Jenna benar-benar tidak membiarkan Hayley bermain bersama Josephine pagi ini.
Bahkan Madison berkata jika Jenna bangun tidur lebih awal daripada biasanya dan sibuk menyiapkan baju yang akan dipakainya untuk berjalan-jalan bersama Hayley hari ini. Jenna sangat antusias.
Hayley menyadari mata bengkak Madison pagi ini ketika dirinya membantu menyiapkan sarapan. Tapi ia tidak mengatakan apapun karena Madison pun bertingkah seperti biasa—seperti tidak terjadi apa-apa. Ternyata bukan hanya dirinya saja yang saat ini menjadi aktor hebat, tapi Madison juga.
Hayley bahkan percaya jika semua orang adalah aktor hebat. Mereka mampu menjadi apapun di hadapan dunia—termasuk menyembunyikan perasaan.
“Jenna ingin ke toko buku Waterstones di St. James’s. Dia tahu kau menyukai buku dan novel, jadi dia ingin mengajakmu ke toko buku terbesar di London,” ujar Madison ketika Hayley sedang mengenakan sepatu boots hitam Doc Marten miliknya. Jenna masih di lantai atas, sedang mengambil tas gendong.
“Apa di sana ada paparazzi dan semacamnya?” tanya Hayley cemas.
Madison menghela nafas, ia terlihat sangat lelah hari ini dibanding dengan kemarin. “Aku tidak tahu, Hay. Tapi kalau pun ada, Jenna sudah menyiapkan tempat persembunyian katanya.”
Hayley terkekeh. “Anak itu sudah menyiapkan segalanya rupanya.”
“Itu harus. Aku kan sedang membawa Hayley Lexington keluar rumah. Aku lah yang bertanggung jawab jika dia dikejar paparazzi,” jawab Jenna yang entah sejak kapan sudah berdiri di belakang Madison dengan mengenakan dress motif bunga dan sepatu putih.
Madison mencium kedua pipi Jenna lalu Hayley. “Berhati-hatilah kalian. Jika ada kejadian apapun, cepat-cepat hubungi aku.”
“Ya, Mum.”
“Ya, Mads.”
Jenna memang berhasil membuat Hayley senang. Bagaimana tidak? gadis itu mengajak Hayley berkeliling melihat tumpukan buku yang seperti surga sampai ia puas. Jenna bahkan merekomendasikan beberapa bacaannya pada Hayley—walaupun bacaan remaja.
Hayley membeli banyak novel-novel baru. Namun, pikirannya sama sekali tidak bisa teralihkan dari novel The Midnight Library milik pria di bandara yang saat ini tergeletak di atas nakas kamar. Ia meninggalkan novel miliknya dengan judul yang sama di New York, jadi menurutnya tidak masalah jika ia membeli lagi novel The Midnight Library dengan sampul yang berbeda di sini.
Mereka juga mengunjungi kedai teh, Bird & Blend Tea Co. Dan membawa pulang banyak sekali varian teh pilihan Jenna. Rupanya Jenna senang sekali minum teh dan sangat benci dengan kopi. Berbanding terbalik dengan Hayley. Tapi Hayley diam saja, tidak mau berdebat mengenai kopi atau teh dengan remaja 13 tahun.
Mereka tiba di rumah, setelah perjalanan kereta sekitar 1 jam, dengan senyum mengembang dan hati yang bahagia. Tidak ada paparazzi di mana pun. Orang-orang fokus pada urusan mereka sendiri dan sama sekali tidak menyadari Hayley Lexington keluyuran di kota. Mereka juga menangkap banyak sekali momen di ponsel Jenna, karena ponsel Hayley masih tersimpan rapi di dalam koper—tak tersentuh. Ia tidak akan menyentuhnya sampai dirinya merasa siap kembali berurusan dengan dunia nyata.
“Mum memang belum memperbolehkanku untuk membaca novel dewasa, tapi aku sudah pernah membacanya sekali. Dan itu sangat menjijikkan. Bagaimana bisa seseorang tidak muntah ketika mereka memasukkan—“
Perkataan Jenna tiba-tiba terpotong karena mendengar pekikan dari dalam rumah. Hayley dan Jenna yang tadinya berjalan santai menuju pintu dari gerbang, kini buru-buru berlari untuk masuk—untuk melihat apa yang terjadi.
“Siapa yang memekik?” tanya Hayley pada Jenna yang terlihat panik.
“Itu jelas sekali bukan suara Jeremy,” jawab Jenna berusaha membuka pintu depan yang terkunci. “Oh tidak seseorang mengunci pintunya dari dalam.”
Hayley menarik Jenna untuk berlari ke arah belakang rumah. “Kita coba pintu belakang.”
Jenna menurut. Dan benar saja, pintu belakang tidak terkunci. Jenna buru-buru ingin masuk, tetapi Hayley dengan cepat menahan tangan Jenna dan berkata, “Kau tetap di belakangku, apapun yang terjadi. Mungkin ada pencuri masuk yang mencoba menyakiti seseorang di dalam. Kita harus berjalan tanpa suara. Pegang bajuku.”
“Hayley ...” Jenna berbisik. “Itu tadi suara pekikan Mum.”
“Oh Mads.” Hayley menggeleng cemas. “Kau tau apa yang sedang terjadi di dalam?” tuntut Hayley.
Jenna diam. Namun bibirnya seperti akan bergerak dan mengatakan sesuatu.
“Jenna, beritahu aku. Mum pasti butuh bantuan, kita bisa menelpon 999 sekarang.” Hayley mengusap pipi Jenna dengan lembut, mendorong sesuatu yang ada di hati dan pikiran Jenna untuk keluar.
Jenna menggeleng lalu mengeluarkan air mata. “Jangan telepon siapapun. Jangan. Mum akan semakin disiksa.”
Hayley paham sekarang. Ia tahu apa yang terjadi di dalam.
Maka dari itu, ia langsung mengambil tongkat baseball milik Jeremy yang tergeletak di taman belakang dan menyuruh Jenna untuk tetap di luar. “Kau diam di sini. Jangan pergi kemanapun. Apalagi masuk ke dalam sebelum aku keluar. Kau mengerti?” tanya Hayley. Ekspresinya berubah menjadi mengeras.
“Hayley ... Hayley ... Jangan.” Jenna menggeleng keras. Rona bahagia yang beberapa menit lalu terpatri di wajahnya kini lenyap ditelan rasa ketakutan.
Hayley membuka pintu belakang secara perlahan dan berjalan mengendap-endap menuju sumber suara pekikan yang ia yakini berasal dari arah ruang tamu dengan tongkat baseball yang tergenggam erat dan posisi tubuh siaga.
Suara pekikan itu muncul lagi, kini diiringi dengan suara bentakan kasar dan pukulan.
Tangan Hayley berkeringat mendengar bentakan kasar dan suara pukulan itu. Jantungnya berdegup sangat kencang dan nafasnya menjadi tak teratur. Rasanya seperti kembali menjadi anak 10 tahun yang bersembunyi di bawah ranjang. Anak 10 tahun yang tidak bisa berbuat apapun ketika mendengar jeritan penuh derita yang keluar dari mulut Mama.
Hayley memejamkan matanya erat-erat. Berusaha meyakinkan diri jika dia bukan lagi anak 10 tahun itu. Ia lebih baik, ia lebih berani, dan ia bisa membela siapapun saat ini.
Mama, HayHay akan bawa Mama pergi dari Papa secepatnya.
Mama baik-baik saja di sini, Hay. Mama bahagia.
Suara-suara itu semakin menguasai pikirannya. Namun, dengan sekuat tenaga ia langsung berlari menuju ruang tamu dan menemukan Madison yang tergeletak lemah di samping sofa, ia terlihat tak berdaya, untuk menangis saja sepertinya sulit. Dan di hadapannya berdiri Si Pemukul, Papa.
Papa berdiri memunggungi Hayley dan masih tidak menyadari keberadaannya.
Dengan wajah memerah menahan iblis yang siap menguasai diri, Hayley maju dan tanpa rasa ragu melayangkan tongkat baseball itu ke tengkuk Papa—di tempat yang sama persis ketika kemarin malam Papa memukul Jeremy.
Papa langsung terjatuh dan tak sadarkan diri.
Madison mendongak kaget, air mata membanjiri wajahnya. “Hayley.”
Namun, Hayley hanya membuang tongkat baseball itu ke lantai dan menatap Papa yang tak sadarkan diri dengan tatapan datar. “Butuh 15 tahun bagiku untuk melakukan itu,” ucapnya. Ia lalu terkekeh tanpa humor dan melanjutkan. “Kau sebenarnya layak mendapatkan lebih dari itu.”
***
“Hayley, Mum menyuruhmu untuk menemuinya di taman belakang.” Itu pertama kalinya Hayley mendengar suara Jillian.
Anak lelaki itu memang tidak banyak bicara seperti saudara-saudaranya. Jillian lebih sering berinteraksi dengan iPad dan kedua telinga yang selalu tertutup headphone, seperti sekarang.
Hayley memandang ke arah adik tirinya itu, Jillian berdiri di ambang pintu kamar Hayley yang terbuka. Tidak berani masuk.
“Ya, aku akan kesana beberapa menit lagi. Terima kasih,” balas Hayley lalu mengalihkan pandangannya dari Jillian.
Namun, Jillian tak kunjung pergi. Ia masih berdiri kaku di ambang pintu. Maka dari itu, Hayley berkata, “Ada lagi?”
Jillian buru-buru menggeleng. Tetapi, kemudian ia berkata dengan lirih, “Kau melakukan sesuatu yang buruk. Sesuatu yang selalu ingin kulakukan sejak lama.” Dan pergi begitu saja tanpa mengatakan apapun lagi.
Hayley hanya menunduk menatap novel milik ‘WM’ di pangkuannya. Sejak tadi ia berusaha untuk mengalihkan pikirannya dengan membolak-balik novel itu.
Ia langsung naik ke kamar setelah kejadian tadi, tidak memedulikan tangisan Jenna, Josephine, dan January yang melihat kedua orang tua mereka sama-sama tergeletak tak berdaya di ruang tamu. Bedanya, Madison masih sadarkan diri. Dibantu Jeremy dan Jillian, ia dipindahkan ke kamarnya di lantai bawah.
Hayley tidak tahu atau lebih tepatnya tidak peduli apakah Papa dipindahkan atau masih tak sadarkan diri di ruang tamu seorang diri.
Setelah menaruh kembali novel itu di atas nakas, Hayley berjalan dengan pikiran yang kosong menuju taman belakang. Ia langsung disambut oleh wajah pucat Madison yang berusaha tersenyum. Madison duduk seorang diri di kursi taman dengan gelas berisi air putih di tangannya.
“Hayley,” ucap Madison lembut lalu menarik tangan Hayley untuk duduk di sebelahnya.
Hayley menatap kosong ke arah taman. “Kau harus meninggalkan dia, Mads. Seseorang seperti dia tidak layak untuk berada di antara anak-anakmu,” ucapnya tanpa menatap Madison.
Madison seperti sudah mengetahui apa yang akan dikatakan Hayley. Maka dari itu, ia hanya tersenyum. “Itu anak-anaknya juga, Hay. Dan aku mencintainya, anak-anak kami mencintainya,” balas Madison.
Hayley berdecak. “Kau kira itu cukup?”
Madison menaruh gelasnya di samping kursi. Ia lalu memiringkan tubuhnya menghadap Hayley. “Dia memberi kami, khususnya aku, kehidupan yang layak. Lihatlah tempat ini,” Madison menatap ke sekeliling halaman rumahnya, “Ini sempurna.”
“Aku tidak akan bisa memberikan kehidupan ini kepada anak-anakku jika aku sendirian,” lanjut Madison. “Mereka layak untuk hidup bahagia, meskipun aku yang harus menanggung bebannya.”
Mendengar perkataan Madison membuat Hayley kembali teringat kepada Mama.
Mama baik-baik saja di sini, Hay. Mama bahagia.
Hayley menggeleng lalu berdiri. “Kau pernah bertanya kepadanya mengapa dia dan Mamaku berpisah?”
Madison menatap sendu ke arah Hayley. Namun, ia tak mengatakan apapun yang berarti Madison sudah tahu sejak awal. Tetapi dia tetap menjalankannya.
“Anak-anakmu tahu, Mads. Tahu jika kau tersiksa. Karena mereka pun sama tersiksanya seperti dirimu.”
Hembusan angin sore itu membuat daun-daun kering berterbangan. Helaian rambut Hayley yang tidak terikat pun ikut terhempas ke udara. Madison hanya diam, karena perkataan Hayley memang benar adanya. Madison tidak berusaha menyangkal.
Akan tetapi, Madison akhirnya berkata, “Hayley, ketika kau mencintai seseorang kau menerima baik dan buruk sifat orang itu. Dan ini, merupakan sisi buruk Julian yang harus kuterima karena aku mencintainya.”
Hayley menunduk sehingga kini seluruh wajahnya tertutup rambut. Ia tertawa lagi, kini terdengar lebih perih daripada sebelumnya. Membuat Madison meringis. “Kalau memang tentang cinta, seharusnya tidak menyakitkan seperti ini, Mads. Kalau dia memang mencintaimu seharusnya dia tidak melakukan itu. Cinta itu tentang kebahagiaan, bukan tentang penyiksaan. Apalagi pengkhianatan.”
“’Cinta itu tentang kebahagiaan’ hanya ada di dalam film romantis khayalan dan novel percintaan, Hayley,” balas Madison dengan nada final.
Hayley menengadah lalu menoleh untuk menatap Madison. Matanya dipenuhi kilatan-kilatan amarah yang berusaha ia pendam. “Kalau begitu, aku tidak layak untuk dicintai.”
Ketika Hayley akan berjalan meninggalkan taman, Madison menahan lengannya. “Hayley, mungkin ini bukan pilihan yang terbaik, tapi kau harus pergi dari sini dan tidak ikut campur urusan rumah tangga kami.”
Hayley menarik nafas lalu membuangnya dengan kasar. Ia melepaskan lengannya dari genggaman Madison. “Aku menarik perkataanku di mobil kemarin. Kau bukan ibu yang baik. Kau bukan pahlawan bagi anak-anakmu. Karena pahlawan tak akan membiarkan orang-orang tersayangnya disiksa. Kau ibu yang egois, Madison. Dan dia, suamimu, adalah ayah yang pengecut dan brengsek.”
Hanya suara pintu belakang yang menutup yang terdengar oleh telinga Madison—Hayley sudah kembali masuk ke dalam rumah. Meninggalkannya sendirian, berperang dengan hati dan pikirannya sendiri. Ia tak kuasa menahan isakan perih yang keluar dari mulutnya.
Hayley lagi-lagi benar.
Kau ibu yang egois, Madison. Dan dia, suamimu, adalah ayah yang pengecut dan brengsek.
Hanya suara pintu belakang yang menutup yang terdengar oleh telinga Madison—Hayley sudah kembali masuk ke dalam rumah. Meninggalkannya sendirian, berperang dengan hati dan pikirannya sendiri. Ia tak kuasa menahan isakan perih yang keluar dari mulutnya.
Hayley lagi-lagi benar.
Kau ibu yang egois, Madison. Dan dia, suamimu, adalah ayah yang pengecut dan brengsek.
***
“Hayley, kau mau kemana?” tanya Jenna ketika memasuki kamar Hayley malam itu.
Jenna menatap nanar ke arah tumpukan baju-baju Hayley yang sudah tertata rapi di dalam koper. Sekuat tenaga ia menahan diri untuk tidak merengek dan menangis agar Hayley tidak pergi meninggalkannya.
Hayley, yang tengah sibuk menutup koper, hanya membalas tatapan nanar Jenna dengan senyum tipis yang tidak sampai mata. Sebelum kembali sibuk membereskan barang-barangnya yang masih tersisa di atas ranjang.
“Mum mengusirmu?” tanya Jenna hati-hati.
“Memang sudah seharusnya. Aku bertindak kurang ajar pada Dad-mu. Sampai dia terbaring di rumah sakit sekarang,” jawab Hayley tanpa menoleh ke arah Jenna.
Papa dilarikan ke rumah sakit. Ia sempat sadar selama beberapa menit sampai akhirnya kembali tak sadarkan diri. Menurut keterangan dokter, ada keretakan di bagian belakang kepalanya.
Tiba-tiba Jenna sudah memeluk Hayley dengan erat dari belakang. Isakan pun terdengar jelas keluar dari mulutnya. “Jangan pergi ... Aku tidak berani sendirian seperti dirimu ...” isak Jenna.
“Kau tidak pernah sendirian, Jen. Kau dikelilingi orang-orang yang menyayangimu.” Hayley mengelus tangan Jenna yang melingkar di pinggangnya.
“Bagaimana jika ada banyak paparazzi di luar sana? Siapa yang akan menjagamu? Siapa yang akan mengajakmu ke Waterstones? Siapa—“
“Dia akan baik-baik saja. Aku akan memastikannya,” potong Madison yang entah sejak kapan sudah berdiri di ambang pintu kamar. Ada sebuah kertas kecil di genggamannya.
“Mum ... Kau jahat sekali menyuruh Hayley pergi,” geram Jenna, menatap Madison dengan penuh emosi.
“Jenna ... Kau tidak mengerti ...” Madison menggeleng.
“Aku tidak peduli! Kau sama jahatnya seperti Dad!” bentak Jenna. Mata Madison melebar, jelas sekali bahwa ini pertama kalinya Jenna membentak.
Hayley berusaha melepaskan diri dari pelukan Jenna. Ia ingin sekali menasehati Jenna agar tidak membentak Madison, tapi ia sadar, ia tak lebih baik dari Jenna karena ia sendiri memukul Papa dengan tongkat baseball hingga tak sadarkan diri.
“Jenna Lexington, itu tadi pertama dan terakhir kalinya kau membentakku seperti itu,” gertak Madison. Wajahnya memerah, menahan amarah dan malu.
Jenna tidak lagi terisak, tapi ia menangis keras. Sampai Jillian muncul di samping Madison—tidak ada headphone yang menutupi telinganya kali ini. Jillian masih berusia 9 tahun, tapi entah kenapa apa yang dilakukannya saat ini benar-benar seperti orang dewasa. Karena ia menarik Jenna keluar kamar sambil berbisik, “Kau harus tenang, Jen. Tidak ada masalah yang akan terselesaikan jika kau seperti ini.”
Jillian melingkarkan tangannya di pinggang Jenna, menuntun kakak pertamanya untuk keluar dari kamar Hayley. Memberi waktu bagi Ibunya untuk menyelesaikan apa yang harus diselesaikan dengan Hayley.
Madison menatap kedua anaknya yang berjalan beriringan keluar dari kamar Hayley hingga menuruni tangga dengan ekspresi yang tak terbaca.
“Hayley,” lirih Madison berjalan masuk ke dalam kamar dan menutup pintu di belakangnya.
“Aku sibuk, Mads. Semakin cepat aku pergi dari sini, semakin semuanya akan baik-baik saja, bukan?” Hayley beralih untuk membereskan meja rias yang dipenuhi alat make up miliknya.
“Kau harus pergi dari sini, ya itu memang benar. Tapi aku akan mengirimmu ke rumah nenekku di Costwolds. Di sana lebih tentram, tidak ada anak-anak, tidak ada ayah yang pengecut dan brengsek, dan tidak ada ibu yang egois,” jelas Madison sembari menjatuhkan bokongnya di pinggir ranjang.
Hayley mengibaskan tangan. “Tidak perlu, aku mampu mencari tempat tinggal sendiri di sini. Kau sudah lebih dari cukup dalam membantu.”
Namun, Madison bersikeras. “Aku tidak mengusirmu. Tapi, aku memindahkanmu. Kau ... Kau akan menjadi kompas.”
Hayley mengeryit. Ia berhenti membereskan baju-bajunya dan memfokuskan pandangan pada Madison yang kini menatapnya penuh harap. “Maksudmu?” tanya Hayley.
Madison beranjak mendekati Hayley. Tangan Hayley terasa sangat dingin di genggamannya. “Aku akan membereskan semuanya terlebih dulu di sini. Lalu ... Lalu aku ... Aku akan menyusulmu bersama anak-anak. Beri aku waktu. Tunggu aku di sana, Hayley.”
“Kau? Bersama anak-anak?” tanya Hayley bingung. “Tanpa dia?” lanjutnya. Kata ‘Dia’ berarti monster, berarti Papa.
Madison mengangguk samar. Dadanya sedikit sakit ketika mengatakan, “Aku akan menceraikan Papamu dan pergi ke Costwolds untuk memulai hidup baru. Kau benar-benar mengatakan ketakutan terbesarku, bahwa aku ibu yang buruk. Aku tidak mau, Hay. Aku tidak mau menjadi ibu yang buruk.”
“Tapi beri aku waktu,” lanjut Madison. Air matanya kini mulai turun membasahi tulang pipinya yang menonjol.
Hayley mengusap air mata itu dengan hati-hati dan tanpa ragu menarik tubuh ringkih Madison ke dalam dekapannya. Madison balas memeluknya erat, menjatuhkan segala bebannya ke dalam pelukan hangat Hayley.
Bertahun-tahun ia menanggung semuanya sendirian. Berlagak semuanya baik-baik saja, keluarga yang sempurna, anak-anak yang bahagia dan cerdas, dan suami yang sangat mencintainya. Semua itu bohong. Ia berjalan di atas pasir hisap yang siap menariknya kapan saja.
“Aku akan menunggumu, kapanpun itu. Berjuanglah untuk kebahagiaanmu, Mads. Karena kau layak mendapatkannya.” Hayley mengusap lembut punggung Madison.
“Kau juga, Hay. Kau kesini untuk menenangkan diri, tapi aku malah menyeretmu ke dalam masalah kehidupanku.” Madison terkekeh pelan lalu melepaskan diri dari dekapan Hayley.
Hayley hanya mengendikan bahu sambil tersenyum miring.
“Ini alamat rumah ibuku.” Madison menyodorkan kertas yang sejak tadi digenggamnya ke arah Hayley.
Jane Hopman
Castle Combe, Costwolds.