Semakin lama perasaanku semakin goyah, terombang-ambing dan tak memiliki arah. Di satu sisi aku berharap pada Devan, namun di sisi lainnya aku nyaman dengan Kenzo yang selalu menyembuhkan luka yang Devan torehkan.
“Bolehkah aku memiliki keduanya tanpa melepas salah satunya?” jelas saja itu adalah pertanyaan retoris terbodoh yang pernah aku tanyakan pada diriku sendiri.
Aku menyukai hujan yang membawa ketenangan, namun aku juga sedikit membencinya. Karena hujan mengingatkanku tentang bagaimana dinginnya Devan padaku, saat di hadapkan dengan pilihan antara aku atau Luna. Tapi entah mengapa, tak perduli sebanyak apapun Devan menyakitiku, harapanku padanya tak pernah mati.
“Kamu diem aja kenapa?”
Suara bariton yang tenang itu membuatku mengalihkan fokus dari kaca jendela mobil menjadi ke arahnya. Aku sudah cukup kesal padanya yang memohon pada papi untuk membujukku pergi ke Bandung dengan alasan bulan madu.
“Perduli?”
Jujur saja aku sudah lelah dengan sikap Devan yang tarik ulur dan tidak tegas. Aku ingin Devan memberiku kepastian. Genggam atau lepas.
“Kamu kenapa jadi dingin begini? Ngomong dong Ta. Kalau kamu diam begini, kakak ngga akan ngerti”
Aku menatapnya jengah “Justru Tata yang ngga ngerti sama kakak!”
Devan mengernyitkan dahinya, namun fokusnya masih terpaku pada jalanan menikung di depannya “Maksud kamu?”
Karena merasa tidak di perhatikan sepenuhnya, aku memilih untuk mengalihkan pandanganku ke jendela mobil yang menampilkan rindangnya pepohonan di pinggir jalan “Genggam salah satunya, jangan memaksakan untuk mempertahankan keduanya. Karena tangan kiri hanya bisa menggenggam satu tangan kanan”
Aku tidak tahu secara pasti bagaimana ekspresi Devan saat mendengarku mengatakan hal itu. Tapi yang pasti, dia sempat terdiam cukup lama sebelum memutuskan untuk menyuarakan fikirannya “Sekarang kamu coba jelasin ke kakak, bagaimana bisa mengenggam tangan yang sudah menggenggam tangan lain?”
Pertanyaan Devan seolah menghentikan kerja sistem tubuhku. Lidahku kelu, mataku juga sibuk melihat kesana-kemari, karena apa yang Devan ucapkan merupakan fakta yang tak dapat kupungkiri.
“Apa kakak bisa membalikan pertanyaan itu ke diri kamu sendiri?” Sambungnya, karena tak mendapat jawaban dariku.
Aku masih terdiam, tak dapat memberikan jawaban apapun.
“Kalau sekarang kakak putuskan untuk benar-benar meninggalkan Luna, apa kamu bisa melepas Kenzo?” Pertanyaan yang Devan lontarkan terdengar seperti sebuah tantangan di telingaku. Namun jujur saja, aku tidak memperdulikan hal itu karena aku juga belum yakin tentang jawabannya.
Saat jalanan di rasa cukup lebar, Devan menepikan mobilnya ke pinggir jalan dekat trotoar. Aku meliriknya sekilas, lalu kembali menatap pemandangan melalui kaca mobil lagi saat Devan menatapku dan memberikan seluruh fokusnya padaku “Setelah putus dari Luna saat tragedi itu, kami benar-benar cuma sebatas teman. Tanpa di bumbui kemesraan”.
Aku yang mendengar ucapan Devan yang berbanding terbalik dengan fakta yang ada, akhirnya menoleh kearahnya dan memberinya tatapan tajam “Bohong! Jelas-jelas Luna masih jadi prioritas kak Devan. Terus apa gunanya kakak nahan Tata yang nomor sekian ini?”
“Itu cuma opini kamu” Sanggah Devan.
“Cuma opini?”
“Kakak lebih milih nganterin Luna pulang saat hujan, dan membiarkan Tata hujan-hujanan. Itu cuma opini?” Desakku.
“Kamu ngga tahu kan kalau kakak balik lagi saat itu. Tapi apa yang kakak lihat? Kamu justru lagi asik-asikan ngobrol sama Kenzo. Dan saat kamu pulang, apa kamu menjelaskan sama kakak? Ngga kan”
Aku tersenyum sinis “Itu kan cuma opini kakak. Udah Tata mau pulang aja, ngga usah acara bulan madu segala. Capek, seumur hidup harus gimik terus”
Devan mengabaikan ucapanku, dia justru kembali melajukan mobilnya namun dengan menaikan kecepatannya.
“Devan kamu psikopat yah! Pelan-pelan”
Devan menoleh kearahku sekilas, hanya untuk menunjukkan senyum miringnya “Kalau kamu fikir aku psikopat, yaudah. Tinggal wujudkan itu”
Aku yang ketakutan setengah mati hanya bisa memikirkan kata-kata untuk mengancamnya “Kamu ngga pelanin, Tata loncat nih”
"Kita udah sampai juga” ucap Devan enteng.
Hah. Akhirnya aku bisa bernafas lega karena berhasil selamat setelah menantang malaikat maut tadi. Setelah kulihat Devan membuka seluruh kunci pintu mobilnya, dengan secepat kilat aku membuka pintu mobil dan berusaha berlari dari Devan yang sedang kerasukan itu. Namun seperti biasa, Devan berhasil menahan tanganku terlebih dahulu. Jika matanya menunjukkan tatapan tajam, itu sudah biasa. Tapi kali itu hanya ada tatapan penuh emosi. Aku mulai takut saat Devan mulai menggendongku memasuki sebuah Villa yang memang sudah di pesan khusus oleh papinya untuk kami berdua.
“Devan kamu mau ngapain?” Ucapku sembari meronta-ronta di gendongan Devan.
Devan tersenyum miring “Berusaha keras mewujudkan tujuan dari bulan madu”
****
Tengah malam aku terbangun dengan tubuhku yang terasa hancur lebur. Devan memang benar-benar tengah di selimuti amarah tadi, sampai-sampai keadaanku seperti ini. Dia bukan memukuliku atau semacamnya, tapi dia menuntaskan kebutuhannya yang mungkin saja sudah dia tahan sejak lama. Terbukti dari bagaimana dia tidak memberiku jeda untuk istirahat meski hanya sejenak.
Dengan langkah yang tertatih-tatih aku berjalan ke kamar mandi yang berada di kamar kami. Tubuhku terasa benar-benar lengket, jadi aku memutuskan untuk mandi sebelum kembali tidur. Tak perlu mandi berlama-lama, udara di Bandung sangatlah dingin. Aku tidak ingin terserang rematik sejak dini. Setelah selesai mandi dan memakai piamaku, aku mendengar ada seseorang yang mengetuk pintu. Dengan sedikit rasa takut aku berjalan menuruni anak tangga untuk turun ke bawah, dan melihat siapakah yang bertamu selarut ini.
Cklek!
“Sayang”
Deg!
Panggilan itu benar-benar terasa menyakitkan di hatiku. Apa ini? Karena Devan, aku sempat melupakan sosoknya yang selalu ada untukku.
“Kak Kenzo, kakak kok bisa ada di sini?”
Senyuman yang tadi ada di bibirnya pun luntur seketika “Kamu ngga seneng? Aku ganggu yah?” Ucapnya sembari membalikan badan dan hendak pergi, namun aku menahan tangannya yang tertutup jaket kulit itu.
Aku tersenyum “Tata seneng kok”
Mendengar hal itu, senyuman manisnya akhirnya kembali lagi. Lalu dia sedikit menengok ke dalam Villa, guna melihat keadaan sekitar.
“Devan udah tidur?”
Aku merasa kikuk saat Kenzo menanyakan hal itu. Kenzo menatapku dengan tatapan lembutnya, yang membuatku semakin di selimuti rasa bersalah. Aku merasa seperti telah menghianatinya.
Kenzo mengangkat daguku, dia memperhatikan seluruh wajahku lamat-lamat “Aku mau ngga terima juga ngga bisa. Karena hak Devan jauh lebih besar daripada aku”
Deg!
Kenapa bawa embel-embel hak segala sih!
“Maksud kak Ken apa?”
Kenzo tersenyum “Bibir kamu udah nunjukin ke aku jawaban dari semua pertanyaan yang sibuk aku tanyakan pada diriku sendiri, saat Dewa bilang kamu izin karena bulan madu”
“Emang surat ijin Tata isinya kayak gitu?” Percayalah, aku tengah berusaha keras mencoba mengalihkan topik perbincangan kami agar tak mengarah pada fakta yang Kenzo temukan pada tubuhku.
Wajah yang semula murung itu kini kembali seperti wajah seorang anak-anak lagi. Dia Kenzo yang aku kenal, Kenzo yang tidak mencoba menjadi dewasa “Ngga kok. Dewa tahu dari Davin”
Aku mengangguk, pertanda mengerti.
“Aulia”
“Ya?”
“Aku kecewa” Ucap Kenzo dengan suara lirih, dan wajah yang kembali murung.
“Maaf”
Kenzo menangkup kedua pipiku. Cepat sekali dia merubah ekspresinya menjadi seperti anak-anak lagi “Ngga, jangan minta maaf. Kamu ngga salah kok, akunya aja yang akhir-akhir ini lagi sensitif dan egois pengen milikin kamu untuk aku sendiri”
Aku menatapnya sendu “Dengan kak Ken ngomong begitu, justru bikin Tata tambah merasa bersalah”
Kenzo mengusap air mata yang entah sejak kapan mengalir deras di pipiku “Eh, hei jangan nangis. Aku ngga bermaksud begitu, cuma aku ngga mau bohong ke kamu tentang bagaimana perasaan aku yang sebenernya”
Aku melepaskan tangan Kenzo yang bertengger manis di pipiku saat aku mengingat batasanku.
“Kak Ken kesini naik apa?” Mengalihkan topik pembicaraan mungkin adalah hal terbaik yang harus dilakukan untuk saat ini.
Kenzo menoleh ke arah belakangnya “Aku naik mobil itu dari sepulang kuliah tadi. Jadi nyampenya tengah malem deh” Keluhnya yang kutanggapi dengan senyuman hangat.
“Yaudah aku pulang dulu yah” Pamitnya.
Aku menautkan kedua alisku “Udah gitu doang?”
Kenzo kembali menatapku “Iya. Kamu maunya gimana? Aku nginep gitu?”
Aku menggaruk keningku yang tidak gatal, sebenarnya bukan itu juga yang aku harapkan “Ya ngga gitu juga”
“Niat aku kesini cuma mau lihat senyum kamu yang dari tadi aku rinduin doang kok. Dan saat aku udah lihat senyum kamu, yaudah deh aku pulang, besok ada kelas”
“Tata jadi pengen pulang dan kuliah lagi deh” Gumamku.
Kenzo memegang kedua bahuku yang lebih pendek darinya “Sabarin aja dulu. Kalau kamu mau, aku bisa tiap hari dateng loh”
Aku membelalakan mataku “Ih ngga perlu kak”
“Kenapa? Takut aku ngegganggu kalian yah?”
Pemikiran apa itu, aku bahkan tidak perduli dengan alasan mengapa aku dan Devan berada di Villa ini “Bukan. Tata cuma khawatir sama kesehatan kakak” Ucapku apa adanya. Aku tidak bisa menambah rasa bersalahku dengan menyusahkan Kenzo.
Kenzo mengelus puncak kepalaku seperti biasa, lalu dia tersenyum manis “Kamu emang pacar terbaik. Yaudah aku pulang dulu yah”
Aku mengangguk dan mengantar Kenzo sampai dia masuk ke dalam mobilnya. Dan setelah melihat mobil Kenzo menghilang dari pandanganku, aku kembali masuk ke dalam Villa. Hari ini sangat melelahkan bagiku, jadi aku memutuskan untuk kembali tidur guna mengisi tenagaku yang telah terkuras habis. Untunglah kedatangan Kenzo cukup menghibur bagiku tadi.
“Laki-laki itu kesini?” Suara menyebalkan itu menyambutku. Dengan kesal aku melihat ke arahnya yang tengah bersandar pada tumpukan bantal yang di buat sedikit meninggi.
Aku diam, berusaha mengabaikannya. Aku kembali masuk ke dalam selimut dan memposisikan diri untuk tidur membelakanginya.
“Kamu mau aku hukum pakai cara yang sama kayak tadi?”
Aku langsung menoleh kearahnya “Aku? Ngga usah kayak gitu deh. Pakai kata ganti yang biasanya aja”
“Kenapa? Biar ada pembeda antara aku sama dia?”
Aku memutar bola mataku malas “Ngga tahu ah. Tata capek, mau tidur”
Dari pergerakan yang aku rasakan, sepertinya Devan tengah memebenarkan posisi bantalnya seperti semula. Mungkin dia juga ingin ikut tidur “Tadi kamu ngobrol sama dia senang-senang aja tuh. Tapi sekarang aku ajak ngomong malah dingin gini”
Aku memjamkan mataku, berusaha terlelap secepat mungkin “Terserah” Gumamku.
“Kalau sampai dia dateng lagi, aku beneran akan hukum kamu kayak tadi. Bahkan kamu mungkin ngga akan bisa ketemu dia lagi” Samar-samar hal itulah yang kudengar terakhir kalinya. Devan memang selalu begitu, tidak jelas dan begitu egois.
lanjut donk.. gak sabar nihhh
Comment on chapter Sisi lain