Tips melupakan seseorang:
1. Jadilah sesibuk mungkin yang kaubisa.
2. Luangkan lebih banyak waktu untuk dirimu sendiri.
3. Bertemulah dengan orang baru.
4. …
Aku menatap layar laptopku, membaca apa yang terpampang di sana dengan skeptis. Tips macam apa itu? Masih ada tujuh tips lagi yang tertulis di blog itu, dan semakin aku membacanya, semakin aku merasa bahwa tips-tips itu konyol.
Siapa pun penulisnya, ia pasti berpikir bahwa melupakan seseorang sama mudahnya dengan membalikkan telapak tangan.
“Apa yang sedang kaulakukan?” Monic, salah satu teman dekatku, duduk di sampingku. Ia melirik layar laptopku, mencoba membaca apa yang terpampang di sana. “Tips melupakan seseorang?” Dahinya berkerut. “Mengapa kau mencari ini?”
“Aku tidak sengaja melihat artikel ini,” sahutku acuh tak acuh.
Ia berdecak, tak percaya. “Pengguna internet sepertimu bukan tipikal orang yang akan membaca sebuah artikel karena tidak sengaja menemukannya. Kau sengaja mencari kata kunci itu.”
Aku hanya diam dan menutup jendela peramban. Terkadang, aku merasa memiliki seorang teman yang terlalu mengenalmu itu menyebalkan. Kau tak akan memiliki ruang untuk menyembunyikan sesuatu darinya.
“Jadi, kau ingin melupakan siapa?” Suara Monic terdengar lagi. Dari ekor mataku, kulihat Monic menatapku dengan mata melebar ingin tahu.
“Apa yang akan kaulakukan ketika ingin melupakan seseorang?”
“Aku?” Ia menunjuk dirinya sendiri, kemudian berpikir-pikir. “Biasanya, aku akan memotong rambutku. Kata orang, memotong rambut dapat membuang sial, atau juga serpihan masa lalu, tetapi aku melakukannya agar aku lebih percaya diri untuk menghadapi masa depanku.”
Aku mengangguk-angguk paham, diam-diam menyentuh ujung rambutku yang kini telah mencapai bahu. Apa aku harus melakukannya?
Monic mengerjapkan mata, tampaknya ia mengamati gestur yang baru saja kulakukan karena kemudian ia berujar, “Semua tips yang kaubaca, ataupun yang kaudengar, itu tidak salah dan layak untuk dicoba, tetapi menurutku semua itu akan percuma jika kau tidak melakukan satu hal yang lebih penting.”
Aku menatapnya dengan dahi berkerut bingung. “Lebih penting?”
“Menerima.” Monic mencondongkan tubuhnya ke arahku dan melanjutkan, “Terima apa yang sudah terjadi. Jika kau belum mampu menerima semua yang telah terjadi, tips-tips itu tidak lebih dari sebuah teori kosong.”
“Menerima tidak semudah itu.”
Monic mengangguk. “Menerima memang tidak mudah. Namun, bukankah semua hal di dunia ini butuh waktu? Kau hanya membutuhkan waktu lebih untuk melakukannya. Dan tekad untuk belajar menerima.”
Aku terdiam, mencoba mencerna apa yang baru saja kudengar. Menerima, ya?
“Ah, ya, satu lagi,” Tiba-tiba Monic kembali buka suara. “Kau juga harus belajar percaya bahwa masa depan yang penuh harapan telah menantimu di depan sana.”
Salah satu sudut bibirku terangkat. “Sejak kapan kau menjadi sebijak ini?”
Ia tertawa kecil sebagai jawaban. “Jadi, siapa orang yang ingin kaulupakan?”