“Huhuhuhu….Rey….giamna nih, ulangan tadi ancur banget aku…” Friska merengek. Yuki yang mendatangi bangkuku bersamanya memutar mata, mencibir.
“Halah, kamu bilang begitu padahal nilainya di atas 70.”
Friska merengut, “Itu jelek.”
Aku menggeleng, “70 dibilang jelek?”
“Yuki selalu di atas 90!”
“Itu karena aku belajar. Makanya disiapin, udah tau ada ulangan.”
Friska menggumamkan sesuatu tentang ‘diganggu adik’. Yuki melihat jam dinding, lalu menggamit tanganku, “Yuk, kayaknya kita mesti pergi sekarang.”
“Eh? Mau kemana? Nggak makan?” Frsika menanyai kami.
“Nope. Sorry, sis. Tugas memanggil.”
“Hu…Ibu Bendahara, mentang-mentang pada jadi OSIS, super sibuk nih….”
Aku meringis meminta maaf, “Maaf ya, Ka. Ntar kami nyusul kalo selesainya cepet.”
“Iya deh, aku sama Dea dkk, di kantin ya!” dia menyeru karena kami sudah melesat ke luar kelas.
Di depan ruang OSIS, aku melihat dua sosok sedang berbicara dengan tampang agak serius. Kak Junna dan….Kak Dilar. Pipiku memerah dan mataku berbinar, untung Yuki berjalan agak ke depan. Dia sendiri merengut dan memasang ekspresi tidak percaya melihat satu sosok lagi yang muncul menghampiri keduanya. Kak Hamka.
Dia sepertinya juga melihat kami. Aku tersenyum, sedikit menunduk untuk menghormati senior. Yuki masih memasang tampang yang nggak enak dilihat. Dan Hamka membalasnya dengan ekspresi yang sama. Barulah Kak Junna dan Kak Dilar menoleh melihat kami.
“Oh, udah dateng,” Kak Junna tersenyum.
“Kak Junna,” Yuki hanya menyapa senior kami yang satu itu. Kak Hamka mencibir.
“Lelet.”
“Kami habis ualangan Biologi,” Yuki membela diri.
“Aku habis Quiz Fisika.”
Kak Hamka memberi alasan seperti anak kecil, membandingkan kesulitan kami dengan kesulitannya untuk datang ke sini setelah melalui perjuangan panjang yang disebut ujian tertulis.
“Heh, bocah-bocah. Bubar aja kalau mau berantem.” Kak Dilar menengahi dengan peringatan. Keduanya diam, tapi masih saling melemparkan pandangan sinis. Kak Junna menghela napas.
“Sekarang atau tidak sama sekali.”
Ultimatum Kak Junna akhirnya membuat mereka mengalihkan pandangan dari satu sama lain. Diam-diam, kak Dilar memandangku sambil menghela napas. Seakan pasrah dengan penderitaan kami yang sama: sahabat yang keras kepala dan kekanakan. Aku tersenyum dengan ekspresi yang sama.
Ruang Ekskul pertama yang kami kunjungi adalah ekskul tari tradisional. Begitu masuk, kami mengerutkan kening.
“Mereka latihan menari dimana?” Yuki yang menyuarakan pendapat pertama.
“Dulu mereka di aula.” Kak Junna menjawab, “Angkatan kami yang menegaskan, kalau aula milik bersama. Mereka punya hak untuk memakainya. Tapi ekskul dance, cheer, dan kadang teater, perlu banyak ruang. Apalagi anggota mereka makin banyak sementara anggota tari tradisional makin sedikit.”
Kak Hamka dan Kak Dilar saling memandang, mereka kemudian memandangku, “Divisimu membahas soal pembagian ruang ekskul kan? Rencana Yosi apa soal yang ini?” Kak Hamka menatapku penuh selidik.
Aku menggeleng, “Sebenernya….ada rencananya mau memberi mereka lebih banyak ruang tapi….” Aku agak takut mengatakan ini, “Kak Yosi kadang mengeluh banyak temannya yang…’meminta’ masing-masing jam ekskul mereka yang memakai aula diperbanyak. Jadi…”
“Solusinya?”
“Kak Yosi dan Kak Intan bilang udah ada, tapi anggota lain belum tahu apa. Kayaknya mereka masih ragu.”
Kak Hamka memutar mata, aku mengkeret, tapi lalu dia berkata, “Ketua Divisinya kayak gitu, anggotanya malah nggak diajak diskusi, dasar.”
Oh, dia bukan menyalahkanku karena tidak tahu. Masak Kak Hamka juga tidak suka dengan Kak Yosi? Secara tidak langsung kan Kak Yosi kan dipilih oleh Kak Hamka? Mungkin alasan ini dan itu berbeda.
Kak Dilar menatapku, “Ekskul mana aja yang minta begitu?”
“Dance, cheers, teater, sama….” Aku mengingat-ingat. Selain ekskul yang sama dengan yang kak Junna sebutkan sebelumnya, apa lagi….”oh, band, dan perkusi juga kayaknya.”
Yang lain menatapku dengan dahi berkerut.
“Banyak juga ya…” Kak Dilar berkomentar.
“Masih SMA udah pada berani KKN.” Kak Hamka memasang wajah keras. Dia sepertinya sedang memutar otak untuk membasmi praktik-praktik semacam ini.
Hanya Yuki yang diam. Sepertinya dia sadar akan kebenaran nasihatku semalam.
“Yah, ini jadi catatan pertama.” Kak Junna tersenyum, “bisa nggak-nya generasi kalian memberantas praktik semcam ini. Hanya karena alasan ‘kenal’ atau ‘teman’, mereka berpikir bakal diberi kelonggaran. Dan….dampak sosial dari solusi yang mau kalian terapkan juga harus dipikirkan.” Dengan suara yang jernih, Kak Junna menyuarakan betapa seriusnya dilemma yang kami hadapi. “Ketua kami dulu, si Bian, juteknya level killer, sampai anggotanya nggak berani nerima ‘bujukan’ temen-temennya soal jatah anggaran atau jam pemakaian ruangan.” Masing-masing dari kami meringis. Satu sekolah tahu Kak Bian tampangnya poker face, dingin, killer, punya temen sih….tapi teman-temannya pun bilang nggak akan ada hari dimana Kak Bian menyunggingkan senyum.
“Dan….yang paling penting,” suara itu berubah menjadi alarm peringatan, “dengan anggota yang terus menurun, apakah ekskul ini pantas dipertahankan, atau tidak. Kalian yang menilai.”
“Kalau…kami bantu untuk mempromosikan?” Aku takut-takut, tapi mencoba memberi ide.
“Itu bagus, tapi sayangnya, kalian hanya boleh memberi saran, selebihnya pelaksanaan tergantung pada anggota ekskul ini. Nggak baik untuk reputasi OSIS karena memfavoritkan ekskul.”
Kami berempat masing-masing mencatat pelajaran berharga ini dalam benak kami.