Selama di bus, aku sudah berpikir matang. Aku harus mengonfirmasinya. Daripada memaksanya bohong, aku harus tahu reaksinya ketika aku…
“Yuki?”
Rey muncul di depan pintu. Mungkin Tante sedang keluar. Tersenyum ragu melihatku. Aku berusaha tidak memasang senyum sinis. Tanpa basa-basi, dan berakting seperti biasanya, aku langsung masuk ke kamar.
Tasku sedikit kubanting. Kalau yang ini bukan akting sekaligus akting. Aku memasang wajah cemberut.
“Kenapa? Kak Hamka lagi?”
Sudah kuduga. Ketika aku murung, dia akan tunggu sampai aku cerita. Ketika mengenai perselisihanku dengan Hamka, aku tanpa sadar cemberut. Dan dia yang menyadarkanku akan kebiasaan itu, yang kumanfaatkan sekarang.
“Iya, nggak cuman dia sekarang. Temennya ikut-ikutan ‘nyerang’ aku sekarang!”
Rey yang sedang menuang air putih dari dispenser kamarnya terhenti sekejap. Hanya sebentar sekali, tapi aku menyadarinya. Dia lalu bertanya dengan rasa ingin tahu yang terkesan biasa.
“Nyerang? Temen yang mana?”
“Dilar lah! Emang dia punya teman lain?”
Mendengar ini, dia tersenyum sedikit, aku sedikit meneguk air putihku.
“Ya nyerang, dia ngata-ngatain aku. Seakan-akan bebas gitu. Orang ganteng mah bebas! Gitu kali pikirnya ya?! Padahal cuman tampang doang yang bagus! Sisanya tinggal modal tegas aja, jadi deh Ketua Divisi Keamanan.”
Senyum Rey pudar sekarang, aku makin sakit hati melihat reaksinya.
“Yuki…”
“Padahal sendirinya playboy juga, nggak jauh beda sama Yosi. Tau nggak? Katanya dia sama si Princess itu…”
“Yuki!”
Aku terdiam. Kulihat ekspresi Yuki dengan tenang. Dia sedikit terengah-engah. Mungkin sedikit syok.
“Kok kamu bisa ngomong gitu! Kamu nggak tahu Kak Dilar yang sebenernya kayak gimana kan? Kamu…”
“Terus? Kamu tahu?”
Dia memucat. Terdiam. Aku tersenyum dingin.
“Tadi ada anak-anak ngomong.” Aku berkata dengan ringan, “aku khawatir sama kamu waktu denger kamu diserang Yosi. Tapi kupikir, satu sekolah juga tahu Yosi yang playboy dan kegatelan sama cewek. Jadi, ah…paling lapor sama guru juga beres. Kamu toh belum diapa-apain. Kamu tahu kenapa pikiranku jadi begitu?”
Dia makin pucat.
“Karena bagian rumor yang kedua yang bikin aku kecewa.”
Dia menelan ludah, mulutnya sedikit terbuka, seakan memerlukan oksigen tambahan untuk mengembalikan darahnya ke kepala.
Aku mencengkeram bahunya.
“Rey,” aku berkata dengan nadaku yang paling dingin, paling kecewa, “kamu pacaran sama Dilar?”