Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Friends of Romeo and Juliet
MENU
About Us  

Aku bisa tertawa lega sekarang. Setidaknya Kak Dilar mengerti kalau Kak Yosi-lah yang mendekatiku, bukan aku yang memancing.

Kami satu SMP. Yuki beda SMP denganku meski kami sudah sahabatan sejak SD. Selama SMP aku dan Kak Dilar biasa saja. Waktu Kak Dilar pindah ke kompleks kamilah momen ketika hubungan kami berubah. Kami sama-sama pecinta kucing, dan klinik hewannya juga lebih menekankan spesialisasi ke perawatan kucing. Dan sejak ada klinik baru di dekat rumah, aku dengan semangat pertama kalinya berjalan dengan membawa Mamo dalam gendongan. Hanya kadang-kadang saja dia kukurung di kandang.

Begitu mendekati klinik, Mamo yang kulepas talinya langsung lari ke dalam. Aku panik mengejar. Karena kucingku, melawan semua mitos-mitos yang ada, sangat suka mandi dan di grooming.

Dengan kaget kudapati kakak kelasku yang populer dan jadi incaran para cewek menggendong Mamo yang dengan puas mendengkur.

“Ini kucingmu?”

Aku hanya bisa mengangguk. Tidak mengira akan bertemu dengan kak Dilar, yang waktu itu hanya kutahu namanya. Dia bahkan tidak tahu namaku. Waktu itu kukira begitu.

“Huh? Tahu kok, Freya kan? Kamu yang menang lomba melukis itu.”

Aku kaget untuk kesekian kalinya. Karena setelah itu dia tersenyum ramah, tidak seperti ketika menghadapi cewek-cewek di sekolah, “Lukisanmu cantik.” Setelahnya, aku ingat pertemuan kami diisi dengan aku yang mengoceh dengan semangat mengenai karya-karya kesukaanku, dan berbagai teknik cat minyak dan cat air yang sudah dan belum kupelajari. Kak Dilar mendengarkan dengan seksama. Tatapan matanya lurus. Dan setelahnya aku jadi malu dan salah tingkah. Grooming Mamo jadi terasa lamaaa sekali.

“Eng, kesukaan Kak Dilar apa?” dalam salah tingkahku yang konyol aku bertanya. Dia berpikir sebentar.

“Ada, sih. mau lihat?”

Aku mengangguk, dalam bayanganku, mungkin game atau olahraga. Sesuatu yang disukai anak laki-laki pada umumnya.

“Kalo gitu besok kita jalan, kujemput jam 9. Bawa Mamo.”

Reaksiku sudah bisa ditebak. Aku membeku. Kami….kencan? Aku tidak berani bertanya. Kuhibur diri kalau itu tidak mungkin, karena Mamo diajak. Dan aku lalu ingat kalau Mamo adalah kucing, yang nggak mungkin banget menyela ‘kencan’ siapapun selama dia dibawa dalam kandang.

Keesokan harinya, dengan gugup aku menunggu. Satu keuntungan hari itu adalah Sabtu, yang berarti kakak laki-lakiku yang over-protektif kuliah tambahan di hari Sabtu. Sialnya, ada Mama yang membuka pintu. Dengan cengar-cengir dia melambai secara berlebihan pada kami yang berjalan menuju halte bus. Lagaknya seperti melepas kami pergi jauh selama dua minggu ke negeri antah berantah. Lengkap dengan sapu tangan yang dibersitkan ke hidung dan ditutul-tutulkan ke ujung mata.

Kami menuju ke wilayah Jogja kota di mana kafe-kafe stylish dan unik berjejeran dengan tempat-tempat chic lain seperti bistro, restaurant, warung-warung jajanan kekinian, bahkan distro. Sebagian besar belum buka jam segitu. Kak Dilar menuntunku masuk ke salah satunya. Cathapult.

Nama yang aneh, karena setelah hari itu aku mencari artinya di kamus Bahasa Inggris, artinya ketapel. Tapi begitu masuk, aku langsung sadar maksudnya.

“Kafe kucing!” aku berbisik girang.

“Punya kakakku, dan…eh, aku.”

Mataku membulat mendengarnya. “Yah, cuma investasi kecil-kecilan sih. Papa bilang daripada buat yang nggak-nggak, mending tabunganku dijadiin usaha. Jadi aku join sama Kak Yudi buka kafe. Sedangkan Kak Laras dan Kak Rashid buka klinik hewan.” Dia berbicara dengan nada yang kutangkap sedikit malu. Aku langsung mengucapkan kata yang membuat wajahnya memerah, untuk pertama kalinya semenjak kami tahu satu sama lain.

“Keren!”

Itu tulus, karena menurutku nggak banyak anak SMP yang mau menghabiskan tabungan untuk investasi masa depan yang sesuai kesukaan mereka. Nada kagumku sepertinya yang membuat wajahnya merah karena malu.

“Makasih,” dia mengusap leher, aku tersenyum karena setelah-setelahnya aku tahu itu adalah kebiasaan Kak Dilar saat salah tingkah, “yuk, di atas.”

Di bagian bawah tadi, terdapat kasir, dan area kucing-kucing yang besar. Cukup besar dan jinak sehingga tidak perlu takut untuk anak-anak kecil bermain dengan mereka. Untuk yang berani ambil resiko dipersilahkan di atas. Dimana surga menanti. Hehehe, aku anggap begitu, karena begitu kami naik, mataku membulat dan memekik karena kelucuan anak-anak kucing kecil dengan bulu halus dan mata yang menatap jernih. Aku sampai tidak mau berkata-kata dan hanya langsung menyosor anak kucing yang paling dekat denganku. Kak Dilar tertawa kecil melihatku. Tapi lalu bergabung mengelus-elus anak-anak kucingnya.

“Mereka semua dari mana?” aku bertanya setelah agak tenang sedikit.

“Kalau yang kecil ini sih anak-anaknya dari yang besar-besar di bawah, kalau nggak dari komunitas yang kucingnya punya anak tapi nggak ada yang mau ngerawat. Kalau yang besar, kebanyakan dari pemilik yang nggak sanggup merawat lagi, pemiliknya meninggal, atau kalau ada yang kondisinya bagus, dari penampungan. Ada adopsi juga di sini, kalo kamu mau nyariin jodoh atau temen buat Mamo.”

Aku meringis, tapi mengatakan tidak, terima kasih. Kuceritakan soal kucing liar putih yang dibawa pulang Mamo.

“Dibawa pulang?”

“Sama anak-anak mereka.”

“Tahu-tahu bawa pulang istri anak?” tanya Kak Dilar dengan ekspresi melongo, lalu tawanya meledak. Aku meringis dan takjub juga, tidak mengira kakak kelas yang cool itu bakal tertawa sekeras ini. Aku tidak menyalahkannya. Mamo seperti anak yang kulepas buat kuliah tapi malah bawa calon menantu, mana berbadan 4 lagi (anaknya 3).

“Anak-anaknya sekarang dimana?”

“Itu dia, abis enam bulan Mamo tahu-tahu ngusir istri anaknya.”

“Ngusir??”

“Iya, waktu aku sekolah, Mama yang lagi di rumah kaget setengah mati ngeliat Mamo nakut-nakutin istri sama anak-anaknya. Dikejar satu-satu sampe semuanya keluar rumah dan nggak balik lagi.”

Lawan bicaraku menggeleng, “suami durhaka kamu ya?” dia mengetuk kandang Mamo. Mamo hanya melemparkan pandangan cuek seakan berkata, “that-was-my-family-business-bro”.

“Dilar?”

Sebuah suara memanggil dari balik pintu tidak terlihat di samping ruangan kafe. Aku kaget. Kulihat seseorang keluar. Berkacamata, tinggi, rambut dikuncir acak-acakan, dan wajahnya mirip Kak Dilar.

“Oh, Kak Yudi udah bangun toh?”

“Iyalah, kamu pikir ini jam berapa?” orang itu memutar mata. Lalu pandangannya berhenti padaku, aku mengangguk dan tersenyum canggung. Sebelum permisi atas kehadiranku di toko mereka, orang yang kuasumsikan sebagai Kak Yudi nyengir lebar dan melemparkan pandangan menggoda ke Kak Dilar.

“Cieee….nasehatin orang soal bangun pagi, sendirinya jam segini udah pacaran!”

Kak Dilar langsung memerah lagi wajahnya, begitu wajahku. “Bukan!”

“Oh???” Kak Yudi sudah keluar sekarang, dia hanya memakai kemeja kotak-kotak biru dan celana jins longgar. “Bukan apa bukaaan?? Atau malah belum?”

Saat itu kupikir cuma bayanganku, karena pertanyaan terakhir membuat Kak Dilar bungkam dan makin memerah. Kak Yudi nyengir tapi lalu cuma menepuk punggung adiknya. “Just joking, lil’ bro’! Kenalan dulu aja deh! Yudi.” Dia mengulurkan tangan padaku. Aku menyambutnya dengan sedikit bingung.

“Freya, panggil Rey aja Kak.”

“Temen sekelas?”

“Eh…nggak, satu sekolahan, saya masih kelas delapan.”

Sekilas Kak yudi mengangkat alis dan melempar senyum pada Kak Dilar.

“Udah kan kenalannya?? Kerja lagi gih!” Kak Dilar berusaha mengusir Kak Yudi.

“Ih, enak aja nyuruh-nyuruh ni anak. Sebagai pemegang saham terbesar di kafe ini, justru kamu yang pemegang saham terkecil, yang harusnya kusuruh-suruh, non.” Kak yudi ngetuk dahi Kak Dilar dengan telunjuknya.

“Hari ini bukan shift-ku.”

“Eh, malah ngelawan. Ya udah, nggak kutunjukkin prospek bagus nih ya!”

“Prospek?”

Kak Yudi tersenyum jahil, “Mau liat apa nggak???” tanyanya sok misterius. Aku juga jadi penasaran dengan maksud Kak Yudi.

Dengan menggerutu tapi penasaran, kak Dilar mengangguk. Aku yang selama itu hanya menonton, tersenyum dan sesekali tertawa kecil melihat interaksi mereka.

“Sini. Dik Rey juga liat nggak papa.”

Kak Yudi mengajak kami ke suatu ruangan yang diberi stiker Nursery & Quarantine. Kata terakhir agak membuatku ngeri. Kak Dilar tampaknya langsung paham. “Ada anak kucing lagi? Perasaan nggak ada yang hamil?”

“Ada dapet dari komunitas.”

“Komunitas yang mana?”

“RB Lovers Indonesia.”

Mata Kak Dilar membulat, terlihat bersemangat. “Serius?”

“Liat aja.”

Begitu masuk, ada dua ‘kandang’ yang diberi ‘halaman’, dengan pagar. Lantainya karpet empuk yang hangat. Tapi tetap ada pendingin ruangan di bagian atas yang sepertinya digunakan sepanjang malam.

“Aku begadang nih kemaren biar mereka nggak kedinginan.”

Aku melihat dua bola bulu di bagian dengan papan Quarantine. Sebelum pagar ada kaca mika yang agak tinggi. Mungkin agar bola-bola bulu itu tidak meloncat kabur. Mereka luuuucuuuu banget, tapi hampir tidak terlihat karena gelap. Tapi warna bulunya terlihat mengkilap gelap dan sedikit….biru?

“Russian blue….pure breed?” Kak Dilar berbisik dengan takjub, seakan tidak mau membangunkan anak-anak kucing yang masih sangat kecil itu.

“Pure breed.” Dengan nada bangga Kak Yudi memberi keterangan, “Mereka agak….telat berkembang kayaknya. Makanya nggak ada yang mau.”

“Russian blue itu nama jenisnya?” aku tidak bisa menahan diri karena penasaran. Kak Dilar mengangguk. “Warna bulunya abu-abu gelap kebiruan, matanya juga kebanyakan berwarna biru, makanya julukannya Russian Blue.” Setelah itu Kak Yudi menyalakan lampu. Aku pun bisa melihat kilau biru dari bulu mereka yang berwarna gelap. “Cantik…” tanpa sadar aku mendesah.

Setelah puas mengagumi bola bulu yang tertidur itu, aku baru sadar kami masuk ke bagian Quarantine, “Ngomong-ngomong ini bagian karantina kan? Mereka sakit?”

“Bukan, ini wajar kok untuk hewan peliharaan impor atau yang fisiologinya nggak sesuai dengan tempat tinggal baru. Misalnya Angora atau Persia. Bulunya panjang kan? Mereka harusnya tinggal di tempat yang iklim rata-ratanya sub-tropis. Tapi karena adaaaa aja orang yang tinggal di negara tropis mau pelihara mereka, harus dikarantina dulu.” Oceh Kak Yudi.

“Adaptasi.” Kak Dilar menyimpulkan secara sederhana untukku. Aku mengangguk mengerti. Mereka dibiasakan dengan tempat yang tidak seharusnya mereka tinggali. Keluar dari zona nyaman untuk bertahan hidup sekaligus hidup dengan segala kelebihan dan kekurangan mereka sendiri. Tanpa sadar, pikiran dan mataku tertuju pada Kak Dilar. Sudah SMP, tapi dia sudah berani…

Keluar dari zona nyaman. Hari itu jadi penanda tekadku yang ingin maju dan berubah meski sedikit demi sedikit.

Setelah itu kami mengobrol dan kak Yudi menyiapkan makanan untuk kami. Kafe baru buka jam 11. Masih satu jam lagi.

“Eh….Rey pelukis ya?”

Aku mengangguk malu-malu. Kami hanya mengobrol ringan ditemani brunch buatan Kak Yudi, yang enak banget. Nggak salah dia merangkap hampir semua-muanya di Cathapult. Koki iya, kasir kadang-kadang, waiter kalau lagi mood, owner pula.

“Dia menang lomba di kampus Kak Laras.”

“Wuiiih, hebat dong!”

“Enggak….cuman lomba kecil-kecilan…” aku malu karena tiba-tiba harus mengatakan hobiku. Lomba itu kuikuti karena Guru Besar melukisku di sanggar yang mendorongku untuk melombakan proyekku waktu itu.

“Hmm….kok kebetulan gini?”

“Kebetulan apa?” Kak Dilar bertanya.

“Baru aja mau mikir buat nambah dekorasi. Lukisan gitu, yang cocok sama interior dan tema kafe kita.”

“Harus ya?”

“Iyalah! Ini melalui pertimbangan pemilik saham yang cukup umur.”

“Sialan. Pantes aku nggak tahu.”

Berita baru, Kak Dilar bisa mengumpat juga.

“Kalau Rey kami minta bikinin 2-3 lukisan bisa nggak? Yang pakai cat minyak?”

“Ngg….kalau lukisan minyak agak lama biasanya….” Lukisan minyak untuk pemula sepertiku lumayan tricky. Karena warnanya harus ditumpuk sampai membentuk lapisan-lapisan ‘matang’ yang membuat gambar jelas. Baik pulasan kuas dengan teknik lembut atau kasar, lukisan cat minyak pada dasarnya harus menutupi seluruh permukaan kanvas.

“Iya-ya? Kamu juga sekolah. Bakal makin lama. Gimana ya?”

Apa kurekomendasikan Pak Ageng aja? Guru melukisku itu pelukis yang namanya cukup besar di Jogja. Tapi tarifnya….Pak Ageng kan profesional. Aku beruntung diajar beliau karena beliau adalah lulusan SD-ku. Saat itu beliau hanya berkunjung untuk memberi pelajaran singkat, tapi begitu melihatku dan lukisanku, beliau mengangkatku sebagai murid tanpa bayaran tinggi untuk masuk ke sanggar.

Lagipula ini salah satu latihan juga untuk bisa jadi pelukis yang ‘matang’. “Eng….kalau bukan cat minyak gimana?”

Kedua bersaudara itu menatapku. “Mau pakai apa? Pensil warna sama crayon?” Kak Yudi bertanya heran, tapi tanpa nada merendahkan.

“Watercolor pencil atau pakai cat poster bisa lumayan cepet.” Cat air memiliki warna yang soft. Cat poster memiliki keuntungan ketebalan warna mirip cat minyak namun dengan kelembutan cat air. Aku paling suka bereksperimen dengan cat poster kalau sedang ada impuls untuk melukis.

“Boleh juga. Lagian kita juga warna-warna interiornya nggak bold kan?” Kak Yudi menatap Kak Dilar yang menyeringai.

“Ngapain tanya aku? Kan itu keputusan pemegang saham yang cukup umur?”

“Sialan. Balas dendam nih ceritanya?”

Kak Dilar tertawa puas. “Kupikir nggak papa. Aku yakin hasilnya bakal bagus kalau Rey.”

Entah kenapa, perkataannya saat itu membuatku serasa melambung dibanding kalau dia atau orang lain flirting dengan kalimat-kalimat sok manis.

Begitulah. Aku sering datang untuk membuat sketsa. Dan sepanjang proyek itu, Kak Dilar menemaniku. Dan baru belakangan kutahu, sambil memperhatikan dan menjagaku.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Alfazair Dan Alkana
276      224     0     
Romance
Ini hanyalah kisah dari remaja SMA yang suka bilang "Cieee Cieee," kalau lagi ada teman sekelasnya deket. Hanya ada konflik ringan, konflik yang memang pernah terjadi ketika SMA. Alkana tak menyangka, bahwa dirinya akan terjebak didalam sebuah perasaan karena awalnya dia hanya bermain Riddle bersama teman laki-laki dikelasnya. Berawal dari Alkana yang sering kali memberi pertanyaan t...
Layar Surya
1362      843     17     
Romance
Lokasi tersembunyi: panggung auditorium SMA Surya Cendekia di saat musim liburan, atau saat jam bimbel palsu. Pemeran: sejumlah remaja yang berkutat dengan ekspektasi, terutama Soya yang gagal memenuhi janji kepada orang tuanya! Gara-gara ini, Soya dipaksa mengabdikan seluruh waktunya untuk belajar. Namun, Teater Layar Surya justru menculiknya untuk menjadi peserta terakhir demi kuota ikut lomb...
Sherwin
371      250     2     
Romance
Aku mencintaimu kemarin, hari ini, besok, dan selamanya
Pupus
430      289     1     
Short Story
Jika saja bisa, aku tak akan meletakkan hati padamu. Yang pada akhirnya, memupus semua harapku.
Haruskah Ku Mati
52709      5848     65     
Romance
Ini adalah kisah nyata perjalanan cintaku. Sejak kecil aku mengenal lelaki itu. Nama lelaki itu Aim. Tubuhnya tinggi, kurus, kulitnya putih dan wajahnya tampan. Dia sudah menjadi temanku sejak kecil. Diam-diam ternyata dia menyukaiku. Berawal dari cinta masa kecil yang terbawa sampai kami dewasa. Lelaki yang awalnya terlihat pendiam, kaku, gak punya banyak teman, dan cuek. Ternyata seiring berjal...
Story of Love
279      242     0     
Romance
Setiap orang memiliki kisah cintanya masing-masing. Ada perjalanan cinta yang sepahit kopi tanpa gula, pun ada perjalanan cinta yang semanis gula aren. Intinya sama, mereka punya kisah cintanya sendiri. Kalian pun akan mendapatkan kisah cinta kalian sendiri. Seperti Diran yang sudah beberapa kali jatuh tempo untuk memiliki kisah cintanya
Love: Met That Star (석진에게 별이 찾았다)
1488      910     2     
Romance
Kim Na Byul. Perempuan yang berpegang teguh pada kata-kata "Tidak akan pacaran ataupun menikah". Dirinya sudah terlanjur memantapkan hati kalau "cinta" itu hanya sebuah omong kosong belaka. Sudah cukup baginya melihat orang disekitarnya disakiti oleh urusan percintaan. Contohnya ayahnya sendiri yang sering main perempuan, membuat ibunya dan ayahnya berpisah saking depresinya. Belum lagi teman ...
Beautiful Sunset
812      502     3     
Short Story
Cinta dan Persahabatan. Jika kau memiliki keduanya maka keindahan sang mentari di ujung senja pun tak kan mampu menandinginya.
The Killing Pendant
2925      1190     2     
Mystery
Di Grove Ridge University yang bereputasi tinggi dan terkenal ke seluruh penjuru kota Cresthill, tidak ada yang bisa membayangkan bahwa kriminalitas sesepele penyebaran kunci jawaban ujian akan terjadi di kelas angkatan seorang gadis dengan tingkat keingintahuan luar biasa terhadap segala sesuatu di sekitarnya, Ophelia Wood. Ia pun ditugaskan untuk mencari tahu siapa pelaku di balik semua itu, ke...
Kita
693      454     1     
Romance
Tentang aku dan kau yang tak akan pernah menjadi 'kita.' Tentang aku dan kau yang tak ingin aku 'kita-kan.' Dan tentang aku dan kau yang kucoba untuk aku 'kita-kan.'