Ruang rawat Jimin kembali menegangkan. Tuan Park yang baru saja tiba langsung dikejutkan oleh pemandangan yang menampilkan anaknya tengah dikerubungi beberapa dokter dan perawat. Lelaki paruh baya itu tidak hentinya berdoa demi keselamatan anaknya.
"Jimin...kau anak yang kuat nak"
Air mata menetes jatuh mengaliri pipi ayah Jimin. Dadanya sesak tak sanggup menyaksikan anak semata wayangnya kembali mengerang kesakitan.
Setelah satu jam lebih akhirnya keluarlah Dokter Indri dan Dokter Daniel menghampiri Ayah Jimin.
"Dokter, bagaimana Jimin?" tanya Tuan Park.
"Kanker Jimin semakin menyebar, pak. Sekarang dia sedang istirahat" jelas Dokter Indri.
"Apa yang harus kita lakukan. Kau bilang kita bisa melakukan transplantasi hati. Ayo lakukan itu dokter"
"Tapi sampai sekarang belum ada yang cocok. Nanti jika ada saya akan memberitahu anda secepatnya"
"Lalu jantungnya?"
Kini Tuan Park menatap Dokter Niel yang sejak tadi membiarkan Dokter Indri menerangkan keadaan Jimin.
"Akan sangat beresiko jika kita melakukan operasi juga. Jantungnya bahkan sudah lemah"
"Dokter Niel benar. Tadi kami sudah berdiskusi, apa jantungnya tidak apa-apa jika melakukan transplantasi hati? Dan Dokter Niel bilang kita harus mencobanya"
"Saya tidak mengerti, dokter. Tapi saya mohon tolong lakukan yang terbaik pada Jimin"
"Tentu saja pak. Baiklah kami permisi" pamit Dokter Indri.
Sementara Dokter Niel masih berdiri didepan wali pasiennya. Dokter Niel sungguh kasihan melihat Tuan Park. Andai ia ada diposisi seperti itu, mungkin ia lebih memilih bunuh diri saja.
"Sabar pak, yang bisa kita lakukan adalah berdoa karena Tuhan tidak pernah salah menulis takdir"
...
Pagi-pagi sekali Jimin sadar dan tersenyum menyambut ayahnya. Sejak semalam Ayahnya tidur hanya sebentar menemani Jimin.
"Appa, siapa yang menolongku di atap semalam?" tanya Jimin.
"Oh...itu Dokter Niel"
Dokter Niel lagi-- Batin Jimin. Ayah Jimin sebenarnya tidak mau meninggalkan anaknya sendirian lagi, tapi sepertinya ia tidak bisa sering meninggalkan kantor, mengingat bagaimana mahalnya biaya rumah sakit Jimin.
"Appa pergi kekantor ya. Kalau perlu apa-apa telfon saja. Atau kau bisa beritahu Dokter Niel" ayah Jimin mengelus kepala putranya kemudian menenteng tasnya dan keluar dari ruang rawat Jimin.
"Dokter Niel lagi...aku sering menyusahkannya" gumam Jimin. Tangannya bergerak meraba dadanya ia teringat sakit semalam. Rasa sakit itu jauh lebih sakit dari sebelum-sebelumnya.
Jimin tersenyum sinis dan menghembuskan nafasnya. Apa ini sudah mendekati waktunya?
Kini Ia hanya bisa meringkuk dibangsal rumah sakit. Jimin memejamkan matanya tanpa ingin tidur. Ia hanya membayangkan bagaimana nanti akhirnya ia menutup mata.
Kini pikiran-pikiran seperti itu mudah hinggap di otak Jimin. Semenjak sudah tidak sekolah dan hanya teronggok dirumah sakit.
Sampai kapan ini Tuhan...sampai akhir hayat kah?
"Jimin"
Jimin mendengar suara seorang perempuan dan ia segera bangkit untuk melihatnya.
"Ra In-ah..."
Bagaimana Ra In bisa tahu ruang rawat Jimin? Jimin yakin pasti ada yang membawanya.
"Morning..."
Jimin menggaruki kepalanya yang tidak gatal. Tidak salah kalau Dokter Niel yang memberitahu Ra In.
"Oho...kalian ingin pacaran? ya sudah aku pergi. Annyeong~" baru saja masuk ke kamar Jimin, Dokter Niel malah melihat kecanggungan. Jadilah ia memilih keluar kembali.
Tapi bukannya setelah kepergian Dokter Niel mereka bisa leluasa, malah bertambah canggung. Jimin tidak mau berbicara duluan dan membuat Ra In malah mencurigai penyakitnya.
"Jimin kau mau menemaniku jalan-jalan?"
"Kau kan sedang sakit"
"Aku sudah sehat. Lihat, aku tidak perlu memakai infus lagi sama sepertimu. Berarti aku sehat"
Jimin tersenyum sinis. Kenapa Ra In membandingkan tubuh sehatnya dengan tubuh penyakitan Jimin. Andai Jimin sehat karena tidak memakai infus.
"Kau...tidak suka ya?"
"Suka. Kajja..."
Ra In senang mendengar kalimat Jimin. Ia bahkan tersenyum lebar meneliti wajah Jimin. Saat Jimin akan turun dari ranjang. Tiba-tiba kepala Jimin pusing dan ia hampir saja jatuh kalau Ra In tidak menopangnya. Tangan Ra In melingkar di pinggang Jimin. Sementara tangan Jimin menyentuh kedua bahu Ra In.
Terjadi hening sesaat. Jimin memandangi wajah Ra In dari dekat dan itu membuat Jantungnya berdegup tak seirama. Ra In tidak bisa melepaskan Jimin begitu saja sebelum Jimin sendiri yang menjauh. Ra In takut namja itu kembali terjatuh.
"Khem..Gomawo Ra In-ah" Jimin terlebih dulu melepas tangannya dan disusul oleh Ra In.
"Gwenchana?" tanya Ra In.
"Tadi, hanya pusing sedikit. Ayoo kita keluar" Jimin membuka telapak tangannya didepan Ra In.
"Ne" Ra In memberikan tangan kanannya pada Jimin. Kini Jimin menggenggam tangan Ra In dan membawanya keluar rumah sakit. Entahlah, Jimin sendiri tidak tahu apa yang sedang ia lakukan. Tapi Jimin suka.
...
Jungkook tersenyum dan mungkin dia memang sudah gila sebut saja begitu. Berdiri didepan kelas dan menyaksikan gurunya marah-marah bahkan merobek buku tugas Jungkook, tapi namja itu hanya tersenyum saja.
"Itu buku mahal Miss. Ganti dong"
"Ganti kata kamu. Jeon Jungkook!sudah berapa kali saya bilang rubah sikap kamu"
"Maaf Miss saya bukan bunglon yang bisa berubah"
Gelak tawa seisi kelas tidak bisa dihindarkan. Jungkook memang suka sekali bersikap seenaknya. Tidak bisa dipungkiri bahwa setelah itu Jungkook diusir dari kelas.
Dan sebagai teman yang baik, Rapmon pun menyusul Jungkook keluar.
"Pasti mikirin Ra In kan? tugas sampai kosong begitu?"
Jungkook memang malas tapi baru kali ini ia sampai merelakan bukunya disobek begitu.
"Nggak juga"
"Halah...suka ngeles lagi"
Perjalanan mereka keluar kelas berhenti di rooftop sekolah. Meski hanya berdua setidaknya tempat itu yang paling aman dari para guru.
Jungkook mengeluarkan ponsel dari saku celananya namun tiba-tiba direbut oleh Rapmon. Sontak Jungkook marah dan mengejar Rapmon.
Ternyata Rapmon asyik membaca pesan-pesannya dengan Ra In. Dasar kelakuan teman satu itu.
"Kenapa sih kepo banget" gerutu Jungkook tidak terima hal yang menjadi privasinya malah dibuka orang lain.
"Aku tuh tadinya mau minta nomor Ra In" bela Rapmon.
"Buat apaan? mau nikung kamu"
"Belum selesai Kookki"
"Ya terus apaan?"
Jungkook emang suka emosian, lama-lama mirip sama Suga. Ngomong-ngomong kalau di rooftop cuma berdua saja, Rapmon takut dihabisi Jungkook.
"Ngegas aja. Aku tuh mau minta nomor Min Rae dari Ra In. Kan mereka solmet"
"Oh..."
"Ya udah cepet tanyain"
"Sabar bege. Lagian kenapa nggak minta langsung aja sama orangnya?ribet banget sih"
"Yakh! kau tidak akan merelakan temanmu yang tampan ini kena pukul Min Rae kan?" Jungkook lupa kalau Min Rae masih kesel sama Rapmon.
...
Ra In sangat suka digenggam oleh Jimin. Rasanya jauh lebih nyaman dan menyenangkan dibanding saat ia bersama Jungkook.
Jimin membawa Ra In menuju taman belakang rumah sakit. Bukan tanpa alasan. Itu karena hanya di taman belakang yang tidak banyak orang dan Jimin bisa menjauh dari Jungkook kalau-kalau dia datang tiba-tiba.
Ra In tercengang melihat betapa luar biasanya rumah sakit ini karena ada taman tersembunyi dibelakang. Dan taman itu begitu indah. Ra In segera menghampiri ayunan. Dia juga melambaikan tangan meminta agar Jimin duduk diayunan disebelahnya.
Baru menyadari bahwa tangannya terlepas dari genggaman Jimin, gadis itu hanya menghembuskan nafasnya. Seharusnya tadi Ra In tidak usah peduli dengan ayunan.
"Ra In-ah"
"Iya"
"Kau tidak mengatakan aku disini kan pada Jungkook?"
"Tidak. Kupikir karena teman-temanmu sudah tau. Jadi kau merahasiakannya?"
Jimin mengangguk sekaligus bersyukur.
"Aku tidak ingin mereka khawatir, itu saja"
"Aku tidak akan memberitahu nya, tenang saja"
Tidak perlu berjanji pun, Jimin pasti percaya pada Ra In. Gadis itu tidak mungkin sembarangan bicara.
"Meong..."
Sebuah suara seekor kucing membuat Ra In terlonjak dan mencari makhluk menggemaskan itu.
Jimin hanya bisa memperhatikan Ra In yang tengah mengelus-elus kepala kucing. Bahkan sekarang satu lagi kucing datang menghampiri Ra In.
"Kalian lucu sekali"
"Oh...kalian punya nama. Peter dan---"
"Eh? dimana kalungmu?"
Jimin yang penasaran akhirnya menghampiri Ra In dan duduk disebelahnya memperhatikan kedua kucing dihadapannya.
"Kau lihat Jimin, kucing ini tidak punya kalung seperti temannya"
"Bukan tidak punya. Kedua kucing itu milik Dokter Niel. Kurasa kucing ini menjatuhkan kalung nya" kata Jimin sambil menunjuk-nunjuk salah satu kucing yang kalung nya hilang.
"Kau benar. Ayo kita cari"
Ra In menggandeng tangan Jimin dan menariknya. Mereka mencari-cari disegala arah. Tapi, tidak menemukan hasilnya. Hingga Ra In kelelahan dan memilih kembali duduk diayunan.
"Jimin"
"Hmm"
"Boleh aku bertanya?"
"Tentu saja. Kau mau bertanya apa?"
Ra In menarik nafasnya terlebih dahulu sebelum membuka suaranya.
"Apa kau tidak lapar?"
"Eh?"
Jimin kira Ra In akan bertanya yang macam-macam. Hampir saja Jimin jantungan. Ra In nyengir kuda dan itu membuatnya terlihat menggemaskan. Jimin mengacak puncak kepala Ra In karena gemas dengan yeoja didepannya itu.
Deg!
Kalau Ra In bisa mengendalikan waktu, Ia akan mengambil alih untuk menghentikan nya sesaat.
"Park Jimin! Nam Ra In! Kalian terciduk"
Sebuah suara membuat Jimin dan Ra In terlonjak. Benar-benar Dokter perusak suasana. Tidak bisa apa munculnya nanti saja. Lihat wajah Jimin yang kesal membuat Dokter Niel tertawa menunjukkan gigi kelincinya.
Sontak Ra In segera mengalihkan pandangan pada dokter tampan yang mirip idolanya itu.
"Peter...Rooney....Appa datang bawa makanan kalian"
Ternyata Jimin benar bahwa kedua kucing lucu itu milik Dokter Niel. Ra In makin terpesona pada Dokter Niel. Dan itu membuat Jimin sedikit kesal, atau cemburu?
"Oh...jadi yang satunya bernama Rooney?" tanya Ra In setelah mengambil tempat disamping Dokter Niel yang tengah menuangkan makanan ke tempat nya untuk kedua kucing miliknya.
"Kau sudah melihatnya?"
"Sudah, dokter. Kau harus tau kalau aku juga sangat suka dengan kucing"
"Wah...aku senang mendengarnya, Ra In"
"Kau lihat dokter, si Rooney menghilangkan kalung nya" tunjuk Ra In membuat Dokter Niel mengernyit karena kecewa kalung dileher Rooney hilang.
"Tidak apa nanti aku beli lagi"
"Kau sungguh sangat luar biasa, dokter. Sudah tampan, penyayang binatang dan kaya raya"
Jimin bergidig mendengar kalimat Ra In. Apa yeoja itu benar Nam Ra In atau sebenarnya orang lain yang menyamar menjadi Nam Ra In. Setahu Jimin Ra In adalah gadis yang pendiam.
"Kau selalu memujiku"
"Itu kenyataan. Kau memang tipeku"
Baiklah terima saja nasibmu Park Jimin karena kedua orang itu malah mengacangimu.
Hidupku memang sulit---batin Jimin.
Kedua orang dihadapan Jimin masih asyik bermain dan bercanda dengan para kucing dan malah mengabaikan manusia bernama Jimin.
"Dokter sudah punya pacar?" tanya Ra In.
"Memangnya kenapa kalau Dokter Niel sudah punya pacar ataupun belum?" suara itu berasal dari Jimin. Ia sudah berdiri disamping Dokter Niel agar Ra In bisa melihat wajahnya yang sedang marah.
"Aku akan mendaftar menjadi calon istri Dokter Niel" sahut Ra In.
"Oh...begitu..Jadi kau suka yang lebih tua?"
"Memang kenapa? Yang penting dia tampan, mapan dan satu lagi, imut"
"Yakh! Nam Ra In.."
Ra In terkekeh dan menyikut lengan Dokter Niel.
"Jimin-ah. Kenapa kau marah? kau cemburu?" tantang Ra In.
"Iyaa--"
Demi kedua kucing imut milik Dokter Daniel, Jimin benar-benar keceplosan.
"Maksudku, aku tidak cemburu. Mana mungkin aku cemburu pada Dokter ini. Jelas-jelas aku lebih tampan" elak Jimin.
"Bohong! Lihat wajahnya merah Ra In. Kurasa dia benar-benar cemburu" bisik Dokter Niel pada Ra In.
"Yakh! Aku tidak begitu"
"Ngaku saja Jimin~" goda Ra In.
Jimin Kesal dan mengalihkan pandangannya pada dua makhluk imut bernama peter dan Rooney. Sedangkan Dokter Niel dan Ra In nampak menyeringai licik.
...
Jungkook berjalan dengan memfokuskan pandangannya pada dua orang yang kini tengah bergurau. Ditengah-tengah lapangan basket sekolah, J-Hope malah asik bermain gunting-kertas-batu dengan Taehyung. Sungguh masa kecil mereka kurang bahagia.
Jungkook akan pergi dari sana dan tidak perlu mengikuti pertandingan basket melawan musuh Suga.
"Kookki~"
Mampus! Kenapa Jin malah memanggilnya. Bukankah tadi namja itu sibuk membalas chat para korbannya.
"Kau mau kemana?" Jin berdiri dan menyusul Jungkook yang berada beberapa meter didepannya. Ayolah..Jungkook baru saja akan berhasil.
"Aku sedang peregangan" jawab Jungkook beralasan. Dan untuk meyakinkan Jin, Jungkook mengangkat tangannya ke udara lalu memiringkan badannya ke kanan dan kekiri.
Jin hanya menggeleng saja kemudian menarik kerah kemeja Jungkook. Dengan sekuat tenaga Jin berhasil membuat Jungkook duduk diantara mereka sebelum akhirnya strategi dari Suga dan Rapmon terdengar.
Jungkook menghela napasnya dan menyesal karena tidak bisa pulang dan terjebak disana. Jungkook benar-benar harus dilema sekarang. Memilih Ra In atau teman-temannya.
"Jimin---" Jungkook baru sadar Jimin tidak pernah masuk sekolah akhir-akhir ini. Meski ia tahu bahwa temannya itu sudah pulang dari luar negeri. Kemana Jimin?
J-Hope yang mendengar Jungkook hanya memperhatikan saja tanpa ingin bertatapan dengan Jungkook. Ia takut Jungkook curiga.
"Jimin tidak masuk sekolah lagi?"
"J-Hope, apa Jimin bolos lagi?"
J-Hope menghentikan permainannya dan memandang wajah Jungkook.
"Mungkin. Kau tahu kan, ayahnya baru saja mendapat penghargaan. Pasti Jimin sibuk merayakan itu"
Jungkook mengangguk mengerti. Ia pun merebut bola basket dari tangan Suga dan memainkannya dengan jari telunjuknya.
...
"Jimin, kau benar-benar marah?" Ra In terus mengejar Jimin dan memberikan pertanyaan bertubi-tubi.
Jimin masih tidak menyahutinya. Ia hanya berjalan saja entah akan kemana.
"Jimin, apa kau marah padaku? Mian"
Andai Ra In tahu saat ini Jimin bukan marah tapi ia hanya malu. Takut kalau ia malah tambah membuat mulutnya membongkar perasaannya.
"Baiklah Jimin Ak--"
Bruk!
Tubuh Ra In terhempas dan terduduk karena ditabrak oleh seseorang. Sepertinya orang itu terburu-buru hingga tidak sempat minta maaf.
Jimin mengulurkan tangannya didepan Ra In. Membantu gadis itu agar segera berdiri. Entah harus merasa sakit atau senang, Ra In bingung.
Tapi, kalau bukan karena orag tadi menabraknya. Jimin pasti masih berlari.
"Gwenchana?" tanya Jimin.
"Mian Jimin. Kau pasti marah padaku karena perkataanku tadi"
"Aku kan bertanya tentang keadaanmu"
"Aku tidak apa-apa. Lagian itu tidak penting. Yang penting adalah mendapat maafmu"
Jimin tersenyum seraya mengacak rambut Ra In.
"Aku sudah memaafkanmu"
"Kalau begitu ayo ikut aku makan di kantin"
Jimin menggenggam tangan Ra In dan tanpa menjawab langsung membawa gadis itu menuju kantin.
"Aku ingin makan Ramyeon"
TBC
๏ฟผ
Ra In ๐
@yurriansan Iyaa ya, haha๐. Soalnya aku mikirnya kata-kata yg itu kayanya sering deh didenger, wkwkw. But, thanks masukannya. ๐
Comment on chapter Dia-ku