“Hei.” Ia menepuk pundakku. “Aku penasaran dengan sesuatu.”
“Apa?” tanyaku tanpa menoleh dari buku yang sedang kubaca.
“Kata orang, kau tidak bisa memilih dengan siapa kau ingin jatuh cinta.” Ia menghela napas sejenak sebelum akhirnya melanjutkan, “Jika seandainya kau dapat memilih, kau ingin jatuh cinta dengan siapa?”
Aku menutup buku dan menatapnya, merasa sedikit tertarik. “Mengapa tiba-tiba kau bertanya?”
“Aku hanya penasaran,” ujarnya seraya mengangkat bahu acuh tak acuh. “Jadi, kau ingin jatuh cinta dengan siapa?”
Aku terdiam sejenak, berpikir-pikir. Sebenarnya aku tak pernah benar-benar memikirkan hal semacam ini, tetapi ada dua hal yang melintas di pikiranku. “Kau ingin mendengar yang pertama atau yang kedua?”
“Kau punya dua?” tanyanya dengan mata melebar tak percaya.
“Kau ingin mendengar yang pertama atau yang kedua?”
Ia hanya diam dan mengerutkan dahi, tampak jelas bahwa ia sedang kebingungan sekarang. Butuh jeda lima menit sebelum akhirnya ia berujar, “Yang pertama.”
“Aku ingin jatuh cinta dengan seseorang yang mencintai Tuhan sebelum mencintaiku.”
Aku baru saja hendak membuka bukuku lagi dan melanjutkan membaca ketika ia kembali bertanya, “Bagaimana dengan yang kedua?”
Aku kembali menutup bukuku. “Dengan penulis.”
“Penulis?” Ia menatapku dengan dahi berkerut. “Mengapa penulis? Bukankah ia … membosankan?”
Kali ini aku terdiam, mencoba memikirkan kata-kata yang tepat, kemudian menjawab, “Kau akan hidup di dalam pikirannya. Di dalam hatinya. Dan di dalam tulisannya.”