Cahaya yang masuk melalui gorden sangat menusuk mata. Bayangan hitam kehijauan lagi-lagi menjadi halangan dalam mengedarkan pandangan. Tapi, kali ini Geboy enggak mau kalah. Punggungnya terasa begitu kaku sampai susah bergerak. Bagian belakang kepala hingga pundaknya juga berat dan nyut-nyutan. Ia ingin bangun, meregangkan otot, lalu enyah jauh-jauh dari sini--yang ia sendiri belum tahu ada di mana. Lelaki itu pun menghela napas dan mencoba menutupi area muka. Sontak dahinya berkerut saat mendapati selang infus di tangan kirinya.
"Boy? Ya Tuhan, syukurlah kamu sudah bangun."
Ma ….
Geboy menurunkan tangannya. Ia lantas menyentuh area leher, tapi lama sekali. Pergerakannya seperti siput lagi lomba lari. Ia refleks menelan ludah. Suaranya enggak terdengar. Entah hilang, habis, atau sedang digadaikan. Mungkin karena tenggorokannya yang kering bak padang pasir. Mau berkali-kali dibasahi dengan air liur pun enggak akan ngefek.
"Mama panggilin dokter dulu, ya."
Tyas tampak berkaca-kaca. Matanya sayu dan berkantung hitam. Rambut juga acak-acakan dengan baju enggak disetrika. Geboy makin mengerutkan kening. Apa yang terjadi pada wanita itu? Bukan, apa yang terjadi padanya?
"Anjir, Boy! Hidup juga lo akhirnya!"
Komal ternyata tidur di sofa. Lelaki itu tiba-tiba memeluk Geboy setelah Tyas membangunkannya--untuk menjaga sebentar. Ia enggak kalah bahagia dan hampir menangis. Sosok yang terkapar layaknya mumi kini benar-benar kembali. Ia segera merogoh ponsel dan membuat panggilan grup guna memberi tahu kabar baik ini. Geboy yang melihat itu masih berkedip linglung, mencerna situasi sambil mengingat-ingat.
"Welcome back, Boy!"
Bang Aco? Ah, iya. Alis Geboy bertautan. Ia sadar telah kehilangan seniornya itu.
Argh!
"Eh, eh, lo kenapa?"
Komal segera mematikan telepon dan menjauh dari ranjang Geboy saat sahabatnya memegangi kepala. Ia membiarkan dokter dan perawat mendekat, lalu keluar bersama Tyas. Mereka menunggu dengan sabar sampai proses pemeriksaan selesai. Syukurlah, dokter mengatakan Geboy sudah siuman, meski belum bisa banyak bergerak dan berbicara. Tyas lekas berterima kasih dan segera mengirim pesan pada Abi. Komal juga turut membungkuk kemudian masuk ruang rawat lagi.
Geboy saling pandang dengan sahabatnya. Memori terakhir yang ia ingat adalah segerombolan warga yang berniat menolong, tapi hanya menatapnya seakan ia barang rapuh yang kalau disentuh bisa berserakan. Lelaki itu juga sudah cukup sadar untuk mengecek tanggal di kalender dinding. Ia sudah melewatkan banyak hal.
"Mau minum?" tawar Komal. Ia sudah tenang--enggak hiperaktif kayak tadi--dan duduk di kursi kecil samping laci.
Geboy pun mengangguk dan bertanya lirih, "Anak gue gimana?"
Peka, Komal mendekatkan telinganya ke bibir Geboy. "Oh, motor? Aman kok, di bengkel Kang Mus."
Geboy bernapas lega, meski detik berikutnya tampak murung lagi. Terlebih saat kesusahan menggerakkan kedua kaki, yang ternyata masih di-gips. Raut wajahnya berubah mendung. Debar jantung makin enggak karuan juga. Jangan-jangan, jangan-jangan, hanya itu yang ada di benaknya.
"Bentar lagi dilepas, kok. Lo nggak usah khawatir. Tapi setelah ini lo mesti terapi jalan. Gue temenin. Oke?"
Komal mengarahkan sedotan plastik pada Geboy. Ia menjelaskan sesantai mungkin, berharap yang bersangkutan enggak syok dan memperparah keadaan. Untung Geboy realistis dan enggak dramatis. Namanya juga musibah, mau bagaimana? Dibanding takut enggak bisa jalan, ada hal penting lain yang lebih menyeramkan, yaitu:
"Perlombaannya gimana?"
Sayup-sayup Komal dapat menangkap kalimat itu. Ia paham kekhawatiran Geboy, tapi entah apakah waktunya sudah tepat untuk menjelaskan semuanya. Ia pun berkata mau menunggu Aco dan anak Geng Senter lain sebelum bercerita apa pun.
Geboy pasrah. Enggak ada yang bisa ia lakukan. Dengan keadaannya sekarang, sudah pasti sekolah mendelegasikan siswa lain. Sepanjang sejarah Geng Senter, ia menjadi ketua pertama yang enggak berkompetisi di ajang bergengsi itu. Ia kalah tanpa berperang. Jabatannya kini makin jauh dari genggaman. Belum lagi, masalah Randu ….
"Sepupu lo nggak menang, btw."
Mustahil, Geboy sontak terbatuk. Komal segera menaikkan bed-nya agar Geboy bisa setengah duduk. Keterkejutan itu ia prediksi dari jauh-jauh hari, jadi Komal sudah lihai mempersiapkan responsnya.
"Lo nggak salah denger, kok. Tahun ini anak Geng Senter nggak dapet apa-apa. Untuk pertama kalinya."
Sebuah pencapaian buruk. Geboy refleks menunduk. Ia merasa gagal. Bahkan anggota-nya pun kalah. Padahal, kalau memang takdirnya berpisah dengan posisi ini, ia akan menerima dengan lapang dada. Ya, mungkin akan sehari-dua hari merajuk sebab omelan papanya, tapi ia akan sembuh. Karena paling enggak Geng Senter tetap berjaya di mata anak STM sekota, terutama di jurusan sepada motor.
Sekarang, ia benar-benar enggak punya apa pun untuk dibanggakan, bukan?
"Boy?"
Sang empunya nama lekas menoleh. Papanya datang bersama Pram, juga anggota geng yang ikut masuk dari belakang. Lelaki itu langsung memeluk dan mencium keningnya. Ia bisa merasakan tetesan air mata yang tertinggal di ujung pelipis. Geboy pun mematung. Baru ini ia mendapati Abi kalang kabut panik begitu.
"Ada keluhan? Mana yang masih sakit?"
Geboy masih bergeming. Ia lantas memandangi Tyas yang mendekat lalu duduk di tepi kasur. Kedua orang tuanya itu kompak berperilaku aneh. Geboy enggak terbiasa dengan perhatian berlebih semacam ini.
"Lo udah siap dengerin penjelasan gue, Boy? Gue sengaja ngajak Om Pram juga biar dia ikut dengerin."
"Masalah apa, Bang?" jawab Geboy pelan dan terbata.
"Motor lo. Lo pasti sadar kan kalau remnya blong?"
Geboy mengangguk, tapi kemudian menggeleng. "Gue baru tahu."
"Iya, paham. Ini bukan tanpa sengaja, kok. Lo emang dicelakai sama seseorang."
"Dan itu Randu. Iya, Co?" Pram menembak pernyataan yang ingin pembimbing anaknya katakan.
"Maaf, Om. Tapi saya, Kang Mus, dan senior lain meyakini itu. Kami sudah cek CCTV di bengkel dan yang keluar-masuk sana pas jam-jam motor Boy dirusak cuma dia. Kita emang nggak punya bukti langsung, makanya nggak bisa nuntut apa-apa juga, tapi dari sini seenggaknya Om Pram bisa tahu dan nyoba ngobrol sama dia."
"Tapi kenapa? Selama ini Randu nggak pernah macam-macam, kan?" Abi turut enggak percaya.
"Itu karena Om nggak tahu aja. Dia udah sering kok cari gara-gara sama Boy," jawab Komal mewakili sahabatnya.
"Iya, Boy?"
Geboy menatap Aco dan kawan-kawannya yang lain, lalu mengangguk. "Mungkin dia tertekan juga. Om Pram nggak pernah ngasih apresiasi yang cukup, Papa nggak pernah puas sama pencapaianku. Kalau emang beneran dia yang ngelakuin, aku maklum, kok. Nggak apa-apa. Udah telanjur."
Komal mendelik saat mendengar kalimat yang diucapkan selama dua menit itu. "Ya nggak bisa gitu dong, Boy. Dia perlu dikasih pelajaran."
"Kalau begitu, Om sama Om Abi aja yang nanggung akibatnya, gimana?" Pram menjawab itu sambil memijat tengkuk. "Maaf ya, Bi. Aku nggak ngira kalau dia nekat begini."
"Nggak apa-apa, coba ditanya dulu. Besok ajak ke sini. Kita bicarain baik-baik."
Pram mengiakan lalu keluar dengan wajah menekuk. Tyas pun menemaninya. Komal dan anggota geng ikut pamit ke kantin rumah sakit, meninggal Geboy dengan papanya berdua di kamar.
Hening mendominasi. Geboy kikuk, hanya menatap papanya yang terus menunduk seraya menciumi pergelangan tangan yang dingin dan gemetaran. Abi juga berulang kali mendengkus. Mau mengangkat kepala saja enggan. Antara malu, takut, atau kecewa pada diri sendiri. Geboy pun lekas menepuk lengannya, seakan meminta agar Abi mau berbicara.
"Ternyata kalau kamu nggak ada tuh sepi banget hidup Papa, Boy."
Geboy tersenyum tipis. Ia berusaha menggenggam tangan papanya, tapi belum kuat. Syukurlah Abi peka dan menggantikan niatnya.
"Sekarang yang penting kamu nggak kenapa-kenapa."
"Iya, Pa."
"Urusan Randu kita selesaikan besok, nunggu kakekmu ke sini juga biar tahu kelakuan cucu-cucunya."
"Tapi--"
"Udah, jangan ngalah dan kasihan terus. Kamu yang terbaik. Itu kan yang perlu Papa akui?"
Sebenarnya iya, tapi Geboy susah membenarkan. "Randu juga. Punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Jadi, boleh nggak kalau setelah ini kami nggak harus bersaing lagi?"
Abi mengusap kepala Geboy. "Boleh, pasti. Lagian, Papa yakin setelah ini Randu bakal keluar gengmu, atau malah dari sekolah sekalian."
"Kenapa?"
"Kita tunggu besok, ya."
***