Mengetahui bahwa Devan menjemputku dan rela merepotkan dirinya untuk menggendongku, bahkan tanpa berniat untuk membangunkanku, membuat hati kecilku sedikit tergetar. Dia tidak seburuk yang aku fikirkan, tapi juga tidak sebaik yang kalian dengar dari caraku menceritakannya. Sebab, kita tidak bisa menerka hati manusia yang di selimuti dengan berjuta rahasia.
“Setelah saya ceritain ke kamu tentang kejadian semalam, apa kamu udah bisa berbakti sama suami kamu dan meninggalkan kak Kenzo?” pertanyaan Eca sebenarnya adalah pertanyaan yang terkadang aku tanyakan juga pada hatiku.
'Apa saat Devan mencintaiku, aku akan sanggup untuk melepas Kenzo?' Pertanyaan-pertanyaan seperti itu sering kali muncul dalam benakku.
“Saya ngga tahu Ca. Semua yang saya inginkan itu ada pada diri Kenzo, bukan Devan” jawabku seadanya.
Eca mengelus pundakku “Tapi Devan suami halal kamu Ta. Jadi akan lebih baik kalau Kenzo kamu lepasin mulai dari sekarang, selagi perasaan kamu baru berupa bibit yang belum mengakar”
Aku menyingkirkan tangan Eca dari pundakku, entah mengapa aku merasa kesal saat aku di titahkan untuk melepaskan apa yang sudah ku anggap sebagai kebahagiaanku.
“Apa cuma Devan yang boleh bahagia sama pacarnya sedangkan saya ngga boleh?” tanyaku sedikit sinis.
Kulihat Eca sedikit gelagapan, dia terlihat bingung harus berbuat apa. Namun di detik berikutnya dia menghembuskan nafas dan berusaha bersikap seperti biasa “Maksud saya ngga gitu Ta. Lebih baik kalau ada salah satu dari kalian yang tetap pada posisinya, supaya bisa membenarkan apa yang salah. Percaya sama kekuatan Doa Ta. Kamu ngga sendiri, ada Allah di sisi kamu” ucap Eca sebelum dia melenggang pergi entah kemana.
Setelah mendengar hal itu, rasa bersalah mulai menggerogoti hatiku. Bukan pada apa yang telah aku lakukan pada Devan, tapi tentang apa yang baru saja kulakukan terhadap Eca. Tidak seharusnya aku marah padanya yang hanya berusaha mengingatkanku tentang posisiku sebagai seorang istri.
Tak lama kemudian, hatiku tergerak untuk meminta maaf pada Eca ketika melihatnya kembali memasuki ruang kelas kami. Namun, tubuhku justru tak sejalan dengan hatiku. Jadi, aku memutuskan untuk melanjutkan mode marahku dengan pindah tempat duduk menjadi di samping Davin.
“Lo ngapain di sini?” tanya Davin, cukup terkejut dengan kehadiranku yang tiba-tiba.
Aku tersenyum kikuk “Mau duduk sama kamu aja”.
Sebenarnya aku sedikit ragu untuk menyampaikan alibi itu, takut Davin mengira bahwa itu adalah modal dustaku untuk mendekatinya.
Davin mengalihkan pandangannya dari wajahku menjadi ke buku komik yang ada di mejanya “Oh oke”
Setelah di akhiri oleh dua kata itu, kami berdua akhirnya di landa kecanggungan yang haqiqi. Telingaku hanya dapat menangkap suara yang di hasilkan oleh Davin yang tengah membuka lembaran-lembaran halaman buku komiknya.
Ekhem
Suara deheman Davin membuatku menoleh ke arahnya, karena aku yakin itu adalah sinyal untuk memulai suatu percakapan “Dari jiwa detektif Conan yang gue punya, dia berkata bahwa tugas gue untuk menjaga lo udah selesai. Udah ada guardian angel yang baru kan?” ucapnya tanpa menoleh ke arahku.
Aku mengernyitkan dahi sembari berfikir “Maksud kamu siapa?”
Davin menutup buku komik miliknya. Dia menatapku yang juga mentapnya “Ketua BEM yang populer itu, pacar lo kan?”
Aku memilih bungkam, aku takut melakukan sesuatu yang akan membuatku menyesal nantinya. Untuk sekarang, hubungan antara aku dan Kenzo biarkan hanya Eca yang tahu.
Davin tersenyum miring saat tidak mendapatkan jawaban dariku “Dia emang sedikit gila sih, tapi dia baik kok. Biasanya dia sering main ke rumah, sebelum akhirnya gebetannya pacaran sama Devan”
“Siapa gebetannya?” tanyaku spontan.
Davin menggaruk kepalanya “Duh, salah ngomong gue” gumamnya yang masih dapat ku dengar dengan jelas.
“Bilang aja, ngga kenapa-napa kok”
Dia mentapku, berusaha meyakinkanku agar aku mengurungkan niatku untuk mengetahui yang sebenarnya “Gue takut lo terluka lagi”
“Bilang aja Vin” desakku, setelah berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa aku akan baik-baik saja.
Sembari tersenyum kikuk dan dengan sedikit keraguan, dia akhirnya menjawab dengan suara pelan yang hampir saja tidak terdengar jika saja telingaku tidak cukup peka “Luna”
Deg!!
Sepertinya Davin melihat wajah terkejut serta perubahan besar yang terjadi pada ekspresiku. Dengan sedikit canggung dia mengelus punggung tanganku, bermaksud memberiku bantuan tenaga mungkin “Gue yakin Kenzo deketin lo karena perasaannya yang tulus kok, bukan karena ingin balas dendam ke Devan untuk merebut apa yang udah jadi milik Devan”
Aku tersenyum miris “Awalnya saya cuma kaget aja, karena kebetulan yang aneh ini. Saya ngga pernah mikir ke arah sana karena kepolosan saya mungkin. Tapi setelah kamu bilang begitu, saya jadi kefikiran deh”
Setelah mendengar jawaban dariku, Davin menjadi salah tingkah dan mulai menggaruk apapun yang dia ingin garuk “Ngga gitu Ta. Gue yakin Kenzo tulus kok. Karena dari informasi yang gue dapet, dia deketin lo dari sebelum status lo dan Devan terbongkar kan?”
Aku berfikir, benar juga apa yang di ucapkan Davin.
Aku memicingkan mataku dan memberinya tatapan menyelidik “Kamu emang selalu nyari tahu informasi tentang saya?”
Davin menunjukkan senyum pepsodent yang menampilkan sederet gigi putihnya “Ya kan lo udah gue anggep kayak adek gue sendiri. Jadi sebagai seorang abang yang bertanggungjawab, gue harus tahu lah perkembangan adek gue. Supaya gue bisa jagain lo dan ngga kecolongan”
Aku mengerjapkan mata berkali-kali guna memastikan bahwa aku tidak sedang berkhayal saat ini “Loh, saya kira kamu ada rasa sama saya”
Davin kembali membuka buku komiknya “Lo itu bukan tokoh utama perempuan dalam cerita fiksi. Jadi mulai sekarang berfikir yang realistis aja. Lo ngga sesempurna itu sampai semua tokoh pria memperebutkan lo. Lagipula jiwa perebut milik orang itu ngga mengalir di darah gue. Jadi jangan terlalu berharap lo akan ada affair sama gue” ucapnya santai.
Aku menjitak kepala Davin sekeras yang aku bisa “Saya ngga semurahan itu kali!”
“Tapi makasih loh karena udah rela jagain saya sampai kamu pindah jurusan dan kelas” Sambungku.
“Nah, kalau itu gue akuin lo ngga cuma kepedean”
****
“Astagfirullah” aku berisitigfar karena lupa jika hari ini ada tugas yang harus di kumpulkan. Aku ingin melihat jawaban Eca tapi gengsi, aku kan sedang dalam mode marah saat ini. Aku ingin melihat jawaban Davin juga tidak bisa, karena dia izin pulang terlebih dahulu tadi.
Sekilas aku mendengar suara Kenzo dan suara perempuan yang sedang tertawa di luar kelasku. Tak lama kemudian makhluk itu pun muncul dan berjalan dengan beberapa orang siswi yang setia mengekor di belakangnya.
Aku menatapnya sinis, mencoba untuk mengintimidasinya sekaligus memberinya sinyal kecemburuan. Dan setelah mendapat tatapan itu, Kenzo yang seolah mengerti seketika menitahkan ketiga gadis di belakangnya itu untuk kembali ke tempat asal mereka masing-masing.
“Kamu kenapa cemberut begitu?” tanyanya sembari memposisikan diri duduk di sampingku.
“Jangan terlalu sering bercanda sama cewek yang udah keliatan dari gelagatnya kalau dia suka kakak” ucapku kesal, tanpa berniat menoleh ke arahnya.
Kenzo mengubah posisi duduknya menjadi menghadap ke arahku “Cuma bercanda tanpa rasa kok, kan yang aku seriusin cuma kamu”
“Ya tapi mereka ngga mikir begitu. Bisa aja kan mereka baper” gerutuku.
“Kamu lagi cemburu?” pakai nanya lagi si Bambang.
Aku menoleh ke arah Kenzo dengan wajah kesalku “Ngga. Tata cuma ngga suka bagi-bagi” kilahku pada akhirnya.
“Kalau kamu ngga suka bagi-bagi harusnya kamu komplain ke Devan juga dong, apa ada pengecualian untuk Devan?”
“Ngga kok. Itu mah karena dianya sendiri aja yang menjajakan diri” ucapku enteng.
Kenzo terkekeh “Ciah...kesannya kayak dia di obral aja, ngga baik ngomongin suami sendiri loh Ta”
Aku mengernyitkan dahiku “Kak Ken hari ini lagi kenapa sih?”
Kenzo merapihkan rambutku, yang sepertinya keluar dari dari cakupan kerudung yang aku gunakan “Ya ngga kenapa-napa juga sih. Aku lagi belajar untuk memantaskan diri, supaya bisa bersanding sama kamu”
Aku menyingkirkan tangan Kenzo perlahan saat aku mengingat akan batasan yang aku miliki “Ya kalau cara kak Ken nasehatin Tata kayak gitu, dengan bawa embel-embel suami. Nanti kalau akhirnya fikiran Tata terbuka dan Tata akhirnya jatuh cinta sama Devan, gimana?”
Kenzo menggulum bibirnya ke dalam “Oh iya yah. Yaudah deh, males sok bijak kalau begitu. Udah ada om Mario juga”
Aku hanya memutar mata malas untuk merespon gurauannya, sekaligus sebagai usahaku untuk menghentikan percakapan yang sudah tidak memiliki tujuan yang jelas itu. Karena aku memiliki hal yang lebih penting saat ini.
“Kak, Tata ada PR Pendidikan Kewarganegaraan nih. Bantuin yah” pintaku.
Kenzo mengangkat tangan kanannya dan menaruhnya di ujung alis, membentuk sikap hormat yang sempurna “Siap. Kamu sebutin aja pertanyaannya, terus nanti aku langsung jawab”
Dengan sedikit keraguan, aku mencoba mempercayai Kenzo “Ok. Pertanyaan pertama, dalam pertempuran apa yang mengakhiri penjajahan Belanda di indonesia?”
“Dalam pertempuran terakhir Belanda di Indonesia” jawab Kenzo enteng.
Uhukkk!
Aku tersedak salivaku sendiri karena mendengar jawaban yang luar biasa itu. Tapi tak lama setelah itu, aku mulai memakluminya.
'Ya sudah lah yah, dia memang absurd' fikirku.
Aku tak mau mengambil pusing mengenai masalah itu, karena waktu yang kumiliki cukup sedikit. Jadi aku melanjutkan ke pertanyaan kedua “Dimana deklarasi kemerdekaan di tanda tangani?”
“Di sudut kanan bawah” lagi-lagi dia menjawab tanpa berfikir sedikit pun.
Aku menggeram “Kenzo Kalandra!!!!!”
Dia menatapku dengan tatapan yang melemahkanku “Apa?”
“Yang serius kak” ucapku tanpa nada marah sama sekali. Matanya benar-benar berhasil melelehkan emosiku.
“Itu udah seserius yang aku bisa loh. Lagipula kalau aku pinter, udah pasti aku lulus bareng Devan dengan predikat cumlaude”
Aku menautkan kedua alisku “Kak Ken ngulang?”
“Bukan gitu, cuma Devannya aja yang lulus duluan. Buktinya aku sama Luna masih di kelas yang sama”
Kenapa harus ada Luna di setiap pembicaraan sih. Lama kelamaan kan aku bisa membencinya.
Tringgggg!!
Tak terasa kelasku akhirnya sudah berakhir. Dan saat ini adalah saatnya bagiku untuk menguatkan mentalku sebelum bertemu dengan Luna dan juga Devan di ruang musik.
“Kamu keringetan gini, panas yah?” tanya Kenzo yang masih setia menggenggam tanganku.
“Ngga kok” jawabku sembari berjalan lebih cepat untuk menutupi rasa gugupku.
Untuk sampai ke ruang musik, kami harus melewati beberapa bangunan kelas, termasuk kelas yang Devan tempati untuk menempuh pendidikan pascasarjananya. Dari jendela kelas Devan, aku menyempatkan diri untuk melihat ke dalam untuk mengetahui bagaimana kondisi seorang Devan Azzura Pratama saat dia sedang belajar.
“Ta, jalan”
Suara lembut Kenzo membuatku tersadar bahwa sedari tadi aku telah berdiri membatu cukup lama, tepat di jendela yang menampilkan sosok Devan yang tengah serius dengan selembar kertas di tangannya. Aku akui visual Devan masih tak tertandingi jika di bandingkan dengan Kenzo. Meskipun Kenzo terlihat seperti seorang bule, tapi wajah oriental Devan memiliki pesonanya tersendiri. Apalagi di tambah dengan kacamata baca yang bertengger manis di hidung mancung dan ramping miliknya, serta jidat paripurna yang sengaja di pamerkannya itu. Sungguh visual yang benar-benar berhasil mengalihkan duniaku. Dia benar-benar terlihat seperti karakter komik yang tersesat di dunia nyata.
“Masih mau pandangin Devan?” tanya Kenzo lagi, setelah kakiku tak bergerak satu sentipun.
Aku menjadi salah tingkah saat sadar apa yang sudah kulakukan, dengan menundukkan kepalaku, aku berusaha meminta maaf dengan setulusnya “Maaf”
Kenzo mengelus kepalaku, yang membuatku menegakkan kepalaku dan beralih menatapnya “Kamu ngga salah. Pelan-pelan. Perlahan kamu pasti bisa melupakan rasa sakit kamu”
Setelah mengatakan hal itu, Kenzo menarik tanganku pelan. Dia berusaha mengajakku untuk melanjutkan perjalanan, namun tanpa memaksa. Aku yang mulai di selimuti rasa bersalah hanya bisa terdiam dan mengikuti langakah Kenzo yang menuntunku ke ruang musik.
Setelah sampai di ruang musik, semua orang yang terdapat di sana sangat terkejut saat melihatku yang bergandengan tangan dengan Kenzo.
“Tuh Lun, lo mau terus-terusan ngerusak hubungan orang? Karena lo Kenzo jadi berani begitu ke istri orang” ucap salah satu pria yang tengah memegang stik drum.
Luna menatapku sekilas, lalu kembali menatap pria tersebut “Gue udah putus sama Devan. Kenapa juga lo nyalahin gue? Kenapa ngga salahin aja ceweknya yang menjajakan diri ini”
Ucapan Luna membuatku merasakan sebuah karma yang terbilang cukup cepat dan langsung. Tadi pagi aku mengatai Devan menjajakan diri, dan sekarang guardian angel nya lah yang membalasku.
Kenzo melepas genggaman tangan kami, dia maju beberapa langkah untuk mendekat ke arah Luna “Lo ngga berhak ngomong kayak gitu tentang cewek gue. Fikirin aja tuh cowok lo yang berani terlantarin istri di jalan cuma buat ngenterin pacarnya yang manja. Bingung gue, lo itu cewek apa makhluk jadi-jadian sih? Ngga punya hati banget”
Semua orang yang terdapat di ruang musik hanya bisa terdiam, setelah merasa bahwa situasi kami yang semakin memanas. Namun lagi dan lagi salah satu anggota band yang memegang stik drum itu akhirnya buka suara.
“Gue ngga nyangka lo sejahat itu Lun. Kalau begitu gue dukung hubungan kalian berdua. Emang kalau orang jahat akan di satukan dengan orang jahat” ucapnya dengan menekankan kalimat sindiran itu.
Kenzo tersenyum ke arah pemegang stik drum itu “Thanks Di”
Pria itu mengangkat kedua stik drumnya “Yoi. Santai aja kalau sama Aditya Hermawan mah”
Yah, drummer itu ternyata bernama Adi.
“Ta, sini dulu” suara bariton yang terdengar dari balik tubuhku itu, berhasil membuat tubuhku menegang seketika. Aku kenal suara itu. Dan sepertinya saat ini aku sedang membutuhkan bantuan kekuatan. Namun sayangnya, tangan Kenzo berada jauh dari jangkauanku karena Kenzo menghampiri Luna tadi.
Perlahan aku memutar tubuhku, mencoba menghadapi rasa takut itu “Kenapa?”
Tanpa berbasa-basi, Devan menarik tanganku. Dan sebelum aku benar-benar keluar dari ruang musik itu, aku menyempatkan diri untuk menoleh ke arah Kenzo bermaksud untuk meminta pertolongannya. Namun sayangnya saat Kenzo hendak mengejar kami, tangan Kenzo justru di tahan oleh Adi. Harapanku saat itu hanyalah Luna, jika saja Kenzo tidak menahan tangannya. Sungguh sial sekali aku hari ini.
Setelah di rasa cukup jauh, Devan melepaskan genggaman tangannya.
“Kakak ngga suka yah kamu jalan sama Kenzo” ucapnya dengan suara tegas yang seolah tengah memberiku peringatan.
Dengan mengumpulkan keberanian, aku menatap mata cokelat terang yang selalu menggoreskan luka itu “Kenapa? Cemburu?”
Mendengar hal itu, ekspresi Devan berubah drastis. Tidak ada lagi kilatan amarah di matanya “Ya...ya ngga gitu. Kamu kan tahu kalau angkatan kamu dan para panitia ospek tahu persis tentang hubungan kita. Harusnya kamu jaga nama baik kita dong!”
Aku tersenyum miris “Sekarang gini deh. Tata tanya sama kakak, apa kak Devan udah menjaga nama baik kita dengan jalan sama Luna? Ngga kan. Lalu apa bedanya kita berdua?”
Devan menghembuskan nafas kasar, mencoba meredam emosinya “Kalau gitu aku mau kita punya anak”
Sebenarnya aku sedikit terkejut mendengar permintaan Devan kali itu, tapi aku berusaha menyembunyikan ekspresiku itu agar dia berfikir bahwa aku menganggap ucapannya hanya sebagai angin lalu.
“Buat apa?” tanyaku sesantai mungkin.
Devan tidak menjawab, matanya mulai terlihat gusar. Aku tahu jika dia sedang ragu saat ini.
Aku menatapnya tajam sembari berpura-pura tertawa “Haha...Maksudnya biar aku terikat sama kakak dan ngga bisa bebas deket sama siapa aja, sedangkan kakak bebas bermesraan sama Luna. Gitu kan? Jahat banget yah kakak” ucapku yang sudah seperti cosplay seorang psikopat.
“Ngga punya hati tapi mau di mengerti. Resign jadi manusia aja sana!” ucapku sebelum berjalan meninggalkannya yang masih membatu di sana.
lanjut donk.. gak sabar nihhh
Comment on chapter Sisi lain