Hari berganti minggu, belum ada kabar baru dari Geboy. Anak-anak Geng Senter masih bergantian jaga, termasuk Komal yang enggak pernah absen sama sekali. Tapi, khusus hari ini, mereka semua kompak pamit ke sang ketua untuk mengantar Randu, sesama anggota yang kini mewakili sekolahnya ke Lomba Kompetensi Siswa Kategori Perawatan dan Perbaikan Sepeda Motor.
Seharusnya, Geboy juga ikut bersaing.
Komal pun mendengkus. Ia lalu tersenyum tipis pada jagoan baru Pak Bonang yang izin masuk dan meminta dukungan. Mungkin pikirnya ia sedang ikhlas meluangkan waktu untuk menyoraki haha-hihi dari luar. Padahal, Komal hanya mau menghantui Randu yang sudah lama kabur sejak di rumah sakit saat itu.
"Lo lihat tampangnya tadi, nggak? Kayak zombie."
"Iya. Susah tidur kali. Mikirin ini."
"Positif thinking amat lo. Suuzon dong sekali-sekali. Dia pasti parno karena Boy belum sadar sampai sekarang, apalagi kemarin sempet kritis lagi. Bisa-bisa Randu dipenjarain atas percobaan pembunuhan. Untung Om Abi nggak memperpanjang masalah."
"Lagian emang belum tentu dia pelakunya, kan."
"Siapa lagi? Emang lo pernah lihat Boy punya musuh selain Randu? Anak geng sebelah aja segan."
"Iya, sih. Tapi buktinya nggak cukup."
"Itu dia sayangnya."
Komal mendengarkan percakapan kedua kawannya sambil menopang dagu. Musibah ini sudah menjadi rahasia umum. Sesuai saran Aco, ia enggak menutupi kemungkinan apa pun pada para anggota, baik maupun buruk. Komal menceritakan segala hal dan membiarkan berbagai macam spekulasi tumbuh berkembang. Teori yang paling diyakini jelas tentang kecemburuan Randu dan obsesinya dalam menjegal Geboy. Itulah alasan meski Randu nanti bisa memenangkan ajang ini dan menjadi ketua Geng Senter, anak-anak tetap bodo amat dan let it flow saja. Mau menjabat ya terserah, enggak ya syukurlah. Mereka kehilangan sisi respect yang semestinya menjadi basic manner sebelum dipimpin.
"Bang Aco nggak ke sini, Mal?"
"Ke sini, kok." Komal refleks melongok ke area parkir gedung--mereka sedang nongkrong di warung pecel seberang jalan. "Motornya belum ada. Paling bentar lagi."
"Tapi pasti ke sini?"
"Iya, lah. Gitu-gitu Randu tetap murid-nya."
"Dia nggak cerita apa-apa, Mal?"
"Tentang?"
"Sikap Randu, mungkin."
Komal mengingat-ingat. Ia mengambil tempe mendoan lalu mengunyahnya, sambil merangkai spill-an Aco di chat setiap pulang latihan--selama seminggu terakhir. Ia juga membuka galeri, mencari bukti screenshot yang masih disimpan.
"Kata Bang Aco, Randu udah jago banget. Hampir semua case dia kuasai secara matang. Detail dan kecepatannya juga aman. Cuma …."
"Apa?" Lima orang yang duduk mengelilingi meja antusias menunggu.
"Nggak tahu. Bang Aco nggak bilang."
"Lah?" Gubrak! Semua orang kecewa.
Komal memutar bola matanya. "Bang Aco cuma bilang ada yang aneh, tapi nggak bisa dijelasin lewat kata-kata."
"Itu perasaan dia aja kali."
"Duh, Yon!" Si rambut kribo geregetan sampai menoyor kepala kawan di kirinya. "Dibilang coba suuzon dikit gitu, lho. Jangan lurus-lurus jadi orang."
"Ya kan gue mengimbangi kalian."
Oke, kali ini Komal enggak mau ikut-ikutan. Ia lebih memilih fokus ke lokasi perlombaan, menunggu Randu muncul di depan pintu. Sayangnya, sampai asar pun belum ada yang keluar. Maklum, tiap siswa bisa menghabiskan 1,5 jam atau bahkan lebih. Komal sendiri enggak tahu ada berapa sekolah yang mengirim delegasi ke sana, jadi mau sampai kapan juga ia enggak bisa mengira-ngira. Apalagi, hari ini enggak cuma jurusan TSM yang berperang. Alhasil, yang menganggur seperti mereka hanya menunggu dengan sabar.
Sementara itu, di dalam area lomba, Randu menggigiti jarinya secara konstan. Keringat dingin membasahi telapak tangan hingga lembap dan licin. Gemetar di kaki juga susah dikendalikan, padahal belum banyak yang ia lakukan. Lelaki itu bisa melihat dua pembimbingnya yang menyemangati dari samping, tapi gemuruh di dada enggak berkurang sama sekali.
Tugas Randu tinggal satu, melakukan servis pada Honda Beat di depannya. Tapi, saat ia mencoba duduk dan mengecek bagian depan, sekujur tubuh lemas seketika. Bahkan untuk memegang obeng pun terasa berat dan menyulitkan. Ia terus menatap bagian rem yang perlu diperbaiki karena tarikannya berat dan berbunyi. Sudah lima menit ia habiskan untuk menatap dan merenungi kilatan memori beberapa waktu lalu.
Sungguh, gue nggak bermaksud kayak gitu.
Randu terus bermonolog dalam hati. Ia mengaku terintimidasi dengan kemajuan sepupunya dalam segi apa pun: otomotif, support orang tua, dan percintaan. Ia memang mengelak tentang sabotase yang terjadi, meski kenyataannya memang tangannya-lah yang melakukan itu semua. Tapi, jauh di dalam benak, ia ingin jujur dan menerima konsekuensi yang ada. Sayang, setiap melihat wajah Pram dan kemungkinan 'pengakuan' yang bisa diterima, niatnya tenggelam lagi.
Waktu itu, saat Geboy sibuk mempertanyakan alasan Kira bersama Komal di bengkel, ia iseng mengotak-atik rem CB sepupunya tanpa berpikir akan berdampak sebesar ini. Randu benar-benar enggak menyangka Geboy bisa diambang maut separah itu. Ia pikir paling cuma lecet biasa dan mesti istirahat beberapa minggu. Argh, kepalanya makin pening rasanya.
"Waktu tinggal tiga puluh menit lagi."
Randu terkesiap. Ia kembali memastikan waktu yang tersisa melalui arlojinya. Sial! Ia lekas menampar diri dan segera memperbaiki bagian yang sedikit rusak. Sayang, saat tangannya bergerak, otaknya mengirim sugesti: bagaimana kalau motor yang dikerjakan justru makin parah dan mencelakai orang lain juga, seperti Geboy?
Tangan Randu bergetar hebat. Ia lantas mundur perlahan, lalu beralih ke ban belakang dan menyelesaikan keseluruhan servis, selain rem. Ia sontak mengembuskan napas panjang dan bersandar pada dinding. Perlombaan sudah selesai. Mereka hanya perlu menunggu hasil.
"Gimana? Lancar? Dari jauh nggak begitu kelihatan soalnya. Aman, kan?" tanya guru Randu setelah menghampiri lelaki itu, sedangkan Aco masih diam saja.
"Ndu?"
Sang empunya nama mengabaikan panggilan itu dan segera keluar ruangan. Aco pun mengangkat bahu, tanda enggak tahu-menahu. Mungkin jawaban juri yang bisa menjawab semua kebingungan mereka.
Randu enggak sekadar keluar area lomba, tapi juga melenggang entah ke mana--naik motor--usai berjam-jam mojok di belakang. Komal melihat itu dan turut bingung sendiri, begitu pula anak Geng Senter lain. Ia segera mengirim pesan pada Aco yang malah disambut dengan panggilan video. Dengan senang hati lekas Komal terima.
"Lo lihat Randu?"
"Iya, Bang. Keluar naik motor. Udah selesai emang acaranya?"
Aco tampak mendengkus dan manggut-manggut. "Baru aja pengumuman."
"Hasilnya?"
"Lo tau Baskara? Anak SMK negeri yang idealis nggak suka organisasi itu. Dia yang dapet."
"Hah?" Enggak hanya Randu, tapi seluruh anggota yang menyimak ikut terperanjat.
"Yang bener, Bang? Si Randu nggak menang? Randu lho ini, bukan Boy."
"Anjir, orang sakit masih aja lo roasting!" Komal berseru kesal pada lelaki gundul di depannya. "Tau kenapa nggak, Bang?"
"Nilainya kalah. Kayaknya ada yang dilewatin Randu, makanya lumayan banyak selisihnya."
"Kok bisa ya, padahal dia sebelum ini fine-fine aja."
"Entahlah, gue mau balik abis ini. Kalian juga, gih."
"Enggak, ah. Gue mau jenguk Boy aja."
"Eh iya, terus Boy gimana, Bang?" tanya si kribo.
Komal menoleh. Semula ia enggak paham arah pembicaraan kawannya itu. Tapi, lama-lama ia sadar, hari ini mereka enggak mendapat kandidat ketua baru karena pemenangnya bukan dari Geng Senter. Hanya saja bukan berarti Geboy aman dari posisi ini, sebab ia pun turut kalah bahkan sebelum memulai.
"Kita lihat nasib dia nanti."
***