Read More >>"> Perhaps It Never Will (Chapter 2) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Perhaps It Never Will
MENU
About Us  

Setelah berjalan keluar dari bandara selama beberapa menit, Hayley akhirnya bisa bernafas lega ketika melihat wanita berumur 40-an berambut coklat muda mengacungkan karton kecil yang bertuliskan ‘HWL’ singkatan dari nama panjangnya.

“Madison. Hai,” ucap Hayley ketika sudah berada di depan Mami tirinya.

Madison menarik Hayley ke dalam pelukan. Lalu berbisik, “Hayley Sayang, senang bertemu denganmu lagi. Masuklah sebelum orang-orang menyadari keberadaanmu.” Setelah memeluk Hayley, Madison buru-buru menyuruh Hayley masuk ke dalam mobil. Tanpa membantah, Hayley memasukkan kopernya terlebih dulu ke bagian belakang mobil lalu duduk di sebelah kursi kemudi.

Madison dengan gesit mulai menjalankan mobilnya menjauh dari bandara. Karena tadi secara tak sengaja ia melihat seorang pria muda menatap Hayley lama-lama, seperti mengamati apakah itu Hayley Lexington Si Aktor Cantik The Heartbreakers atau bukan.

The Heartbreakers adalah TV Series Netflix yang melambungkan nama Hayley Lexington di jagat perfilman. Ia membintangi TV Series itu bersama mantan kekasihnya, Logan. TV Series itu pula yang pertama kali menyatukannya dengan Logan sampai akhirnya jatuh cinta pada pria yang ternyata brengsek itu.

Suasana di dalam mobil sedan hitam sederhana itu hening sampai akhirnya Madison memecah keheningan itu dengan mengatakan, “Aku ikut prihatin dengan apa yang terjadi padamu, Hayley. Kalau kau ingin tahu aku #TeamHayley selamanya.”

Hayley menanggapinya dengan kekehan. “Ya, Mads. Aku tahu. Terima kasih. Terima kasih juga sudah mau menjemputku dan membiarkanku tinggal di rumahmu. Itu sangat berarti.”

Madison mengangguk. “Sebuah kehormatan bagiku bisa menerima Hayley Lexington sebagai tamu,” guraunya.

Hayley tak ingat kapan terakhir kali ia berada di London, mungkin 5 tahun lalu atau mungkin tidak pernah. Setiap tahun, Papa tidak pernah absen untuk mengundangnya merayakan Thanksgiving atau Natal bersama. Tapi tentu saja Hayley selalu menolak undangan itu, ia lebih memilih menghabiskan Natalnya sendirian di toko buku Strand di Broadway.

“Kau tahu, Jenna senang sekali kau akhirnya punya banyak waktu untuk mengunjungi kami. Dia penggemar berat The Heartbreakers, Hay. Dia selalu berkata ‘Mum, apakah Hayley benar-benar selalu kesulitan untuk membuka hati bagi para pria itu?’ Lalu aku akan menjawab ‘No, Jenna. Hayley di kehidupan nyata lebih baik daripada itu’” Madison melirik Hayley yang sedang fokus menatap lembar pertama novel milik pria yang tadi menabraknya.

Karena di halaman pertama novel itu, di ujung kanan atas, terdapat tulisan tangan yang bertuliskan ‘WM’.

“Ya, itu ... itu benar dan tidak.” Hayley menggeleng pelan lalu tertawa canggung. Ia tak begitu mendengar perkataan Madison karena terlalu fokus pada novel milik orang asing ini. “Oh rumit sekali. Jenna, berapa umur dia sekarang?” tanya Hayley berusaha mengubah topik. Namun, tatapannya masih melekat pada lembar novel.

“13. Tapi pemikiran dan cara bertuturnya sudah seperti usia 30 tahun. Mengerikan, bukan? Setiap malam aku selalu ketakutan ‘Oh tidak anak pertamaku sudah beranjak dewasa, dia akan jatuh cinta, disakiti, meninggalkanku untuk meraih impiannya, dan jatuh cinta lagi’ Itu terdengar berlebihan tapi jika boleh, aku ingin menahannya saja di dalam rumah untuk menjadi teman berceritaku selamanya. Apakah itu membuatku menjadi ibu yang buruk?” tanya Madison.

“Tidak, tidak ada ibu yang buruk, Mads. Kau pahlawan bagi anak-anakmu.” Hayley kini menutup novel itu dan mendekapnya. Entahlah, ia juga tak paham mengapa ia melakukan itu, tapi yang jelas ketika ia mendekap novel itu ada rasa sejuk yang menjalar ke seluruh tubuhnya.

Madison meraih tangan kanan Hayley lalu meremasnya pelan. “Semuanya akan baik-baik saja, Hay. Kau boleh tinggal di rumah kami selama yang kau butuhkan.”

Hayley tersenyum sembari melirik Mads. “Terima kasih.”

“Baik, kita sudah sampai!” lanjut Madison sembari mematikan mesin mobil. “Selamat datang di Istana Keluarga J meskipun namaku berawalan huruf M.” Madison merentangkan tangan hingga buku-buku jarinya membentur langit-langit mobil. Dan dia pun mengaduh, diiringi kekehan geli Hayley.

Mereka berdua keluar dari mobil. Hayley berusaha menolak bantuan Madison untuk membawakan kopernya ke dalam rumah, tetapi bukan Madison namanya jika tidak memaksa. Akhirnya ia mengalah dan membiarkan Madison membawa 2 dari 3 koper yang dibawanya.

“Papamu sedang menjemput January di TK. Ia akan pulang beberapa menit lagi.” Madison memberitahunya dan ia sedikit bersyukur karena dengan begitu ia tidak usah repot-repot bertanya.

Selagi mereka bersama-sama masuk ke dalam rumah bernuansa elegan dan berwarna coklat tua yang lebih cocok disebut mansion itu, Hayley berusaha mengingat nama-nama kelima saudara tirinya. Anak pertama, Jenna Lexington, 13 tahun dan penggemar The Heartbreakers, Hayley harus siap diserbu banyak pertanyaan. Anak kedua, Jeremy Lexington, kurang lebih berumur 10 tahun. Anak ketiga, Jillian Lexington, anak keempat Josephine Lexington, dan anak kelima yang sedang dijemput Papa, January Lexington.

Istana Keluarga J, karena semua nama anak-anaknya diawali dengan huruf J. Termasuk nama sang Papa, Julian Lexington.

“Kau mau wine, teh, kopi, atau apapun itu?” tawar Madison ketika mereka sudah berada di dapur setelah sebelumnya menaruh koper di ruang tamu karena terlalu lelah untuk naik ke lantai atas, ke kamar yang disediakan Madison untuk Hayley.

“Tidak perlu, aku—“

“Jenggot Merlin! Hayley Lexington benar-benar ada di rumahku!” pekik Jenna dari ujung atas tangga. Membuat Hayley dan Madison berjengit kaget.

“Jenna, tidak baik berteriak-teriak seperti itu di depan tamu. Sambut dia terlebih dulu dengan sopan.” Madison berkacak pinggang.

“Ini bukan mimpi, ini bukan mimpi, ini bukan mimpi,” racau Jenna berulang-ulang sembari menuruni tangga dengan terburu-buru.

“Hai, Jenna. Senang bertemu denganmu. Kau terlihat—“

Perkataan Hayley lagi-lagi terpotong karena Jenna menerjangnya begitu saja untuk memberikan pelukan. Tetapi, Hayley tidak siap dengan pelukan tiba-tiba itu sehingga ia terjatuh ke lantai dan membentur meja sekaligus.

Oh, hari pertama yang indah.

***

“Kau tahu, Jenna? Kau bisa saja memiliki 20 juta haters jika Hayley memberitahu publik bahwa kau menerjang bintang The Heartbreakers hingga dahinya terluka.” Madison dengan hati-hati menempelkan kapas yang sudah dibasahi alkohol ke kening Hayley yang terluka.

Jenna yang merasa bersalah hanya duduk murung di sofa ruang tamu. Ia tidak mengira rasa antusiasnya akan berakhir dengan fatal. Ia bahkan tidak lagi berani menatap Hayley secara terang-terangan.

“Tak apa, Mads. Aku tahu Jenna tidak bermaksud melukaiku.” Hayley tersenyum ke arah Madison yang khawatir. Setelah Madison mengobati lukanya, Hayley beranjak untuk duduk di sebelah Jenna yang masih menunduk menatap kedua kakinya.

“Jenna, aku tidak apa-apa,” ujar Hayley pelan. Ia meraih tangan kanan Jenna untuk digenggam. “Tapi aku sangat lelah, maukah kau mengantarku ke kamar?” pinta Hayley.

Jenna mengangguk pelan. Ia sudah melukai Hayley, meskipun tanpa sengaja. Dan mengantar kakak tirinya ke kamar merupakan hal yang hanya bisa dilakukannya untuk menebus kesalahan. Jadi, ia langsung beranjak dan menggandeng lengan Hayley menuju tangga.

“Papamu akan membawakan kopernya ke atas ketika ia pulang nanti. Berisitirahatlah, Hay,” ucap Madison lalu matanya beralih pada Jenna. “Jenna, kuharap ini yang pertama dan yang terakhir kau melukai tamu kita. Oke?”

“Ya, Mum. Maafkan aku.” Jenna menghela nafas pelan.

Kamar yang disiapkan Madison untuk Hayley ternyata bersebelahan dengan kamar Jenna. Kamar itu memiliki nuansa putih dengan furnitur hitam yang bercampur dengan abu muda. Ditambah dengan jendela besar yang langsung menghadap ke perkebunan hijau. Hayley sempat tidak percaya jika ini merupakan kamar tamu, karena jujur, apartemennya di New York kalah jauh dengan satu kamar ini.

“Aku menyukai Luke di The Heartbreakers, tapi aku membenci Logan. Dia memang memainkan peran Luke dengan sangat baik, tapi dia menyakitimu.” Perkataan tiba-tiba Jenna ketika mereka baru menginjakkan kaki di dalam kamar membuat hati Hayley mencelos. Anak itu benar-benar paham dan peduli dengan apa yang sedang terjadi dan apa penyebab Hayley tinggal di sini.

“Dia memang aktor yang hebat, tapi mungkin bukan orang yang baik,” balas Hayley dengan mata yang mengamati ruangan kamarnya, berusaha menghindari kontak mata dengan Jenna. Ia takut jika pertahanan dinding hatinya runtuh begitu saja di depan remaja 13 tahun.

Selama beberapa jam tadi, ia berhasil mengusir Logan dari dalam pikirannya. Tapi rupanya hal itu tidak bertahan lama. Karena pria tak tahu diri dan skandal yang dilakukannya akan terus menghantui Hayley.

“Ya, tapi tidak lebih hebat daripada kau. Setiap Natal aku selalu mengharapkan kehadiranmu, tapi Papa bilang kau terlalu sibuk untuk merayakan Natal dengan kami. Tapi aku tetap bangga memiliki kakak perempuan sepertimu, meskipun teman-temanku di sekolah tidak ada yang percaya jika aku adik tiri Hayley Lexington.” Jenna menarik kursi yang tadinya menyatu dengan meja rias lalu duduk di atasnya. Ia menatap Hayley yang sekarang duduk di pinggir ranjang—walau masih sedikit takut—dengan penuh rasa kagum.

“Aku minta maaf soal itu. Aku hanya ... Aku lebih suka ketika sendiri. Jadi aku lebih sering merayakan Natal sendirian.”

“Bukankah itu menakutkan? Merayakan hari besar sendirian?” tanya Jenna bingung.

Hayley menggeleng dengan senyum tipis yang menghiasi wajahnya. “Tidak. Aku lebih takut jika dikelilingi banyak orang.”

“Aku tak paham.” Jenna balas menggeleng dengan dahi yang mengerut. “Kau seorang publik figur yang sedang terkenal, kau pasti selalu dikelilingi banyak orang,” lanjutnya.

“Kau tahu Karen Page di The Punisher pernah berkata ‘We are all lonely. I sometimes think that is all that life is, we’re just ... We’re just fighting not to be alone.’ Kau tahu apa artinya itu?” tanya Hayley, beranjak mendekati jendela dan menatap ke arah luar.

Jenna mengangguk pelan. “Tapi aku tidak suka sendirian.”

“Sekarang aku di sini, Jen. Kau tidak sendirian. Kita bisa menghabiskan banyak waktu bersama,” lanjut Hayley tersenyum.

Jenna bangkit dari kursinya lalu memeluk Hayley, kali ini lebih lembut dan hati-hati. “Selamat datang di rumah, Hayley. Aku senang sekali kau pulang.”

Pulang.

Dalam hati Hayley berteriak, “Ini bukan rumahku.”

***

“Jeremy, duduk yang benar atau dinosaurus-dinosaurus itu akan lenyap dari kamarmu besok pagi.”

“Mum, kau terlalu banyak mengatur dan mengancam.”

“Jeremy!”

Suara-suara itu adalah hal pertama yang didengar Hayley ketika keluar kamar malam ini. Ia tidur lumayan lama setelah Jenna keluar dari kamarnya tadi siang. Dan ketika membuka mata, koper-koper miliknya sudah berada di samping ranjang. Itu berarti satu hal: Papa masuk ke dalam kamar ketika ia terlelap. Ia juga menyempatkan diri untuk mengganti pakaian sebelum turun ke lantai bawah.

“Oh Jer kau memang harus diatur, kau terlalu liar untuk anak seusiamu.” Itu suara Jenna, ia sedang menata piring-piring di atas meja makan.

“Dan kau terlalu mencampuri urusan orang lain, Jenny Buruk Rupa!” balas Jeremy tak terima. Ia duduk di atas kursi makan dengan kedua kaki yang diangkat ke atas meja. Kedua telapak kakinya juga terlihat kotor, sepertinya ia baru pulang dari suatu tempat yang berhubungan langsung dengan tanah.

“Jeremy, turunkan kakimu. Sekarang.” Itu suara tegas yang sudah lama tidak di dengarnya. Suara Papa. Mendengarnya saja sudah membuatnya merinding. Hayley berani sumpah saat ini kedua kaki Jeremy sudah berada di lantai.

Hayley menuruni tangga dengan hati-hati, takut menganggu percakapan tegang yang sedang berlangsung saat ini.

“Selamat malam. Ada yang bisa kubantu?” tanya Hayley pelan. Menatap Madison dengan penuh harap. Ia berharap untuk menjadi berguna di sini. Bisa diawali dengan membantu mempersiapkan makan malam.

“Oh Hay cukup, kau terdengar seperti pelayan restoran. Tidak, tidak ada. Semuanya sudah siap.” Madison mengibaskan tangan sambil tersenyum. “Kau boleh duduk di sebelah Jenna. Dia sendiri yang mengusulkannya.”

“Oh tidak, Jenna dan obsesi The Heartbreakers sampah itu akan kembali menganggu kedamaian keluarga ini lagi,” gumam Jeremy yang bisa didengar jelas oleh Hayley. Sepertinya Jeremy sengaja.

Hayley tidak memiliki kesempatan untuk memikirkan perkataan menyakitkan Jeremy karena tiba-tiba ia sudah berada di dalam dekapan Papa. “Aku senang kau di sini, HayHay. Tapi aku juga tidak senang karena kau di sini karena skandal sampah itu.”

HayHay.

Hanya ada dua orang yang memanggilnya dengan sebutan itu: Papa dan Mama.

Hayley hanya diam tak bergeming. Aroma tubuh Papa sudah jauh berbeda dibanding dengan terakhir kali ia berada sedekat ini dengannya. Rasanya menakutkan ketika hal-hal yang awalnya familiar menjadi asing dan tak terjangkau. Ia ingin membalas pelukan itu, tapi rasa sakitnya 15 tahun lalu lah yang menang. Jadi ia hanya terdiam kaku.

“Kau baik-baik saja, Nak?” tanya Papa lembut ketika Hayley terus diam.

“Ya aku ... Aku hanya ... Aku baik.” Hayley menahan diri untuk tidak mengatakan sesuatu yang menyakitkan.

“Dia lapar, Julian. Lepaskan dia sekarang dan biarkan kami makan.” Madison mengatakannya dengan santai. Tapi itu sangat amat berarti bagi Hayley.

Jenna tersenyum lebar ketika akhirnya Hayley duduk di sampingnya di meja makan. “Jangan pikirkan ucapan Jeremy. Dia memang yang paling kurang ajar diantara kami,” bisik Jenna. Ternyata dia juga mendengar bisikan keji Jeremy.

Hayley tersenyum tipis lalu mengangguk. Di sebelah kanannya, seorang gadis kecil berusia sekitar 6 tahun menatapnya tanpa berkedip. Ia baru saja akan menebak nama dari gadis itu ketika Jenna berkata, “Itu Josephine. Dia suka Barbie, tapi setiap Barbie yang dimilikinya selalu patah. Kata Mum, Josephine menyukai Barbie karena Barbie mudah untuk dirusak.”

“Hai, Josephine,” sapa Hayley menunduk agar bisa menatap Josephine dengan jelas.

“Kau mirip Olive,” balas Josephine sedikit berbisik. Tapi Jenna masih bisa mendengarnya.

“Oh Josie, Olive-mu sudah kehilangan kaki dan kepala sedangkan Hayley masih utuh dan sangat cantik,” timpal Jenna sembari menyodorkan sendok dan garpu kepada Hayley. Hayley langsung paham, Olive adalah nama salah satu koleksi Barbie Josephine.

“Rambutmu seperti Olive,” Josephine menyentuh rambut pirang Hayley, “Tapi kau lebih cantik. Maukah kau bermain Barbie bersamaku besok? Aku punya rumah Barbie baru. Dad membelikannya sebagai hadiah ulang tahunku yang ke 6.”

“Ya, aku—“

“Hayley tidak bisa. Ia akan berjalan-jalan denganku seharian besok,” potong Jenna.

Oh, mimpi buruk. Batin Hayley berteriak.

Hari pertama di kediaman Istana J dan ia sudah menjadi bahan rebutan. Ia tak tahu apakah harus merasa senang atau waspada.

“Mum lihatlah, perempuan-perempuan tak tahu diri itu berisik sekali dan kau hanya diam saja karena kau juga sama seperti mereka.” Jeremy memberengut kesal sembari memukul meja keras-keras. Membuat piring-piring dan gelas-gelas bergetar menimbulkan suara.

Hayley langsung menatap Jeremy lurus-lurus. Ia tidak pernah tahu jika anak lelaki berumur 10 tahun bisa sangat mengesalkan seperti itu. Dan alasan apa yang membuat Jeremy langsung membencinya? Mereka bahkan belum bertemu lebih dari 10 menit.

“Jeremy Lexington. Cukup. Naik ke atas. Tidak ada makan malam untukmu hari ini.” Papa berdiri dari tempat ia duduk lalu memukul tengkuk Jeremy sampai kepala bocah 10 tahun itu membentur meja di depannya. Membuat Hayley spontan memekik kaget.

Suasana menjadi hening seketika. Suara Papa sangat tajam, seperti pisau yang baru diasah. Ditambah dengan suara pukulan yang menyakitkan itu. Bahkan Jillian, yang sejak tadi fokus pada iPad-nya, kini mengalihkan perhatiannya dan menatap Papa dengan raut ketakutan di wajahnya. Papa menarik kerah baju Jeremy dengan kasar dan mendorong paksa lelaki yang wajahnya hampir mirip dengannya itu ke arah tangga—menyuruhnya untuk naik ke kamar.

“Julian ... “ Madison menggeleng. Terlihat tidak setuju dengan apa yang dilakukan Papa.

“Mum ... “ isak Jeremy sembari menaiki tangga. Ia jelas tidak mengira jika hal ini akan terjadi. Ia mengusap tengkuk dan dahinya yang terlihat memar sembari terisak.

Jenna dan Hayley bertukar pandang. Tapi ekspresi keduanya benar-benar berbeda. Hayley terlihat shock sedangkan Jenna kelewat santai, seperti kejadian ini memang sudah sering terjadi. Papa akhirnya menyuruh kami semua untuk mulai makan. Suasana masih hening, tidak ada yang berani memulai pembicaraan. Bahkan sampai makan malam selesai pun hanya terdengar suara dentingan piring dan sendok.

“Kau akan terbiasa,” bisik Jenna ketika Papa sudah menghilang dari ruang makan.

Hayley mencuri-curi pandang ke arah Madison yang sedang mencuci piring. Wanita itu terlihat murung, wajahnya tertutup helaian rambut dan tidak ada senyuman hangat khas-nya sejak tadi.

“Madison, biarkan aku yang melakukan itu.” Hayley menawarkan diri untuk mencuci piring, tetapi Madison buru-buru menggeleng.

“Jenna dan Josephine ingin menonton Netflix bersamamu kalau kau tidak keberatan. Mereka akan senang sekali,” balas Madison dengan senyum yang dipaksakan. “Aku ingin sekali bergabung tapi aku harus menidurkan January dan mengecek Jeremy,” lanjutnya.

Madison tidak menatapnya sama sekali, tapi Hayley yakin ia melihat dengan sekilas ada sedikit air mata di pelupuk wanita itu. “Ya, tentu saja. Di mana biasanya kalian menonton?” tanya Hayley.

“Di ruang tamu, tapi untuk kali ini kita akan menonton di kamarku!” jawab Jenna semangat. Ia berlari duluan untuk menaiki tangga.

Hayley menatapnya nanar. Namun, ia tiba-tiba berjengit ketika merasakan ada tangan mungil yang mengenggam tangannya.

Tangan Josephine.

“Dad sedang menjadi monster, Olive. Kau tidak usah takut, ada aku di sini,” ucap Josephine yang membuat Hayley langsung berlutut dan mencium pipi gadis kecil itu.

Hayley berjalan menaiki tangga menuju kamar Jenna dengan Josephine yang menggelayut di lengannya.

15 tahun berlalu, kehidupan Hayley sudah berbeda jauh dibanding ketika terakhir kali Papa meninggalkannya menangis di depan pintu—di dekapan Mama. Tapi ternyata, Papa masih orang yang sama. Tangannya yang dulu kerap memukuli Mama, kini masih berfungsi dengan baik untuk memukul Jeremy—bocah 10 tahun. Anak kandungnya sendiri.

Tags: twm23

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Luka Dan Perkara Cinta Diam-Diam
5304      2097     22     
Romance
Kenangan pahit yang menimpanya sewaktu kecil membuat Daniel haus akan kasih sayang. Ia tumbuh rapuh dan terus mendambakan cinta dari orang-orang sekitar. Maka, ketika Mara—sahabat perempuannya—menyatakan perasaan cinta, tanpa pikir panjang Daniel pun menerima. Sampai suatu saat, perasaan yang "salah" hadir di antara Daniel dan Mentari, adik dari sahabatnya sendiri. Keduanya pun menjalani h...
Reminisensi
0      0     0     
Fan Fiction
Tentang berteman dengan rasa kecewa, mengenang kisah-kisah dimasa lampau dan merayakan patah hati bersama. Mereka, dua insan manusia yang dipertemukan semesta, namun bukan untuk bersama melainkan untuk sekedar mengenalkan berbagai rasa dalam hidup.
SORRY
14450      2756     11     
Romance
Masa SMA adalah masa yang harus dipergunakan Aluna agar waktunya tidak terbuang sia-sia. Dan mempunyai 3 (tiga) sahabat cowok yang super duper ganteng, baik, humoris nyatanya belum untuk terbilang cukup aman. Buktinya dia malah baper sama Kale, salah satu cowok di antara mereka. Hatinya tidak benar-benar aman. Sayangnya, Kale itu lagi bucin-bucinnya sama cewek yang bernama Venya, musuh bebuyutan...
RUMIT
4124      1399     53     
Romance
Sebuah Novel yang menceritakan perjalanan seorang remaja bernama Azfar. Kisahnya dimulai saat bencana gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi yang menimpa kota Palu, Sigi, dan Donggala pada 28 September 2018. Dari bencana itu, Azfar berkenalan dengan seorang relawan berparas cantik bernama Aya Sofia, yang kemudian akan menjadi sahabat baiknya. Namun, persahabatan mereka justru menimbulkan rasa baru d...
SURGA DALAM SEBOTOL VODKA
6454      1559     6     
Romance
Dari jaman dulu hingga sekarang, posisi sebagai anak masih kerap kali terjepit. Di satu sisi, anak harus mengikuti kemauan orang tua jikalau tak mau dianggap durhaka. Di sisi lain, anak juga memiliki keinginannya sendiri sesuai dengan tingkat perkembangan usianya. Lalu bagaimanakah jika keinginan anak dan orang tua saling bertentangan? Terlahir di tengah keluarga yang kaya raya tak membuat Rev...
Bumi yang Dihujani Rindu
4959      1922     3     
Romance
Sinopsis . Kiara, gadis bermata biru pemilik darah Rusia Aceh tengah dilanda bahagia. Sofyan, teman sekampusnya di University of Saskatchewan, kini menjawab rasa rindu yang selama ini diimpikannya untuk menjalin sebuah ikatan cinta. Tak ada lagi yang menghalangi keduanya. Om Thimoty, ayah Kiara, yang semula tak bisa menerima kenyataan pahit bahwa putri semata wayangnya menjelma menjadi seorang ...
When Magenta Write Their Destiny
3803      1196     0     
Romance
Magenta=Marina, Aini, Gabriella, Erika, dan Benita. 5 gadis cantik dengan kisah cintanya masing-masing. Mereka adalah lima sahabat yang memiliki kisah cinta tak biasa. Marina mencintai ayah angkatnya sendiri. Gabriella, anak sultan yang angkuh itu, nyatanya jatuh ke pelukan sopir bus yang juga kehilangan ketampanannya. Aini dengan sifat dingin dan tomboynya malah jatuh hati pada pria penyintas d...
Seutas Benang Merah Pada Rajut Putih
1025      539     1     
Mystery
Kakak beradik Anna dan Andi akhirnya hidup bebas setelah lepas dari harapan semu pada Ayah mereka Namun kehidupan yang damai itu tidak berlangsung lama Seseorang dari masa lalu datang menculik Anna dan berniat memisahkan mereka Siapa dalang dibalik penculikan Anna Dapatkah Anna membebaskan diri dan kembali menjalani kehidupannya yang semula dengan adiknya Dalam usahanya Anna akan menghadap...
Call Kinna
3903      1564     1     
Romance
Bagi Sakalla Hanggra Tanubradja (Kalla), sahabatnya yang bernama Kinnanthi Anggun Prameswari (Kinna) tidak lebih dari cewek jadi-jadian, si tomboy yang galak nan sangar. Punya badan macem triplek yang nggak ada seksinya sama sekali walau umur sudah 26. Hobi ngiler. Bakat memasak nol besar. Jauh sekali dari kriteria istri idaman. Ibarat langit dan bumi: Kalla si cowok handsome, rich, most wante...
Aku Istri Rahasia Suamiku
8219      1886     1     
Romance
Syifa seorang gadis yang ceria dan baik hati, kini harus kehilangan masa mudanya karena kesalahan yang dia lakukan bersama Rudi. Hanya karena perasaan cinta dia rela melakukan hubungan terlarang dengan Rudi, yang membuat dirinya hamil di luar nikah. Hanya karena ingin menutupi kehamilannya, Syifa mulai menutup diri dari keluarga dan lingkungannya. Setiap wanita yang telah menikah pasti akan ...