Pagi itu setelah Nara selesai membantuku berganti pakaian, aku menelusuri setiap sudut kamarku ini, akhirnya aku benar-benar memberikan kata kepemilikan pada tempat ini. Bukan sesuatu yang patut disombongkan memang, tapi kenyataannya, semua milik Diana adalah milikku. Rumit.
Sebelumnya aku tidak pernah menyentuh barang-barang di kamar ini atau memindahkannya atau bahkan menjualnya, aku tidak seberani itu untuk mencuri di saat pemiliknya tidak ada. Ternyata pemilik semua benda di ruangan ini adalah diriku sendiri, jadi sepertinya perasaan bersalah itu terasa sia-sia juga. Aku mencari sesuatu yang bisa membuatku mengingat, setidaknya, hal-hal yang terjadi sebelum ingatan seorang Tiara ditarik ke tempat ini. Setiap laci aku buka satu per satu, keadaan di dalamnya terbilang rapi. Kadang aku menemukan tumpukan buku gambar, kertas, atau lusinan pensil. Kadang juga aku menemukan perhiasan mewah yang benar-benar ditempel berlian asli yang harganya seperti kuda itu. Aku tidak berani menyentuhnya meskipun itu kepunyaanku.
Sampai akhirnya aku menemukan buku harian milikku. Sayangnya buku harian itu hanya berisi lima halaman tulisan, dan sisanya kosong. Aku membaca tulisan tanganku sendiri, dan secara keseluruhan hanya menceritakan betapa berbedanya pernikahanku dengan Lucas dari yang bisa kubayangkan. Lucas terlihat lebih dingin dan tak tersentuh, bahkan kami berdua bisa sampai tidak bertemu seharian penuh. Aku yang dulu berusaha mempertahankan hubungan mereka, tapi Lucas benar-benar tak tersentuh sampai kejadian sebelum aku berguling dari tangga, aku memutuskan untuk berhenti mencintai Lucas.
“Wahhh… Ternyata aku di masa lalu punya pemikiran yang sama dengan aku yang sekarang.” Kupikir aku di masa lalu benar-benar naif.
“Tapi tulisan ini masih kurang. Aku masih kehilangan petunjuk soal kehidupanku saat remaja atau anak-anak.”
Tentu saja, tempat paling tepat untuk mengorek diriku yang dulu adalah kediaman Keluarga Levada. Orang tuaku—
Aku mematung di depan pintu kamar, menyadari bahwa ternyata aku benar-benar punya orang tua di tempat ini. Seperti ada bongkahan es yang mencair dan menciptakan air terjun yang sejuk dan dingin.
**
Aku memeluk erat tubuh hangat dan harum dari ibuku sendiri. Ada sedikit air mata yang hampir lolos dari tempatnya, aku berusaha menahan rasa haru itu. Sejujurnya aku tidak begitu berharap aku memiliki orang tua dulu, toh, harapanku cuma omong kosong, aku sudah baik-baik saja menjadi yatim piatu. Tapi merasakan langsung kasih sayang Keluarga Levada, baru kali ini aku merasa bersyukur bertemu mereka di waktu yang begitu jauh dari asalku.
“Tidak bersama Lucas?” tanya Ibuku. Iya, benar-benar ibuku.
“Lucas sedang pergi keluar, aku bosan diam di istana. Tidak banyak yang bisa kukerjakan. Lagipula, aku rindu ingin bertemu,” jawabku tulus di akhir kalimatnya.
“Kenapa anak Ibu tiba-tiba manja seperti ini?”
Aku hanya tertawa riang.
Nara segera menghampiri bagian dapur mansion ini, Alpha yang sekarang menjadi pengawalku lagi membawa beberapa ksatria lain untuk menjagaku pun sudah pergi ke belakang mansion ini. Ibu membawaku ke ruang bersantai, lalu kami berbincang melepas rindu dengan teh hangat dan kue yang kelihatan cantik dan lezat.
“Ayah kapan pulang, Bu?”
“Sepertinya nanti malam. Oh ya, bagaimana jika kita makan malam bersama? Sudah lama sekali kita tidak berkumpul, bukan?”
Aku mengangguk, “Emm…”
“Lukamu sudah membaik?”
“Iya, Ibu tidak perlu khawatir. Sebentar lagi jahitannya akan di buka.”
Wajah ibuku terlihat getir namun disamarkan dengan senyuman yang dipaksakan. Yah, orang tua mana yang tidak terkejut menemukan anaknya terkulai lemas dengan banyak darah dan ada pisau menancap di perutnya. Untung saja ibuku tidak sampai pingsan atau jatuh sakit melihat anaknya dengan luka yang tragis seperti itu.
Tak lama seorang pelayan menginterupsi kami, seorang tamu datang dan ingin bertemu dengan ibuku. Melihat ibuku seperti enggan meninggalkanku sendirian, aku meyakinkannya dan akan pergi ke kamarku. Pada akhirnya percakapan kami terhenti sejenak dan aku masuk ke dalam kamarku di mansion Keluarga Levada.
Memang tujuan awalku ke sini, bukan?
Walaupun kata-kata Lucas tadi malam terkesan egois, dan hubungan kami juga masih belum membaik, aku merasa tidak adil jika Lucas terus-terusan mengejarku sementara aku kebingungan dan mengabaikannya. Aku sendirilah yang pernah mencintainya, mungkin mengetahui masa laluku bisa menumbuhkan perasaan cinta itu. Ada alasan pasti kenapa Lucas bisa membuatku yang dulu mencintainya sampai-sampai aku setuju menikah dengannya. Mengandalkan novel sialan itu hanya sia-sia belaka, iya, sialan. Kalau novel itu bukan kutukan, aku masih bekerja di kafe dan klinik atau baru membayar uang kontrakan. Alur ceritanya sudah jauh berbeda, sepertinya menjadikan isi novel itu sebagai patokan sudah tidak cocok lagi.
Aku membuka laci-laci dan kotak penyimpanan yang bisa kutemukan di kamar ini. Tak jauh beda dengan kamarku di istana, aku menemukan setumpuk buku gambar dengan lukisan-lukisan yang sangat luar biasa, tentu saja sekarang aku mana mungkin menggambar ulang lukisan itu, darah seni di tubuhku memang sudah kering sejak aku dilahirkan sebagai Tiara. Aku juga menemukan foto-foto hitam putih saat aku lahir sampai dewasa, melihat Diana berusia lima tahunan, wajahnya memang tidak jauh berbeda sih denganku sebagai Tiara.
Sampai akhirnya aku menemukan apa yang kucari. Diana ternyata rajin sekali menulis buku harian sampai bertumpuk-tumpuk begini. Bukunya memang beberapa sudah usang, tapi tulisannya masih bisa dibaca. Aku membaca dengan cermat semua tulisan-tulisan itu. Dari situ aku tahu jika Diana, aku yang dulu, mulai hobi melukis dan menulis buku harian sejak masuk Akademi Putri, mungkin sekitar umur sepuluh tahunan. Memangnya seperti apa sih sekolah untuk bangsawan perempuan?
Diana ternyata tidak pandai bersosialisasi, ia tidak memiliki teman dekat bahkan sampai lulus dari akademi. Satu-satunya yang selalu menemaninya hanya Nara yang pada saat itu sudah menjadi pelayan pribadinya. Diana juga pernah bercerita soal teman-temannya yang menindas temannya yang lain, ia hanya bisa melihat dari jauh dan tidak berani membantu temannya itu, meskipun ia benar-benar tidak suka melihat penindasan. Jika aku sudah berada di tubuh ini saat kejadian itu, bahkan meliriknya saja tidak akan. Diana punya hati yang baik, mungkin karena orang tua dan lingkungan Diana selalu membela dan menyelesaikan masalahnya, Diana tumbuh menjadi gadis yang kurang berani dan ragu-ragu. Setidaknya kepribadianku lebih parah darinya.
Suatu hari, Diana pernah bertengkar hebat dengan Alpha dan Nara gara-gara mereka berdua melarang Diana untuk pergi ke kota dan melihat pesta lampion itu. Saking kesalnya, Diana kabur sendirian dan berpikir jika suatu hari pasti ia akan pergi sendirian tanpa ditemani Alpha maupun Nara, karena mungkin kedua orang terdekatnya itu akan menikah dan meninggalkannya. Ia pasti akan sangat kesepian. Diana, umurmu masih belasan tahun, kenapa sudah memikirkan pernikahan dan masa depan yang masih jauh begitu? Lagipula, kesepian tidak seburuk itu menurutku. Di hari itulah, Diana pertama kali bertemu dengan Lucas yang sama-sama sedang menyamar menjadi rakyat biasa.
Diana penasaran dengan kedai bar dengan aroma manis yang kental dari dalam. Awalnya ia hanya bisa mengintip deretan kue yang masih hangat dari balik jendela kedai, sampai ia berpapasan dengan Lucas yang akan masuk ke kedai itu. Diana tahu yang dihadapannya adalah Pangeran Xavier yang terkenal itu, tapi melihatnya berpakaian seperti rakyat biasa, Diana hanya bisa tersenyum simpul dan mengikuti ajakan Lucas sambil menyembunyikan rasa senang bertemu dengan Pangeran Xavier dalam balutan pakaian rakyat biasa.
Pertemuan itu melahirkan perasaan sukanya pada Lucas. Ia jatuh cinta pada pandangan pertama, tapi Diana sama sekali tidak menceritakan perasaannya ini pada siapapun. Ia memilih untuk mengaguminya dalam hati karena pasti akan sulit untuk bertemu kembali dengannya. Ia jatuh cinta dengan sikap dan suara Lucas yang tenang, juga senyuman manisnya terutama tatapan matanya yang hangat dan ringan itu.
Bentar, bentar. Diana tidak salah kan menceritakan Lucas yang ia temui di kota dengan Lucas yang sadis, gila, dan galak seperti singa itu? Darimananya kata ‘manis’ untuk mendeskripsikan seorang Lucas? Jangan-jangan Diana salah lihat kali! Aku tidak habis pikir ternyata sebagai Diana remaja, aku tetap alay juga.
Hingga langit sore, aku tidak menemukan alasan kenapa aku yang dulu sampai bisa jatuh cinta dan menikah dengan Lucas. Ayolah! Gak mungkin kan perasaannya saat lima belas tahun akan sama dengan perasaannya sekarang? Sudahlah! Aku menyerah.
**
Aku menemukan ibuku sedang berada di dapur. Cukup mengejutkan melihat bangsawan sampai turun ke dapur dan menyiapkan makan malamnya sendiri, walaupun ada pelayan lain yang menjadi asistennya. Tapi, pemandangannya memang berbeda dari yang biasa kubayangkan.
“Mau kubantu, Bu?” tawarku.
“Tumben sekali kau mau datang ke dapur dan membantu Ibu.”
“Hehe… Aku mulai belajar memasak sedikit-sedikit di istana, daripada tidak melakukan apa-apa sama sekali.” Di dalam sini kan bukan Diana yang dulu, soal masak memasak aku cukup ahli.
Pada akhirnya aku membantu ibuku memotong-motong bawang putih dan jamur. Kutebak sepertinya Ibu akan membuat sup krim. Di sela-sela pekerjaanku ini, ada dorongan misterius yang membuatku ingin menanyakan sesuatu pada ibuku ini.
“Bu.”
“Apa, Diana?”
“Kenapa Ibu mau menikah dengan Ayah?”
“Tumben kau menanyakan hal itu.”
“Penasaran.”
“Kenapa ya? Ibu juga tidak tahu sampai sekarang.”
Aku menyisihkan bawang putih yang sudah kupotong-potong rapi dan memasukkannya ke dalam piring kecil, lalu melanjutkan memotong-motong semangkuk jamur yang ada di hadapanku. Lalu kembali bertanya.
“Tapi Ibu masih menyukai Ayah? Seperti saat pertama kali kalian bertemu?”
“Tentu saja tidak.”
“Tidak?!”
“Ibu sepertinya tidak mencintai ayahmu seperti dulu.”
Tanganku berhenti bergerak dan melihat ke arah Ibu. Sepertinya rasa syok tergambar jelas di wajahku sampai-sampai ibuku tertawa lembut.
“Tidak ada perasaan suka atau cinta seperti dulu, tapi Ibu tidak pernah bisa membayangkan harus hidup tanpa ayahmu.”
Ada perasaan tertentu yang sepertinya bergerak-gerak acak di rongga dadaku. Rasanya abstrak untuk dijabarkan, tapi perasaan déjà vu cukup kental mengelilingi sekujur tubuhku. Sesuatu yang sebelumnya pernah mengekang tubuhku sampai sesak ini tiba-tiba terlepas dan merasa lega tanpa menunjukkan perwujudannya.
“Kau bertengkar dengan Lucas?” tebak Ibuku.
“Hm? Rumah tangga kadang seperti itu kan, Bu,” jawabku sambil tersenyum kecut.
“Biasanya pertengkaran melahirkan pemahaman baru soal pasangan, kau mungkin sedang mencari sesuatu yang belum bisa kau pahami tentangnya.”
Aku hanya membalasnya dengan senyuman, lalu melanjutkan pekerjaanku yang sempat tertunda. Aku takjub dengan tebakan ibuku ini, bisa menebaknya dengan benar. Aku rasa aku dan ibuku ini benar-benar ibu dan anak.
Selain membuat makan malam, sekalian aku membuatkan puding coklat dan stroberi. Ibuku dan para pelayan di Keluarga Levada sangat terkejut melihat keahlian memasakku yang terkesan meningkat drastis. Wajar saja, di dalam sini sudah bertahun-tahun bekerja di kafe, aku juga sudah sering melihat orang-orang membuat makanan pencuci mulut sampai aku sendiri hafal tanpa perlu mempelajarinya. Apalagi aku juga sering membantu mereka.
“Yang Mulia, biar saya yang membawanya.”
“Sudah, tidak apa-apa. Biar aku saja, sekalian aku juga akan pergi ke ruang tamu, bukan?”
Aku membawa nampan berisi puding-puding menuju ruang tamu, kudengar ayahku sudah pulang dan menungguku di ruang keluarga bersama ibu. Entah ya, tapi rasanya aku ingin mengejutkan ayahku dengan makanan buatanku sendiri. Kedengarannya menggelikan sih, tapi dorongan itu terlalu kuat sampai-sampai aku tidak peduli lagi dengan hal lain.
“Ayah, aku membuatkan puding untuk makan malam— AAHHH!!!”
Nampan yang kubawa hampir jatuh saat sosok yang sangat-sangat aku hafal itu duduk di dekat ayahku.
“Lucas?”
@sylviayenny thank youuuu :)
Comment on chapter #1