Disaat semua mata tertuju pada satu titik, mendengar penjelasan guru didepannya. Ra In malah asik menyulap buku catatannya menjadi buku gambar.
Wajahnya tampak murung dan lesuh sejak kemarin. Berangkat sekolahpun gadis itu lebih banyak diam. Jungkook yang melihat hanya berfikir mungkin Ra In masih sakit. Ternyata, tidak sama sekali. Tubuhnya sudah sangat sehat tapi tidak dengan hatinya.
Ia menghabiskan satu jam pelajaran dengan menggambar wajah Jimin. Entahlah, tangannya bekerja sendiri. Seolah menuntut sang hati yang sedang sedih.
"Baiklah, pelajaran selesai"
Guru pun keluar dari kelas Ra In. Disusul siswa-siswi yang menyeruak pintu kelas karena tidak sabar mengisi perut.
"Nam Ra In"
Buru-buru Ra In menutup bukunya dan memandang Min Rae.
"Kau melamun saja. Kau masih sakit?"
Ra In menggelengkan kepalanya.
"Anni. Aku hanya tidak semangat saja"
"Oh....kajja ke kantin"
"Kau saja. Aku sedang tidak ingin makan. Nanti tolong belikan minuman ya. Aku tunggu di perpus, awas jangan lama-lama"
Ra In berlalu dari kelas sambil membawa buku dan bolpoin yang tadi digunakan untuk menggambar wajah Jimin.
"Yakh! Bodo amat. Aku sedang lapar. Aku akan makan yang lama"
...
Nam Ra In.
Nama itu telah terukir dihati Jimin. Meski tidak memiliki hak apapun karena gadis itu adalah kekasih sahabatnya, Jimin tetap menyimpan untuk perasaannya.
Hari ini, Jimin akan menjalani operasi hati. Ia sangat takut. Takut nanti tidak bisa bangun setelah di operasi.
Bukan tidak mungkin Jimin bisa sembuh. Namun, tidak mungkin juga takdir salah berkunjung.
"Jimin. Kau sudah siap ?" tanya Dokter Indri yang selesai memeriksa keadaan pasien nya.
"Iya Dokter"
Ayah Jimin mendekati putranya dan menggenggam tangan dingin Jimin. Wajahnya sangat menyiratkan kesedihan. Ayah Jimin begitu takut.
"Appa...Aku akan baik-baik saja, jangan khawatir" Jimin melepaskan tangan ayahnya. Dan membiarkan dirinya ditangani oleh dokter.
Tuan Park melihat pintu ruang operasi ditutup dan masih berdiri hingga air matanya luruh.
...
Didalam perpustakaan, Ra In tidak menghabiskan waktu untuk membaca. Sedari tadi memang ia berusaha menyibukkan diri untuk melupakan sejenak kesedihannya tentang Jimin. Tapi apa yang dia dapat tetap Jimin.
Jimin
Jimin
Jimin
Jimin
Tangan Ra In kembali menari diatas buku catatannya. Wajah Jimin disana begitu tampan. Ra In tersenyum getir dan tipis. Seharusnya ia menggambar wajah Jimin yang sedang tersenyum. Tapi, entah kenapa ia malah membuat gambar itu menjadi sedikit menyedihkan?
Drrt...drrt...
Diraihnya ponsel disaku jas sekolahnya, dan Ra In mendapat satu pesan dari Jungkook.
From : Kookki
kenapa nggak ke kantin? Kata Min Rae kamu sakit.
Ra In menghela napasnya gusar. Pertahanannya luruh jika seperti ini. Kenyataan bahwa ia telah terikat dengan Jungkook, menambah beban tersendiri. Ia selalu terbayang dicap menjadi orang yang egois. Memang di satu sisi Ra In ingin Jungkook bahagia. Tapi disisi lain, ia juga melupakan perasaannya. Perasaan Jungkook dan perasaan Jimin.
Ia mengetik kan pesan balasan untuk Jungkook.
To : Kookki
Tidak, aku ingin di perpus membaca buku
Send.
Bohong.
Ra In, berbohong.
Maaf Kookki, Ra In tidak bisa mengatakan bahwa ia sedang bersedih perihal mendapat kenyataan tentang Jimin dan penyakitnya. Jimin tidak ingin teman-temannya tahu. Jika saja Ra In sanggup melihat wajah sedih Jimin nantinya, gadis itu akan memberitahu Jungkook dan teman-temannya.
Tapi, Ra In harus merahasiakannya. Bukankah Jimin ingin begitu?
Perpustakaan adalah tempat pelarian paling sempurna bagi Ra In. Selalu saja begitu jika tidak ingin pergi kekantin.
Drrt...drrt...
Ra In membaca balasan Jungkook.
From : Kookki
Pulang sekolah jalan yuks?
Ra In membalik ponselnya dan menempelkan pipi kanannya dengan meja perpus.
Tes.
Tiba-tiba sesuatu yang dingin menyentuh pipi Ra In. Gadis itu mendongak dan mendapati sahabatnya sudah ada di depannya seraya meminum minuman yang sama seperti yang disodorkan padanya.
"Dari Jungkook" ujar Min Rae.
Ra In membuka tutup botol nya dan meneguknya. Seketika rasa sejuk meluncur ditenggorokannya yang kering.
"Sudah berapa novel?" tanya Min Rae.
Ra In menggeleng lemah. Min Rae tahu apa yang sedang di fikirkan Ra In. Meskipun dia tidak bercerita, setidaknya Min Rae tahu kalau Ra In pasti sedang punya masalah.
"Kau sedang ada masalah. Aku serius. Kau tidak usah bercerita kalau belum siap. Setidaknya aku tahu kau butuh penyemangat"
Masalah Ra In adalah memikirkan masalah Jimin. Bukan masalah dirinya sendiri. Tapi, Rasanya begitu berat sekali. Tiba-tiba saja Ra In menengadahkan kepalanya menghadap langit-langit perpustakaan. Ia berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan isakannya agar tidak lolos.
"Gomawo Min Rae"
"Iya sama-sama" kekeh Min Rae.
Ra In melanjutkan minumnya sedangkan Min Rae berniat meminjam beberapa novel. Karena jika dibaca disana waktunya kurang. Sedangkan bel masuk sebentar lagi berbunyi.
"Ayo Ra In kita ke kelas sebentar lagi bel"
Ra In mengangguk dan meraih buku serta bolpoinnya. Mereka bergandengan keluar dari perpustakaan sambil bergurau.
Min Rae mencoba menghibur Ra In. Gadis itu menggelitiki pinggang Ra In. Sontak tawa berhamburan dari mulutnya. Ra In terus menggeliat menghindar hingga ia tidak sadar bukunya terjatuh. Ra In berlari meninggalkan Min Rae yang juga mengejarnya.
Seseorang mengulurkan tangannya dan meraih buku Ra In yang terjatuh. Dia mengkerutkan keningnya.
J-Hope.
...
Jungkook menyibakkan rambutnya bergaya ala aktor drama.
"Jadi, cuma satu tapi ribet"
"Setelah aku tahu tentangnya. Aku jadi sedih"
"Mon, harusnya dia itu bilang langsung ya sama kita"
Rapmon membuang buku dihadapannya lengkap dengan bolpoin ditangannya. Sekarang ini kepalanya akan pecah.
"Bagus. Kita memang harus marah. Awas saja kalau dia ngomong sesuatu"
"Yakh! Dia pasti akan mengatakan sesuatu" elak Rapmon.
Jungkook berdiri dan mendengus seraya meraih tasnya.
"Pasti! Kemarin aja dia merobek buku ku, sekarang pasti akan melaporkannya pada orang tuaku. Dasar kutu kupret"
"Kookki~~Anak baik tidak boleh marah. Durhaka sama guru"
Jungkook merogoh sakunya dan mengeluarkan ponselnya. Masih belum ada balasan dari Ra In. Gadis itu membuat Jungkook khawatir saja. Kemarin sakit, dan sekarang melewatkan makan siang.
"Lupakan soal-soal matematika itu. Ayo pulang, Ra In nunggu deh"
Rapmon memungut buku dan bolpoinnya yang terkena amukan tadi. Kemudian segera memasukkannya ditasnya dan menyusul Jungkook keluar.
...
Ra In menepis genggaman tangan Jungkook. Didepan koridor utama sekolah mereka berdiri saling berhadapan. Tapi pandangan Ra In seolah menerobos hal yang tidak terlihat. Wajah gadis itu begitu tegang. Entah apa masalahnya.
"Waeyo?" tanya Jungkook.
Ra In tersadar dan menatap Jungkook. Kemudian ia tersenyum. Apapun makna dari senyuman itu, Jungkook membalasnya sepenuh hati. Senyuman Ra In adalah satu-satunya hal terindah bagi Jungkook.
"Kookki--" Ra In menyembunyikan rambutnya ke belakang telinga.
"Aku akan mampir sebentar ke rumah Min Rae. Aku lupa mengembalikan bukunya, dia sudah pulang duluan. Kau tidak perlu mengantar ku, aku akan lama disana"
Kenapa Jungkook merasa Ra In sedang berbohong padanya. Ataukah Jungkook memang belum mempercayai gadis didepannya itu.
"Kau...kenapa Ra In-ah? Wajahmu itu, aku sepertinya merasa kau sedang tidak sehat"
"Tidak apa-apa kok. Benar Kookki aku tidak apa-apa. Hari ini maaf aku tidak bisa jalan denganmu. Lain kali saja ya?"
Tanpa memohon pun Jungkook pasti akan mengabulkan permintaan gadisnya. Ia mengacak puncak kepala Ra In sambil tersenyum.
"Baiklah, sepertinya aku akan main saja ke rumah V"
"Gomawo Kookki"
"Iya. Kamu hati-hati ya sendok itali. Hehe...Aku duluan, Bye..."
"Hmm"
Ra In menunggu hingga Jungkook menghilang dari hadapannya. Kemudian gadis itu melangkah dengan tidak bertenaga menuju halte bis. Hari ini, tentang transplantasi hati yang dijalani Jimin. Ra In berharap Jimin bisa sehat kembali.
Setetes air mata luruh dan Ra In mengusapnya. Namun tidak dengan isakannya. Meskipun berusaha sekuat tenaga Ra In akhirnya terisak kecil. Didalam sebuah bis yang baru saja ia tumpangi, air mata mengalir mulus tanpa penghalang. Mengabaikan orang-orang yang mendengarnya.
"Kau pernah dengar kalimat bahwa cinta tidak harus memiliki? aku tau itu sangat klise. Tapi bagi diriku yang tidak akan bertahan lama, kalimat itu sangat mengandung makna"
"Nam Ra In pasti akan bahagia meski bukan bersama Park Jimin-nya"
Gadis itu menatap jalanan disamping jendela bis. Hatinya sakit sekali. Bisakah tuhan membuat waktu berputar lagi dan membiarkan Ra In tahu tentang Jimin lebih awal. Jika begitu Ra In akan berada di sisinya lebih dulu. Bukan melampiaskan cintanya pada Jungkook.
"Jantungnya semakin parah?"
"memang awal kanker itu ada dihati, Dok. Tapi sekarang, seolah sedang berkembangbiak. Jantung Jimin juga semakin parah"
Perkataan Dokter Niel begitu terngiang dikepala Ra In. Jadi selama ini Jimin berjuang mati-matian. Sedangkan teman-temannya tidak ada yang tahu.
Gadis itu turun dari bis ketika sudah berada didepan gedung rumah sakit. Tempat yang sebenarnya tidak ingin gadis itu datangi lagi. Ia mengusap air matanya dan mengerjapkan matanya.
Hhh....tarikan nafas begitu menenangkan jantungnya yang selalu berpacu cepat jika memikirkan keadaan Jimin.
Ra In berusaha kuat untuk Jimin-nya.
...
Jimin masih terlelap ditempatnya. Raut wajah Tuan Park menampakkan kelelahan dan rasa takut kehilangan secara bersamaan. Diraihnya telapak tangan anak lelakinya itu dan mengelusnya.
"Putraku...Bertahanlah, nak"
Dari balik pintu ruang rawat Jimin, Ra In berdiri dan menyaksikan bagaimana lelahnya Jimin mendekam disana. Menjalani berbagai sesi pengobatan untuk menyambung umurnya.
"Hiks..." tangannya terangkat menyentuh lapisan pintu dan berharap dengan itu ia bisa merasakan dekat dengan Jimin.
Ingin sekali Ra In masuk ke dalam dan menunggu Jimin sadar. Ra In ingin saat Jimin membuka matanya, Dia yang pertama kali dilihat. Menyambut Jimin dengan senyumannya.
Tiba-tiba sesuatu yang hangat menyentuh pundaknya. Ra In berbalik dan mendapati J-Hope dihadapannya tengah membawa buku catatan Ra In.
"Boleh ikut denganku? ada yang ingin aku bicarakan. Tapi tidak disini"
"Ne"
...
Semilir angin dingin menerbangkan rambut Ra In yang tergerai indah. Menerbangkan juga perasaannya yang begitu bercampur aduk.
Sungai Han, disana lah J-Hope mengajak Ra In untuk berbicara. Meskipun sudah sangat jelas bahwa Ra In lah gadis yang membuat Jimin tersenyum.
Mereka sama-sama memegang besi pembatas sungai Han. J-Hope mengulurkan buku Ra In dan disambut oleh gadis itu.
"Ayah Jimin selalu penasaran dengan gadis yang akhir-akhir ini membuat Jimin tersenyum. Aku bodoh, seharusnya aku menyadarinya. Itu kau ternyata, Nam Ra In"
Ra In tersenyum samar. Setidaknya mendengar kalimat J-Hope hatinya menjadi sedikit lega. Jimin tidak sepenuhnya menolak perasaan Ra In.
"Sehebat apapun Jimin menyembunyikan keadaannya. Nyatanya Tuhan selalu tau caranya membuat kita membagi waktu dengan indah"
J-Hope memilih menatap genangan air didepannya. Begitu tenang, Sama seperti Jimin. Dia juga begitu tenang dan sanggup bertahan.
"Ra In-ah...apa kau mencintai Jimin?"
Ra In tidak menjewab, ia hanya menangis saja. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain menangis.
Dadanya begitu sesak, bahkan hanya untuk diam pun Ra In tidak sanggup.
"Aku tau kau begitu terpukul. Alasan kenapa kau menerima Jungkook, itu--"
"Aku...hiks...demi Tuhan kenapa...hiks...aku tidak tahu apa-apa tentang Jimin...hiks....huwaaa..."
J-Hope menyentuh pundak Ra In dan menenangkannya. Namja itu hanya mengulum bibir sebagai cara menahan tangis. Jika Ra In bisa meluapkannya maka J-Hope akan menahannya.
"Ayo duduk Ra In" J-Hope menuntun Ra In duduk di bangku yang memang sudah ada disana.
Bermenit-menit dibiarkannya waktu berlalu dengan Ra In yang menangis dan J-Hope yang mendengarkan. Di sore hari yang begitu indah itu, Ra In bisa berbagi kesedihannya dengan seseorang.
"Apa aku jahat, J-Hope?" tanya Ra In setelah tangisan nya selesai.
"Tidak! Sama sekali. Aku mengerti kalau kau menerima Jungkook demi kebahagian nya."
"Sebenarnya, aku pernah mengatakan pada Jimin soal perasaanku. Dia bilang aku harus menerima Jungkook"
"Benarkah? mungkin saja Jimin takut kau terpukul mendengar penyakitnya."
Rumit sekali cinta Jimin----pikir
J-Hope. Karena berfikir waktunya sebentar Jimin membiarkan Jungkook mendapatkan Ra In. Dia sendiri melupakan perasaannya.
"Aku haus. Aku pergi dulu sebentar membeli minum"
"Biar aku saja--"
"Jangan! Sudah tidak papa. Aku saja, tunggu ya aku juga akan membelikan untukmu"
Ra In selalu saja tidak bisa dibantah. Baiklah, J-Hope akan menunggu disana. Ia menikmati semilir angin sore ditepi sungai Han.
Tanpa sadar seseorang dari belakangnya mencengkeram bahu J-Hope dan memutar tubuhnya. Hingga mereka kini berhadapan. J-Hope membelalakkan matanya melihat seseorang dihadapannya menatap penuh amarah.
"Sug--"
Bugh.
J-Hope mengerang kesakitan dan tangannya terulur menyentuh sudut bibirnya yang sobek akibat pukulan Suga.
"Yakh! Apa yang kau lakukan suga!"
"Aku? Pikirkan sendiri. Dasar bajingan kau"
Bugh.
Belum sempat J-Hope memikirkan apa yang menjadi alasan Suga begitu marah padanya. Kini ia tersungkur akibat pukulan kedua Suga.
J-Hope berdiri dan membalas pukulan Suga. Keduanya kini adu jotos. Wajah dibalas dengan wajah. Dan perut dibalas dengan perut.
"Bajingan kau J-Hope. Kau pikir Jimin hanya temanmu?"
Bugh.
Ra In yang baru kembali begitu terkejut mendapati pemandangan menakutkan di depan nya. Tiba-tiba ada Suga disana dan keduanya sedang bergulat.
Ra In menjatuhkan dua botol mineralnya dan menghampiri mereka.
"HENTIKAN!!"
Bugh.
Tidak sengaja tubuh Ra In terhuyung membentur besi pembatas dan pukulan Suga membuat tubuhnya terhempas.
"Aaaa......" Ra In berteriak.
Byur.
Ra In terhempas kedalam air sungai. Ia mengepak-epakkan kakinya. Namun, tubuhnya semakin terasa berat.
God! Kaki Ra In keram. Dan gadis itu tidak bisa berenang.
Sebelum memejamkan matanya Ra In melihat seseorang berenang kearahnya. Hingga semua menjadi gelap dan Ra In tidak sadarkan diri.
TBC
@yurriansan Iyaa ya, haha๐. Soalnya aku mikirnya kata-kata yg itu kayanya sering deh didenger, wkwkw. But, thanks masukannya. ๐
Comment on chapter Dia-ku