“Je t’aime, Irish...”

“Apa ini lelucon?”

Irish Adena pertama kali bertemu dengan Mario Kenids di lapangan saat masa orientasi sekolah pada bulan Juli sekitar dua tahun yang lalu. Gadis itu menyukainya. Irish kembali bertemu dengan Mario di bulan Agustus tahun kemudian di sebuah lorong sekolah saat di mana mereka kembali mencari teman baru. Gadis itu masih menyukainya. Kenyataannya pandangan pertama di masa SMA memang terbukti nyata. Entahlah – seperti itulah Irish, dengan kesukaannya yang berlebihan kepada seseorang. Keinginannya yang bersikukuh untuk mendapatkan Mario selalu ada dalam dirinya hingga saat ini.

Irish menyukai Mario bukan hanya kagum. Dia menyukai Mario karena memang tertarik dengan sikapnya yang lembut, ramah, dan bahkan idaman bagi para gadis di sekolah. Juga karena sikap Mario yang selalu bersikap baik pada Irish. Dan, kerap kali – sikapnya sangat berlebihan, tentu saja – Irish menanggapi Mario dengan serius alias selalu bawa perasaan. Irish mencintai Mario. Bagi Irish rasa cinta adalah anugrah dari Tuhan yang tidak bisa dicegah, kita bisa memilih yang kita inginkan. Namun, bukan berarti cinta yang kita rasakan akan dibalas dengan perasaan yang sama.

Hingga akhirnya dia mengerti bahwa yang dicintai belum tentu membahagiakan, ucapan itu terus terlintas dipikirannya. Dia bertemu seseorang yang mengajarinya melihat cinta dengan cara berbeda. Orang yang juga menyimpan rahasia yang tak pernah dia duga.