebuah kekosongan di dalam suaranya. Jeremy tidak akan mendengarnya jika mereka tidak duduk berdekatan seperti sekarang.

            “Maksudmu kau pernah memiliki keluarga besar sepertiku?” tanya Jeremy polos.

            Matt menggeleng dan kembali menyeruput teh-nya. “Kau pasti lelah sekali. Kau boleh tidur di salah satu kamarku, aku punya banyak kamar jika kau mau.”

            Matthew benar, Jeremy memang sangat lelah. Dan ia pun sama sekali tidak bisa menolak karena tubuhnya sudah tidak memiliki energi untuk berjalan kembali ke rumah Jane. Jeremy pun mengangguk.

            “Ayo kuantar ke kamar,” ajak Matthew merangkul bahu Jeremy dengan lembut.

            Tangan kasar Matthew sekilas mengingatkan Jeremy pada tangan kasar Papanya. Ia buru-buru mengingatkan diri bahwa tangan yang kini berada di pundaknya bukanlah tangan yang suka memukul. Tangan kasar Matthew menyentuhnya dengan penuh kehati-hatian dan kasih sayang, tidak seperti tangan Papa.

            Pintu ber-cat biru pucat itu pun terbuka lebar, menampakkan kamar sederhana yang berdinding putih polos. Di sudut kamar itu terdapat ranjang besi yang bantal-bantalnya tersusun rapi, seperti sudah bertahun-tahun tidak terpakai. Selain ranjang, hanya ada rak buku tua yang sudah sedikit menjamur di sudut lain. Tetapi buku-buku pada rak tersebut masih terlihat layak baca.

            “Beristirahatlah, aku akan memberitahu ibumu dan Jane jika kau tidur di sini.” Matthew tersenyum lalu menutup pintu kamar untuk mempersilakan Jeremy beristirahat.

            “Terima kasih, Matt,” balas Jeremy sebelum pintu tertutup rapat.

            Namun, bukan ranjang yang Jeremy hampiri ketika Matthew sudah pergi, melainkan rak buku tua itu yang di sudut-sudutnya dihuni oleh jaring laba-laba. Jeremy tidak takut laba-laba, ia lebih takut pada tangan Papanya. Jadi, tanpa merasa terganggu, ia menarik salah satu buku dari rak itu dan membuka-buka halamannya.

            Jeremy sendiri tidak terlalu suka membaca buku. Ia lebih suka mendengarkan audio-book. Tetapi beberapa bulan terakhir ini ia tidak mendengarkan apapun, termasuk musik. Jeremy takut sesuatu terjadi pada Mum ketika telinganya sedang tertutup oleh headphones. Takut jika ia tidak mendengar teriakan minta tolong Mum yang membutuhkan pertolongannya.

            Namun, ia mengingat Hayley yang menyukai buku dan dengan senang hati mulai memilih buku-buku yang ada di rak itu untuk diberikan kepada Hayley. Matthew tidak membutuhkannya, pikirnya. Jadi tidak masalah jika ia membawa beberapa buku untuk Hayley.

            Jeremy mengambil salah satu buku yang menarik perhatiannya. Sebuah novel berjudul Clockwork Angel. Sampul novel tersebut terlihat bagus di mata Jeremy dan tanpa berpikir panjang ia pun mengambil dan membuka halaman depannya.

            Ia hanya mengangguk lalu memisahkan novel itu untuk Hayley dan mencari buku lain, tanpa menyadari coretan tulisan tangan yang terdapat di pojok kanan halaman judul novel tersebut. Coretan yang ditulis menggunakan tinta.

            Yang bertuliskan,

            WM.

***

            Ronnie tidak ada di toko buku hari ini.

            Bukan karena dia adalah seorang bos yang bisa kapan saja meliburkan diri, tetapi karena anaknya sedang sakit dan harus dibawa ke rumah sakit untuk diperiksa. Sebenarnya Ronnie tidak sampai hati meninggalkan toko untuk di-handle oleh Hayley sendirian meskipun hanya sehari. Tetapi, ia juga tidak tega meninggalkan istrinya yang cemas dan anaknya yang sakit.

            Hayley tentu saja menyanggupi. Baginya, ini pengalaman yang tidak akan terlupakan sampai kapanpun. Setelah memberikan doa untuk anak Ronnie, Hayley mulai membersihkan rak-rak buku dan mengepel lantai sebelum akhirnya menata ulang buku-buku best-seller dan new release di jendela.

            Ia dengan telaten memilah buku-buku mana yang orang-orang akan sukai. Ia mencintai pekerjaan ini lebih dari apapun, meskipun tidak lebih dari akting, tapi ini pengalaman baru. Setelah selesai dengan jendela, ia berpindah pada meja bundar tempat book blind-date berada. Ia hanya membersihkan bagian itu tanpa menata ulang karena Ronnie telah melakukannya kemarin.

            Goldie’s Bookshop pun akhirnya buka ketika Hayley, dengan senyumnya yang mengembang, membalikkan papan yang tadinya bertuliskan ‘Close’ menjadi ‘Open’. Senyumnya masih belum pudar ketika berdiri di meja kasir dan menyambut pelanggan pertamanya yang ternyata seorang wanita hamil. Pelanggan itu masih terlihat sangat muda, mungkin seumuran dengannya.

            “Selamat datang. Ada buku atau novel tertentu yang sedang kau cari?” tanya Hayley ramah.

            Wanita hamil itu tidak menjawab. Ia sibuk melayangkan pandangan ke arah sekelilingnya seperti sedang mencari seseorang.

            “Di mana Ronnie?” tanya balik wanita itu tanpa menjawab pertanyaan Hayley.

            Hayley masih tersenyum ramah. “Ronnie sedang mengantar anaknya ke rumah sakit. Ada sesuatu yang ingin kau sampaikan padanya? Aku bisa menghubunginya untukmu nanti.”

            “Isabel sakit?” gumam wanita itu pada dirinya sendiri. Hayley sedikit terkejut wanita itu mengetahui nama anak perempuan Ronnie.

            “Malam ini Ronnie pasti kembali ke sini, ia tidak pernah bisa meninggalkan toko bukunya meskipun hanya sehari,” jelas wanita itu. Otomatis Hayley bertanya-tanya darimana wanita tersebut tahu semua itu.

            “Aku pernah bekerja di sini. Tepat di tempatmu berdiri,” lanjutnya seolah bisa membaca pikiran Hayley.

            Seperti ada sebuah lampu kuning yang muncul di atas kepala Hayley, semuanya menjadi masuk akal. Di hari pertamanya bekerja, Matthew pernah berkata pada Ronnie jika Hayley akan menggantikan karyawannya yang sedang hamil. Ternyata, wanita inilah orangnya.

            “Ada yang bisa kulakukan untukmu?” tawar Hayley tersenyum lebih lebar dari sebelumnya.

            Wanita itu terlihat gelisah. Ia memainkan tali tas selempangnya secara asal.

            “Ketika Ronnie kembali nanti, bilang padanya bahwa aku mencarinya,” pinta wanita itu sambil menatap jendela dan meja kasir secara bergantian. Terlihat ketakutan jika seseorang akan datang.

            “Dan dengan siapa aku berbicara?” tanya Hayley.

             “Lily,” jawab wanita itu tanpa menatap mata Hayley. “Lily-Rose Hughes. Aku adik Ronnie.”

***

            Perkataan wanita hamil bernama Lily, yang ternyata adik Ronnie, itu memang benar. Ronnie kembali ke toko buku satu jam sebelum toko itu ditutup dengan wajah lelah. Langit sudah menggelap, tapi lampu-lampu peri yang tergantung di bagian luar dan dalam toko mulai kerlap-kerlip dengan indah.

            “Hari yang panjang?” tanya Hayley basa-basi. Ia baru menyelesaikan tugasnya untuk merekap penjualan hari itu.

            Ronnie mengangguk tanpa menatap Hayley. “Aku masih belum bisa ke toko besok pagi. Kau sanggup untuk meng-handle lagi?” tanya Ronnie sembari memainkan ponselnya.

            “Tentu, jangan khawatir,” jawab Hayley menyanggupi. Ia hendak menutup mesin kasir dengan kain putih seperti biasanya ketika tiba-tiba teringat sesuatu. “Oh ya, Ronnie, tadi adikmu mencarimu kesini. Hubungi dia secepatnya, sepertinya ada sesuatu yang urgent.”

            Ronnie seketika langsung mengalihkan perhatiannya dari ponsel ke wajah Hayley. Wajah Ronnie terlihat... shock. Hayley tidak tahu mengapa seorang kakak terlihat shock ketika dicari adiknya yang sedang hamil.

            “Lily?” tanya Ronnie memastikan.

            “Ya, yang sedang hamil.” Hayley membentuk pola bola dengan kedua tangannya.

            “Apakah dia memberitahumu mengapa ia mencariku?” tanya Ronnie lagi. Kali ini terdengar sangat khawatir.

            Hayley menggeleng. “Sayangnya tidak. Lagipula kupikir aku tidak berhak tahu. Urusan keluarga.”

            Ronnie kembali fokus pada ponselnya. Ia terlihat sedang mencari kontak seseorang sampai-sampai ia tidak begitu mendengar ketika Hayley pamit untuk pulang. Hayley keluar dari toko buku dengan perasaan senang disamping kekhawatirannya dengan apa yang terjadi antara Ronnie dan adiknya.

            Ia melihat ke sekeliling, sedikit mengharapkan kehadiran sosok Will yang biasanya dengan ajaib muncul dihadapannya. Akan tetapi, sepertinya malam ini Will sibuk menulis. Tidak masalah. Hayley bisa menemuinya besok. Kakinya sudah akan melangkah menjauhi toko buku tatkala matanya terkunci pada sebuah surat yang tergeletak di atas kotak surat Goldie’s Bookshop.

            Aneh. Tidak biasanya kurir surat menaruh surat di luar kotak.

            Yang membuatnya terkejut adalah namanya yang tertulis di bagian luar surat tersebut.

            Hayley, Teman Heningku.

            Seluruh wajahnya menyala, senyumnya mengembang. Ia bahkan tanpa sadar cekikikan sendiri, seperti anak remaja yang baru kasmaran. Surat itu dari Will dan Hayley tidak memiliki alasan untuk tidak membukanya saat itu juga.

            Hey, Love.

            How was your day? No, no, don’t tell me now.

            Meet me at the Vierre Park and tell me everything.

            Can’t wait <3

                                                                                                                                                                        James Petterson.

            Hayley melihat ke sekelilingnya. Tidak ada. Ia tidak melihat adanya sosok Will dan ia juga yakin tidak melihat Will pada pagi dan siang hari tadi di sini. Kapan lelaki itu menaruh suratnya? Memikirkan cara-cara aneh Will hanya akan membuatnya pusing. Hayley menggeleng tak habis pikir sambil tertawa.

            Vierre Park terletak tepat di belakang Toko Roti Miss Tiana. Pada siang dan sore hari, taman itu kerap dikunjungi oleh banyak orang yang hanya sekedar duduk menikmati matahari terbenam sambil memakan roti atau membaca dan mengobrol asyik. Namun, pada malam hari taman itu terlihat sangat sepi. Meskipun lampu-lampu yang berbentuk permen menerangi seluruh taman, Hayley tetap merasa kesulitan untuk menemukan Will.

            Terdengar suara dari balik semak-semak yang tertutupi bunga. “Will? Will, kaukah itu?” tanya Hayley agak berteriak.

            Tidak ada jawaban.

            Pikiran buruk dengan tanpa diundang mulai mendatanginya. Bagaimana jika surat itu bukan dari Will? Melainkan dari penguntitnya yang ingin menculiknya dan membawanya kembali ke New York secara paksa.

            Atau bagaimana jika—

            “Hayley, Love, kau tidak apa-apa?” Will menghampiri Hayley yang berdiri dengan wajah pucat.

            Mendengar suara familiar itu membuat Hayley langsung menarik nafas dan mengontrol rasa cemasnya. “I’m fine. Tadi ada suara-suara dari arah situ, kupikir itu kau. Tapi ternyata bukan.”

            Will mengangkat satu tangannya untuk mengusap pipi Hayley, namun gerakannya tiba-tiba terhenti dan pada saat itu juga Hayley melihat ada darah yang keluar dari jari telunjuk Will.

            “Will kau berdarah.” Hayley hendak menyentuh jari itu namun Will dengan cepat menjauh.

            Wajah Will memerah. Hayley yakin jika lelaki di hadapannya itu sedang menyembunyikan sesuatu. Hayley mencoba mendekat lagi, kali ini Will diam di tempatnya berdiri. Membiarkan Hayley dengan perlahan menyentuh tangannya.

            “Will, jika kau tidak mau memberitahuku paling tidak biarkan aku mengobati lukanya,” pinta Hayley menatap Will yang enggan untuk menatapnya.

            Will tidak menolak ketika Hayley mendudukannya di salah satu kursi taman dan mulai membersihkan lukanya dengan air lalu meneteskan antiseptik yang selalu Hayley bawa kemanapun dan menutup jarinya dengan kapas. Hayley tidak mengatakan apapun selama melakukan itu dan Will sudah kelewat paham jika wanita cantik dihadapannya kecewa karena Will tidak mau memberitahu darimana luka itu berasal.

            Karena tidak mau membuat keadaan semakin keruh, Will akhirnya berdeham. “Hayley.”

            “Hm?” sahut Hayley singkat.

            “Itu aku.”

            Hayley mengeryit. “Itu apa maksudmu?”

            “Suara yang kau dengar tadi. Itu aku. Aku tidak menyahut karena aku malu,” jelas Will menunduk.

            Hayley duduk di sebelah Will. Ia merapikan rambut Will yang sudah semakin panjang hampir menyentuh pundak. “Kenapa malu?”

            “Sebelum kau datang, ada seekor kelinci yang menghampiriku. Aku mengusap bulunya dengan lembut dan dia terlihat damai selama beberapa saat sebelum akhirnya menggigit jariku seperti kelinci yang kesetanan. Aku melihatmu berjalan dari kejauhan, tapi kelinci gila itu belum mau melepaskan gigitannya. Jadi, kubawa saja dia ke semak-semak dan kami sedikit bertarung di sana,” lanjut Will menahan malu. Wajahnya sangat merah, lebih merah dari sebelumnya.

            Detik berikutnya, tawa Hayley meledak. Ia memegangi perutnya yang sakit karena kekonyolan Will. Bertarung dengan sesama manusia mungkin sudah terdengar biasa, tetapi yang satu ini memang beda. Will memang beda. Coba tanyakan pada teman-teman kalian, berapa diantara mereka yang pernah bertarung dengan kelinci di semak-semak?

“Dan kau malu jika aku melihatmu digigit kelinci? Itu lah mengapa kau tidak menyahut?” tanya Hayley di sela-sela tawanya.

            “Ya begitulah.” Will mencuri-curi pandang ke arah Hayley yang tertawa bahagia.

            “Siapa yang menang, Willy?” tanya Hayley lagi.

            “Kau sudah tahu siapa pemenangnya,” jawab Will sembari mengacungkan jarinya yang sudah tertutup kapas.

            “Orang aneh,” ledek Hayley lalu kembali tertawa.

            Will tersenyum lebar. Pemandangan di hadapannya akan selalu ia simpan di dalam pikiran dan tulisan selamanya. Pemandangan Hayley yang tertawa lepas, dikelilingi sorotan lampu taman dan bunga-bunga yang bermekaran. Helaian rambut Hayley yang keluar dari ikatannya karena ia terlalu malas merapikan rambut. Dan yang paling sempurna adalah suara tawa Hayley. Will tidak bisa menuangkan suara tawa itu pada sebuah tulisan, tapi ia bisa menyimpannya di kotak hati miliknya yang sudah lama tertanam.

            “Cantik,” gumam Will yang tidak bisa didengar oleh Hayley.

Tags: twm23

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Luka Dan Perkara Cinta Diam-Diam
5304      2097     22     
Romance
Kenangan pahit yang menimpanya sewaktu kecil membuat Daniel haus akan kasih sayang. Ia tumbuh rapuh dan terus mendambakan cinta dari orang-orang sekitar. Maka, ketika Mara—sahabat perempuannya—menyatakan perasaan cinta, tanpa pikir panjang Daniel pun menerima. Sampai suatu saat, perasaan yang "salah" hadir di antara Daniel dan Mentari, adik dari sahabatnya sendiri. Keduanya pun menjalani h...
Reminisensi
0      0     0     
Fan Fiction
Tentang berteman dengan rasa kecewa, mengenang kisah-kisah dimasa lampau dan merayakan patah hati bersama. Mereka, dua insan manusia yang dipertemukan semesta, namun bukan untuk bersama melainkan untuk sekedar mengenalkan berbagai rasa dalam hidup.
SORRY
14450      2756     11     
Romance
Masa SMA adalah masa yang harus dipergunakan Aluna agar waktunya tidak terbuang sia-sia. Dan mempunyai 3 (tiga) sahabat cowok yang super duper ganteng, baik, humoris nyatanya belum untuk terbilang cukup aman. Buktinya dia malah baper sama Kale, salah satu cowok di antara mereka. Hatinya tidak benar-benar aman. Sayangnya, Kale itu lagi bucin-bucinnya sama cewek yang bernama Venya, musuh bebuyutan...
RUMIT
4124      1399     53     
Romance
Sebuah Novel yang menceritakan perjalanan seorang remaja bernama Azfar. Kisahnya dimulai saat bencana gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi yang menimpa kota Palu, Sigi, dan Donggala pada 28 September 2018. Dari bencana itu, Azfar berkenalan dengan seorang relawan berparas cantik bernama Aya Sofia, yang kemudian akan menjadi sahabat baiknya. Namun, persahabatan mereka justru menimbulkan rasa baru d...
SURGA DALAM SEBOTOL VODKA
6454      1559     6     
Romance
Dari jaman dulu hingga sekarang, posisi sebagai anak masih kerap kali terjepit. Di satu sisi, anak harus mengikuti kemauan orang tua jikalau tak mau dianggap durhaka. Di sisi lain, anak juga memiliki keinginannya sendiri sesuai dengan tingkat perkembangan usianya. Lalu bagaimanakah jika keinginan anak dan orang tua saling bertentangan? Terlahir di tengah keluarga yang kaya raya tak membuat Rev...
Bumi yang Dihujani Rindu
4959      1922     3     
Romance
Sinopsis . Kiara, gadis bermata biru pemilik darah Rusia Aceh tengah dilanda bahagia. Sofyan, teman sekampusnya di University of Saskatchewan, kini menjawab rasa rindu yang selama ini diimpikannya untuk menjalin sebuah ikatan cinta. Tak ada lagi yang menghalangi keduanya. Om Thimoty, ayah Kiara, yang semula tak bisa menerima kenyataan pahit bahwa putri semata wayangnya menjelma menjadi seorang ...
When Magenta Write Their Destiny
3803      1196     0     
Romance
Magenta=Marina, Aini, Gabriella, Erika, dan Benita. 5 gadis cantik dengan kisah cintanya masing-masing. Mereka adalah lima sahabat yang memiliki kisah cinta tak biasa. Marina mencintai ayah angkatnya sendiri. Gabriella, anak sultan yang angkuh itu, nyatanya jatuh ke pelukan sopir bus yang juga kehilangan ketampanannya. Aini dengan sifat dingin dan tomboynya malah jatuh hati pada pria penyintas d...
Seutas Benang Merah Pada Rajut Putih
1025      539     1     
Mystery
Kakak beradik Anna dan Andi akhirnya hidup bebas setelah lepas dari harapan semu pada Ayah mereka Namun kehidupan yang damai itu tidak berlangsung lama Seseorang dari masa lalu datang menculik Anna dan berniat memisahkan mereka Siapa dalang dibalik penculikan Anna Dapatkah Anna membebaskan diri dan kembali menjalani kehidupannya yang semula dengan adiknya Dalam usahanya Anna akan menghadap...
Call Kinna
3903      1564     1     
Romance
Bagi Sakalla Hanggra Tanubradja (Kalla), sahabatnya yang bernama Kinnanthi Anggun Prameswari (Kinna) tidak lebih dari cewek jadi-jadian, si tomboy yang galak nan sangar. Punya badan macem triplek yang nggak ada seksinya sama sekali walau umur sudah 26. Hobi ngiler. Bakat memasak nol besar. Jauh sekali dari kriteria istri idaman. Ibarat langit dan bumi: Kalla si cowok handsome, rich, most wante...
Aku Istri Rahasia Suamiku
8219      1886     1     
Romance
Syifa seorang gadis yang ceria dan baik hati, kini harus kehilangan masa mudanya karena kesalahan yang dia lakukan bersama Rudi. Hanya karena perasaan cinta dia rela melakukan hubungan terlarang dengan Rudi, yang membuat dirinya hamil di luar nikah. Hanya karena ingin menutupi kehamilannya, Syifa mulai menutup diri dari keluarga dan lingkungannya. Setiap wanita yang telah menikah pasti akan ...