Geboy sudah dipindahkan ke ruang rawat biasa, VIP Kamar Anggrek. Tapi, ia belum sadar. Meski masker oksigennya sudah dilepas, lelaki itu masih pucat, sayu, dan menyedihkan. Enggak biasanya ia terbaring lama tanpa daya seperti ini. Kata dokter, semua perlu waktu. Mereka, yang setia menjaga Geboy, tinggal menunggu kapan sang jagoan membuka matanya. Bisa satu jam lagi, esok hari, lusa, minggu depan, atau entahlah. Enggak ada yang pasti, tergantung kemauan Geboy sendiri.
Ada sekitar lima anggota Geng Senter sif pertama yang menyebar duduk di sofa, dekat jendela, dan samping laci. Mereka di sana dari pukul tiga sore sampai setengah enam nanti. Sif kedua dimulai besoknya, dari pukul sembilan sampai dua belas siang. Selain itu, orang tua Geboy-lah yang menetap di kamar. Satu-satunya anggota yang enggak mengenal waktu dan datang seenaknya adalah Komal.
Seperti hari ini, ia sengaja membolos. Aco, Rendra, Kang Mus, dan dua senior lain tengah merencanakan sesuatu di kantin rumah sakit. Tentu, ia enggak mau ketinggalan. Padahal, bisa saja nanti dihubungi via chat lalu tetap menjalankan misi sesuai yang didiskusikan. Sayangnya, lelaki itu enggak sabaran dan mau dilibatkan dalam hal apa pun. Hitung-hitung ikut nimbrung dan menyumbang satu suara.
"Boy udah dikeluarin dari delegasi LKS, Bang. Udah ada siswa yang ditunjuk jadi pengganti dan itu bukan anak geng kita."
Komal membuka pembahasan dengan sebuah fakta pahit. Baru ini ia ketar-ketir mendengar dan menyampaikan pesan Pak Bonang. Keputusan pihak sekolah bukan enggak bisa ditebak, tapi ia sedikit syok setelah mengetahui siswa cadangan mereka. Komal pikir, ia-lah yang bakal diajukan--percaya diri dulu enggak apa-apa, kan. Mengingat rankingnya dengan Geboy enggak beda jauh, malah kadang salip-menyalip. Sayang, para guru sudah memutuskan untuk mengirim siswa kelas lain--masih dari Teknik Sepeda Motor--yang dinilai lebih berkompeten. Komal bahkan belum sempat mengajukan diri.
"Berarti kesempatan Randu buat naik jabatan makin besar, ya?" Aco lantas menggigit jari.
"Gue nggak terima, Bang. Dia yang bikin Boy begini."
"Belum tentu, Mal." Kang Mus mencoba menengahi, tapi Komal tetap berkacak pinggang dan ngedumel panjang.
"Dia udah nyampek, belum?" tanya Rendra pada Aco.
"Ini nge-chat, katanya masih di parkiran."
"Ya udah. Kita ke kamar Boy sekarang. Suruh dia langsung ke sana aja."
Aco mengangguk, segera mengirim pesan pada Randu sesuai arahan Rendra. Mereka pun kembali ke ruang rawat Geboy, meminta anak Geng Senter mengosongkan tempat, lalu duduk di sofa menunggu kedatangan sang bintang tamu.
Hawa panas yang masuk dari sela-sela jendela beradu dengan aura penghuni Kamar 10B. Bahkan dinginnya AC enggak menyelamatkan luapan amarah mereka, yang sebenarnya enggak kasat mata. Randu termangu di depan pintu cukup lama. Tangan dan kakinya bergetar, tiba-tiba susah bergerak. Degup jantungnya juga makin cepat enggak karuan. Komal yang menyadari ada sosok yang mematung di luar pun lekas membuka jalan dan tersenyum lebar.
"Eh, Randu. Yuk, masuk!" sapanya ramah seperti mbak-mbak Alfamart.
Si empunya nama pun menunduk, lalu masuk mengikuti Komal dan duduk di samping Aco. Ia sama sekali enggak menatap ranjang, benar-benar menghindari kehadiran Geboy, selaku tuan rumah. Randu mulai mencengkeram celana saat Rendra dan Kang Mus menarik kursi kecil mereka dan berhenti tepat di depannya.
"Udah kan, Bang? Yuk berangkat latihan. Lombanya tinggal minggu depan."
Suara Randu terbata-bata. Ia ke sini untuk menjemput Aco, bukan yang lain. Tapi, sepertinya hal itu enggak sama dengan pemikiran para seniornya. Seketika Randu merasa tengah dijebak, dipermainkan, dimanfaatkan, dan entah apa lagi. Ia pun menatap Aco yang ternyata sudah sinis padanya sedari tadi. Sontak ia menelan ludah dan memundurkan badan. Sayang, ada Komal yang berjaga di ujung sofa.
"Ini ada apa sih, Bang? Kalian sengaja, ya?"
"Sengaja apa, Ndu?" tanya Aco.
"Ya sengaja."
"Apa?"
Mampus, batin Randu. Ia lantas memalingkan muka, menyembunyikan gerak mata yang berkeliaran.
Enggak mau banyak berdrama, Komal segera menyalakan laptop dan menaruhnya di atas meja. Ia memutar rekaman CCTV yang menunjukkan Randu keluar dari tempat parkir bersama box servis.
"Maksudnya apa?" Randu mengerutkan kening.
"Lo kan yang ngerusak rem motor Boy?"
"Hah? Mana buktinya?"
"Ini." Komal menunjuk laptopnya brutal sampai hampir terjengkang.
"Mana? Itu cuma gue jalan dari parkiran, nggak ngapa-ngapain."
"Tapi jelas pasti lo pelakunya. Mau siapa lagi?"
Randu menarik napas dalam-dalam lalu berdiri, mendekati Komal yang bersedekap di depannya. "Gue nggak tau dan gue nggak peduli. Orang bego doang yang percaya video itu bisa jadi bukti sabotase."
Aco dan Rendra saling pandang. Mereka enggak bodoh. Tentu sebagai manusia yang lebih banyak makan asam garam dibanding Komal, keduanya tahu hal ini enggak berarti apa-apa. Tapi, nyatanya itu semua masih sanggup untuk memancing insting dan gerak-gerik Randu. Sesuai perkiraan.
Lelaki yang mengaku enggak terlibat apa-apa itu berkeringat hebat di sekitar pelipis, leher, dan telapak tangan. Jari-jarinya tampak bergetar sampai harus dilampiaskan dengan mengepal dan mencengkeram paha. Belum lagi kaki kirinya yang terus mengentak cepat dan konstan. Jelas bukan pertanda yang 'enggak peduli' sama sekali terhadap kasus ini.
"Lo sengaja potong kabel rem biar Boy kenapa-kenapa, kan? Makanya kemarin lo tiba-tiba minta balapan. Karena lo sadar kemampuan dia udah bisa bikin ketar-ketir, jadi pilih main curang begini. Dengan celaka, Boy nggak bakal ikut lomba. Gila, ya. Segitunya, Ndu? Dia sepupu lo sendiri!"
"Jaga mulut lo! Gue udah bilang, bukan gue yang ngelakuin. Gue nggak ada urusan. Lagian, dari segi mana gue takut kalah? Lo nggak ingat siapa yang menang pas tanding kemarin, hah?"
Komal hendak melayangkan pukulan, tapi Kang Mus segera mencegahnya. Sementara Aco dan Rendra masih diam menikmati perseteruan itu.
"Kalau emang lo nggak takut, nggak semestinya dari awal lo nantang Boy kayak kemarin. Dengan Bang Aco sebagai taruhan pula. Tahu banget lo kalau asetnya di dia. Stalking banget, nih? Murah amat jadi orang."
"Mal!"
Randu enggak tahan lagi. Ia menampar lelaki di depannya dengan tenaga yang tersisa. Komal ingin membalas, tapi ia ingat perjanjian dengan Aco untuk enggak memakai kekerasan. Lelaki itu pun diam, pasrah menatap Randu yang makin kembang kempis menahan emosi.
"Terserah lo mau ngomong apa. Gue nggak peduli. Yang jelas, apa yang terjadi sama Geboy bukan urusan gue. Mending lo tanya sendiri sama dia kenapa bisa sial begitu. Gue cabut."
"Ndu!"
Sebelum benar-benar pergi, Komal menahan tangan Randu dan mengentaknya agar lelaki itu berbalik badan. Tanpa sadar Randu melakukannya dan enggak sengaja melihat kondisi Geboy yang jauh dari kata 'baik'. Perban masih di mana-mana dengan mata tertutup sempurna. Terlebih saat mendapati dua kaki yang sedikit digantung itu rasa mirisnya mencuat enggak karuan. Randu makin lemas dan mau lari sekencang mungkin. Tapi, melepas genggaman Komal saja ia enggak bisa.
"Lepas, Mal."
"Gue bakal lepas, tapi dengerin dulu jawaban gue atas pernyataan lo itu."
Alis Randu bertaut. "Maksud lo?"
"Lo bilang 'mending gue tanya sendiri', kan?" Komal tersenyum paksa. "Iya, nanti, kalau dia bangun. Masalahnya, kita nggak tahu kapan dia bangun. Entah bangun atau nggak."
"Te-terus?"
Komal menggeleng. "Nggak. Nggak ada."
Randu segera menarik tangannya lalu mendorong Komal menjauh. Tapi, ketika sampai ambang pintu, Aco memanggil namanya tanpa menoleh. Ia pun berhenti lagi.
"Pas Boy bangun nanti, dia bakal tahu kalau dia belum tentu bisa jalan lagi. Semua hal tentang motor dan Geng Senter bisa langsung bubar gitu aja. Itu sama aja mati bagi dia. Dan gue, seniornya, pengen tahu siapa yang semestinya nanggung dosa segede itu. Sebagai sepupu, lo nggak ngerasa gitu juga, Ndu?"
Sang empunya nama menelan ludah. Buku-buku jarinya memutih. Ia enggan menjawab dan langsung keluar ruangan sambil menggebrak pintu. Kedatangannya kali ini adalah sebuah kesalahan besar.
***