Maafkan typo guys...โ
....
Jimin dan Ra In tidak perlu takut Jungkook akan datang karena setelah mengambil ponselnya, Ra In mendapat pesan kalau Jungkook tidak bisa menengok hari ini karena ada pertandingan basket dengan teman-temannya. Jimin juga merasa lega karena J-Hope pasti tidak akan tahu kalau Jimin tengah menghabiskan waktu bersama Ra In.
"Hmm...kenapa Ramyeon dirumah sakit terasa enak sekali ya?"
"Kalau makan jangan buru-buru. Lihat bibirmu" Jimin melayangkan jarinya menyentuh ujung bibir Ra In yang belepotan. Untuk yang keberapa Kalinya hari ini Jimin berhasil membuat Ra In salah tingkah.
"Jimin..."
"Hmm"
"Boleh aku bersama denganmu hari ini? Untuk hari ini saja aku ingin merasakan hari bersama Park Jimin-ku"
Jimin melongo dibuat Ra In. Kalimat gadis itu sungguh indah. Jauh sebelum Ra In mengatakan hal itu, didalam hati Jimin juga berfikiran sama. Akankah ada satu hari seorang Park Jimin bersama dengan Nam Ra In.
"Kau pernah bilang padaku kalau aku menjijikkan. Apa itu sungguhan?"
"Jika bukan karena Jungkook menyatakan perasaannya padaku, apakah Park Jimin akan membalas cinta Nam Ra In?"
Mata Jimin terasa panas. Jika saja Park Jimin yang dihadapan Ra In adalah seseorang yang begitu sehat, dia akan berani bersaing dengan Jungkook. Meski mereka sahabat setidaknya Jimin ingin merasakan cinta.
"Kau pernah dengar kalimat bahwa cinta tidak harus memiliki? aku tau itu sangat klise. Tapi bagi diriku yang tidak akan bertahan lama, kalimat itu sangat mengandung makna"
"Nam Ra In pasti akan bahagia meski bukan bersama Park Jimin-nya"
Gadis itu tiba-tiba saja melongo. Apa yang dimaksud tidak bertahan lama?
"Kenapa kau tidak bertahan lama?maksudnya apa Jimin. Aku tidak mengerti"
Jimin berdeham sembari menemukan alasan untuk tidak mengarah tentang penyakitnya.
"Hmm..Ka-kau kan pacar Jungkook bukan aku. Kita hanya bisa menghabiskan sisa kebersamaan kita disini"
Ra In tersenyum sebagai salah satu ekspresi kepuasan hatinya. Jawaban Jimin adalah hal yang selalu membuat hatinya merasa kehujanan. Apa yang ditangkap Ra In adalah bahwa Jimin juga sebenarnya mempunyai perasaan padanya. Kendati demikian, setelah keluar dari rumah sakit apa Ra In bisa bersama Jimin kembali?
"Kalau begitu jawab, apa kau mencintaiku andai Jungkook tid--"
"Aku menyukaimu ketika pertama kali bertemu"
...
Setidaknya rumah sakit bisa berubah menjadi tempat yang indah. Semua karena Ra In bisa berlama-lama menghabiskan waktu bersama orang yang disukainya, Jimin.
Gadis itu berjalan sambil mengayun-ayunkan pautan tangannya dan Jimin kebelakang dan kedepan seraya bersenandung.
Mereka melewati koridor rumah sakit yang penuh dengan pasien dengan senyum lebar.
"Waktu kau bernyanyi untukku, suaramu indah Jimin"
"Oh, ya?"
"Iya. Eh, tapi kenapa kau malah menyanyikan lagu mellow seperti itu. Harusnya kau nyanyikan yang romantis"
Jimin menatap Ra In yang masih bicara dengan tatapan kedepan.
"Aku akan dibunuh Jungkook kalau begitu"
Ra In menghentikan langkahnya saat mendengar nama Jungkook. Demi apa, saking senengnya hari ini Ra In lupa dia pacar siapa.
"Lalu hubungan kita apa sekarang, eoh?"
Jimin memutar bola matanya seolah sedang berfikir.
"Hmm...selingkuhan?"
"Haha...." Ra In tertawa terbahak-bahak menanggapi kalimat Jimin.
"Terserah kau mau menganggap aku apa" pasrah Jimin. Ra In menyembunyikan rambutnya kebelakang telinga dan fokus menatap wajah datar Jimin.
Gadis itu menggelengkan kepalanya lalu lanjut berjalan seraya melanjutkan tawanya yang belum kelar itu. Jimin terlonjak dan segera menyamakan langkahnya dengan Ra In.
Begitu sampai didepan kamar rawat Ra In, tiba-tiba saja terlihat Dokter Niel berlarian dengan beberapa perawat dan suster menuju kamar Steve.
Jimin merasakan firasat buruk, ia pun ikut mengejar langkah Dokter Niel. Karena penasaran dengan Jimin, Ra In pun mengikuti.
Mereka berhenti didepan ruang rawat anak kecil bernama Steve itu karena pintu telah ditutup. Jimin dan Ra In menghampiri seorang perempuan yang diketahui adalah ibu Steve. Perempuan itu tengah menangis dengan suara yang lumayan keras. Isakannya penuh keharuan. Ra In langsung tersentuh dan ikut menitikkan air mata.
"Jimin kenapa kau datang kesini?" tanya Ra In setelah membersihkan air matanya.
"Ini ruang rawat anak kecil yang menabrakmu waktu itu. Kalau penyakitnya kambuh, dia seperti itu Ra In. Aku merasa kasihan padanya"
Ra In mengusap-usap lengan Jimin yang terlihat begitu rapuh. Semua ini terasa menegangkan bagi Jimin.
Tangisan Ibu Steve makin gencar. Ra In beralih menghampiri perempuan itu dan duduk disampingnya.
"Steve pasti merasa sedih kalau melihat eomma nya menangis" meski tidak kenal dengan siapa ia bicara. Tapi Ra In hanya ingin membuat perempuan itu tidak begitu bersedih. Meski Ra In sendiri pasti akan melakukan hal yang sama andai ia berada dalam posisi ibu Steve.
Tangan Ra In menepuk bahu perempuan itu. Di detik berikutnya tubuh Ra In dipeluk. Tangisan ibu Steve makin gencar bahkan Ra In bisa merasakan bahu perempuan itu naik turun.
"Bagaimana kalau Steve pergi dariku. Tadi jantungnya tidak berdetak. Bagaimana ini...hiks"
Ra In menepuk punggung ibu Steve, karena tidak tahu lagi akan melakukan apa untuk menenangkannya.
Tiba-tiba pintu ruang rawat Steve terbuka dan menampilkan sosok Dokter Niel. Ibu Steve segera melerai pelukannya dari Ra In dan menghampiri Dokter Niel. Disusul juga oleh Ra In dan Jimin.
Wajah Dokter Niel begitu murung. Tanpa menunggu penjelasan lagi ibu Steve menerobos masuk ke ruangan anaknya terbaring. Tangis kencang kembali memenuhi pendengaran Ra In. Sontak membuat gadis itu segera menyusul perempuan yang tadi dipeluknya.
"Waktu kematiannya pukul empat lebih lima belas menit" ujar Dokter Niel.
"Steve.." Jimin menjambak rambutnya sendiri. Ia terduduk didepan pintu. Tanpa ia sadari air matanya ikut luruh bersamaan dengan bahunya yang ditepuk Dokter Niel.
...
Tidak ada lagi suara lucu dari Steve, tidak ada lagi yang bisa menemaninya bermain PS, dan tidak akan ada lagi sosok seorang adik bagi hidup Jimin yang sepi.
Kemarin Jimin hanya menghabiskan waktu dengan meringkuk diatas bangsal ruang rawatnya. Melewatkan makan malam dan minum obat. Ayah Jimin datang sudah larut malam dan tidak menyadari keanehan karena ia sudah melihat Jimin tidur.
Hari ini juga Ra In sudah bisa keluar dari rumah sakit. Selanjutnya Jimin akan kembali merasa sepi dan sendiri.
"Jimin kenapa kau diam saja nak?dadamu sakit? atau---"
"Tidak Appa. Aku hanya ingin tidur."
"Baiklah"
Jimin menghela tubuhnya menatap langit-langit kamar rawatnya. Tiba-tiba saja ia teringat tentang ibunya, mimpi indah waktu ia koma. Jimin rindu ibunya.
Apa aku bisa bertemu eomma lagi?
...
Ra In telah berganti dengan pakaian biasanya. Ibunya membantu Ra In berjalan dan keluar dari ruang rawatnya.
Didepan Ra In tiba-tiba saja sudah ada Dokter Niel. Hari ini Dokter itu akan menyampaikan salam perpisahan dengan Ra In.
Sebenarnya ada yang ditunggu Ra In, yaitu Jimin. Meskipun Ra In tahu kalau Jimin pasti masih berduka.
"Dokter Niel..terima kasih sudah mau menjadi temanku selama di rumah sakit" ujar Ra In. Eomma Ra In tersenyum saja melihat anaknya begitu dekat dengan seorang dokter.
"Iya Ra In. Sebenarnya saya sedih tidak bisa bertemu denganmu lagi. Tapi kalau kita ingin bertemu jangan di rumah sakit. Semoga kau tidak pernah datang lagi ke rumah sakit. Sehat selalu Ra In"
"Gomawo Opp--eh, Dokter Niel" Ra In terkekeh hampir keceplosan lagi.
Gadis itu merangkul lengan ibunya dan berlalu meninggalkan Dokter Niel.
Begitu sampai di parkiran, Ra In dan Ibunya segera masuk kedalam mobil. Hari ini Ayahnya sengaja minta cuti hanya untuk menjemput Ra In.
"Sudah siap?" tanya Appa.
"Ponselku.." Ra In mencari-cari disaku mantelnya tapi tidak menemukan ponselnya. Jangan-jangan tertinggal di ruangan rawatnya.
"Appa ponselku ketinggalan. Tunggu sebentar aku akan segera kembali"
"Hati-hati nak" teriak Appa setelah melihat anaknya kembali memasuki gedung rumah sakit.
...
"Saya sudah menemukan hati yang cocok untuk transplantasi Jimin"
"Bagus itu Dok, kita harus segera melakukannya, tapi--" kalimat Dokter Niel menggantung di udara. Kening Dokter tampan itu berkerut. Ia sendiri masih bingung dengan pemeriksaannya. Memang dirinya bukan Tuhan yang menentukan. Tapi ketakutan akan masalah yang timbul nantinya membuat Dokter Niel ragu.
"Jantungnya semakin parah?" tebak Dokter Indri. Perempuan itu sangat tahu bahwa rekan kerjanya memang sangat mengistimewakan Jimin. Dan tidak mau mengatakan hal buruk.
"Memang awal dari kanker itu ada dihati, Dok. Tapi sekarang, seolah sedang berkembangbiak. Jantung Jimin juga semakin parah"
Tanpa mereka sadari sedari tadi ada seseorang yang mendengarkan percakapan mereka. Gadis itu berdiri beberapa meter dibelakang Dokter Niel.
Kanker? Jimin dan Kanker?Jantungnya?
Ra In menegang ditempatnya berdiri. Nafasnya memburu naik turun seiring berkunjungnya semua pikiran negatif dalam hatinya.
"Tidak mungkin"
Mata Ra In panas dan air mata langsung luruh begitu ia melangkah mendekati ruang rawat Jimin. Setelah kedua Dokter tadi pergi, Ra In berdiri didepan pintu ruang rawat Jimin. Disana ia melihat Jimin masih meringkuk ditempat tidurnya. Ada ayah Jimin pula sedang sibuk dengan laptopnya.
"Sejak kapan kau botak Jimin. Haha...lucu"
"Beneran kamu nggak papa kan? tadi aku liat kamu mimisan. Kamu ko sering mimisan sih"
"Tidak apa-apa hanya demam biasa"
"Aku tidak ingin mereka khawatir. Itu saja"
"Tapi bagi diriku yang tidak akan bertahan lama..."
Kalimat Jimin kembali berputar dan semakin membuat perasaan Ra In hancur seketika. Jadi selama ini seorang Jimin yang ia kenal dingin dan pendiam ternyata merahasiakan hal besar tentang dirinya.
Ingin sekali Ra In masuk kedalam sana dan merengkuh tubuh Jimin seraya mengatakan 'Bertahanlah Jimin'. Tapi Ra In hanya terisak didepan sana.
"Jimin, Appa keluar dulu ya"
"Oh..Ne Appa"
Ra In tidak ingin terlihat oleh ayah Jimin, Ia pun segera berbalik dengan kepala yang menunduk karena sedang menghalau air matanya. Sampai-sampai ia tidak melihat jalan dan bahunya tidak sengaja menabrak bahu orang lain.
"Mian..." ucap Ra In dan berlari menjauhi kamar Jimin.
Sedangkan orang itu terkejut bertemu Ra In dan menabraknya. Pun melihat tadi gadis itu menangis dia semakin merasakan penasaran.
"J-Hope..." ayah Jimin yang baru saja keluar dari ruang rawat Jimin terkejut melihat J-Hope ada disana. Pasalnya jam masih menunjukkan pukul sepuluh pagi dan ia melihat J-Hope berkeliaran di rumah sakit. Seharusnya J-Hope masih di sekolah.
"Kenapa ada disini? bolos lagi?" sindir Tuan Park. Yang ditanya malah senyum kuda karena salah tingkah.
"Hehe....nggak seru kalau nggak ada Jimin. Mending disini nemenin dia"
"Ya sudah sana masuk hibur dia ya, sepertinya dia sedang sedih"
"Hmm...ahjussi. Apakah tadi ada seorang yeoja yang masuk ke kamar Jimin?"
"Tidak ada. Kenapa?"
J-Hope sangat yakin kalau itu Ra In. Hari ini pasti gadis itu sudah boleh pulang ke rumah. Tapi, kenapa ia malah menangis sehabis melihat dari arah ruang rawat Jimin.
"Tidak apa-apa ahjussi"
"Iya sudah saya pergi dulu, jaga Jimin ya?"
J-Hope mengangguk dan pergi setelah melihat Tuan Park berlalu.
Sementara Ra In harus menyembunyikan mata sembabnya dan mengatur nafas saat sudah sampai di parkiran. Begitu ia memasuki mobil dan duduk disamping ibunya, Ra In berpura-pura sibuk dengan ponsel dan kepala menunduk.
"Lama sekali, sayang"
"Ne Eomma"
Untungnya kedua orangtua Ra In tidak curiga dan mobil sudah menjauh dari rumah sakit.
...
Jungkook memainkan kunci mobilnya dengan melempar ke udara dan menangkapnya. Hati Jungkook sedang bahagia saat ini. Mendengar bahwa Ra In sudah keluar dari rumah sakit, Jungkook pun harus segera menemui gadis itu. Tidak ingin ambil resiko ada yang menghalanginya. Makanya, setelah mendengar bel pulang berbunyi dan Saem keluar dari kelasnya, Jungkook langsung ngibrit keluar kelas mengabaikan Rapmon.
"Jungkook. Jungkook!" baru saja hidup Jungkook tenang ada saja yang akan menghalanginya seperti kemarin. Tidak. Akan. Bisa. Titik.
Jungkook akan membuka pintu mobil namun pintu kembali ditutup dengan keras oleh seseorang. Dan tiba-tiba saja...
"Awww....aduh!!" teriak Jungkook karena jarinya seketika terasa akan patah. Ingatkan Jungkook untuk membalas orang itu.
"Kenapa sih malah teriak-teriak kaya Yeoja" bentak gadis itu.
"Heh! yeoja pabo! tanganku..kejepit"
Gadis itu terlonjak dan segera membuka kembali pintu mobil Jungkook. Rasa sakit terus menjalar dari tangan Jungkook ke seluruh tubuh melewati nadi dan pembuluh darah hingga sampai ke otak nya dan Jungkook siap menghukum orang itu.
"Ish..." Jungkook menghempas tangannya yang sudah melayang dan siap memukul pelakunya. Tapi lupakan saja dia seorang Yeoja. Jungkook tidak bisa memukul Yeoja.
"Kenapa sih? sial tau gak. Gara-gara kamu nih hampir jariku patah"
Gadis itu mendengus dibentak-bentak Jungkook. Sepertinya semua teman Jin memang sangar.
"Aku mau nanya. Makanya kamu kalo dipanggil tuh nengok"
"Iya ya. Bawel. Nanya apa?"
"Jin mana ya? ko aku gak liat dia seharian ini"
Jungkook mengeluarkan seriangaiannya. Dasar gadis bodoh---pikir Jungkook---Kalau udah tanda-tanda begini, Jin ngilang gitu aja. Berarti dia udah bosen. Tapi karena hari ini sekali lagi harus ditegaskan bahwa hati Jungkook sedang berbunga-bunga makanya ia tidak akan menyulitkan Jin.
"Nayeon yang so beautiful~~" rayu Jungkook dengan nada sing a song nya.
"Iya"
"Tolong ya. Aku kan nggak sekelas sama dia. Jadi aku nggak tau. Kamu kalo mau nanya, sana cari Taehyung kek atau Suga kek siapa kek. Salah alamat kamu. Udah sana minggir pangeran mau nengokin tuan putri" Jungkook membuka pintu mobilnya dan segera masuk. Bahkan tidak lupa menutup dengan suara keras. Supaya Nayeon tahu bahwa Jungkook marah. Dan jangan lupakan jarinya yang memerah. Sepertinya setelah ini Jungkook akan memeriksakan diri ke tabib. Eh, dokter maksudnya.
"Ih...dasar Jungkook nyebelin!!" pekik Nayeon ketika mobil Jungkook melewatinya.
Sepanjang perjalanan Jungkook terus bersenandung. Melupakan tangannya yang kesakitan. Nyaman aja si Jungkook nyanyi-nyanyi. Jungkook berhenti sebentar ke toko bunga dan membeli sebuket bunga untuk Ra In. Hingga sampai didepan rumah Ra In, ia segera turun dari mobilnya.
Jungkook dipersilahkan masuk ke kamar Ra In. Gadis itu memang ada di kamarnya. Tanpa menunggu lama ia pun mengetuk pintu kamar Ra In.
Tok..tok...tok
"Sendok itali..."
Ra In segera menghapus air matanya dan menarik selimut sampai menutupi seluruh tubuhnya. Jangan sampai Jungkook melihat Ra In menangis. Tidak apa-apa bohong sekali.
Merasa tidak dapat balasan, Jungkook menyentuh hendel pintu. Ia tersenyum saat pintunya tidak dikunci. Mata Jungkook seolah tersenyum kala melihat Ra In tertidur. Meskipun posisinya tidak biasa. Jarang sekali Ra In tidur dengan menutupi seluruh tubuhnya. Tapi orang sakit mah bebas---pikir Jungkook.
"Kau tidur ya?"
Jungkook meletakkan sebuah buket bunga diatas nakas. Sepertinya ia akan pulang saja dan kembali lagi nanti. Jungkook tidak ingin mengganggu Ra In.
"Selamat tidur sendok italiku"
Ketika terdengar suara pintu ditutup, Ra In menghela tubuhnya. Ia meraih buket bunga dari Jungkook dan satu tetes air mata membasahi kelopaknya. Ra In mengusap pipinya dan memeluk bunga tersebut.
"Kookki...hiks"
"Kookki...hiks, Jimin..."
"Jimin sakit...hiks...huaaa.."
TBC
Jangan Lupa Voment yaa
Love You All
@yurriansan Iyaa ya, haha๐. Soalnya aku mikirnya kata-kata yg itu kayanya sering deh didenger, wkwkw. But, thanks masukannya. ๐
Comment on chapter Dia-ku