Aku tak pernah menyangka jika definisi bahagia benar-benar bisa sesederhana ini. Melihatnya tersenyum dengan binar terang di matanya ketika bercerita kepadaku, merasakan hangat dan lembutnya genggaman tangannya di tanganku, serta menerima perlakuan-perlakuan spesial yang begitu memanjakanku. Aku menyukainya, semuanya membuatku merasa bahwa aku adalah salah satu wanita paling beruntung di dunia ini.
“Kamu mau kemana lagi yang?” pertanyaan Kenzo sukses mengembalikan fokusku yang sempat teralihkan.
“Terserah kakak” ucapku tanpa menoleh ke arahnya yang sedang berjalan di sampingku.
Kenzo menghentikan langkahnya lalu menatapku “Sebagai warga spesialnya Kenzo Kalandra, kamu kan punya hak untuk menyampaikan pendapat. Kenapa harus bilang terserah mulu” gerutu Kenzo.
Aku terkekeh melihat bibir Kenzo yang mencebik seperti seorang anak kecil yang sedang merajuk.
“Tata ngga tahu harus kemana kak. Selama ini kan Tata di rumah mulu” ucapku sedikit memelas, karena aku ingin Kenzo tahu seberapa anak rumahannya diriku ini.
“Betah yah di rumah mulu sama Devan”
Aku membelalakan mataku, terkejut akan pemikiran Kenzo “Ih ngga, bukan gitu. Maksud Tata kak Devan itu ngga pernah ajak Tata jalan-jalan”.
Kenzo tersenyum sembari mengelus kepalaku “Iya sayang, aku ngerti kok. Ngga usah ngejelasin gitu lagi yah, karena sekarang itu yang paling penting adalah kebahagiaan kamu. Aku percaya sama kamu, jadi jangan takut kalau aku akan berfikir yang macem-macem”
Kenzo Kalandra, sepertinya nama itu akan selalu hidup dalam kenangku sebagai yang terindah, juga sebagai seorang penyembuh bagi semua lukaku.
Setelah menyelesaikan perbincangan itu, kami lanjut berjalan lagi menyusuri jalan raya yang mulai sepi karena sudah cukup malam. Tujuan kami saat itu cuma satu, yaitu berjalan menuju ke mobil Kenzo yang berada di parkiran taman.
“Besok aku mau ngeband bareng squad, kamu mau ikut?” Tanya Kenzo tiba-tiba.
Aku berfikir sejenak “Emang boleh?”
Kenzo tersenyum manis, lalu dia mempererat genggaman tangan kami “Ya boleh dong, apa sih yang ngga untuk kamu. Tapi...”
“Tapi kenapa?” tanyaku penasaran.
Kudengar Kenzo menghembuskan nafas cukup berat “Ada Luna, dia yang megang piano soalnya”
Kali ini aku yang menghentikan langkahku, lalu menahan tangan Kenzo agar dia juga berhenti sejenak. Kuciptakan sebuah suasana agar Kenzo mengerti bahwa aku tengah serius kali ini. Kutatap matanya dalam, sebelum menyampaikan kalimat yang sesungguhnya aku sendiri masih meragukannya “Tata ngga pernah ngerasa ada masalah sama kak Luna. Jadi kenapa harus di fikirin?”
Bohong! Jelas saja saat ini hatiku tengah berperang dengan fikiranku yang membuatku enggan untuk datang ke ruang musik itu. Dimana ada Luna, di situ pasti ada Devan kan? Apa aku sudah benar-benar sanggup melihat kemesraan mereka berdua?.
Kenzo menatap mataku lamat-lamat, kurasa dia tengah mengamati dan sedang mencari tahu tentang apa yang sebenarnya ada dalam benakku.
“Ngga usah kalau gitu. Aku ngga mau kamu sampai terluka nantinya” itulah penilaian Kenzo. Bagaimana bisa dia benar-benar mengerti isi hatiku hanya dengan memandang mataku? Bukankah itu berarti dia benar-benar sudah mengerti aku?.
“Ngga kak. Tata mau semangatin presidennya Tata yang ngeband masa ngga boleh. Lagipula kalau di hindarin terus, kapan Tata bisa sembuhin luka itu” kilahku. Padahal aku hanya ingin menguji apakah aku masih memiliki perasaan pada Devan atau tidak.
Kenzo mengelus kepalaku “Yaudah, terserah kamu aja. Kalau ngga kuat, nanti aku usir dia”
Aku terkekeh sembari mengangguk menyetujui. Kemudian kami memutuskan untuk melanjutkan langkah kami lagi yang hanya tersisa sekitar 10 meter dari mobil Kenzo.
Namun, lagi-lagi Kenzo menghentikan langkahnya saat dia merasakan ada getaran dari saku celananya. Perjalanan kami memang menjadi sangat panjang karena langkah kaki yang terus saja terinterupsi.
“Bentar yah, ada yang telfon” ijinnya.
Aku mengangguk menyetujui, dan membiarkan Kenzo berbicara dengan seseorang di sebrang sana. Ini satu hal lagi yang membuatku kagum pada diri Kenzo. Dia tak menyembunyikan apapun dariku. Tanpa kuminta, dia justru membiarkan aku mendengarkan percakapannya.
“Aku harus pulang ke rumah dulu buat unjuk gigi. Dewa bilang mama sakit karena mikirin aku yang...” Kenzo terlihat ragu untuk melanjutkan kalimatnya.
“Yang apa?”
“Ngga pulang selama 2 bulan” ucap Kenzo sembari sesekali tersenyum malu.
Aku terkekeh "Tuh kan ketahuan. Pasti karena galauin Tata yah?” tebakku dengan percaya diri.
Kenzo terkekeh geli “Ngga kok. Orang aku lagi semedi, mengosongkan fikiran supaya bisa upgrade memori yang kapasitasnya mulai penuh”
Aku mengabaikan alibi tidak masuk akal yang Kenzo sampaikan, sebab pipiku sudah mulai terasa sakit karena terlalu sering tertawa “Yaudah sana pulang, nanti Tata minta jemput Eca aja”
Kenzo mengernyitkan dahinya "Lah kok Eca? Ngga Devan aja? Ini belum lewat jam malem kok”
Memang bisa di bilang saat ini belum terlalu malam, tapi aku justru memutuskan untuk menginap di rumah Eca. Bukan karena aku takut di marahi oleh Devan karena pulang malam, tapi karena perasaanku menjadi terasa aneh saat harus bertemu dengan Devan, padahal baru saja bermesraan dengan Kenzo.
Aku menggeleng pasti “Ngga mau. Tata mau nginep di rumah Eca aja”
Lagi-lagi Kenzo menerbitkan senyumnya yang sangat manis “Oh yaudah. Eh, tapi untung kamu ajak aku ke barber shop yah”
Aku mengernyit bingung “Lah kenapa?”
“Ya kalau tadi aku ngga ke barber shop, dan aku pulang dalam keadaan lusuh kayak tadi. Bisa langsung hilang ingatan mamaku. Manusia purba darimana katanya”
Aku hanya terkekeh menanggapi. Fakta tentangnya membuat aku bertambah kagum dan kagum lagi padanya. Bagaimana tidak? Meskipun dalam keadaan mendesak seperti ini, Kenzo masih saja memilih untuk menemaniku terlebih dahulu sampai Eca menjemputku.
Semakin aku mengenal Kenzo, semakin banyak kejutan yang aku peroleh darinya. Dan semuanya tentang hal baik dan manis, tanpa diselipkan selaksa duka.
°°°°°
Setelah sampai di rumah Eca yang tidak jauh dari taman kota, aku membersihkan diriku dan mengganti pakaianku dengan meminjam pakaian Eca. Karena aku berniat memakai baju yang tadi di belikan oleh Kenzo untuk kuliah besok.
“Kamu kok malem-malem bisa sama kak Kenzo sih?” tanya Eca yang sudah menaiki kasurnya, dan ikut berbaring di sebelahku.
Aku bingung bagaimana caraku menjelaskannya pada Eca, tentang hubunganku dan Kenzo yang terbilang cukup rumit.
“Saya warga spesialnya Kenzo” ucapku pada akhirnya.
Eca mengerutkan dahinya, bingung “Gimana sih maksudnya?”
Aku hanya bisa tersenyum bodoh “Saya juga ngga ngerti”
“Idih. Yaudah tidur. Nanti kalau besok kesiangan baru nyaho! mana ada kelasnya bu Inggrit lagi. Kalau kamu sampai telat, bisa-bisa di suruh ngepel seluruh sekolah loh karena dendam kesumatnya sama kamu” peringat Eca. Dia memang sahabat terbaikku.
Aku dan Eca sama-sama tertawa, sebelum akhirnya memutuskan untuk membenarkan posisi dan mulai masuk ke alam mimpi kami masing-masing.
Tringgggggg!!!
Suara jam beker yang nyaring membuatku mau tak mau membuka mataku. Untuk sejenak aku merasa bingung. Eca tak mempunyai jam beker, tapi kenapa ada suara dering dari jam beker? Padahal biasanya dia hanya menggunakan alarm ponsel yang di beri nada Sholawat nabi. Dengan separuh sadar, aku mencoba mengamati langit-langit di atas tempatku berbaring. Masih sama. Semua berwarna putih.
Tapi perasaan apa ini? Mengapa jantungku seperti berdetak lebih cepat dari biasanya?Aku juga bingung kenapa aku bisa tertidur nyenyak semalam tanpa menghirup aroma tubuh Devan.
“Eunghhh” suara lenguhan serta pergerakan pada perutku itu membuatku tersadar sepenuhnya. Tunggu, ini bukan tangan Eca yang melingkar di perut rataku. Dengan secepat kilat aku menoleh ke arah sampingku karena rasa panik sekaligus takut.
“Kak Devan ngapain disini?!” ucapku panik, sembari menyingkirkan tangannya dari perutku.
Devan menggeliat dan perlahan membuka matanya, berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk ke retina matanya.
“Apa sih Ta? Pagi-pagi gini udah ribut” gumamnya dengan suara serak khas orang yang baru bangun tidur.
Aku langsung terduduk “Tata kan lagi di rumah Eca, kenapa bisa ada kak Devan?”
Devan ikut terduduk “Tadi malem kakak yang jemput kamu. Kapan dewasanya sih Ta? Kamu udah mau 19 tahun loh. Kamu itu punya rumah tangga sendiri. Kamu juga punya kepala keluarga yang harus kamu layanin, bukannya bikin suami khawatir aja. Kalau ada masalah itu di omongin baik-baik, jangan main kabur gitu aja. Nanti kasihan ke anak kitanya kalau kebiasaan kayak gini terus berlanjut”
Duh mulai lagi dia, apa harus selalu memberikan pencerahan setiap pagi? Kenapa dia tidak ikut program mama dede saja sih. Daripada begitu di rumah, justru membuatku merasa di rukiyah setiap pagi. Kan kasihan jin nya, ongkos bolak-baliknya mahal. Kasih libur sehari kek. Harusnya dia itu satu squad sama Eca. Eh, aku berbicara apa sih. Padahal baru saja sehari bersama Kenzo, tapi sifat absurdnya sudah sedikit menular kepadaku.
Note : Belum revisi gengs, mager nulis dong :'(
lanjut donk.. gak sabar nihhh
Comment on chapter Sisi lain