“Apa yang sedang kaulakukan?”
Aku hanya diam, sementara jemariku menari-nari dengan lincah di atas kibor laptop. Aku harus menyelesaikan tulisanku hari ini. Tenggat waktunya dua jam lagi. Aku harus menyelesaikannya dengan cepat sebelum drama favoritku dimulai.
“Wah, sepertinya tanganmu akan terbang,” gumamnya. Dari ekor mataku, kulihat ia duduk di sampingku, berusaha mengintip apa yang terpampang di layar laptopku.
Ah, akhirnya selesai!
Aku mengepalkan tangan dan mengangkatnya tinggi-tinggi pertanda puas. Tulisanku selesai dan itu sangat memuaskan!
Aku berjalan ke dapur, berniat membuat secangkir kopi. “Kau mau?” tawarku.
“Tanpa gula,” sahutnya sambil tertawa kecil.
“Aku tak pernah punya gula,” sahutku acuh tak acuh seraya mengaduk-aduk kopi.
“Ayo mengobrol.”
Aku menyerahkan secangkir kepadanya dan kembali duduk di kursiku. “Kau sedang beruntung. Pekerjaanku selesai lebih cepat.”
Ia mengangguk seraya menyesap kopinya. “Omong-omong,” Ia menatapku. “Kau sedang jatuh cinta?”
“Apa?”
Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. “Kau memutar lagu tentang jatuh cinta saat bekerja beberapa hari ini dan meninggalkan musik instrumental favoritmu. Dan, aku mengamatinya, kau lebih banyak menulis tentang jatuh cinta akhir-akhir ini.”
“Lagu itu hanya pemicu ide untuk tulisanku.”
Ia mengangguk dan menyesap kopinya lagi. “Katanya, jika seorang penulis jatuh cinta padamu, kau akan hidup selamanya.” Seulas senyum tersungging di bibirnya. “Kau jatuh cinta pada Nathan, bukan?”
“Bagaimana kau tahu?” tanyaku dengan dahi berkerut.
“Stella memberitahuku,” sahutnya santai. “Katanya, kau bercerita tentangnya setiap hari. Ceritakan padaku bagaimana dia, jika kau tak keberatan.”
Ck, mulut Stella seperti ember bocor. Benar-benar menyebalkan.
Namun, bukankah ini hanya … dia? Seharusnya tidak apa-apa jika aku bercerita sedikit, bukan?
Aku menyesap kopiku, mencoba memikirkan kata-kata yang tepat untuk mendeskripsikan Nathan. “Awalnya, kupikir aku menyukainya karena ia pintar, tetapi rupanya tidak.”
Ia menatapku dengan dahi berkerut, jadi aku pun melanjutkan, “Yah, aku hanya menyukainya. Itu saja. Ia memang bukan laki-laki tampan, tapi bagiku wajahnya tidak buruk. Aku menyukai matanya yang bersinar-sinar cerdas dan ia yang begitu semangat ketika membicarakan topik yang ia sukai. Aku menyukai caranya tersenyum. Aku menyukai semuanya. Aku menyukainya sebagaimana adanya,” kataku dengan seulas senyum, sementara sosok Nathan mulai menari-nari di pelupuk mataku.
Ia hanya diam, menyesap kopinya, lalu meletakkan cangkirnya di meja. Rupanya kopinya sudah habis. “Apa dia sebaik itu di matamu?”
Aku mengangguk. “Aku hanya menyayangkan fakta bahwa ia tak mampu melihat apa yang kulihat—bahwa ia seorang laki-laki yang hebat dan mengagumkan.”
“Lihatlah, kau benar-benar sedang jatuh cinta,” dengusnya.
Aku hanya tersenyum kecil sebagai jawaban. “Aku jatuh cinta padanya. Aku jatuh cinta padanya karena ia mengagumkan dengan caranya sendiri—cukup dengan dirinya sendiri.”
2013
Untukmu yang sedang jatuh cinta.