CHAPTER 3: RUN THE MISSION (PART II)
“Sekali lagi!” kata Alter sambil membuat gerakan siap menerima bola dari Arias sebelum maju membuat serangan balasan yang dirintangi Aguer di sekitar dalam tengah court sehingga mempertunjukkan one on one.
Jelas opsi gerakan Aguer lebih matang dan variatif, justru itu yang memicu auto-ankle break Alter aktif membuat keunggulan level Aguer pada situasi itu tidak menjadi alasan memenangkan one on one -selain membuat penjagaan Aguer dijatuhkan paksa. Frau yang Alter lihat selesai itu, di samping teringat bagaimana pernah one on one dengannya. Jadi Alter pilih back-pass ke Arias yang memantapkan pilihan membuat three-pointer dari jarak setengah court.
“Useless,” nilai Demiro sebelum Frau berlalu ke belakangnya dengan pengukuran waktu yang selaras dengan shoot Arias seperti tahu persis kapan harus melompat dengan arah dan ketinggian yang bisa membatalkan three-pointer ... dengan air force-grab.
“Finish them, Frau!” kata Demiro.
Dengan begitu Dequase membuat counter, tentunya. Jadi, yang tadi hanya ditunda sebentar, sebelum one on one yang tidak akan bisa Alter elakkan terhadap Frau, karenanya ini terjadi lagi perlawanan offense dengan defense begitu cepat dengan fleksibelitas yang berani, begitu menurut semua yang perhati. Hanya pengamatan Arias satu tingkat lebih mengerti satu hal soal dua kali kejadian yang mencengangkannya dalam one on one itu, bahkan tiga kali.
Berapa kali lagi Alter bisa? Efektifitasnya mulai down. Bisa jadi … pikir Arias.
Terutama yang keempat sekaligus terakhir bagaimana Alter … -mungkin memang pertama kali dia alami sebelum oleh yang lain- berhasil Frau lewati karena jatuh kena ankle break, sehingga setelahnya giliran Arias, kemudian Agung, karena itu dunk Frau sukses sebelum hambatan berikutnya menyusul.
Perlu beberapa saat supaya mentalitas Trinity pulih sebelum memulai serangan balasan, saling menegakkan diri saat Frau berlalu menuju posisi awalnya.
“So impressing! You wondered me three times. I didn’t even know that technique you used. Almost brake me, just still unaffected,” kata Frau ke Alter.
“Ankle break reverser, so impressing you was unaffected,” balas Alter. “And you’re first who broke my ankle.”
“Hoho, no matter how proud yourself, but nice named I hear, so I will have that to be mine, to break you, to break everyone.”
"Maybe you should break yourself ankles. Be careful!"
“Humh,”
“C’mon! We are in time,” seru Arias ke Alter setelah menerima pass-off dari Agung.
“Apa rencana lu, Ias?” tanya Agung.
“Enggak ada.”
“Terus?”
“Main natural aja.”
Tapi kali ini, sepertinya bukan karena naturalitas membuat Aguer begitu mudah dilewati dengan suasana seringan Arias rasakan.
What the something helly odd he think is? Arias pahami situasi, sehingga berhadapan dengan Demiro yang menjaga depan low post setelahnya. Arias membuat quick-realize dalam tempo yang tidak sempat dijangkau block Demiro maupun Aguer dari belakang, di samping berharap ke Alter bisa membuat persaingan berarti pada ketinggian lompat entah untuk rebound atau air force-grab mengalahkan Frau.
“Useless sleepin bout!” kata Frau memandang upaya Alter tidak mengesankan, lalu mengoper bola ke Demiro saat masih melayang.
Saat itu layer-layer tekanan hawa destinitas buruk untuk timnya mulai Arias rasakan sumbernya dari posesi Demiro, terlebih saat counter Demiro larikan. Dalam one on one itu …
Gimana bisa!? Opsi-opsi reaksi gue cukup determinatif, timming, pola penutupan, sudut-sudut hand-stealing, ternyata …
Seolah telah Demiro pahami benar, sehingga Arias menyadari secara hikmatis bagaimana Demiro melewati dirinya, di samping melampaui berbagai peluang kecepatan handling control-nya. Ternyata gue masih punya banyak blind spot di antara radius pengamatan. Paham Arias.
Setelahnya, upaya Agung masih belum cukup dalam one on one.
“Keep it up but not enough,” nilai Demiro.
Ketekunan Alter membuat dirinya sempat beralih menajga low post sendiri, menjadi hambatan terakhir Demiro yang sendiri mengurus counter dibiarkan dua rekannya yang percaya diri untuk tetap santai di posisinya -sebagaimana Alter lihat. Kemungkinan besarnya Demiro mengerti sebelum semakin jelas terjadi, bahwa Alter tidak merintanginya sendirian tapi triple-team bersama Arias dan Agung. Saat itu Demiro mengeraskan keseriuan gaya basketnya, dengan pengamatan sempurna yang mengidentifikasi potensi perlawanan dan menilai kapasitas atau batasannya secara karakteristik, sebelum melakukan penyelesaian dengan pasti atau determinatif.
Jadi keingat HIRADC, … jadi keingat one on one terakhirku sama Eloisa, tapi dia lakuin lebih canggih. Nilai Alter dalam hati.
Gaya basket gue jadi malu … gue broken! Pikir Agung sambil terjatuh.
Tingkat konsentrasi kesadaran dan reaksi bawah sadarnya super detail, identifiaktif, risk assessmentable dan determining control banget. Melampaui batas gue. Paham Arias dalam hati.
Bahwa itu mengalahkan kombinasi layer-layer keselarasan dari kecepatan akurasi dan keseimbangan control tangan Arias, gaya bebas Agung yang cukup variatif dan kolektif, juga upaya Alter yang melengkapi gaya defense-nya dengan syarat-syarat aktif efek ankle break reverser, meski pun keselarasan ketiganya diupayakan secara sustainable -terus-menerus atau berkelanjutan selama masih sempat dan sanggup sebelum Demiro mencetak skor.
“Don’t be sustainable anymore!” kata Demiro setelah menyelesaikan offense yang begitu epic tanpa terpancing terjadinya illegal defense maupun offense, mengakhiri itu dengan dunk-nya tidak terelak, membuat skor 16.
Saat itu beat gothic underground musik tema pertandingan dimainkan sebagai instrumental selebrasi untuk Demiro di antara riuh sorakan mereka yang menonton dari luar court.
“Gue kasih tahu, Arias. Gue terkesan sama handling lu, daya visual lu, tapi lu sadar kan kalau lu masih suka bikin banyak blind spot? No matter how fast your hands, no matter how detail your visual. Lu, Cake Ank. Gue akui lu di atas rata-rata untuk ukuran orang Indo, meski belum seberapa,” nilai Demiro.
“Makasih. Gue enggak minta pendapat lu,” balas Agung.
“Alter. Bakat lu cuma tajam di satu sisi, sisanya still nothing.”
Mulai dari situ, saat offense mau pun defense selama dalam situasi koordinatif juga individual Trinity all-out sudah, bahkan sampai pada kondisi full-size (sepenuh kapasitas kemampuan) sebagai ukuran potensi yang besar menurut para pengamat ahli mau pun awam, meski sepertinya hanya kecil terhadap full-size Dequase.
“Meski enggak lakuin kesalahan yang sama, Demiro terus punya cara bikin gue lakuin kesalahan baru,” paham Arias.
“Hampir, hampir bisa, hampir terus dari tadi. Staminaku udah mulai enggak support,” paham Alter.
“Ini batas fleksibelitas gue? What-whatation!? Kenapa gue enggak bisa lakuin lebih dari ini, kayak dia?” paham Agung.
Selain itu, lebih banyak shoot di luar teknik dasar menembak Aguer buat.
“Ketekunan kayak apa sampai dia bisa bikin banyak macam formless shoot gila? Akuransinya, bener-bener … ,” paham Agung.
Tidak hanya yang sedang bertanding, semua yang menonton dari luar court jadi mempertanyakan hal yang kurang lebih sama mengenai sport-size Frau, sebagaimana Alter, “Harusnya dia udah kelihatan kurang stamina habis banyak lompat tinggi dan bikin crossover yang berat. Dia malah ngejek aku pas lagi naik turun napas gini,” karena Alter sadar saat itu dia pemain yang paling kelelahan.
“Level basket Demiro jadi booster potensi Aguer dan Frau ke performa terbaik. Selain itu, gue terkesan mereka terlatih bikin koordinasi permainan menjadi pengaturan stamina.”
Cukup banyak dan masuk akal Trinity pahami mengenai totalitas gaya basket Dequase, tapi …
“Udah tahu pun belum ada posesi berarti yang kita buat. Gue jadi ngerasa dongo, udah tahu tapi enggak berhasil berbuat,” paham Agung.
Muka Alter terlihat memerah. “Rasanya mau muntah, lututku udah kaku. Pikiranku udah kurang fokus. Efektifitasku udah turun,” lalu memegang sekitar dada kiri, “detak jantungku mulai sesak.”
“Apa bener hanya karena pengamatan sempurna, playmaking Demiro bisa sehebat itu? Akruat!” Arias refiew kembali pertandingan yang dia lakukan juga yang dia amati dalam ingatan. “Gue enggak yakin. Kemungkinan besarnya, ada faktor lain yang lebih rootcause daripada perfect vision. Tapi apa? Faktor yang membuat setiap determinasinya sangat akurat … ,” Arias masuk kembali ke renungan, mencari faktor x yang menurutnya sesuai dalam fishbone analisis di pikirannya. “Akurat!?” Lalu secara hikmatis akalnya menyadari satu hal setelah entah mengapa ingatannya visualsiasikan tangannya. Dalam renungan itu perasaannya ikut menimbang kadar akurasi setiap gerakan yang Demiro buat saat one on one, dirintangi double-team mau pun triple-team.
“Bahkan dia bisa lakuin movement yang identifikatif terhadap arah, jumlah pilihan dan batas gerakan lawan dari titik butanya secara intuitif di luar radius pengamatan utama. Dengan kata lain, dia kayak punya fokus kesadaran di titik buta. Drible, crossover, fake, drive, pass, shoot, pivot,” sambil membayangkan, memastikan satu per satu, “Fleksibelitas jari tangan, pergelangan tangan, siku, bahu, pinggang, lutut, pergelangan kaki, mungkin jari kaki juga. Feeling gue tambah jelas rasain, kayak setiap organ tubuhnya … ,” lalu melihat kedua tangan sendiri.
Selesai quarter pertama, meski berpihak pada hipotesis itu masih sulit Trinity menjauhkan playmaking-nya dari posesi Demiro saat offense selagi quarter kedua berlangsung.
“Kenapa dia kayak bisa tahu gitu?” pikir Arias.
“Dequase seriusan all out,” paham Alter.
“Gue cuma bisa berusaha. Mau putus asa rasanya berat banget, lebih berat dari putusin selingkuhan,” paham Agung.
“Okay, udah cukup bukti yang bisa gue pahami dan masuk akal keterkaitannya. Rahasia gaya basket Demiro,” Arias beritahu ke Alter dan Agung, “rootcause keberhasilan gaya basketnya bukan pengamatan sempurna. Tapi karena dia punya indra akurasi yang super optimal.”
“Indra akurasi?” Agung belum dapat.
“Berarti radius kepekaan hatinya luas, atau lebih kolektif dari kebanyakan orang,” paham Alter.
“Apaan?” masih Agung belum mengerti.
“Pada intinya, semua organ tubuhnya punya karunia yang sama kayak tangan gue. Kontrol, keseimbangan, akurasi, kecepatan. Levelnya mungkin lebih tinggi lagi dari yang ada pada tangan gue,” jelas Arias.
Meski sanggup memperbesar peluang menambah skor tapi masih tidak cukup mendominasi dan menjadikannya pengaruh berarti sehingga mengejar selisih ketertinggalan, justru semakin besar tertinggal selama sisa waktu berlangsung. Bahkan tanpa Aguer dan Frau, sport-size Demiro yang disuport dengan optimal oleh bakat indra akurasi dan pengamatan sempurna sebagai karunia unggul melebihi jenis karunia pada tangan Arias, fleksibelitas crossover Alter dan keahlian gaya bebas Agung, mempertahankan alur posesi yang tetap sampai quarter kedua itu berakhir. Tidak satu pun dari Alter, Arias dan Agung besar hati, ketiganya saling menundukkan wajah di samping membuat sebagian peluh dari kening tanpa menysuri pipi jatuh ke dasar court.
Separah ini!? Batin Arias saat itu rautnya menunjukkan pikirannya cukup terguncang.
… … … pikiran Agung tidak terbaca kata batinnya, entah karena hening, entah karena terlalu banyak yang terlintas.
Hanya Alter yang masih percaya diri dan cukup kuat mental memastikan skor hasil setengah babak itu nyata. 10 Trinity yang pahit mengecewakan di samping manis 42 Dequase yang membanggakan.
Terus gimana, kalau udah gini!? Sorry, Arex. Batin Alter, merasa telah mengecewakan.
“Trinity!”
Alter, Arias dan Agung saling menegakkan wajah, merasa yang Demiro maksud. Demiro menoleh ke kanannya, menatap lima orang yang saling mengeluarkan senjata api sebagaimana Alter, Arias dan Agung juga lihat, sedangkan mereka yang di salah satu sisi panjang luar court menepi mengosongkan sisi itu seperti mengerti tandanya tanpa perlu pemberitahuan. Court itu jadi bising oleh beberapa suara ledak tembakan yang saling bersusulan, bahwa lima orang itu menjadikan Demiro sebagai target setiap tembakan peluru yang semua meleset karena terbaca arah, tempo dan kecepatannya dengan tepat oleh Demiro menghindari -yang tidak sedikit pun gagal untuk mendapat risiko terluka atau terbunuh.
“You see?” tidak peduli kalau aksi pamernya itu membuat suatu sisi dinding menjadi property damage, Demiro memastikan kalau ketiga lawannya mengerti lebih jelas.
What the hell!? Itu bukan aksi boleh dicoba-coba. Jelas bukan kolang-kaling. Dia beneran selamat dari semua tembakan pada tempo frekuensi yang rapat dan enggak mungkin dihindari. Orang pasti mati konyol, tapi dia enggak. Paham Arias tidak sampai mengatakan dengan lisannya.
What-whatation is that!? Bisa hindarin tembakan serapat itu? Bercandanya kelewatan. Intuisi kepengen hits yang ekstrem banget. Paham Agung sampai tidak cukup nyata mengucapkannya.
Aku paham maksudnya. Setiap objek yang bisa dia lihat kecepatan geraknya, dia bisa bergerak secepat objek yang menjadi fokusnya itu, bahkan bisa melebihi. Jangankan kecepatan tangan Arias, serbuan kilat beberapa butir peluru yang seharusnya mengunci ruang hindarnya, bisa dia hindari dengan selamat dan super confident. Paham dalam batin Alter, lalu memastikan lagi mengamati Demiro sama sekali tidak mengalami sedikit pun goresan luka.
“Gue kasih nama... Quick silver sign. Gerak super reaktif, efek reaksi dari pengamatan sempurna mengidentifikasi arah, besar gaya, kecepatan, percepatan, perlambatan dan semua karakter kondisi mau pun situasi yang bisa diperhitungkan secara berarti. Gue lihat semua pelurunya. Anyway, kalian enggak jadi ngajak gue main ke roof court. Gue tahu sebenernya kalian cuma suruhan orang yang ngincar gue sejak lama,” jelas Demiro membuat Alter, Arias dan Agung kurang siap menyembunyikan raut cengang dalam raut palsu. “Enggak usah pura-pura bego, kalian udah jelas kurang pinter. Kasih tahu, yang suruh kalian apa perlunya sama gue?” Demiro yakin tidak salah tanya.
“Maksud lu apa?” Arias balik tanya dengan raut menunjukkan adanya kesalahpahaman Demiro buat.
“Enggak usah pura-pura bego. Enggak ada yang palsu dalam penglihatan gue. Apa yang terjadi apa adanya, itu kenyataannya.”
“Okay. Kalau lu ngerasa tahu, kalau emang kita persis kayak yang lu pikir,” Arias memotong. “Gue bawa pertaruhan baru. Kita lanjutin babak kedua di roof court. Gue sendiri enggak tahu apa untungnya kalau tim gue menang. Tapi kalau tim gue kalah, gue jadi anak buah lu, gue kerja dari dan buat lu. Dan gue kasih tahu surat tugas gue, juga siapa yang suruh.”
“Tawaran pribadi, humh? Ya, sih kalian kelihatan enggak tahu apa sebenernya orang yang suruh kalian mau lakuin ke gue di sana. Bukan lu sendiri taruhannya, tapi dua temen lu juga.”
“Enggak masalah,” Arias setujui seringan dia katakan.
“Heh?!” Agung keberatan, sampai Alter berisyarat kalau hal itu bukan masalah besar.
“Gue akui lu enggak bisa kita kalahin di court yang sebenernya. Tapi lain cerita kalau kita main di roof court. Gue mau bukti aja sih. Gue juga mau nunjukin kalau bukan lu aja yang bisa main di roof court,” raut Arias selain layer auranya menyatakan seratus persen yakin mengajukan itu.
“Humhm, ternyata lu kayak bocah juga. Biar lu bilang gitu, pada akhirnya tujuan kalian sebenernya pengen gue masuk dalam jangkauan seseorang atau suatu komunitas yang pengen habisin gue. Enggak masala. Kayak lagi tidur sambil minum susu, gue habisin juga tim sialan yang masih sembunyi di belakang kalian.” balas Demiro, membuat batin Arias merasa berhasil telah memancing hasratnya untuk lanjut bermain.
“What’s hell up?” Frau tanya ke Demiro.
“We will continue this game to da roof court.”
“What!?”
“Yea, we will,” jawab Demiro. “Dion, Bagas, Wahyu, atur pasukan! Pertahanan, penjagaan, pengintai, back-up. Mungkin kita mau perang. Kasih tahu mereka jangan sampai ada yang mati,” perintah Demiro ke orang-orang yang dia maksud. “Lu puas?” tanya ke Arias. "Nanti lu bakal nyesel."
[To be continued to CHAPTER 4: BLACK OPS]
@CandraSenja ehm, ternyata mengganggu dan tidak match ya. Makasih, tanggapannya. Aku perbaiki
Comment on chapter BLURB