CHAPTER 4: BLACK OPS
Dari dalam mobil dan dari beberapa kedai makan kecil semacam angkringan—kalau dihitung—belasan laki-laki dalam satu grup sedang mengawasi situasi darat distrik sekitar yang lotnya mulai ditutup satu per satu oleh tiap penanggungjawab tempatnya, menandakan malam itu mulai masuk pukul sepuluh-karena peraturan pemerintah daerah tidak mengizinkan aktifitas perbelanjaan di mall maupun distrik lewat dari waktu tersebut. Belasan yang lain bersenjata api berjaga di atap distrik, memastikan tidak akan ada gangguan yang mempengaruhi urusan keenam orang yang mereka awasi di tengah.
Sebagaimana Alter lihat, kedua ring basket yang terpasang pada dua ujung batas peratapan menurutnya berarti roof court itu sedikit lebih panjang dari ukuran standarnya, begitu juga jarak kedua sisi dalam cat putih yang membentuk batas lebar courtnya. Kurang lebih seperti yang Alter pernah lihat dari foto yang Arex tunjukan, peratapan asimetris yang tidak seragam, tidak sama tiap jarak antar pinggir atap dan tidak semua sama tinggi.
"Gue kira kalian sering pakai court ini," Demiro meragukan kadar kepercayaan diri yang mata Alter, Arias dan Agung pancarkan. "Humh, enggak salah lagi. Kalian lagi persiapin suatu kejutan. Ada pihak yang pengen gue muncul dalam jangkauannya. Cause that, gue juga bikin persiapan. Okay, sambil nunggu mereka keluar, kita lanjutin."
Secara bawah sadar masing-masing tim memilih ring yang mereka belakangi sebelum menyebar mengambil posisi awal. Demiro memulai pass-off yang cukup jauh dari bawah ring yang lebih rendah dari ring Trinity yang terpasang pada atap struktur bangunan tertinggi dalam roof court, diterima Aguer yang mengawali offense. Tidak membiarkan Aguer —bisa saja— membuat formless-shoot dari posisinya, maka Arias dan Agung segera membuat penjagaan padanya.
"Too slowly, dude,"Aguer komentari penyesuaian penjagaan Arias dan Agung sebelum membuat entah tembakan atau operan yang tidak mengarah ke ring maupun siapa, cepat dan kuat, bola tepat dibuat mengarah ke suatu tepi atap bangunan lain sehingga dari situ memantul menuju atap yang lain sampai pantulan ketiga yang Frau baca dengan sempurna sehingga dia ambil alih bolanya dengan mudah karena tidak dijaga seorang pun.
Seperti ada halangan besar menghambat Alter untuk tanggap menjaga Frau yang sangat bebas membawa bola dengan lincah melompati atap-atap dengan pasti selain tanpa ragu, sampai berhenti pada garis dari cat putih yang Frau pahami sebagai pembatas antara lowpost dengan highpost. Masih tanpa penjagaan, dari posisinya Frau menembak, membuat three-pointer sebagai skor perdana quarter ketiga.
"Fourty five," kata Frau, lalu segera mengambil posisi awal bertahannya.
"Alter," Arias menghampiri.
"Sorry, aku masih phobia ketinggian," lirih Alter katakan. "Perlu ancang-ancang dan lompat tinggi. Aku enggak yakin sama jaraknya."
"Shit! Lu lihat gue tadi, Agung juga, nyampe,"Arias yakinkan.
"Postur lu lebih tinggi dari gue. Yakin, lah nyampe aja kok," Agung yakinkan. "Pede aja."
Alter menghadap ring timnya, "Terus gimana kita ke ring ngambil bola? Bangunannya tinggi. Atap di sisi kanannya rendah, atap sisi kiri pakai genteng lumayan curam enggak mungkin nyampe kalo lompat. Dari sini lumayan jauh, aku enggak bisa lompat dapat segitu jarak."
"Biar gue yang jaga ringnya," kata Arias, lalu mengambil ancang-ancang sebelum melompat ke atap tertinggi dalam roof court itu. Alter dan Agung perhatikan ketinggian lompat Arias tidak membuat kedua bagian alas kakinya akan menjangkau tujuan pendaratan, sedangkan dasar jarak kedua bangunan —segera Alter lihat ke bawah dengan merinding dan berdebar— kira-kira sampai dua puluh meter. Mau bagaimana pun tidak ada pendaratan aman kalau Arias gagal melompat meski berusaha menjatuhkan diri ke atas satu gerobak dagangan —entah bakso, mie ayam, soto, tahu Tek, es cendol atau apalah itu— di antara dasar pafing.
Segera Alter dan Agung lihat bagaimana Arias mengatasi risiko itu dengan nekat.
"Don't worry, guys," kata Arias memastikan bahwa kekuatan cengkeram kedua tangannya bisa membantu badan dan kedua kaki menggapai pembatas atap yang seperti susunan gigi Lego. "Its okay." Selesai mengatasi itu, Arias lepaskan umpan pertama ke Agung untuk membuat serangan balasan.
Segera Frau memberi penjagaan sehingga memaksa one on one lebih cepat dari yang Agung perkiraan. Merasakan persentase keberhasilannya kecil, Agung ubah situasi serangan timnya lewat operan ke Alter yang tidak sempat Frau batalkan.
"Wrong choice. He's a coward, useless," komentar Frau sebelum segera menuju Alter sebagaimana Aguer.
Double-team? Lambat! Pikir Alter saat menyadari jalur operan diagonal yang post (posisi menerima operan) Agung buat terhadap post Alter, lalu operan kembali ke Agung.
"Fuque! I underestimate him," Aguer sadar celah yang dia buat, karena itu Agung menjadi cukup bebas untuk lari dengan pengaturan waktu yang sesuai antara drible dan melompati atap-atap.
Belum dekat dengan lowpost, tapi pede dari jarak itu Agung buat three-pointer balasan tanpa pikirkan pesaing rebound untuk Demiro.
"Nice rute," nilai Demiro soal tembakan itu, lalu melompat sehingga ketinggian dan ketegangan ujung tiga jari tangan kanannya membelokkan kurva rute tembakan sehingga menjadi mengarah vertikal ke atas, sebelum kembali ke bawah menuju tangkapannya.
"Ch! Harusnya goaltending menurut peraturan NBA. Tapi ini basket jalanan," gumam Agung mengetahui bagaimana three-pointernya digagalkan blok Demiro.
"Ough!?" Peralihan ekspresi Demiro terkesan tidak sesuai dengan keberhasilan aksinya, kenapa justru dia yang merasa dikejutkan? "Anjing!" menyerahkan bola ke tangan kiri, tangan kanannya mememeriksa bagian tengkuk... tapi tidak sampai, telanjur jatuh seperti hilang kesadaran.
"What the fuquein happen if hell is here?" reaksi Frau.
"Demiro!" reaksi Aguer, segera dirinya menjadi seperti Demiro, juga seperti Frau yang sempat dia lihat. "Dayum fuquein played me."
Alter dan Agung lihat ada sesuatu yang menempel pada dada kanan Aguer dan leher kiri Frau, membuat squard penjaga roofcourt mengaktifkan senjata ke mode boleh menembak.
"Menunduk, guys!" Agung tekankan kepada Alter dan Arias.
Segera terdengar desing bising tembakan yang bersusulan, hanya perlu waktu nyaris tiga puluh detik squard penjaga roofcourt dibereskan squard lain -yang berseragam identik kepolisian, yakin- tanpa sisa nyawa saat tergeletak di tepi court selain sebagian yang jatuh dari situ. Keributan itu tentu terdengar oleh squard penjaga yang ada di bawah selain yang ada di angkringan dan di warung makan yang masih buka. Pertanda yang membuat saatnya mereka perlu ikut campur secara langsung sambil membuat senjata masing-masing boleh digunakan, tapi sepertinya bunyi sirine yang bersahutan membuat mereka berubah pikiran, apalagi saat nyata squard kendaraan yang membawa puluhan personil kepolisian telah tiba di tempat. Bukan berubah pikiran untuk kabur, tapi untuk mengatasi pihak yang ikut campur.
Agung memeriksa setiap bagian badannya, "Okay, gue selamat."
Pasukan kepolisian lain -tentunya dari bawah- tiba di roofcourt lewat pintu menuju atap. Mereka bertiga lihat, itu Arex, juga dua anggota utamanya tapi yang perempuan tidak ikut.
"Squard Ending," komentar Alter.
Segera yang Alter bilang Squard Ending itu menangani target yang sudah dilumpuhkan, memakaikan ketiganya pengunci diri yang kuat.
"Operasi selesai, Pak? tanya Alter ke Arex.
"Seperti yang kita harapkan. Segera kita bubar."
Terdengar suara tawa singkat seseorang. "Ternyata lu, ya bangsat," kata Demiro sambil berusaha membuka mata dengan berat, membuat Arex terkejut.
"Owh!? Belum waktunya lu bangun," balas Arex.
"Tambah licik aja, lu ya. Pakai seragam polisi segala. Good struggle."
"Lihat diri lu sekarang! Udah?" Lalu Arex beri satu benda yang sama menempel di tengkuk Demiro.
*
Selesai urusan di roofcourt squard Arex turun lalu bersama semua squard kepolisian lain meninggalkan pasar second yang sekitarnya berubah menjadi tempat ceceran darah dan pelantaran jasad yang terbiar menggeletak.
Hanya mobil yang ditumpangi Alter, Arias dan Agung bersama satu anggota utama Arex yang menyetir mengambil rute sendiri tidak ikut iring-iringan.
Alter yang duduk di depan sebelah pengemudi memeriksa spion. "Yakin enggak ada pasukan mereka yang lain ikutin kita atau mau begal kita, kan?" tanya Alter ke polisi yang terlihat seusia dengan semua yang di dalam mobil. "Mati kalau kita dikeroyok," Alter sendiri tidak tenang.
"Jangan khawatir. Aku anter kalian ke rumah dan jangan ke mana-mana lagi malem ini!"
"Lu punya gadget bagus," komentar Arias melihat sebuah alat seperti laptop mini yang aktif dengan performa -menurut Arias- lebih dari laptop biasa.
"Police tool, inventaris," lalu polisi itu mengubahnya ke mode sleep -Arias pikir, karena meski layar dimatikan tapi sinyal indikasi kinerja mesin menunjukkan aktif.
"Kayak yang dipakai penjahat," balas Arias.
"Maksudnya?"
"Polisi enggak pake model jadul kayak gitu," segera Arias dari belakang menodongkan pistol ke kepala kiri polisi, seperti yang polisi itu lihat dari spion depan. "Atau lu kasih tahu gue yang sebenernya," karena itu polisi menghentikan jalu mobil.
"Ias!? Apa-apaan, lu?" tentunya Agung tidak memahami perubahan situasi seperti itu.
"Ias, lu mau ributin nyawa orang juga? Gue bisa terlibat," kata Alter.
Tapi polisi itu tidak kehilangan ketenangan. "Apa yang lu tahu?"
"Sebagian. Dan gue mau keseluruhan." Lalu Arias tekan kepala pistol sampai mendorong kepala polisi ke kanan. "C'mon!" Melakukannya lagi. "Kalau lu enggak bisa, gue cari tahu sendiri di police tool jadul itu."
Alter dan Agung jadi bengong.
"Hati-hati, lu." Polisi itu memberi perlawanan dengan kecepatan gerakan awal yang mengamankan kepalanya dari ancaman pistol Arias, maka terjadi perkelahian tangan di dalam mobil, sampai satu tembakan menembus kap atas itu tentu terdengar dari dalam beberapa mobil lain yang berlalu. Alter yang pertama keluar, kemudian Agung. Lalu tembakan kedua terdengar, yang membuat kaca belakang retak di sekeliling bagian yang berlubang. Tembakan ketiga menembus kaca kiri depan dan merusak spion sampai terlepas Dua tembakan lagi, lalu keributan dalam mobil terjeda. Alter dan Agung pikir, Arias tidak menghentikan polisi itu keluar lewat pintu depan kiri dengan tangan kiri berlumuran darah menahan yang lebih banyak keluar dari bagian perutnya.
Terlihat rasa sakit begitu memberatkan usaha polisi itu berjalan menjauhi tempat perkelahian. Mungkin terlalu menyiksa sensasi lukanya, polisi itu ambruk. Seorang lagi keluar dari mobil. Arias tidak menunjukkan lukanya selain pada sekitar lengan kiri.
"Tangan kamu, Ias?" Alter ketahui.
"Enggak apa-apa. Keserempet peluru doang."
*
Arias mulai memeriksa, menelusuri dan mengekstrak file-file dari police tool ke komputernya yang punya layar LCD 16:9 tanpa terganggu akan adanya denyut nyeri dari lukanya yang sudah diperban, dengan Alter dan Agung dalam kamar yang bernuansa hi-tech, ensiklopedik dan saintifik layaknya kamar seorang pemikir inovatif.
"Dayum. Banyak catatan berarti gue dapat. Meski dia enggak bikin pengakuan sama sekali, sekarang gue mulai ngerti apa yang Arex pikirin," gumam Arias.
"Gue belum ngerti apa yang lu pikirin," kata Alter.
"Dari yang kita lakuin sebelumnya, dan yang lu lakuin sampai gue terlibat," tambah Agung.
"Gue udah bilang di awal sebelum kita bantu misi Arex," Arias buat monitornya menjadi dua tampilan jendela, satu yang baru untuk menampilkan catatan profil seseorang. "Demiro, satu-satunya orang yang punya julukan The Forbidden Most Wanted. Sebenernya dia Most Wanted, tapi semenjak dua ribu lima belas jadi Forbidden."
"Enggak, yang gue tanya.." Agung potong, tapi tidak berhasil oleh isyarat Arias.
"Dia punya pabrik senjata, cukup besar dan laris. Selain itu pabrik herion, prostitusi, dan remade gadget BM. Jelas itu catatan pidana yang besar, paling besar. Belum lagi pembunuhan-pembunuhan yang dia buat ke berandalan lain, pesaing bisnis lain. Meski pun dia juga punya perusahaan yang punya legalitas, CCR yang kita tahu," jelas Arias.
"Tapi kenapa dia jadi terlarang untuk ditangkap?" Alter tanya.
"Karena konspirasi dengan pemerintahan sendiri yang ada di kota. Terutama soal distribusi barang-barang BM dari luar yang ada di kota ini sebelum sampai ke Jakarta dan Surabaya. Maraknya barang BM di spot pemasaran membayakan perekonomian kota. Tapi dalam jumlah tertentu, dalam arti HARUS dikendalikan pada rentang jumlah itu, justru punya dampak positif buat kwalitas perekonomian kota. That's a lame track. Mau gimana pun pihak pemerintah enggak akan sanggup dalam hal jumlah pelaksana dan jangkauan pengawasan."
"Enggak mungkin. Dari mananya distribusi barang BM punya dampak positif?" sanggah Alter.
"Pemerintah dan Demiro itu ahli. Mereka tahu hal itu dan tidak ingin masyarakat awam memahami konsepnya karena peredaran barang BM sesedikit apa pun adalah pelanggaran. So, Kalau distribusi barang BM enggak bisa dikendalikan, bayangin gimana kota ini ke depannya kalau itu terjadi! Untungnya ada perusahaan yang sanggup jalanin tugas itu. Demiro dan orang-orangnya. Di tahun yang sama dia terlarang ditangkap, semenjak itu enggak ada lagi barang-barang gelap dan perdagangan manusia bisa bebas keluar masuk Batam. Karena semua itu harus melalui verifikasi sebelum disentralkan ke satu management, perusahaan Demiro. Jadi semua hape dan gadget BM lainnya, narkotika, senjata illegal, lonte-lonte, yang eksis di kota ini... semua didapat lewat sentralisasi dari Perusahaan milik Demiro."
"Amazing!" komentar Agung, terkesima mendengarnya.
"Demiro udah kayak walikota sisi gelap Batam aja," menurut Alter.
"Okay, gue udah dapet sedikit keterkaitan. Terus?" Agung mulai antusias.
"Gue sendiri punya copy-an catatan" Arias cari file dari komputernya, lalu ditampilkan beberapa dokumentasi foto dan rekaman.
"Arex di pihak Demiro, sama Sofi, Frau, Aguer," Agung lihat.
Arias tampilkan rekaman sebuah keributan besar dari perlawanan dua kubu yang tidak seimbang, lalu beberapa foto, terakhir beberapa zoom yang jelas. Hanya dua wajah orang yang mereka rasa kenal. "Ada catatan lain."
"Kubu Demiro dan Arex perang," Agung lihat.
"Hm," Alter tahu sesuatu. "Arex mantan eksekutif Demiro."
"Arex berhianat," menurut Agung.
"Mungkin Arex memang intel," Alter sadar kemungkinan lain.
"Percaya, deh. Enggak ada profil Arex di database keanggotaan kepolisian," jelas Arias.
"Gimana kamu bisa yakin?" Alter klarifikasi.
"Gue bilang, enggak ada profil Arex di DATABASE KEANGGOTAAN KEPOLISIAN. Okay?" Arias lanjutkan, "Enggak kayak yang Arex bilang, justru selama ini Demiro enggak pernah sembunyi dari polisi."
"Jadi... tujuan Arex adalah ngambil alih posisi Demiro," simpul Agung, merasa yakin.
"Masalahnya, siapa yang tahu kalau Arex warisin ideologi Demiro atau punya rencana sendiri?" balas Arias.
"Okay, jadi kalau bukan ke kantor polisi, di mana Demiro sama dua temennya sekarang?" Alter ingat.
*
Jadi sudah beberapa saat berlalu semenjak misi di pasar second, Arex dan dua anggota eksekutifnya dikawal selusin pasukan bersenjata AK-47 memasuki CCR. Dua bouncer yang menjaga enterance bukan lagi yang sebelumnya, digantikan dua laki-laki tidak lebih atletis posturnya sambil bersenjata sama dengan pengawal Arex. Melewati guest room, ruang court dan quality room, menuju depan tangga naik kembar yang hampir dipenuhi pegawai termasuk -Sofi dan Raw Slam- membuat ruang itu seperti mini-ballroom. Mereka bukakan jalan untuk barisan Arex yang akan mengambil posisi terbaik.
Arex tunjukkan kondisi Demiro, Frau dan Aguer yang berikat dan bersimbah darah hampir mewarnai seluruh baju dan kulit tubuh dalam selembar foto digital ukuran 10R . "Demiro dan dua eksekutifnya, kalian lihat! Udah berakhir."
Karena itu Sofi membuat tangisnya menjadi histeris, sangat berat yang hatinya rasakan sampai berlutut di sebelah Raw Slam. Arex lempar fotonya ke dasar ke hadapan Sofi supaya memastikan itu benar mereka bertiga.
"Karena itu, mulai dari sekarang, saya, Arex, bos kalian!" Lalu perhatikan Sofi lagi, "Sofi!" Tidak membuatnya dikasih balik perhatian. "SOFI!"
Sofi baru mau berdiri, menuju sebelahnya.
"Eksekutif saya Sofi, Pras, Mumu, dan Oka. Sayangnya Oka belum sampai. Ya, whatever. Okay, kalian sudah kenal siapa saya. Sekarang kalian bubar, cari kegiatan kayak biasanya."
"Apa mau kamu, Arex?" dingin Sofi tanyakan, membuat Arex menatapnya dalam, sampai dikejutkan tangan kanan Arex mencengkeram bagian bawah wajahnya.
"Gue mau bawa perusahaan kita lebih jauh. Gue bukan pengecut yang takut melangkah ke luar rumah. Lu masih sayang kerjaan lu yang sekarang atau jadi BG kayak waktu lu main di belakang gue sama Demiro? Atau lu keluar, tinggalin semua yang lu dapat dari perusahaan, termasuk seragam yang lu pake?" Arex cium paksa bibir Sofi dengan sedikit kasar.
Sofi melepas paksa, lalu menamparnya keras.
"Gue lakuin ini buat balas dendam ke bajingan anjing yang mainin lu yang ambil kesempatan waktu lu mabuk. Dan semenjak itu lu berpaling dari gue. Iya, karena dia bosnya, bisa kasih apa yang lu mau lebih dari yang gue bisa. Hmh, ternyata lu ...."
"Itu karena kamu sendiri suka main sama BG!"
"Itu karena lu enggak mau! Dan malah mau sama bos!? Itu penghianatan besar."
"Terserah," Sofi berbalik, pergi dari ruang itu, menuju lantai atas lewat tangga.
"Jadi, Demiro pernah slidding-tackle kamu, ya?" Mumu dengan santai berani tanya.
"Iyee, anjing tuh orang," jawab Arex kesal mengingatnya.
"Bos!" Seseorang datang menghampiri Arex dengan menanggung risau. Da berikan hapenya ke Arex supaya mengetahui sendiro lebih jelas yang dia tunjukkan, lalu langsung dia katakan, "Oka udah meninggal, bos. Jasadnya saya bawa ke mari."
"Oka!?" Arex hampir tidak percaya di antara Pras dan Mumu yang ikut memastikan. "Gimana bisa?"
"Oka bilang sebelum meninggal, tiga anak basket itu, bos. Mereka juga bawa komputernya."
"...." Arex masih syok. "Gimana bisa!?" Lalu sekilas pikirannya mengingat Arias. "Anjing!" Sambil membanting hape.
Jelas yang bawa kabar ikutan syok.
*
Esok paginya di ruang kerja mereka yang berisi beberapa set komputer dengan layar monitor LCD antara 32 sampai 64 inch. Ke layar paling besar Arex, Sofi dan Mumu perhati, sedangkan Pras sibuk dengan urusan yang tidak diperhatikan seorang pun selain dirinya sendiri dengan laptopnya.
"Ini jadwal yang seharusnya Demiro lakukan dua hari besok," kata Sofi saat monitor terbesar dalam ruangan menampilkan proyeksi hotel, grafik pengelolaan dan rekaman rencana transaksi aset dengan calon pembeli.
"Please, stop ngomongin Demiro. Dia udah enggak ada. GUE BOSNYA!" Arex tersinggung.
"Ehm, maaf. Rencananya hotel Athena yang ada di Nongsa akan dibeli pebisnis senjata dan kendaraan tempur dari Singapore.
"Siapa?"
"Da Xian. Perusahaan sentral mereka ada di Taiwan."
"Kenapa pengusaha alat perang mau beli hotel?" Arex heran kenapa bisa begitu.
"Hotelnya semakin low profit selama sebelas bulan terakhir. Itu karena lokasi yang kurang strategis. Ya, hotel ini dulu dapat dari musuh kita yang nyusahin di tahun dua ribu empat belas. Rencananya uang dari jual hotel ini buat investasi di Puri Firdaus Sagulung."
"Ah, gue tahu. Udah ada kesepakatan sama pihak Firdaus Group?"
"Belum. Tapi transaksi dengan Da Xian udah dijadwalkan Kamis tiga hari dari sekarang di lokasi."
"Okay, tapi gue masih enggak ngeh soal rencananya beli Athen, " Arex sedikit bimbang.
"Kita enggak punya transaksi sama dia sebelumnya," jelas Sofi.
"Rex!" Pras pindah posisi ke sebelah Arex sambil menunjukkan apa yang laptopnya dapat.
"Apa?"
"Kalau kayak gini bakal sulit mau balas dendam ke Arias. Dia lagi nyiapin kejutan besar."
"Owh," ekspresi Arex menunjukkan cukup paham.
"Tapi ada cara lain," Pras tunjukkan sesuatu. "Gimana?"
Arex perhatikan display itu, sosok perempuan yang terekam sering bergaul dengan Alter dan teman laki-laki lainnya. "Okay, gue dapat ide bagus. Kita bisa hantam balik rencana Arias sama Papanya. Tapi harus lupain rencana investasi ke Puri Firdaus.
[Bersambung ke CHAPTER 5: PLAN B]
@CandraSenja ehm, ternyata mengganggu dan tidak match ya. Makasih, tanggapannya. Aku perbaiki
Comment on chapter BLURB