Benar kata orang-orang, semakin tinggi IQ manusia, maka makin absurd-lah jalan pikirnya.
Gue bilang begitu bukannya tanpa alasan. Ilmuan sekelas Einstein aja pernah di-bully karena dipandang aneh. Pola pikirnya abstrak dan out of the box, tapi syukurnya bisa kasih manfaat buat kemaslahatan umat.
Beda dengan penghuni kelas gue, 12 IPA 5. Kelas gue banyak berpikir, tapi nggak ada yang berguna sama sekali.
Gue serius, nggak bercanda.
Terkadang, gue menyayangkan sikap teman-teman gue yang kesannya mubazir kemampuan demi hal-hal nirfaedah. Mereka jenius, banget malah. Tapi bertindak tolol tetaplah passion.
Pernah suatu kali, kita satu kelas keringat dingin. Kelas yang biasanya seberisik pasar ikan tiba-tiba senyap pagi itu. Alasannya satu, ulangan fisika di jam pertama.
Masing-masing ribut membolak-balik halaman buku. Entah sungguh dibaca atau cuma numpang lihat, gue nggak yakin. Soalnya, gue sendiri cuma pura-pura belajar.
“Sssttt..., jangan berisik. Bu Kumala datang!”
Peringatan dari Yunas udah semacam alarm bahaya bagi kami sekelas. Suara sepatu Bu Kumala semakin dekat, itu artinya siaga satu.
Begitu sosok paling ditakuti itu muncul, seisi kelas semakin menciut. Aduh, mampus! Gue tiba-tiba kebelet.
“Pagi semua,” sapa Bu Kumala datar. “Hari ini ulangan harian, kan?”
Gue meneguk ludah, udahlah selesai nasib gue.
“Hanya ada satu lembar kerja dan alat tulis di atas meja,” ujarnya, kemudian berdiri untuk selanjutnya menyalakan laptop dan proyektor.
Suasana yang awalnya udah hening jadi semakin sepi. Masing-masing sibuk menyiapkan mental dan doa terbaik supaya ngawur kali ini berbuah manis.
“Soal terdiri dari pilihan ganda, setiap soal saya beri lima menit. Nomor sa—loh?”
Hening.
“Kok mati?” Bu Kumala bingung. “Mati listrik, ya?”
“Iya, Bu!” sahut Alga antusias. Padahal tadi mukanya yang paling naber dari yang lain.
“Ya sudah, saya ke kantor dulu. Nanti saya kembali setelah listriknya nyala.”
Dengan bangkit dan berlalunya Bu Kumala dari kelas, kami sekelas langsung bersorak girang. Rihan dan Alga saling dekap dan menyanyikan lagu We Are the Champion dengan suara seadanya, Lea pura-pura menangis terharu, sementara gue dan Arkan saling jabat tangan mengucap selamat.
Serius, nggak ada yang lebih indah daripada ditundanya ulangan.
Sampai tiba-tiba,
“Mampus listriknya nyala!”
Hiruk-pikuk penuh sukacita itu langsung terhenti. Sekelas langsung menengok dua AC kelas yang kembali menyala dan menguarkan hawa dingin.
Proyektor pun kembali menyala.
“MATIIN PROYEKTOR SAMA AC-NYA CEPET!” seru Arkan memberi komando. “Buka semua jendela, dan akting seolah kepanasan! Cepat-cepat, kita nggak ada waktu lagi! Sekarang atau nggak sama sekali!”
Sumpah, gue kagum sama gaya kepemimpinan Arkan. Di saat genting begini, dia berhasil menggerakan yang lain dengan baik. Gue bahkan nurut waktu Arkan minta gue matiin proyektor.
Dan, betul kata Arkan. Waktu Bu Kumala kembali, satu kelas benar akting seakan listrik masih mati dan kegerahan. Herannya, Bu Kumala percaya dan ulangan benar dibatalkan hari itu.
See? Gue udah bilang. Kelas gue emang paling bisa diajak ngelakuin hal bodoh. Julukannya aja kelas akselerasi, jenius kelihatannya, tapi absurd.
Dan, kebodohan-kebodohan inilah yang bikin gue makin betah di sekolah. Mungkin, nanti gue bakal rindu suasana begini. Jadi sebelum gue beneran kangen, gue mau manfaatkan waktu yang ada buat mengukir kenangan sebanyak mungkin.
Kelasnya solid banget ya <3