Sayembara pertama yang diadakan Danika sudah berjalan beberapa hari. Antusias para mahasiswa semakin membuat Danika bersemangat menggeluti dunia literasi. Setiap hari dia harus rutin mengecek puisi milik siapa saja yang dikirimkan untuk perlombaan. Sejauh ini, belum ada puisi yang membuatnya jatuh hati. Paling hanya naksir, itu pun karena penulisannya apik.
Jaka sendiri bertugas mengumpulkan setiap puisi yang dikirimkan lewat selembar kertas hvs. Sayembara ini memang tidak menggunakan e-mail sebagai cara mengirimkan naskah. Danika lebih memilih menggunakan hvs dan ditulis tangan. Sekalian menyeleksi siapa yang pantas menjadi mahasiswa sejati jika tulisan tangannya tidak naik turun seperti jalan pegunungan, sekalipun menulis pada hvs yang tidak ada garisnya.
Di ruang kepengurusan, Danika selalu menghabiskan waktu selepas mengejar SKS perkuliahan. Dunianya saat ini begitu dinikmati walau kehadiran K’DER masih saja menjadi nomor satu yang paling ditunggu olehnya. Namun, Danika yakin suatu hari nanti akan ada jalan ketika mereka bertemu, bercanda, bahkan mungkin membongkar isi hati masing-masing.
“Gila! Ini puisi keren abis!” seru Jaka mengangkat sebuah hvs di hadapan Danika.
“Siapa penulisnya?” Danika mendongak penasaran.
“RG.” Jaka menunjuk tulisan paling bawah yang berisi inisial.
“Coba, aku lihat.”
Seandainya waktu tak pernah mempertemukan
Mungkin kita tak akan saling melepaskan
Di balik keterpaksaan dan penyiksaan
Aku akhiri segala dengan kelukaan
Maaf,
Aku pergi meninggalkan segenap luka yang tak biasa
Semoga kamu bahagia
(RG)
“Pisahin. Puisinya kayak nyindir urang banget itu,” titah Danika mengembalikan kertas tadi pada Jaka. Entah apa yang terjadi padanya hingga merasakan sesak. Menerobos ke bilik-bilik jantung, meremas, lantas menjatuhkan. RG? Siapa nama di balik penulis itu? Danika penasaran, sangat penasaran.
“Aman, Ka?” selidik Jaka, setelah memisahkan puisi itu sesuai dengan permintaan Danika.
“Lumayan. Cuma rasanya agak sesak di hati, sih. Ah, udahlah lupain.” Danika menggeleng kasar, berusaha menguasai diri.
“Ah, ya udah. Aku beli makanan ke kantin dulu, ya. Nanti ke sini lagi. Kamu mau nitip apa?” Jaka bangkit meraih sepatunya.
“Jus alpukat sama batagor.” Danika menyibukkan diri kembali dengan memilih puisi-puisi lagi. Kesibukan seperti itulah yang bisa membuatnya sedikit melupakan kenangan tentang K’DER.
“Neng Geulis nggak bosen, makan batagor sama jus alpukat terus? Aku aja yang merhatiin bosen,” decak Jaka berlalu ke arah kantin tanpa menunggu respons Danika lagi, karena sudah dipastikan jika responsnya hanya cengiran saja.
***
Jaka terkejut setengah mati saat hendak kembali menemui Danika. Pasalnya, Karla tiba-tiba sudah berdiri di belakang dengan senyum, lebih tepatnya cengiran lebar. Cewek itu jauh terlihat baik-baik saja dibanding saat kali pertama Jaka bertemu dengannya.
“Hei, Jak.” Karla masih mematung dengan mengulas senyum persahabatan.
“Ya ampun, aku kira setan. Kamu ngagetin aja, Kar. Ngapain di sini?” seru Jaka mengedarkan pandangan ke setiap sudut kantin. “Sendirian?” tanyanya, menjatuhkan pandangan pada Karla.
“Enggak.”
“Enggak? Terus, ke sini sama siapa?” Rasanya Jaka bingung dengan ucapan Karla. Jelas-jelas Jaka hanya melihat Karla seorang diri tanpa ada siapa-siapa di belakangnya. Dalam hitungan detik, bulu kuduk Jaka meremang seperti anak-anak Pramuka yang sedang baris-berbaris. Apa jangan-jangan Karla datang dengan teman dari planet lain?
“Sama siapa? Apa sama cinta pertama Danika?” Kali ini Jaka berbisik seolah takut jika sewaktu-waktu Danika muncul. Dia juga mengelus tengkuknya agar tidak meremang lagi.
“Haha, lebih keren dari cinta pertama,” kekeh Karla, membuat Jaka lega. Otak paranoidnya memang sudah parah. Mungkin efek menonton tayangan-tayangan uji nyali di Youtube.
“Terus, sama siapa, dong?” selidik Jaka, tidak sabar.
“Ayo, ikut aku! Nanti juga bakalan tau.” Karla mengajak Jaka ke arah parkiran kampus.
Dengan membawa makanan yang dipesan Danika, Jaka menuruti keinginan Karla. Dipasangnya mata hitam dengan bulu mata lentik itu baik-baik. Jaka tak ingin melewatkan satu hal pun tentang kejutan yang akan diberikan oleh Karla. Lebih keren dari cinta pertama Danika? Ah, semakin membuat cowok berambut sedikit keriting itu penasaran.
Langkah Karla terhenti tepat di dekat dua cowok yang sedang asyik bercanda. Kedatangan Karla membuat keduanya seketika bangkit dan melayangkan tatapan penuh tanya pada Jaka. Keduanya memang belum pernah bertemu dengan Jaka sama sekali.
“Sa, dia yang aku ceritain waktu itu. Temennya Danika,” seru Karla menunjuk Jaka. Orang yang ditunjuk masih bergeming dan tak berkata apa-apa.
“Oh, dia? Salam kenal, ya. Aku Esa, orang paling ganteng se-Bandung Raya.” Esa menyodorkan tangan sembari memasang wajah sok tampan.
“Jaka. Aku tahu kalian dari Danika. Dia pernah curhat tentang kalian. Bukan pernah lagi, tapi sering,” jelas Jaka selepas berjabatan tangan dengan Esa. Raut canggung Jaka berubah menjadi sedikit tenang setelah sadar bahwa yang ada di hadapannya adalah sahabat-sahabat Danika.
Beberapa minggu setelah resmi menjadi mahasiswa, Jaka memang sangat dekat dengan Danika. Di setiap kesempatan, Danika selalu bercerita tentang K’DER. Penceritaan yang tidak banyak ditutupi itu membuat Jaka merasa ingin bertemu dengan Esa dan yang lain. Sampai saat Karla datang ke kampus, rasa penasaran Jaka belumlah hilang. Justru malah semakin bertambah penasaran, siapa saja sahabat Danika yang berhasil membuat cewek unik itu keral meneteskan air mata saat bercerita.
“Sekarang Danika ada di mana?” tanya Ravi yang sejak tadi hanya mendengarkan saja.
“Dia ada di ruang kepengurusan. Kamu Ravi, kan? Aku saranin, mending temuin Danika sekarang. Dia sayang sama kamu, Rav.” Jaka menyentuh pundak Ravi yang lebih bidang daripada pundak miliknya.
“Ruang kepengurusan? Ngapain?” tanya Ravi, heran.
“Dia lagi sibuk pilih naskah-naskah sayembara. Ayo, ikut!” lanjut Jaka, segera bangkit dan bergegas. Belum sempat dia mengajak yang lainnya bertemu Danika, Ravi sudah mencengkeram tangannya.
“Titip ini buat Danika.” Sebuah kertas di dalam amplop putih dikeluarkan dari tas Ravi.
“Kenapa nggak ditemuin langsung?” Karla menyela, melayangkan tatapan serius pada Ravi.
“Aku belum sanggup. Titip Danika, ya, Jak. Aku tau, kamu adalah sahabat yang baik buat Danika. Suatu hari nanti, aku bakalan ungkapin semua perasaan aku. Tolong tegaskan sama dia, kalo aku nggak pernah benci sama dia.”
Mata cowok berambut sedikit gondrong itu berkaca-kaca. Sebenarnya, Ravi menyesalkan atas kepayahan dirinya untuk menemui Danika. Namun, selaras dengan yang dikatakannya pada Jaka, seperti apa pun situasi saat ini, perasaannya tetap tak pernah berubah.
“Rav,” panggil Karla menyentuh lengan Ravi.
“Jangan maksa,” katanya, tanpa menatap Karla. Melihat situasi seperti itu, Jaka tak bisa mengatakan apa-apa. Dari cengkeraman Ravi terasa ada ketakutan yang mendalam. Jaka hanya berharap perasaan Danika yang terombang-ambing akan segera bersatu dengan Ravi. Setidaknya, perasaan itu berhak atas pelabuhan yang jelas.
“Oh ya, titip ini juga. Mana WhatsApp kamu? Aku minta. Soalnya ini harus dikirim lewat WhatsApp.” Esa mengeluarkan handphone dari saku celana.
“Ini. Eh, Danika emang nggak pernah pake hp kece, ya? Aku lihat, dia hp-nya masih hp ganjelan pintu,” tawa Jaka tertahan membayangkan obrolan yang sama dengan Danika tempo hari.
“Haha, dia masih nggak ganti hp?” Esa tertawa paling keras di antara mereka.
“Belum. Dia cuek banget, Sa.” Jaka lagi-lagi tertawa.
Karla memukul lengan Jaka sambil berkata, “Udah, gitu-gitu juga dia sahabat aku, tau!”
“Haha. Ya udah, aku tinggal dulu, ya. Soalnya ini pesenan Danika belum dianterin,” tunjuk Jaka pada plastik di sebelah kanannya.
“Pasti batagor sama jus alpukat, ya?” Karla mencoba menebak isi plastik yang dimaksud. Kontan Jaka mengangguk membenarkan.
“Bro! Desak Danika cerita soal Ravi lagi, ya. Urang mah yakin dia teh sebenernya sayang sama Ravi.” Esa tiba-tiba berkata cukup serius.
“Oke, nanti aku bakalan bantu kalian sebisanya.” Jaka menyalami Esa dan yang lainnya bergantian, lantas berlalu menuju ruang kepengurusan untuk menyerahkan amplop yang dititipkan oleh Ravi tadi. Sepanjang menuju ruangan itu, Jaka berpikir keras bagaimana caranya agar bisa membujuk Danika untuk berterus terang tentang kerinduannya pada K’DER, terlebih Ravi.
“Dari mana aja, Jaka? Emang sejak kapan itu kantin pindah ke ujung Eropa?” decak Danika menyeka air matanya karena tak ingin diketahui oleh Jaka. Setelah membaca puisi misterius itu Danika menangis seorang diri. Perasaannya saat ini seolah tak tentu arah. Ingin meneruskan pertahanan rasa pada Ravi, tetapi di sisi lain tak ingin mengkhianati janji persahabatan yang ada.
“Kantin penuh,” kata Jaka, melepas sepatu sembari menatap Danika tajam. “Kamu habis nangis?” lanjutnya, menyerahkan plastik makanan.
“Enggak. Ahaha, apaan sih, Jaka!” Danika tertawa walau tetap saja terlihat dipaksakan. Sejak dulu, dia memang tak senang kesedihannya diketahui banyak orang.
“Hm, masih bohong sama diri sendiri. Kenapa nggak nyoba buat temuin Ravi dan Esa? Maneh kangen sama mereka, kan? Terlebih sama Ravi.” Pertanyaan sekaligus pukulan telak itu menampar Danika cukup keras.
Perlahan pandangannya beralih pada Jaka. Mata yang biasanya berbinar pun berubah menjadi redup, tak ada semangat sama sekali. Sekali lagi Jaka menarik napas gusar. Baru kali ini, tepatnya dalam beberapa bulan terakhir, Danika kembali seperti sebuah bunga yang akan mati.
“Urang mah cuma takut ngerusak persahabatan K’DER.” Suara Danika pelan. Sekuat mungkin dia memendar senyum seraya menyeka air mata yang sudah terlihat akan meluncur deras.
“Sahabat-sahabat kamu nggak sejahat itu, kok.” Jaka tersenyum, mengeluarkan amplop yang disimpannya di saku celana. “Barusan ada Ravi sama yang lain ke sini. Dan ini, titipan buat kamu. Sorry, tadi aku bohong. Aku telat ke sini karena ketemu sama mereka dulu di parkiran.”
Mata Danika membulat mendengar pengakuan Jaka. Dengan sedikit panik, dia menyambar amplop itu lantas memakai sepatu dan berlari ke parkiran, berharap mereka masih ada di sana. Sayang, tak ada yang Danika temui.
***
Seorang wanita paruh baya menatap penuh khawatir dari balik jendela. Matanya tak henti melirik jam dinding yang sudah menunjuk angka sembilan. Setelah sekian lama putri terkasihnya tak pulang terlambat, kali ini semuanya kembali terjadi. Diliriknya handphone berukuran beberapa inci itu dengan penuh pengharapan. Barangkali Danika mengirimkan kabar atau pesan akan pulang terlambat. Sayang, tak ada kabar dari Danika sama sekali.
Bunda selalu takut jika Danika kembali pergi meninggalkannya seperti saat itu. Selama kepergian Danika, Bunda berusaha mendatangi tempat indekos Karla meski hasilnya orang-orang yang berada di sana selalu mengatakan jika Danika sedang pergi. Hati Bunda terluka, merasa gagal menjadi sosok ibu yang baik bagi putri semata wayangnya. Bunda menyadari, selama ini terlalu egois dan menutup mata tentang mimpi besar Danika.
Perlahan, perasaan yang sempat hampa itu kembali dipenuhi oleh kebahagiaan. Tepatnya saat Danika datang dengan membawa seluruh pakaiannya ke rumah. Sejak saat itu, Bunda berusaha memahami mimpi terbesar Danika dan mengizinkannya untuk menulis. Terpenting bagi Bunda saat ini, apa pun yang membuat Danika bahagia, pasti akan didukungnya sepenuh hati.
“Bunda, kenapa belum tidur?” tanya Ayah yang sudah berdiri menyentuh pundak Bunda.
“Eh, Ayah. Bunda khawatir sama Danika. Nggak biasanya dia kayak gini,” ucap Bunda melayangkan tatapan penuh khawatir pada Ayah. Semua perenungan yang bertumpu di kepala pun berlarian seketika.
“Emang dia nggak bilang apa-apa tadi pagi? Ayah jarang banget ketemu Danika. Terlalu sibuk kerja.” Tangan Ayah merangkul bunda untuk menenangkan istri tercintanya. Sejujurnya, Ayah merasa bersalah pada Danika karena tak pernah ada banyak waktu untuk bertemu. Ayah selalu sibuk keluar kota mengurusi bisnisnya.
Ayah juga syok saat mengetahui Danika pergi dari rumah karena Bunda tak menyetujui pilihannya untuk menjadi seorang penulis. Hari itu, Ayah mendapati Bunda menangis sendirian di dalam kamar sambil memeluk foto Danika. Tadinya Ayah ingin melakukan sesuatu untuk membuat Danika kembali, tetapi Bunda mencegah dan meminta Ayah agar menyerahkan semuanya pada Bunda.
“Bunda rasa ada yang aneh sama Danika semenjak masuk–” Belum sempat Bunda menyelesaikan ucapannya, pintu depan tiba-tiba terbuka. Danika datang dengan sedikit meringis dan memegang tangan kanan serta lutut.
“Maaf, aku pulang terlambat,” katanya, duduk di sofa. Tas gendong kecil yang sedari tadi meringkuk di punggung pun disimpan di dekat sofa tanpa berbicara apa-apa lagi.
“Kamu kenapa, Ka?” Ayah mengamati tangan kanan anaknya yang sedikit berdarah.
“Itu, motorku diserempet sama mobil. Jadinya aku jatuh,” katanya, sedikit meringis dan meniup-niup tangan.
“Ya Allah, kenapa nggak telepon ke rumah? Seenggaknya Bunda sama Ayah bisa susul kamu ke sana.” Bunda merangkul Danika penuh khawatir, kemudian bangkit ke arah dapur membawa es batu dan lap kecil.
“Hp-ku habis batre, Bun. Tapi tenang aja, aku nggak apa-apa, kok.”
“Kamu itu selalu ngeyel kalo dibilangin. Ayo, kita ke rumah sakit!” Ayah menggamit tangan Danika.
“Ayah, aku baik-baik aja.” Tatapan Danika penuh permohonan.
“Ya udah, Bunda antar Danika ke kamar aja. Biar Ayah masukin motornya ke garasi. Lain kali lebih hati-hati, terus itu hp-nya ganti dong, Ka.” Panjang lebar Ayah memberi nasihat. Danika mendesah lelah menatap wajah ayahnya yang semakin hari semakin berkurang jatah usianya itu.
“Makasih banyak, Ayah. Iya, nanti aku ganti pake hp dari Ayah itu.” Seulas senyum tercetak di wajah Danika.
***
Sejak pulang tadi, Danika belum bisa beristirahat sebagaimana yang disarankan Ayah dan Bunda. Pikirannya bercabang antara K’DER dan puisi atas nama RG. Seumur-umur, dia yang biasa cuek malah berubah drastis hanya karena puisi itu. Mungkin bagi kebanyakan orang tidak ada gunanya melewati tidur malam hanya untuk memikirkan tentang puisi. Namun bagi Danika, itu menjadi hal yang teramat penting. Pukul sebelas malam adalah waktu yang pas untuk memulai bersahabat dengan kata. Danika bangkit dari tempat tidur dan bergegas meraih amplop yang dititipkan oleh Ravi kepada Jaka.
Hingga surat ini ditulis, aku tetaplah orang paling bodoh dan payah. Membiarkan perasaan mengawang-awang tanpa ada keberanian mencari atau mempersatukan. Bukan tak ingin melakukan. Hanya saja, aku menghargai apa yang disebut pilihan. Kamu pergi, menamparku malam itu tanpa berniat memberikan kesempatan untuk penjelasan perasaan yang kian bersemi kurasakan.
Maaf jika aku tak pernah menemuimu. Namun percayalah, ada hati yang kerap merindu meski kita tak lagi saling bertemu. Aku tidak membenci pilihanmu, tapi tetap melambungkan doa paling sederhana pada Tuhanku; semoga hatimu luluh, menyambutku dalam rasa yang sama dan tak pernah ada perpisahan kedua, ketiga, atau seterusnya. Tetaplah menjadi pemuisi bagiku, Danika.
Jantung Danika seolah berhenti berpacu. Selama ini dia sudah terlalu egois pada hatinya sendiri. Kata-kata Esa tempo hari dan surat dari Ravi itu benar-benar membuka pikirannya. Danika tak ingin merusak persahabatan yang terjalin sekian lama. Mengorbankan perasaannya pada Ravi tak begitu menyulitkan dibandingkan harus menghancurkan perasaan dua orang sekaligus, yaitu Esa dan Karla. Surat itu kembali dilipat dan dimasukkan ke dalam amplop. Mata Danika terasa panas, hatinya bergejolak saling berlomba tetap bersembunyi dari Ravi ataukah kembali memeluk mereka walau rasa yang ada tetap tak pernah mati.
Di lain tempat, Jaka tercenung menunggu WhatsApp dari Esa. Sudah akan berganti hari, tapi WhatsApp yang dimaksud belum juga dikirimkan. Pandangan Jaka beralih pada langit-langit kamar. Menerka apa yang akan didapatkannya malam ini dari Esa.
Esa
Jaka, ini tunjukin sama Danika. Aku yakin, dia nangis kejer lihat video ini. Haha.
Sebuah kiriman video terproses di ruang chat. Jaka tersenyum membaca caption video yang dikirimkan oleh Esa itu. Benar dugaannya. Danika memiliki sahabat-sahabat yang tak jauh sifat seperti dirinya. Apa mungkin Jaka termasuk?
Jaka
Oke, beres. Besok aku kasih tau Danika.
Balasan chat itu terkirim beriringan dengan selesainya proses download video. Jaka melirik jam dinding, ternyata sudah hampir pukul satu malam. Dia merelakan jam tidurnya bergeser hanya untuk sebuah video dari Esa.
“Danikaa! Kenapa kamu nggak pernah mau mengakui perasaan sama Ravi secara terang-terangan, sih? Ya ampun, padahal Ravi sayang banget sama kamu.” Jaka mengomel sendiri sembari memulai video tadi. Tak sedikit pun dipahami mengapa Danika yang cuek bisa jauh lebih sulit mengakui perasaannya sendiri. Lama-lama Jaka geram dibuatnya.
***
Sandi menatap kesal pada Ravi sejak lima belas menit yang lalu. Semalam, Ravi berjanji akan menceritakan ide keren untuk acara pentas seni. Acaranya memang masih cukup lama, tetapi tidak akan terasa jika digunakan untuk mempersiapkan segalanya dengan matang. Selimut tebal bergambar tim sepak bola Barcelona semakin erat ditarik oleh Ravi. Pukul setengah tujuh, dia masih anteng bermain di dunia mimpi. Pantas saja Sandi menatapnya sengit. Kakak satu-satunya itu selalu menyebalkan semenjak masuk kuliah.
“Kak Ravi, ada Kak Danika,” bisik Sandi tak hilang cara. Belum genap satu menit, mata Ravi terjaga. Celingak-celinguk ke sana-kemari tanpa sadar kalau Sandi sedang mengerjainya.
“Mana Danika? Ya ampun, aku belum mandi lagi!” oceh Ravi menyibak selimutnya langsung masuk ke kamar mandi. Sandi yang melihat tingkah sang kakak hanya bisa tertawa tanpa henti. Sebelum Ravi selesai mandi, Sandi harus segera keluar dari kamar. Menyelamatkan diri kalau-kalau Ravi mengamuk dan berniat menyumpal mulutnya dengan kaus kaki bau. Ah, Sandi tak ingin mengingat hal itu lagi. Menjijikkan.
Mata Pak Gio menilik ke arah Sandi yang baru saja keluar dari kamar Ravi. Anak itu masih sama seperti tadi, tertawa puas. Spontan Pak Gio mendekati Sandi dan menanyakan apa yang sudah terjadi hingga pagi-pagi seperti itu anak bungsunya tergelak nikmat.
“Ya ampun, Sandi! Nanti kalo kakakmu tau bisa-bisa dia marah, lho.” Pak Gio berdecak selepas Sandi selesai bercerita.
“Ya habisnya, dibangunin kebo banget. Aku iming-iming nama Kak Danika, langsung ngibrit ke kamar mandi,” ujar Sandi, meraih tasnya di dekat sofa. Hari ini dia tidak sarapan seperti biasa karena sedang puasa sunah.
“Sandiii! Mana Danika? Kok nggak kelihatan?” Tiba-tiba saja Ravi keluar. Tampilannya jauh lebih rapi dibandingkan ketika Sandi mendatanginya di kamar. Bau iler, bau asam, dan rambut acak-acakan. Pokoknya, lebih terlihat seperti gembel.
“Ayah, aku berangkat dulu, assalamualaikum,” bisik Sandi menyalami Pak Gio. Baru lima langkah, sesuatu seolah menarik mundur badan Sandi. Tasnya dicekal, tetapi dia masih bisa merasakan menapak di lantai.
“Kamu bohongin Kakak, ya! Dasar, ngeselin!”
“Eh, Kak Ravi, hehe.” Sandi menoleh, mendapati Ravi menatapnya kesal. Di belakang cowok itu, Pak Gio berdiri menahan tawa menyaksikan kelakuan dua anaknya.
“Nggak sopan bangunin Kakak pake acara sebut-sebut Danika ke rumah!” Cengkeraman pada tas Sandi pun dilepaskan. Ravi dan Sandi berdiri berhadapan, siap menyemarakkan pagi ini dengan perdebatan mereka.
“Kalo nggak gitu, Kakak nggak akan bangun. Aku udah bangunin Kakak setengah jam yang lalu, niatnya mau nanya konsep pentas seni. Bukannya bangun, yang ada malah makin ngorok.” Kerlingan mata mengisyaratkan kalau Sandi benar-benar tidak merasa bersalah.
“Oh, gitu. Hehe, Kakak lupa. Maafin, ya.” Ravi menggaruk tengkuk dengan sedikit nyengir. “Ya udah, hari ini biar Kakak anterin kamu ke sekolah. Kita bahas di mobil aja. Sarapan dulu, gih!”
“Lagi puasa.” Kalimat singkat dan datar terucap begitu saja. Sandi berjalan keluar, sesekali menatap jam tangannya.
“Subhanallah, soleh juga kamu, haha. Ayo cepet, San! Kakak juga harus ke kampus hari ini.” Teriakan Ravi disambut senyum semringah Sandi. Kakak dan adik yang satu itu seolah menjadi penguat Pak Gio meniti kehidupannya. Tanpa ada istri atau sekadar teman wanita.