TERIMA KASIH
Jika kata adalah mantra,
Bisakah aku meminta apapun,
Jika kata tiada arti,
Mengapa kita berbicara,
MISCHA.
Sudah kuptuskan, hari ini, Sabtu, aku akan meminta izin pada orang tuanya. Bukan untuk melamarnya, tetapi izin sepulang sekolah dia aku ajak jalan – jalan, bersama teman- teman. Jadi orang tuanya tidak peru khawatir tentangs anaknya. Maka pagi-pagi sekali aku bangun, mandi dan sarapan. Lalu berangkat, menuju rumahnya. Sebenarnya aku juga tidak tahu rumahnya, Carroline yang memberi tahu jalan menuju rumahnya.
“ Pagi, Om. “ Aku menyapa seoraang bapak yang biasa mengantar dan menjemput Maika. Sepertinya dia adalah papanya, dia sedang membersihkan mobilnya. Aku masih berdiri di luar halaman rumah. Orang itu berhenti dari pekerjaannya, mendongak. Melihatku.
“ Ya. Cari siapa, nak?” Dia berjalan mendekatiku. Membersihkan tangannya yang kotor. Aku mencium tangannya.
“ Orang tuanya, Maika.” Aku masih tersenyum.
“ Saya papanya. Maaf ya, tangan Om kotor.” Dia mempersilahkanku menuju teras rumah.
“ Tidak apa, Om. Saya mau izin kalau nanti Maika akan pulang terlambat.” Kami duduk di kursi teras rumah. Dia hanya menganguk dengan tersenyum.
“ Sepertinya aku tidak pernah melihatmu sebelumnya?” Dia memanggil seseorang dari dalam rumah, memberikan isyarat dengan tangannya. Aku tidak tahu siapa.
“ Saya temannya, Maika. Kami beda kelas, Om.”
“ Jadi nanti Maika pulang terlambat karena...” Nada bicaranya sedikit pelan dan ada senyum di wajahnya.
“ Mischa dan teman-teman mengajaknya jalan-jalan.” Aku menjawabnya dengana senyu canggung.
“ Jadi nama kamu, Mischa?” Dia tertawa.
“ Iya, Om.” Aku ikut tertawa.
“ Teman kamu?” Dia berbicara pada orang yang ada di belakangku. Aku menoleh, melihatnya. Maika. Dia sedang berdiri di belakangku dengan membawa nampan berisi dua cangkir yang mengeluarkan asap. Sudah memakai seragam lengkap tanpa dasi, rambutnya sudah rapi tetapi dia belum memakai sepatu. Hanya senyum kecil di wajahnya, senyum yang dulu. Dia berjalan melewatiku, meletakkan dua cangkir yang mengeluarkan asap di meja kami.
“ Pagi.” Hanya itu yang dia ucapkan padaku, lalu pergi meninggalkan kami.
“ Ayo, di minum. " Papanya Maika mengangkat satu cangkir, menyisakan satu cangkir di meja untuk ku. Teh hangat.
" Om, saya pamit dulu. Mau berangkat sekolah. " Selesai meminum secangkir teh. Aku berpamitan pada orang tuanya.
" Hlo tidak berangkat bersama, Mei-mei ? " Tanya papanya dengan senyum mengembang di wajah.
" Tidak, Om. Nanti Carroline yang jemput Maika. " Aku menjawabnya dengan senyum mengembang di wajahku. Bersalaman dengan papanya, dia hanya mengangguk dan mengantarku sampai keluar pagar rumah.
***
Rasanya lama menunggu bel pulang sekolah berbunyi. Ini pelajaran terakhir, tetapi kenapa belum berakhir. Seakan jarum jam tidak bergerak.
" Dia masih di sana, Mischa. " Darron yang duduk di sebelahku, memukul bahuku ketika aku sedang melihat jam dinding.
" Kenapa dari tadi dia tidak bergerak ? "
Darron tertawa, tetapi segera menutup mulutnya. Dia menarik napas sebentar.
" Kamu itu liat jam setiap lima menit sekali. Bagaimana dia mau bergerak, dia takut sama kamu. " Darron melanjutkan tawanya. Dia segera memalingkan muka, fokus pada buku catatannya.
Aku hanya diam. Tidak sabar menunggu bel berdentang. Tidak lama kemudian bel berdentang. Aku dengan semangat, memasukkan buku pada tasku, merapikan semua benda milikku yang tercemar di atas meja. Darron yang melihatku, keheranan.
" Santai, Mischa. Kita harus jemput Reyna. Baru kita berangkat. " Darron mengingatkanku akan tugas kita. Aku diam sebentar, kemudian menganguk.
Kami berjalan menuju kelas Alfa. Hari ini kami berjanji akan nonton film. Bersama Alfa dan Reyna, Carroline dan Darron, yang terakhir aku dan Maika. Sebenarnya kami juga mengajak Nara, tetapi gadis itu tidak bisa. Ia harus ke bandara menjemput seseorang.
Carroline berjalan santai di belakang kami. Dia tidak marah lagi ketika Darron menyebutkan namanya. Atau ketika Darron berbicara panjang kepadanya. Entah apa yang membuatnya seperti ini. Tetapi seingatku sejak mereka bersama, aku tidak pernah melihat mereka benar-benar bersama ketika di sekolah. Mereka seperti orang yang tidak memiliki hubungan ketika di sekolah tetapi ketika mereka keluar. Mereka adalah teman yang saling berbagi rasa.
Dan hari ini aku ingin melakukannya. Melakukan apa yang seharusnya ku lakukan. Carroline berjalan mendahului kami, dia berjalan cepat menuju Maika dan Alfa.
" Ada apa ? " Darron yang tanya.
" Kalian beli makanan buat kami. Kami akan izin pada orang tua Reyna. "
" Kami ? " Aku menunjuk diriku dan Darron. Maika menganguk. Memberi isyarat pada kami untuk segera pergi.
Aku dan Darron segera pergi, berjalan menuju parkiran motor. Menuju mini marketing terdekat. Mencari makanan untuk kami selama nonton film. Tidak lupa kami berganti pakaian di SPBU.
***
MAIKA
" Bu, kami mau izin ajak Reyna jalan. " Alfa yang lebih dulu berbicara pada Guru Bahasa Indonesia kami, dia adalah Ibu dari Reyna. Kami sedang berada di ruangannya. Tadi pagi Alfa sudah sempat ke rumahnya meminta izin tetapi kali ini aku dan Carroline juga ikut meminta izin.
" Reyna akan baik-baik saja bersama kami. " Kali ini Carroline yang bersuara. Guru Bahasa Indonesia kami tersenyum, menganguk.
" Terima kasih, Bu. " Aku bersalaman padanya.
" Ibu titip Reyna pada kalian. " Beliau memeluk kami satu persatu. Kebiasaannya sejak dulu ketika kami bertemu dengannya.
Kami berjalan menuju parkiran, menuju mobil Carroline. Kami akan menjemput Reyna di sekolahnya.
" Di mana ? " Mischa meneleponku, begitu aku angkat dia langsung bicara.
" Masih di sekolah. Kami akan jemput Reyna. " Di sebelahku Carroline memberi isyarat. Aku segera mengerti.
" Kalian duluan dan jangan lupa pesan satu ruangan buat kami. Mungkin kami akan sedikit lama. " Carroline mengangguk, memberikan ibu jarinya padaku. Alfa yang duduk di depan tersenyum melihat kami. Dia bersiap mengemudikan mobil Carroline. Selesai mengatakannya aku menutup telpon.
" Bagus, Maika. " Carroline memelukku.
" Bisa tidak kalian tidak seperti itu. Aku sudah terlihat seperti sopir. " Alfa yang sedang mengemudi di depan protes ketika kami sedang berpelukan. Membuat kami tertawa lalu melepaskan pelukan.
" Apa kalian tidak pernah bertemu sebelumnya ? " Alfa kembali bersuara ketika kami sudah lagi tidak tertawa dan berpelukan.
" Sering. Tetapi kami sudah lama tidak jalan - jalan bersama. " Carroline yang menjelaskan.
" Maika, bagaimana perasaanmu punya teman seperti Carroline ? " Alfa kembali bersuara. Tetapi matanya tetap fokus menatap jalanan.
" Apa maksud pertanyaanmu, Alfa ? " Carroline kembali protes dengan pertanyaan Alfa. Kini aku dan Alfa yang tertawa.
" Aku hanya ingin tahu, bagaimana bisa gadis sekeras kamu bisa memiliki teman yang lembut seperti Maika dan Reyna. " Alfa menjelaskan setelah tawanya reda.
" Carroline tidak sekeras ini. Dia hanya memberi batas. Sama seperti aku dan Reyna. " Aku yang bersuara. Carroline tidak seperti yang mereka pikirkan, dia sama sepertiku. Alfa mengangguk. Membuat Carroline tersenyum dan melihatku.
" Bagaimana rasanya bisa jalan-jalan lagi bersama ? "
" Senang. Akhirnya bisa jalan bersama mereka lagi. " Aku tersenyum mendengar jawaban Carroline.
" Apa yang membuat kalian jarang bertemu ? Bukankah kalian masih bisa berkomunikasi lewat telpon. "
" Kami sibuk buat mimpi - mimpi kami. Kalaupun lewat telpon akan sulit karena kami lebih suka bercerita secara langsung."
" Mimpi ? " Alfa bersuara pelan tetapi kami masih bisa mendengar nya.
" Ya, mimpi masing-masing. " Aku hanya mengangguk, ketika Carroline bersuara.
" Kalian mewujudkan impian kalian, meski tidak bisa bertemu dengan teman ? "
" Tanpa bicara kami tahu satu sama lain. "
" Tetapi dari dulu ini yang aku rindu dari Mei-mei dan Reyna. "
" Kalian tahu keadaan masing-masing tanpa bercerita ? "
" Iya. " Aku dan Carroline saling menatap mata, dengan bibir tersenyum. Sebenarnya ini juga yang ku rindu dari Carroline dan Reyna. Menghabiskan waktu bersama, bukan hanya komunikasi lewat telpon. Sudah lama kami tidak menghabiskan waktu bersama.
" Ayo... " Carroline semangat membuka pintu mobil. Kami turun, mengikutinya. Berjalan menuju gerbang sekolah Reyna. Menunggunya.
" Reyna. " Alfa yang lebih dulu menemukan gadis berambut panjang sedang duduk di kursi roda. Kami segera masuk, membantunya.
" Hai... Oline. " Reyna melambaikan tangannya. Carroline datang memeluknya.
" Sudah lama aku tidak bertemu denganmu. Kamu masih sama. " Reyna membalas pelukan Carroline. Mereka tertawa.
" Aku rindu, Reyna. " Carroline melepaskan pelukannya. Alfa yang sudah bersiap mendorong kursi roda Reyna, hanya bisa tersenyum dan menggelengkan kepala.
" Ayo. Kasihan Mischa sama Darron kalau nunggu lama. " Kami berjalan di sebelah Reyna. Melewati siswa lain yang sedang memakai kursi roda, atau menghindari mereka yang memakai tongkat. Sekolah ini memang berbeda dari sekolah kami.
Alfa menggendong Reyna, mendudukkannya pada kursi belakang bersama Caroline yang sudah duduk di sebelah Reyna. Dia yang mengatur posisi duduk Reyna. Aku melipat kursi roda Reyna, memasukkannya pada bagasi belakang. Lalu duduk di depan bersama Alfa yang memegang kemudi mobil.
" Sudah tidak terlihat seperti sopir kan, Fa ? " Carroline bersuara setelah memastikan Reyna duduk dengan nyaman. Membuat kami segera tertawa. Alfa menggelengkan kepala.
" Kenapa ? " Reyna tidak tahu.
" Tadi dia protes waktu kita duduk di belakang. Katanya, dia terlihat seperti sopir. " Kali ini Reyna yang tertawa, membuat kami ikut tertawa.
***
Mischa dan Darron sudah menunggu kami di depan gedung berlantai tiga. Banyak hiasan kecil di dinding. Dari tembok parkiran hingga ke atap. Tempat ini tidak terlalu terkenal. Tetapi kami suka karena di sini kami bisa memilih film apa yang akan kami tonton. Tersedia banyak film dan ruangan. Alfa menghentikan mobil tepat di depan gedung. Aku segera keluar, mengambil kursi roda Reyna. Menyiapkannya. Alfa kembali menggendong Reyna. Aku dan Carroline yang bertugas membuat Reyna duduk nyaman di kursi rodanya. Kami mendorong kursi roda Reyna menuju pintu masuk. Alfa mencari tempat parkir.
" Hai, aku Reyna. " Reyna menyapa Mischa dan Darron.
" Darron. " Mereka bersalaman. Reyna melihat aku dan Carroline bergantian.
" Oline. " Aku yang bersuara tersenyum, Carroline yang berdiri di sebelahku ikut tersenyum dan mengangguk.
" Mischa. " Kali ini giliran Mischa yang bersalaman.
" Mei-mei. " Carroline menjawab cepat, membuat aku dan Reyna tertawa.
Darron dan Mischa hanya bisa tersenyum.
" Dasar. " Mischa bersuara pelan.
" Apa ? " Sepertinya dia lupa kalau Carroline memiliki pendengaran yang baik.
" Tidak ada. " Darron segera menggelengkan kepala.
" Alfa. " Mischa memanggil Alfa yang sedang mencari kami. Dia menganguk dan berjalan ke arah kami.
Kami berjalan memasuki gedung berlantai tiga. Alfa yang berhak di depan, dia mendorong kursi roda Reyna. Di belakang nya Darron dan Carroline sedang asyik berbincang. Tidak seperti ketika di sekolah, mereka seperti tidak saling kenal. Di luar sekolah mereka sangat akrab, hampir tahu satu sama lain tanpa bicara. Carroline mengerti maksud Darron hanya dengan melihat matanya. Aku dan Mischa, kami di belakang.
" Mei-mei, bolehkah aku memanggilmu dengan panggilan itu ? " Mischa bersuara ketika kami sedang melewati dinding dengan lukisan seorang gadis yang sedang duduk di pinggir danau. Di sini ada banyak karya seni. Ketika memasuki gedung ini kita akan disambut oleh lukisan Singa. Lukisan ini sangat besar, hanya ada gambar singa yang sedang mengaum, seakan dia berteriak. Jika kita berfoto di depannya akan terlihat seperti singa yang sedang mengincar mangsanya. Berjalan ke dam aakna membuat kita semakin banyak melihat lukisan dan patung.
" Ya ? " Aku menoleh melihat Mischa yang sedang melihatku.
" Mei-mei ? " Dia tersenyum.
" Hanya orang-orang yang dekat denganku yang memanggilku dengan panggilan Mei-mei. " Aku kembali menikmati apa yang ada. Kembali melihat lukisan dan patung. Ada lukisan dua orang penari, seorang penari laki-laki sedang memegang pinggang penari perempuan supaya tidak jatuh. Dengan gaun panjang dan lebar penari perempuan itu tengah melompat, berada di atas penari laki-laki, sedikit lebih tinggi.
" Jadi apakah aku boleh... " Nada bicara Mischa menggantung. Aku kembali melihatnya, menganguk dan tersenyum.
Kami kembali berjalan menuju ruangan yang sudah kami pesan. Di sini adalah gedung bioskop mini. Hanya ada tiga lantai. Lantai satu dan dua untuk mereka yang ingin menonton film dengan teman. Lantai tiga untuk mereka yang ingin menonton sendirian, menikmati ruang sendiri. Di sini tidak ada lift, hanya ada anak tangga dengan banyak lukisan di lantai. Karena itu Carroline sudah mengingatkan kami untuk mencari ruang di lantai satu. Di setiap ruang hanya dibatasi dinding kaca yang dapat dilihat dari luar tetapi kita tidak bisa melihat apa yang ada di luar. Ada enam ruangan di lantai satu dan dua. Di lantai tiga ada sepuluh ruangan dengan kapasitas satu ruang untuk satu orang.
" Sejak kapan kamu berteman dengan Carroline ? " Mischa kembali bersuara.
" Sejak kecil, dulu kami satu sekolah. Aku, Oline dan Reyna. " Aku menjawabnya ketika kami sedang berada di depan lukisan, lukisan itu bergambar tiga anak perempuan sedang berpelukan dengan latar gunung dan danau. Sepertinya mereka sedang menikmati pemandangan.
" Sejak kapan kalian berpisah ? "
" Kami berpisah sejak Oline pindah rumah. Tetapi setahun sekali kami bertemu, ketika libur hari raya. "
" Carroline tidak pernah cerita. " Mischa berjalan sedikit cepat, mereka sudah ada di depan. Aku mengikutinya.
" Kamu tidak pernah bertanya. " Aku bersuara ketika melihat lukisan abstrak, ada banyak warna yang di tuangkan oleh pelukis pada kanvasnya. Membuat Mischa menoleh dan tertawa.
" Kamu bisa bercanda ? "
Aku menjawab dengan senyuman dan anggukan kepala.
" Kenapa ketika bersama Alfa kamu selalu diam ? "
" Kapan ? "
" Ketika makan di kantin. "
Aku hanya tersenyum. Kami sedang melewati ruangan, terlihat empat perempuan yang di dalam. Mereka tengah menangis sesenggukan.
" Menurutmu apa yang mereka tonton ? " Aku reflek bertanya pada Mischa ketika melihat mereka menangis.
" Film kesedihan. " Mischa berhenti sebentar untuk memperhatikan mereka.
" Mungkin. " Aku berjalan sedikit cepat.
" Kok mungkin ? "
" Bisa jadi mereka menonton film kebahagiaan. "
" Kan mereka menangis ?"
" Karena menangis belum tentu kesedihan, bisa jadi kebahagiaan yang tidak terduga. "
" Seperti apa kebahagian tidak terduga ?"
" Yang tidak kamu bayangkan sebelumnya. "
" Seperti kamu yang terlihat dingin, tetapi sebenarnya periang. "
" Maksud kamu ? "
" Carroline seorang periang. Kalian teman dekat, pasti kalian memiliki sedikit sifat yang sama."
" Berarti kamu kaya Alfa ?"
" Hmm... Mungkin saja. Tetapi bukankah kita adalah refleksi dari lima orang terdekat kita ? " Mischa mengatakannya ketika kami sedang melihat lukisan dengan banyak wajah dan ekspresi.
" Dalam artian, dekat secara jiwa bukan raga ? " Mischa mengangguk, kami berjalan.
Melewati ruangan dengan enam perempuan, mereka sedang tertawa, meski kami tidak bisa mendengar suaranya. Gadis berambut pirang yang ada di dalam sedang memegangi perut, gadis dengan baju berwarna hitam yang duduk di sebelahnya sedang menahan tawa sisanya sudah tertawa.
" Apa yang mereka tonton ? " Mischa kembali bersuara, membuatku berhenti. Melihat apa yang sedang mereka lakukan. Tidak lama kemudian aku dan Mischa saling pandang.
" Menertawakan kebodohan yang dilakukan karena bosan. " Aku yang bersuara lebih dulu. Mischa menganguk setuju dengan apa yang aku katakan.
" Ayo... " Alfa memanggil kami, kami segera berkumpul. Darron mengeluarkan kartu berwarna biru lalu meletakkannya pada sensor yang ada di pintu. Membuat pintu segera terbuka.
" Silahkan... " Carroline berjalan cepat, masuk. Memberi sambutan pada kami. Ruangan ini berukuran tujuh meter kali lima meter. Dengan dinding depan terbuat dari kaca. Pada dinding inilah kami menonton film. Tetapi dari dalam kami tidak bisa melihat siapa yang sedang melihat kami, hanya film yang bisa kami lihat. Dinding kanan kiri berupa dinding dari bata merah. Ruangan ini kedap suara. Dengan karpet tebal berwarna kecoklatan, sofa besar yang bisa diatur dan meja berukuran sedang berada di tengah ruangan, yang berisi makanan yang tadi sudah di beli Mischa dan Darron. Kami melepas sepatu, meletakkan pada rak yang sudah di sediakan di pojok ruangan. Di sebelah rak ada gantungan baju, tempat untuk menggantungkan tas atau jaket. Di dalam ruangan ini tidak ada lukisan, hanya dinding yang berwarna putih. Dinding ini akan berubah sesuai pengaturan Ruangan. Ruangan ini memiliki pengaturan, sesuai apa yang kita inginkan. Seperti ketika musim salju, salju akan turun dari atap. Musim dingin, akan ada hembusan angin. Musim hujan, bahkan bisa ada petir. Musim gugur, musim semi, musim panas. Atau hanya ingin menyalakan AC.
" AC saja. " Alfa yang bersuara, ketika melihat Darron sedang mengotak atik pengaturan ruangan. Alfa mendudukkan Reyna pada sofa, aku dan Carroline mencoba mencarikannyaa posisi duduk yang nyaman. Kami memutuskan untuk duduk di samping kanan kiri Reyna. Menggeser sofa bagian bawah tempat untuk Darron, Mischa dan Alfa.
Darron duduk di depan Carroline, sebelah kiri Reyna. Alfa aduduk di depan Reyna, dia menutupi rok sekolah Reyna dengan jaketnya. Mischa duduk di depanku, sebelah kanan Reyna.
" Ini. Terima kasih. " Aku mengeluarkan jaket Mischa dari dalam tasku. Mengembalikan padanya. Mischa yang duduk di depanku, mendongak. Melihatku.
" Sudah ku bilang bawa saja, itu untukmu. " Dia menolaknya, matanya kembali fokus pada layar. Memperhatikan apa yang sedang dilakukan Darron. Darron sedang memilih film untuk kami tonton.
" Jangan mau, Mei-mei. Itu jaket sudah lama. Minta saja yang baru. " Carroline bersuara ketika melihat kami sedang berbincang masalah jaket. Dia dengan santai mengambil makanan yang sedang dibuka Darron. Membuat Darron mencubit pipinya. Membuat Carroline memukul tangan Darron.
" Dasar. " Darron ikut mengambil makanan dari tangan Carroline. Alfa dan Reyna tertawa.
" Apa kalian seperti ini ketika di sekolah ? " Reyna menggeleng ketika Alfa menawari makanan kepadanya.
" Tidak. " Darron bersuara.
" Kenapa ? "
" Kamu tahu seberapa keras kepalanya Carroline. " Darron tidak lagi makan. Dia kembali melihat layar. Terlihat pantai dengan gelombang besar. Suaranya bergemuruh, langit sudah mulai gelap. Aku dan Reyna hanya menganguk.
" Jangankan seperti ini, menyebut namanya di sekolah saja dia tidak pernah. " Alfa yang bersuara, dia mengambil makanan.
" Memangnya kenapa ? " Reyna masih penasaran.
" Siapa yang mau memiliki pacar seorang Darron, cowok paling keras kepala di sekolah. " Mischa ikut berkomentar, dengan senyum jail dia membalas tatapan mata Darron. Darron melempar makanannya pada Mischa.
" Lalu bagaimana dengan seorang Mischa ?" Darron bertanya padaku.
" Apa ? " Aku yang sedang melihat nya tengah menunggu jawaban dariku. Membuatku tidak bisa berpikir, selain mengucapkan kata tersebut.
" Bagaimana kabar kalian ? " Carrolen yang bersuara.
" Kami baik-baik saja. "
" Yakin ? " Kali ini Alfa kembali ikut berkomentar.
" Ada apa dengan Mei-mei ? " Reyna bertanya, kedua tangannya memegang erat tangan kananku.
" Seperti dulu, dia lebih memilih dua temannya daripada keinginannya. " Carroline ikut memegang tanganku.
" Aku tidak bermaksud seperti itu. " Aku mengatakannya ketika Mischa sedang melihatku. Seakan meminta penjelasan atas sajak yang pernah aku kirim u timnya. Dan sejak saat itu kami tidak lagi berkirim sajak.
" Lalu ? " Reyna masih penasaran.
" Aku tidak mau... Aku tidak mau mengganggu siapapun. "
" Kamu tidak pernah mengganggu ku. " Mischa menatap lembut mataku. Aku hanya bisa menunduk. Tiba-tiba Carroline dan Reyna memelukku.
" Kamu berhak bahagia Mei-mei. " Reyna bersuara.
" Sudah waktunya kamu bersenang-senang. " Kali ini Carroline yang bersuara. Aku hanya bisa menganguk dalam pelukan mereka.
" Sudahlah. Ini waktunya untuk bersenang-senang. " Alfa mengatakannya ketika terdengar suara Reyna sesegukan. Membuat kami melepas pelukan. Membiarkan Reyna sedikit tenang.
" Aku bahagia sekali, bisa bertemu kembali dengan kalian. " Reyna menerima tissue dari Alfa. Mengusam air matanya yang sudah jatuh ke pipi. Aku dan Carroline hanya bisa tersenyum dan mengangguk.
***
MISCHA
" Terima kasih, Om. Lain kali saya akan sering main ke sini. " Aku bersalaman dengan papanya Maika. Kami tengah berada di rumah Maika. Berpamitan untuk segera pulang.
Selesai menonton film kami langsung pulang. Tidak sempat mencari makan karena kami tadi makan malam dmsamabil menonton film. Tadi aku dan Darron yang bertugas mencari makanan untuk kami ketika menonton film. Alfa, Carroline dan Maika bertugas meminta izin pada orang tua Reyna dan menjemput nya di sekolah.
Sebenarnya tadi pagi Alfa sudah meminta izin pada orang tua Reyna. Sama seperti apa yang aku lakukan pada orang tua Maika, meminta izin. Tetapi tadi pagi ketika Alfa datang meminta izin, orang tuanya sedikit ragu. Mereka tahu anak gadisnya sedang didekati cowok paling jago ngerayu satu sekolah. Bagaimana orang tua Reyna tidak tahu, sedang Ibu dari Reyna adalah Guru Bahasa Indonesia di sekolah kami. Tentu saja beliau mengenal baik siswanya. Apa lagi mereka yang suka mencari masalah, serti Alfa. Yang tidak pernah mau memasuki perpustakaan sekolah karena trauma. Karena Carroline dan Maika sudah lama mengenal Reyna, mereka membantu Alfa untuk kembali meminta izin pada orang tua Reyna. Ketiak pulang pun kami mengantarnya sampai rumah.
" Terima kasih, Bu. Sudah memberikan izin pada kami untuk mengajak Reyna jalan-jalan. "
Guru Bahasa Indonesia kami yang biasanya terlihat tegas ketika di sekolah. Kini beliau terlihat bahagia ketika mengetahui anak gadisnya sudah pulang. Meski ini belum terlalu larut malam. Dia hanya bisa menganguk dan tersenyum ketika Alfa mengucapkan terima kasih. Kami bersalaman dengan beliau, berpamitan untuk segera pulang.
Kemudian kami berpisah dah ke rumah Maika. Juga berpamitan pada orang tuanya.
" Iya, nak. Kami tunggu. " Papanya Maika tersenyum ketika kami bersalaman, pamit pulang. Aku pulang bersama Alfa. Darron masih harus mengantar Carroline pulang. Karena rumah kami memang tidak searah. Lagipula orang tua Carroline juga sudah memberi izin pada Carroline dan Darron jika mereka akan keluar atau hanya sekedar jalan bersama.
Aku sampai kamar kost langsung mandi. Segera berganti pakaian. Aku mengambil ponselku. Merebahkan diri pada kasur.
" Halo... Selamat malam. " Pada dering pertama pemilik nomor ponsel yang aku tuju mengangkatnya. Tidak perlu menunggu lama.
" Malam. Ada apa ? " Suara Maika dari seberang.
" Tidak ada. Hanya ingin berbincang denganmu. "
" Tentang apa ?" Aku menatap langit malam dari kaca jendela yang belum aku tutup tirainya. Masih aku biarkan terbuka bersama jendelanya. Membiarkan angin malam berhembus. Membetikanju sedikit ketenangan. Langit malam tak berbintang, hanya ada beberapa bintang saja, sisanya hitam.
" Aku tahu masalahmu dengan Nadine dan Nando. Kali memang Meraka tidak suka dengan hubungan kita. Aku hanya bisa memintamu satu hal. "
" Apa ? "
" Tolong anggap aku ada. Jangan sampai kau tidak peduli padaku seperti dulu. "
" Maafkan aku. Aku tidak tahu, kamu akan benci jika aku tidak peduli padamu. "
" Aku juga aminta maaf jika posisiku membuatmu sulit. "
" Kamu tidak pernah membuatku sulit. Mungkin aku yang sedikit ceroboh. "
" Terima kasih sudah kembali peduli padaku. "
" Terima kasih sudah memaafkan ku. "
" Mau sampai kapan kita hanya berbincang tentang maaf dan terima kasih. "
Aku mendengar Maika tengah tertawa. Ini baru pertama kali aku mendengarnya tertawa karena aku. Selama aku mengenalnya aku tidak pernah melihatnya tertawa, hanya tersenyum. Itupun kepada siapaoun dia akan melakukannya. Aku tidak tahu apa yang membuatnya selalu bisa tersenyum dan dia jarang sekali marah. Bahkan aku belum pernah melihatnya berteriak. Tetapi dia tidak pernah berekspresi, wajahnya datar. Ketika pertama kali aku melihatnya, aku kagum padanya. Bagaimana mungkin seorang gadis bisa sedingin dia. Dia tidak peduli pada orang yang memperhatikan nya, dia hanya peduli pada orang orang terdekatnya. Yang mereka memang mengenal Maika. Sisanya Maika tidak pernah peduli. Hanaya matanya yang bisa menunjukkan ketika dia sedang marah. Aku pernah melihatnya sekali, ketika aku meminta penjelasan tentang alasannya mengirim sajak kesedihan kepadaku. Dia marah ketika aku mendesak nya untuk memberitahu kan alasannya. Ketika aku menghadangnya. Setelah itu aku tidak pernah melihatnya marah. Tetapi aku sering melihatnya tidak peduli pada apa yang orang lain lakukan di sekitarnya. Mungkin dia egois, tetapi dia peduli pada Yaang dia kenal. Aku hanya bisa berharap dia tidak lagi menganggap ku tidak ada. Aku masih rindu pada Maika yang dulu. Maika yang masih bisa tersenyum dan aku masih bisa melihat dari jauh.
" Halo... Mischa. " Maika bersuara, menyadarkan dari lamunan.
" Iya. Mei-mei. "
" Hah.. ohh iya gak apa apa. Kenapa kamu diam saja ? "
" Tidak apa apa. Aku hanya sedang menikmati langit malam. "
" Dari jendela kamarku aku hanya abisa melihat satu bintang dan satu bulan."
" Sama. Dari kamarku juga hanya ada satu bintang dan satu bulan. "
" Bukankah langit kita sama ? "
" Iya. Bumi hanya memiliki langit yang sama. Kamu sedang tidak berada di belahan bumi Utara ? "
" Tidak. Aku sedang menatap langit malam, sama sepertimu. Hanya di rumah yang berbeda. "
" Langit malam bersih,
Hanya menyisakan bulan.
Dia tidak sendiri,
Juga tidak utuh,
Setengah dari dirinya sedang hilang
Bukan hilang tetapi pergi
Mungkin suatu saat akan kembali
Entah kapan, tetapi dia akan kembali. " Aku mengatakan apa yang sedang aku pikirkan. Meski aku mengatakannya tidak lancar, terputus putus. Maika tidak bersuara. Tidak ada yang bersuara, aku sedang menatap langit malam. Mencoba mencari bintang.
" Dia hanya pergi, tidak menghilang
Akan kembali, meski tak tahu kapan
Bukan setengah yang dia bawa
Bisa saja dia mengambil semuanya
Tanpa sisa, tetapi dia sedang baik
Mengambil setengahnya
Supaya tidak membuat pemiliknya kehilangan
Kehilangan seluruh jiwanya, tetapi Hanya separuh jiwa
Separuh jiwa yang pergi
Mengembara jauh untuk kembali
Kembali ke tempatnya " Maika membalas sajakku. Dia berbicara dengan santai tidak terputus-putus. Juga tidak terlalu lambat.
" Selamat malam, Mei-mei. "
" Malam, Mischa. "
" Mimpi indah. "
" Kamu juga mimpi indah. "
Aku menutup teleponku. Senyum masih mengambang pada wajahku. Aku masih ingat rasanya ketika tadi pagi aku meminta izin pada orang tua Maika, mengirimkan sajak padanya. Juga ketika kami menikmati perbincangan saat menonton film.
***
MAIKA
Lima bulan yang lalu.
" Dimana Nadine ? " Aku bersandar pada gazebo, tidak sampai duduk. Lelah rasanya, aku sudah berjalan cepat dari kantin ke sini. Nafasku tersengal-sengal. Di gazebo hanya ada Nara. Dia sedang memijat kepalanya, di atas meja, mukanya sedang sedih. Aku tidak tahu apa yang dipikirkannya. Dia masih menunduk, mungkin tidak mendengar suaraku.
" Nara.. " Aku duduk di sebelahnya. Dia mendongak, memelukku.
" Ada apa ? " Aku hanya bisa membalas pelukannya. Kami saling diam tidak ada yang bersuara.
" Aku rindu kita yang dulu. " Aku hanya bisa diam. Tidak mengerti maksudnya. Nara melepas pelukannya.
" Aku tidak tahu, tapi rasanya ada yang aneh dengan diriku. " Aku mulai bercerita pada Nara. Kami duduk saling berhadapan.
" Aku tahu. " Nara sedikit sedih mengatakannya.
" Apa ? " Aku sendiri tidak tahu lalu bagaimana Nara bisa tahu. Aku menatapnya, berharap dia mau menjelaskan kepadaku. Nara tidak menjawab, dia masih diam. Menunduk.
" Yang ku tahu, Maika. Apapun yang terjadi tolong... Pertahankan persahabatan kita. Kalau memang tidak bisa juga tidak apa-apa. " Nara menjelaskan dengan serius. Aku diam. Sekali lagi tidak mengerti maksudnya.
" Aku tidak mengerti maksudmu, Nara ? Tetapi aku berjanji akan mempertahankan persahabatan kita. "
Nara hanya menganguk. Kami kembali saling diam.
" Sebenarnya apa yang terjadi ? Adakah yang salah dengan ku kepada kalian ? " Aku kembali bersuara, rasanya ada yang sedang Nara sembunyikan dari diriku. Nara mendongak, melihatku. Sekali lagi dia memelukku.
" Aku sayang kamu, Maika. "
" Aku sayang kamu, Nara. "
Nara melepaskan pelukannya. Dia mencoba menghembuskan nafas panjang. Sepertinya dia akan bercerita kepadaku.
" Nadine. Dia suka iri ketika lihat kamu makan siang sama Alfa dan temannya. Dia tidak suka itu. " Aku mengangguk.
" Kenapa ? "
" Dia suka sama temannya Alfa. Yang dulu dia stalking, temennya Carroline. "
" Maksudmu Mischa ? " Nara menganguk.
" Nando suka sama kamu. Dan mereka tidak suka ketika kalian makan siang bersama. "
" Kami hanya makan siang bersama, tidak lebih. "
" Aku tidak tahu. Tetapi mereka tidak suka akan hal itu. " Aku hanya bisa mengangguk, mencoba mengerti.
" Aku akan mencoba jaga jarak dengan mereka. " Hanya itu yang bisa ku ucapkan.
" Semoga mereka mengerti jika kamu melakukan demi mereka. " Aku hanya mengangguk. Kami kembali ke kelas. Sebentar lagi jam pelajaran berikutnya akan di mulai.
Ada tekad bulat di diriku. Untuk tetap mempertahankan persahabatan kami. Aku masih mengingat nya ketika aku berjanji pada Nara. Jika ini baik untuk ku dan Nara aku mau melakukannya. Kembali berteman dengan siapaun. Tidak lagi peduli pada mereka yang membenciku ataupun iri padaku.
Mungkin aku sedikit egois, tetapi bukankah setiap orang memiliki bahagianya masing masing. Memiliki rasa suka dan tidak suka. Saat ini aku tidak tahu benar rasa apa yang sedang aku rasakan. Yang aku tahu, aku hanya suka ketika melihat Mischa tertawa. Ketika melihatnya sedang bermain basket bersama Darron dan teman-teman nya. Ketika melihatnya seakan aku sedang menonton film. Mungkin aku akan menjauh darinya tetapi bukankan hati akan sulit berbohong. Sedikit jarak akan baik untuk kami.
***
MAIKA
Ini adalah awal untuk segalanya. Aku tidak tahu apakah ini baik atau tidak. Tetapi aku sudah berusaha yang terbaik. Melakukan apa yang bisa aku selamatkan dari persahabatan ku. Mungkin Nadine dan Nando pergi. Tetapi aku sudah tahu rasanya. Mengerti bagaimana sahabat peduli dan tidak padaku. Mengerti mereka tanpa harus saling bicara. Aku sedang belajar itu. Belajar memahami dari sudut pandangan yang berbeda. Maaf kan aku Nando dan Nadine. Mungkin kita memang belum bertemu sebagai teman, kita hanya bertemu untuk saling kenal, tidak lebih. Ku harap suatu saat kau menemukan apa yang kau cari, entah itu rada atau yang lainnya. Kaca yang saling mengingatkan. Sekali lagi maaf. Dan terima kasih Mischa kau telah membuatku merasakan rasa yang baru, rasa yang belum pernah aku coba sebelumnya. Rasa yang hanya aku tahu dari cerita mereka. Tanpa pernah aku benar-benar merasa lainnya. Terima kasih.
***
MISCHA
Aku masih ingat bagaimana rasanya ketika tadi pagi aku mengirim pesan untuknya. Sudah lama aku tidak melakukannya.
***
Ada yang harus aku selesaikan hari ini. Mungkin ini bukan Hari Senin, Hari Sabtu. Sabtu pagi. Kebiasaanku setiap hari Senin. Ku ulangi lagi pagi ini. Ketika aku sedang mematut diri di depan cermin kamarku.
Awal bukan kunci segalanya,tetap saja hal baik untuk yang baik.
Memberikan rasa sedikit lebih tenang untukku. Aku masih mematut diri di depan cermin, sekali lagi memastikan semua sudah rapi dan pada tempatnya. Menghembuskan napas panjang setelah beberapa detik yang lalu aku menahannya. Mengambil ponsel dan membaca sajak yang kemarin kutulis untuknya. Lalu pagi ini sajak ini ku kirim untuknya. Send.
To : Maika. 05.00
Jika kata adalah mantra,
Bisakah aku meminta apapun,
Jika kata tiada arti,
Mengapa kita berbicara,
Ada yang lebih perasa dari mulut dan mata
Ada yang lebih indah dari kata
Ada yang mengerti tanpa harus bicara
Untukmu, mungkin bukan hanya kamu tetapi kita
Selesai melakukannya, ku masukkan ponselku pada kantong jaket. Sudah hampir satu minggu ini aku memakai jaket yang berbeda dari biasanya. Jaket yang biasa ku pakai masih dibawa Maika. Aku yang memintanya untuk tidak dikembalikan. Kalaupun tidak dikembalikan juga tidak apa. Aku senang akan hal itu.