“….Sakit, kan?”
Hamka menatapku dengan pandangan penuh hina, “pertanyaanmu barusan kayak nggak nyesel, ya?”
“Iyalah.” Aku masih melipat tangan. Menunjukkan keegoisanku tidak mau minta maaf duluan.
“…Sori.”
…Lama-lama aku bisa terlonjak nembus plafon kafe yang baru selesai direnovasi. HAMKA MINTA MAAF???
“Soal….kamu dan…”
“Rey,” aku menyahut. Dia mengangguk, “Iya, si Rey….sejak kapan?”
“Apanya?”
“Ya pacarannya lah!!” dengan kesal Hamka menambahkan. Nah, kan? Belum apa-apa dan dia udah emosi duluan. Aku memang sengaja mau bersikap nyebelin sih, sebagai pembalasan dendam atas sikap-sikapnya yang jauh lebih nyebelin dulu.
“…Niatku waktu masuk SMA aku mau langsung nembak, tapi terus kupikir-pikir lagi, karena Rey masih kelas 3, fokus ujian, akhirnya kami pacarannya waktu dia masuk SMA.”
“Oh,“ hanya itu jawabnya.
“Jadi…” Dia melanjutkan. Aku menaikkan dagu, menantang, “jadi apa?”
Dia pun menggeram kesal dan meremas tangannya. “JADI…..dimaafin…nggak…nih??????” setiap kata ditekankannya, menunjukkan betapa kesalnya dia dengan sikapku. Aku sok berlagak sok menimbang-nimbang. Enak kali ni anak, udah bikin hubungan murni (?) kami selalu di ambang batas, marah-marah, nonjok, tapi minta dimaafin gitu aja.
“Ogah ah!”
Hamka melongo, tangannya mengepal di atas kakinya. “A – P – A - ??”
“O-g-a-h- a-h-!”
Hamka menerjang ke arahku, kerahku di cengkeramnya. Aku tentu tidak terima, dan mendorong wajahnya. Jadilah kami bukan tonjok-tonjokan, tapi tarik-tarikan dan dorong-dorongan. Pelanggan café yang lain berbisik-bisik, mungkin, tapi aku tidak peduli.
Terdengar pekikan pelan, Yuki, yang lalu berteriak memanggil kakakku.
“EEEH, udah, udah!!!”
Kak Yudi memisahkan kami, meski kena dorong sampai wajahnya berubah bentuk, dia berhasil memisahkan kami.
“Ini dua anak, kupanggil Joey, nih nanti!“
Hamka masih terengah-engah, mengerutkan dahi, “Joey?”
Aku menyeringai, “Panggil aja, Kak.”