Ravi menyukai salah satu anggota K'DER yang sudah menjadi sahabatnya sejak SMP. Sepulangnya Ravi dari Yogyakarta, dia harus dihadapkan dengan situasi yang tidak mendukung sama sekali. Termasuk kenyataan tentang ayahnya. ...Read More >>"> Cinta Pertama Bikin Dilema (RG) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Cinta Pertama Bikin Dilema
MENU
About Us  

Puisi memang tak pernah jauh dari keseharian Danika. Meskipun kurang sehat seperti ini pun dia masih berikukuh membaca satu per satu naskah puisi milik peserta sayembara. Kecelakaan kecil yang dialaminya semalam, mengharuskan Danika beristirahat di rumah. Tidak ada pergi ke kampus, apalagi berkeliling Bandung yang merupakan hobi terbaru Danika.

Laptop hitam yang selalu setia menemaninya, terdengar melantunkan lagu-lagu favorit Danika. Salah satunya ada lagu milik Fiersa Besari berjudul “Waktu yang Salah”. Lagu itu didapatkannya dari hasil nangkring di tempat WiFi kampus kemarin sore setelah berdrama menyusul K’DER ke parkiran. Selama membaca sekaligus menilai, pikiran Danika terus tertuju pada inisial “RG”. Siapa orang di balik nama itu? Mengapa dia bisa menciptakan puisi yang memorakporandakan perasaan Danika?

Satu pesan masuk ke kotak e-mail. Alamat si pengirim membuat Danika mengerutkan kening meneliti. Pasalnya, alamat e-mail itu terbilang baru menghubungi Danika.

Aku menyukai puisi seperti menyukai perpisahan dengan hati yang tak ingin kulepaskan.

“Ini orang curhat apa gimana?” kata Danika masih tak mengalihkan pandangannya dari layar laptop. Namun, pada saat sebuah inisial didapatinya di baris terakhir, Danika menyeru kegirangan.

Hei, seriusan. Kamu itu siapa? Bikin aku penasaran saja, RG.

Kalimat berisi pertanyaan inti terpampang di badan e-mail. Danika hanya tinggal menunggu pemilik akun menjawab pertanyaan yang diberikan olehnya. Setelah itu, rasa penasaran Danika akan berkurang. Semoga saja.

***

Kantin kampus pagi ini terasa kurang lengkap tanpa kehadiran Danika. Jaka menatap teh manis pesanannya tanpa berniat masuk ke kelas mengikuti jam kuliah. Di pikirannya hanya ada nama Danika berlarian. Sudah berulang kali video yang dikirimkan oleh Esa untuk Danika itu dia putar. Niat awal memberitahunya hari ini, tapi apalah daya jika yang menjadi target malah tidak terlihat di kampus.

Kemarin, Jaka memang pulang lebih dulu dibandingkan dengan Danika. Tentang kecelakaan kecil yang menimpa Danika pun Jaka belum mengetahuinya. Memang dasar Danika tak pernah ingin terlalu membuat khawatir orang-orang di sekitarnya. Di sela perenungannya, handphone Jaka bergetar. Esa tengah menunggu di seberang telepon. Setengah terperanjat, Jaka akhirnya menerima panggilan Esa. Barangkali anak itu bermaksud mentraktirnya sarapan. Harapan sederhana bagi mahasiswa bokek sepertinya.

“Jak, di kampus, kan? Aku mau ke sana,” kata Esa, sedikit berteriak.

“Ngapain? Danika nggak masuk hari ini.”

“Serius? Kenapa itu anak nggak masuk? Tapi nggak apa-apa, deh. Aku tetep mau ke kampus. Kamu tunggu di parkiran, ya!” seru Esa, lantas memutuskan sambungan telepon. Jaka kembali menyimpan handphone-nya diiringi pertanyaan yang sama seperti Esa tadi. Tumben sekali Danika tidak masuk. Biasanya, sepilek apa pun meski harus menenteng tisu ke mana-mana, Danika akan tetap masuk kuliah.

Sambil menunggu kedatangan Esa di parkiran, Jaka menghubungi Danika lewat sambungan telepon. Beberapa kali dicoba, tak pernah ada jawaban. Nomornya masih tidak aktif. Rasa khawatirnya semakin menggedor-gedor pertahanan Jaka saja.

“Jaka!” seru seseorang. Jaka menoleh ke arah sumber suara dan mendapati Esa datang menggunakan seragam supermarket. Pakaian kebanggaan Esa beberapa waktu terakhir ini.

“Hei, Sa! Sendirian aja?” Jaka mematung, menunggu Esa mematikan mesin motornya dan membuka helm.

“Iya, nih. Yang lain sibuk kuliah.” Atas arahan satpam, motor Esa diparkirkan berderet dengan motor mahasiswa yang lainnya.

“Nah, yang lain udah kuliah. Kamu kapan? Emang nggak kepikiran buat kuliah, Sa?” goda Jaka menyentuh pundak Esa.

“Lihat nanti aja, lah. Eh, Danika kok masuk? Kamu udah hubungin dia?”

Jaka mengedikkan bahu. “Nomornya nggak aktif.”

Esa mendesah menatap sekeliling kampus. Banyak mahasiswi yang berlalu-lalang dan menarik perhatian Esa, padahal masih menginginkan Karla. Memang dasar, cowok selalu bermata banyak.

“Ya udah, aku balik dulu. Masuk kerja siang soalnya, mau ke tempat Ravi buat ngasih tau. Thanks, ya. Sorry udah direpotin.”

“Gitu doang? Nggak niat traktir sarapan atau ngemil, gitu? Pelit banget.”

Merasa tidak tega mendengar cara bicara Jaka, Esa meraih dompet yang terselip di saku celana bagian belakang. Dikeluarkannya satu lembar uang berwarna hijau. “Buat beli cilok. Dedek bayi jangan nangis, ya.” Bahu Jaka ditepuk-tepuk, seolah-olah Jaka adalah anak ingusan yang merengek minta jajan.

“Ngeselin emang si Esa,” omel Jaka kesal.

“Haha, aku balik dulu. Assalamualaikum.” Motor Esa berlalu meninggalkan parkiran. Menyisakan Jaka yang berubah menjadi sedikit semringah melihat uang dua puluh ribu pemberian Esa. Lumayan, untuk jajan di kantin langganan.

Sepanjang jalan, Esa mulai menyusun rencana selanjutnya untuk menebus segala kesalahan yang berimbas pada patah hatinya Ravi dan Danika. Tak bisa dimungkiri memang, tapi Esa berusaha sebisanya. Tidak ada sesuatu yang sia-sia jika mau berusaha, bukan?

***

Tiga kaleng minuman tergeletak di atas meja. Ketukan jari pada bangku yang terbuat dari kayu itu terdengar mengalihkan perhatian orang-orang sekitar. Raut serius ditunjukkan seorang cowok seraya sibuk mencurat-coret kertas di hadapannya. Hampir dua jam dia berkutat dengan pulpen merah dan kertas itu. Tetapi sampai detik ini, tak satu pun ide keren tercatat di sana.

Sejenak dia menjeda kegiatan. Meraih gitar yang berdiri di sampingnya, kemudian memetik acak kunci nada. Sejak ke kampus Danika, konsentrasinya memang selalu bercabang. Entah sampai kapan akan bertahan di dalam situasi yang seperti itu.

“Kak, gimana? Udah ada belum?” tanya Sandi yang baru saja datang dari koridor. Jam istirahat sudah tiba, jadi Sandi segera ke kantin menemui Ravi karena kakaknya itu memberi tahu jika dia masih bertahan di sana.

Setelah mengantarkan Sandi ke sekolah, Ravi memang tidak pulang. Dia bertahan di sekolah yang juga menjadi sekolah Danika semasa dulu, demi untuk mencari ide dengan melihat keadaan lingkungannya. Berbanding terbalik dengan ucapannya pada Sandi pagi tadi yang harus segera ke kampus. Cowok labil.

Ravi berdeham. “Iya, ini lagi bikin konsep buat kamu.”

Tiba-tiba saja mata Sandi berbinar mendengar kata “konsep”. Menurutnya itu sudah jauh lebih baik dibandingkan tadi pagi yang hanya menyisakan kejailannya saja. “Gimana, gimana? Nggak sabar, deh,” serunya duduk di hadapan sang kakak. Sandi menggeser kaleng-kaleng minuman, lebih tepatnya membuang ke tong sampah terdekat.

“Ini.” Kertas berisi coretan tidak jelas tadi disodorkan. Gitar yang dipeluk Ravi masih tak berubah tempat.

“Apaan ini mah nggak jelas banget!” Pupil mata cowok yang sebentar lagi menjadi alumni di sekolah itu menajam. Rasanya sudah sangat lelah menghadapi tingkah sang kakak yang begitu-begitu saja. Tidak ada kemajuan dari segi kreativitas.

“Ya udah, bikinlah sendiri. Protes terus.” Ravi bangkit, meraih gitar yang selalu dibawanya ke mana-mana.

“Kak Ravi! Kok malah pergi, sih?” protes Sandi lagi, persis seperti dalang penggerak demo mahasiswa yang tak gentar berkata sedikit pun. Di tengah perbincangan, handphone Ravi bergetar. Ternyata ada WhatsApp yang berasal dari Esa.

Esa

Danika nggak ke kampus, semalam dia kecelakaan. Aku baru tau barusan dari Jaka.

Isi chat yang dikira akan membawa kabar baik, nyatanya malah sebaliknya. Sudut mata Ravi tertuju pada Sandi yang menatapnya heran.

“Nanti kita bahas setelah kamu pulang sekolah. Kakak harus ke rumah Danika, soalnya dia kecelakaan.” Ravi terburu-buru meninggalkan kantin sekolah tanpa memedulikan Sandi yang kadung tak sabar menunggu hasil kreativitas kakaknya.

***

Angin sepoi-sepoi saat senja memang menenangkan bagi siapa saja. Beberapa kertas origami pun sudah disulap menjadi bentuk pesawat. Pandangan gadis itu melesat ke angkasa. Memperhatikan setiap kaki cakrawala yang sebentar lagi akan merengkuh senja. Kebiasaannya ini sudah mulai dilupakan karena kesibukan kuliah. Kalaupun membuat pesawat origami, dia hanya menyimpannya di laci tanpa menerbangkan menembus awan.

“Sejak dulu, kamu itu punya tempat tersendiri,” gumam Danika menatap langit. Akhir-akhir ini pikirannya selalu memaksa agar terpaut pada Ravi. Danika sudah tak kuasa menahan kebohongan atas perasaannya sendiri. Ravi, Karla, dan Esa. Tiga sahabat sekaligus orang-orang yang membuatnya membuka mata, jika mencintai bukanlah hal yang mesti dirumitkan. Ya, memang akan selalu ada jalan di setiap takdir yang digariskan.

“Danika,” panggil Bunda seraya menghampiri putri kesayangannya.

“Iya, Bun. Kenapa?” tanya Danika, membuyarkan pikiran yang sejak tadi tertuju pada Ravi. Handphone yang baru saja mengirimkan pesan pada Jaka mengenai kondisinya saat ini, diletakkan di atas meja kayu.

“Ada yang nyari. Dia nunggu di depan.” Bunda tersenyum, kemudian meninggalkan Danika tanpa mengatakan apa-apa lagi.

Sepeninggal Bunda, Danika buru-buru merapikan kertas origami dan membawa handphone-nya. Namun, langkah Danika seakan terpancang di ambang pintu ketika melihat cowok itu lagi. Sosok yang sedang duduk di bangku teras itu memang begitu familier baginya. Berulang kali dia menggosok mata, meyakinkan jika yang dilihatnya benar-benar nyata. Anehnya, dalam waktu bersamaan, tatapan mereka beradu. Sebuah senyuman pun didapatkan oleh Danika.

“Apa kabar, Danika? Mahasiswi sastra, nih,” ujarnya, menatap jail pada Danika.

“Ngapain di sini? Harusnya nggak usah ke sini,” decak Danika, berjalan menghampiri orang itu.

“Aku sengaja ke sini, Ka. Ternyata kamu tajir juga, ya.” Dia tertawa sembari melayangkan pandangan pada sekeliling rumah. “Tapi kamu tetep jadul,” lanjutnya.

“Malah ngeledekin!” Mereka pun tertawa, membuat kerinduan Danika yang berdesakan di dalam hatinya perlahan luruh. Rasanya tidak menyangka jika mereka akan kembali bertemu dan saling berbagi cerita seperti tempo hari saat kekacauan itu belum terjadi.

Baru kali ini Danika bisa tertawa selepas itu lagi. Biasanya saat bersama K’DER-lah tawanya akan meledak-ledak sangat renyah. Danika senang sekali saat mentertawakan Esa yang terlalu polos sampai-sampai cowok itu tidak tahu yang namanya es pisang ijo. Hati Danika selalu tergelitik mengingat kejadian mengocok perut yang Esa ciptakan.

Di lain tempat, sepasang mata tengah memperhatikan Danika. Perasaannya terasa sesak, melihat cewek itu tertawa bersama orang lain. Tangannya bergetar memegang setang motor. Seandainya saja dia datang lebih cepat, mungkin tak akan melihat Danika tertawa bersama orang lain.

“Nggak ada pilihan! Aku harus berani muncul di depan Danika lagi. Gentle, dong!” Dia berkata sendiri, sebelum akhirnya benar-benar mendekati Danika yang berada di teras rumah.

Kekuatannya untuk kembali datang demi sebuah cinta, membuat kaki yang tadinya gemetar berubah jadi kukuh. Dia menatap serius pada Danika dan sosok di sampingnya, lantas membuang napas pelan-pelan untuk lebih merilekskan diri. Segrogi itulah dirinya saat kembali menunjukkan diri di hadapan Danika.

“Hei, Ka. Aku kangen.” Entah apa yang terjadi dengan otaknya, dia justru mengatakan hal itu secara terang-terangan. Selama ini, dia selalu berusaha menutupi banyak hal mengenai perasaan, sekalipun harus menyayat diri karena keadaan.

“RAVI?” Danika terlonjak antara senang dan merasa tidak percaya dengan yang dilihatnya.

“Ravi? Ya ampun, aku kira nggak akan ketemu sama kamu lagi!” tegas cowok yang sejak tadi asyik bersama Danika.

“Hei, Gan. Lama nggak ketemu,” ujar Ravi, menyentuh pundak Gani. Sejujurnya, Ravi tak menyangka jika Gani akan datang menemui Danika secara diam-diam. Selama ini, bisa jadi Gani sering melakukan hal itu di belakang Ravi dan yang lainnya. Mungkin benar, dia tidak tahu apa yang terjadi di antara Danika dan Gani. Ah, Ravi tak ingin berpikir lebih jauh soal itu, karena malah membuat hatinya sakit.

“Aku ganggu kalian?” Ravi memandang mereka secara bergantian.

“Ya enggak, lah. Malahan aku seneng karena kebetulan banget kamu ke sini. Ayo, duduk!” ajak Gani merangkul Ravi yang masih sedikit canggung. Bukannya apa-apa, dia kebingungan harus berbuat apa saat ini.

Sementara itu, Danika tak banyak bicara pada Ravi maupun Gani. Jantungnya berdegup tak menentu, seakan berada di dalam mimpi karena bisa bertemu dengan keduanya lagi. Walaupun begitu, perbincangan di antara mereka tetap berjalan seperti biasa. Danika selalu berusaha bersikap biasa-biasa saja, meski dia sendiri kurang bisa memahami apa yang sedang dirasakannya.

“Karla apa kabar?” Gani bertanya dengan wajah serius. Tatapannya tertuju pada Danika, lalu beralih pada Ravi. Danika langsung mengerti ke mana arah pembicaraan Gani setelah ini.

“Karla baik-baik aja, Gan. Emang kamu nggak pernah ketemu Karla lagi?” Ravi yang menyahut, menatap intens pada Gani.

Cowok Gemini itu menggeleng, kemudian berucap, “Udah lama banget aku nggak ketemu Karla, Rav. Makanya aku tanya sama kamu dan Danika. Kalian kan sahabatnya.”

Senyum kecut Danika tersungging. Sahabat? Dia bahkan lupa bagaimana rasanya memiliki sahabat yang utuh ketika tak pernah ada pertengkaran yang berarti di antara mereka. Malah yang ada, mereka saling memahami satu sama lain.

“Harusnya kamu nggak jauhin Karla. Gimana pun juga, kalian nggak boleh musuhan.” Danika ambil alih pembicaraan. Mulutnya terasa gatal ingin ikut serta dalam pembahasan mengenai sahabatnya itu.

“Aku sengaja. Udah, lah, kalian tau tujuan aku apa. Tapi tujuan aku ke sini bukan cuma buat tanya gimana keadaan Karla,” ucap Gani, mengangguk mantap. Sejurus mata memandang, dia benar-benar bimbang memulai pembahasan dari mana.

“Terus?” tanya Danika. Matanya membelalak, menanti jawaban apa yang akan didapatkan dari seorang Gani.

“Aku mau cerita soal ….” Gani sengaja memotong pembicaraan agar semakin membuat Danika dan Ravi penasaran.

“Soal apa?” Kening Danika mengerut dengan mata yang masih menatap tajam.

“Perasaan aku sendiri. Sampai detik ini, aku belum bisa lupain dia.” Ada senyuman penuh beban terlukis di wajah Gani. Ravi dan Danika yang masih fokus di sana, mendadak saling pandang satu sama lain. Memori keduanya seakan terputar secara otomatis pada hari ketika Esa memukuli Gani.

“Aku nggak bisa ngasih solusi apa pun, Gan. Karena semenjak kejadian hari itu, aku langsung balik ke rumah dan jarang banget ngobrol sama Karla,” jawab Danika, mengatakan yang sebenarnya.

“Menurut kamu, aku salah nggak kalo bersikap kayak gini? Apa ini termasuk menyakiti orang lain secara nggak sengaja?” Gani kembali memberikan pertanyaan yang cukup sulit untuk dijawab.

Hm, kalo menurut aku–” Danika menjeda ucapannya.

“Kamu salah besar, Gan. Nggak seharusnya kamu tinggalin Karla di saat hubungan kalian baik-baik aja. Nggak usah pikirin perasaan urang, Gan. Sekuat apa pun berusaha ngerebut posisi kamu, sekuat itu pula Karla tetep mempertahankan perasaannya sama kamu.” Tanpa sepengetahuan mereka, tiba-tiba Esa datang. Keadaan ini malah membuat Danika sedikit waswas, takut perkelahian yang sama itu kembali terjadi di sini. Betapa ribetnya urusan hati.

“Kamu salah kalo berpikir Karla bakalan berpaling ke aku setelah kamu pergi. Karena nyatanya, perasaan dia sama kamu jauh lebih besar dibandingkan rasa sakit ketika kamu putusin dia!” Esa kembali mengatakannya dengan berapi-api.

“Kamu, Rav. Udah cukup selama ini kamu berkorban demi perjanjian bodoh kita. Kamu nggak perlu menyakiti diri sendiri lagi. Kamu suka sama Danika, kan? Jawab dengan jujur, Ravi!”

Selama ini Esa merasa telah menjadi benteng penghalang kebahagiaan sahabat-sahabatnya. Dia tak ingin hal ini terus-terusan menjadi penyebab keretakan hati mereka. Di mata Esa saat ini, perjanjian K’DER itu tak lebih dari perjanjian bodoh anak-anak SMP. Masa mereka tak terlalu memikirkan cinta, bahkan tak pernah terpikir menyukai sahabat sendiri.

“Esa,” gumam Danika tidak menyangka.

“Kenapa kalian diem, ha? Omongan aku bener, kan? Kalian terlalu mikirin perasaan aku yang egois ini. Seharusnya, kalian sadarin aku saat itu juga. Bukan malah memilih keputusan-keputusan bodoh ini.” Suara Esa melemah. Detik itu juga, dia menunduk menyembunyikan air mata penyesalan yang sudah tak bisa ditahannya lagi.

Sorry, aku udah merusak kebahagiaan kalian. Bahkan aku bikin Karla nangis karena sikap egois sialan ini. Asal kalian tau, lihat kalian bisa sama-sama dengan orang yang kalian sayangi aja itu udah cukup buat aku. Iya, aku tau rasanya kehilangan orang yang disayangi itu kayak gimana. Aku memahaminya setelah Ibu pergi.”

Air mata Esa berlomba menuruni pipi. Hatinya sedikit lega karena bisa meluapkan apa yang selama ini dipendamnya seorang diri. Layaknya orang lain, Esa pun memiliki hati nurani yang mudah patah, apalagi semenjak kepergian ibunya. Dalam hidupnya saat ini, melihat kebahagiaan sahabat-sahabatnya adalah hal yang selalu Esa impikan. Tak peduli bagaimana keadaan hatinya sendiri, yang penting dia bisa memberikan sedikit jalan menuju kebahagiaan.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Yu & Way
825      424     28     
Romance
Dalam perjalanan malamnya hendak mencari kesenangan, tiba-tiba saja seorang pemuda bernama Alvin mendapatkan layangan selembaran brosur yang sama sekali tak ia ketahui akan asalnya. Saat itu, tanpa berpikir panjang, Alvin pun memutuskan untuk lekas membacanya dengan seksama. Setelah membaca selembaran brosur itu secara keseluruhan, Alvin merasa, bahwa sebuah tempat yang tengah dipromosikan di da...
FLOW in YOU (Just Play the Song...!)
2893      775     2     
Romance
Allexa Haruna memutuskan untuk tidak mengikuti kompetisi piano tahun ini. Alasan utamanya adalah, ia tak lagi memiliki kepercayaan diri untuk mengikuti kompetisi. Selain itu ia tak ingin Mama dan kakaknya selalu khawatir karenanya. Keputusan itu justru membuatnya dipertemukan dengan banyak orang. Okka bersama band-nya, Four, yang terdiri dari Misca, Okka, dan Reza. Saat Misca, sahabat dekat A...
Luka Dan Perkara Cinta Diam-Diam
4945      2046     22     
Romance
Kenangan pahit yang menimpanya sewaktu kecil membuat Daniel haus akan kasih sayang. Ia tumbuh rapuh dan terus mendambakan cinta dari orang-orang sekitar. Maka, ketika Mara—sahabat perempuannya—menyatakan perasaan cinta, tanpa pikir panjang Daniel pun menerima. Sampai suatu saat, perasaan yang "salah" hadir di antara Daniel dan Mentari, adik dari sahabatnya sendiri. Keduanya pun menjalani h...
My Idol Party
955      489     2     
Romance
Serayu ingin sekali jadi pemain gim profesional meskipun terhalang restu ibunya. Menurut ibunya, perempuan tidak akan menjadi apa-apa kalau hanya bisa main gim. Oleh karena itu, Serayu berusaha membuktikan kepada ibunya, bahwa cita-citanya bisa berati sesuatu. Dalam perjalanannya, cobaan selalu datang silih berganti, termasuk ujian soal perasaan kepada laki-laki misterius yang muncul di dalam...
Luka atau bahagia?
2944      963     4     
Romance
trauma itu sangatlah melekat di diriku, ku pikir setelah rumah pertama itu hancur dia akan menjadi rumah keduaku untuk kembali merangkai serpihan kaca yang sejak kecil sudah bertaburan,nyatanya semua hanyalah haluan mimpi yang di mana aku akan terbangun,dan mendapati tidak ada kesembuhan sama sekali. dia bukan kehancuran pertama ku,tapi dia adalah kelanjutan dari kisah kehancuran dan trauma yang...
Dunia Alen
3089      1051     1     
Romance
Alena Marissa baru berusia 17 belas tahun, tapi otaknya mampu memproduksi cerita-cerita menarik yang sering membuatnya tenggelam dan berbicara sendiri. Semua orang yakin Alen gila, tapi gadis itu merasa sangat sehat secara mental. Suatu hari ia bertemu dengan Galen, pemuda misterius yang sedikit demi sedikit mengubah hidupnya. Banyak hal yang menjadi lebih baik bersama Galen, namun perlahan ba...
Special
1218      670     1     
Romance
Setiap orang pasti punya orang-orang yang dispesialkan. Mungkin itu sahabat, keluarga, atau bahkan kekasih. Namun, bagaimana jika orang yang dispesialkan tidak mampu kita miliki? Bertahan atau menyerah adalah pilihan. Tentang hati yang masih saja bertahan pada cinta pertama walaupun kenyataan pahit selalu menerpa. Hingga lupa bahwa ada yang lebih pantas dispesialkan.
Konspirasi Asa
2146      684     3     
Romance
"Ketika aku ingin mengubah dunia." Abaya Elaksi Lakhsya. Seorang gadis yang memiliki sorot mata tajam ini memiliki tujuan untuk mengubah dunia, yang diawali dengan mengubah orang terdekat. Ia selalu melakukan analisa terhadap orang-orang yang di ada sekitarnya. Mencoba untuk membuat peradaban baru dan menegakkan keadilan dengan sahabatnya, Minara Rajita. Tetapi, dalam mencapai ambisinya itu...
Secret’s
3417      1144     6     
Romance
Aku sangat senang ketika naskah drama yang aku buat telah memenangkan lomba di sekolah. Dan naskah itu telah ditunjuk sebagai naskah yang akan digunakan pada acara kelulusan tahun ini, di depan wali murid dan anak-anak lainnya. Aku sering menulis diary pribadi, cerpen dan novel yang bersambung lalu memamerkannya di blog pribadiku. Anehnya, tulisan-tulisan yang aku kembangkan setelah itu justru...
Daniel : A Ruineed Soul
522      296     11     
Romance
Ini kisah tentang Alsha Maura si gadis tomboy dan Daniel Azkara Vernanda si Raja ceroboh yang manja. Tapi ini bukan kisah biasa. Ini kisah Daniel dengan rasa frustrasinya terhadap hidup, tentang rasa bersalahnya pada sang sahabat juga 'dia' yang pernah hadir di hidupnya, tentang perasaannya yang terpendam, tentang ketakutannya untuk mencintai. Hingga Alsha si gadis tomboy yang selalu dibuat...