Loading...
Logo TinLit
Read Story - Meta(for)Mosis
MENU
About Us  

Masa ujian telah usai, sebentar lagi pengumuman. Aku sangat yakin aku akan lulus, tapi Rana sedikit gelisah. Ada satu mata pelajaran yang dia sedikit ragu, tidak yakin dan tidak percaya diri akan nilai akhir. Beberapa hari setelah ujian, dia sering merenung bahkan mengurung diri di kamar. Sesekali Rana keluar kamar, tapi tidak mau bertemu dengan siapapun. Dia keluar kamar hanya untuk berenang dan jarang makan. Apakah ada permasalahan dengan mantannya? Kukira setelah cerita dengan simbok kemarin, Rana sudah lega. Aku tahu, hatinya sangat sensitif, mudah sekali tersinggung. Hal ini pun yang membuat Rana sangat mudah iba dengan orang lain. Sayang sekali Rana tidak mau menceritakan masalahnya padaku. Jika aku bertanya pada simbok pun, pasti simbok tidak akan menjawabnya. Simbok pasti merahasiakan dari siapapun.

Sehari, dua hari, Rana masih bersikap dingin padaku. Tatapannya sedikit layu dan tidak bersemangat. Padahal sebentar lagi pengumuman kelulusan, apa masalahnya? Aku masih sabar dan biasa saja dengan sikap Rana. Sejak tidak ke sekolah, aku jarang bersama Rana. Mungkin saja hal itu yang membuat dia tidak bisa menceritakan masalahnya, atau dia menulis di buku hariannya? Ah, jika menulis pun aku tidak bisa membacanya. Rana selalu menulis buku harian dengan menggunakan aksara Jawa, aku tak pandai membaca huruf seperti itu. Apa aku harus menghafalkan aksara Jawa dahulu, sebelum membaca buku harian Rana? Itu si buang-buang waktu. Terkadang pula, ia hanya mencorat-coret buku harian, untuk meluapkan kesedihannya. Aku hanya takut, jika ia menguburnya terlalu lama, akan menjadi bom untuk dirinya sendiri. Akan meledak pada siapapun yang menyenggolnya.

Aku sudah tidak tahan lagi dengan sikap Rana yang mendiamkanku beberapa hari ini. Setelah minta wejangan pada Simbok, untuk merayu hati Rana. Aku putuskan untuk memberanikan diri ke rumah Rana, seorang diri. Tak lupa, aku membawakan es cincau dan siomay kesukaan Rana.

Tiba di rumah Rana, aku mengetuk pintu dan dibukakan oleh bibi. Aku berniat langsung menuju kamar Rana. Aku berjalan perlahan, dan melihat sekeliling. Tiba-tiba aku melihat seseorang sedang duduk menyendiri di ruangan penuh dengan buku. Ternyata dia sedang membaca buku, di perpustakaan pribadinya. Kupanggil lirih, “Rana… Na, Rana..”

“Eh, Meta. Tumben kamu ke rumahku, ada apa?” katanya dengan sedikit senyum.

“Nggak papa. Aku udah lama nggak ngobrol sama kamu setelah kita ujian. Bahkan liburan seperti ini pun, kita jarang ketemu. Kamu kemana aja si Na? kamu baik-baik aja kan?” kataku sambil mendekat pada Rana yang ternyata sedang mencorat-coret kertas. Tapi ia menutupnya ketika aku memanggil tadi. Entah, apa yang ditulis Rana.

“Aku baik dan sangat baik. Ini aku sedang menulis.”

“Ada masalah? Kok kamu jadi pendiam?”

“Tidak ada Ta. Aku hanya sedang memikirkan masa depanku. Aku ingin mengubah diriku menjadi lebih baik lagi. Kamu tahu kan, aku orangnya cerewet sekali. Apalagi kalau sama orang yang menyebalkan. Rasanya aku pengen ngomel di depan mukanya. Makanya, aku pengen terbiasa diam. Itu saja.”

“Tapi kok kamu jadi bersikap dingin?”

“Masa sih? Dingin ke kamu Ta?”

“Iya.. ada apa Na?”

“Nothing. Its okay. Iam fine and happy.” Rana tersenyum, memperlihatkan gingsul serta lesung pipi di kanan dan kirinya.

“Really? Please. Nggak biasanya kamu tiap sore berenang. Kemarin kamu habis ngeluh sama aku, perihal ujian. Ada yang salahkah?”

“No. Meta, semuanya baik-baik saja. Ujian sekolah sudah berlangsung dan sudah selesai. Aku pun sudah iklhas dengan semua hasilnya nanti seperti apa. Entah aku lulus atau tidak, Tuhan pasti memberikan yang terbaik untukku nanti. Kau sendiri yang bilang, jika aku penuh dengan keberuntungan. Doakan aku saja, semoga baik.”

“Jadi tidak marah dengan siapapun?”

“Tidak.”

“Dengan mantanmu?”

“Tidak juga. Aku sudah melihat karma yang diterimanya.”

“Karma? Dia kena tipu juga?”

“Iya, syukur deh. Aku nggak perlu capek-capek balas dendam. Ahahaa.” Tawa Rana.

“Jadi kamu berniat balas dendam?”

“Iyalah, kamu tahu kan. Aku orangnya seperti apa?”

“Psiko kamu Na. Ish, kesal. Aku tanya serius. Kamu mau balas dendam?”

“Enggak. Aku hanya ingin mengubah diriku saja. Jadi kalau ada si onoh di depanku, aku akan berubah sikap padanya. Kalau aku terlalu baik, nanti dikira aku masih mengharapkan si onoh lagi. Padahal kan aku sudah say no to Anto. Makanya aku perlahan berubah. Nih, sini.”

“Apa?”

“Lihat perutku, mengecilkan?”

“Kamu diet?”

“Huum.. jadi aku kadang lemes banget. Mungkin itu kali ya yang membuat aku jadi kaya orang bingung orang linglung gini.”

“Woaaa. Berarti kamu menolak cincau dan siomay yang aku bawa ini dong?” kataku sambil memperlihatkan bungkusan camilan pada Rana.

“Eh, itu apa?”

“Kamu kan diet. Nanti menganggu dietmu. Aku aja yang makan ya.”

“Tidaaaak. Kalau jam segini aku boleh makan kok. Ini kan masih sore. Sini sini sini, sayang kalau dibuang. Kamu juga nggak suka makan cincau kan. Siomayna gapapa deh buat Meta. Tapi esnya buat Rana.” Kata Rana sambil mengejarku untuk mengambil bungkusan yang memang sengaja aku bawakan untuknya.

Setelah Rana berhasil merampas bungkusanku, kami ke dapur untuk memakan camilan.

“Ayo, kita ke dapur saja. Makan disana. Kalau disini nanti banyak semut. Kasihan buku-buku aku.” Ajak Rana sambil menarik lengan bajuku.

“Iya.. ayo makan sampai kamu gemuk lagi.” Usilku.

Meskipun aku masih penasaran dengan alasan Rana berubah, sepertinya ada sesuatu yang dirahasiakan darinya. Aku sebenarnya masih ingin mengintrogasi lagi, tapi melihat Rana sudah kembali tersenyum, bagiku itu sudah cukup menjawab. Rana, gadis yang jarang sekali berbohong atau mungkin tidak pernah. Sebenarnya kalau ngeles si sering dianya. Aku sangat yakin sekali. Sekayin yakinnya, jika ada masalah, sebentar lagi pasti dia akan membuka mulut. Entah dengan pertanyaan atau dengan pernyataan. Aku hanya ingin melihat saja, apa yang akan dilakukan oleh Rana selanjutnya.

“Ini siomaynya. Kita makan berdua atau semuanya buat aku nih?” ucap Rana.

“Hmmm, tadi katanya buat aku semua. Gimana sih ah. Ya udah, kita makan berdua aja ya. Sama apa dong, laper nih. Aku belum makan dari kemarin malam.”

“Maksudmu belum makan siomay? Hahaha. Okay aku siapin makan. Kamu mau makan apa Ta?”

“Hmmm. Apa ya? Kamu punya eksperimen masakan baru nggak?”

“Mau masak? Nunggu rada lama dong. Karena aku beberapa hari ini jarang masak, jadi ya bahan-bahan yang untuk eksperimenku seadanya. Nggak tahu deh masih ada apa aja.”

“Kalau yang sudah matang?”

“Oh, bentar. Kupanggil bibi dulu ya.” Katanya, kemudian memanggil perempuan yang membantu di rumahnya, “Bi Dara. Bibi dimana? Bibi hari ini masak apa?”

Sesaat kemudian Bi Dara sudah ada di dapur dan membawa sepiring makanan.

“Bibi hanya memasak ini non. Soalnya beberapa hari ini non kan jarang makan. Jadi saya bingung mau masak apa. Kalau non Rana mau, makan ini saja. Nanti bibi masak lagi.” Kata Bi Dara. Rana hanya berdua saja di rumahnya, rumah mungil yang disediakan ayah bundanya untuk ditinggali, selama ia di Jakarta. Entahlah, itu hanya mengontrak atau sudah menjadi rumah untuk Rana. Katanya sih, kalau Rana tinggal di Jakarta, rumah itu akan untuknya. Menurutku lumayan imut sih, simple bentuknya. Dua lantai, bagian atas kamar Bi Dara, satu kamar kosong, kamar mandi, dan tentunya Kamar Rana yang disertai kamar mandi. Sementara di bawah, ada perpustakaan, ruang makan, dapur, dan ruang tv. Didepan dan belakang ada taman yang mungil. Pas sekali untuk Rana bersantai. Kalau aku jadi Rana sih, mau-mau saja tinggal disana, tempatnya sejuk nan asri, tidak terlalu ramai dan tetangganya pun ramah, atau mungkin Rana yang ramah. Rana hanya berdua dengan Bi Dara, dahulu Rana memanggil dengan sebutan ‘mbak’, tapi Bi Dara tidak mau karena selisih usia yang cukup jauh diantara mereka.

“Itu apa Bi?” tanya Rana kemudian yang sedikit memecah lamunanku.

“Ini ikan pindang non, bibi kasih bumbu merah. Tapi nggak bibi goreng, hanya bibi kukus.” Jawab Bi Dara.

“Semacam pepes?” tanyaku.

“Iya, tadinya bibi mau masak balado, non Rana katanya sedang tidak mau goreng-goreng. Jadi Bibi nggak belanja minyak goreng. Bibi kukus aja pindangnya.” Jawabnya lagi.

“Doyan nggak Ta? Kalau mau, boleh buat kita kan bi?”

“Aku belum pernah si, mau cobain deh bi. Satu dulu ya, kalau enak nanti aku mau lagi.” Kata Meta sambil mengambil satu ikan pindang. “Nasinya ada?”

“Hehehe… ada nggak bi?” tanya Rana.

“Ada. Tapi nasi merah.”

“Bibi doyan nasi merah?” tanya Rana.

“Ya gimana ya non. Soalnya non Rana lagi diet, mau tidak mau untuk menghemat, bibi juga ikut makan makanannya non Rana.”

“Ih, jahat kamu ya Na. Bibi nggak bersalah gitu, kamu hukum.” Candaku pada Rana.

“Lebih kenyang, coba deh. Kalau nggak doyan ya gapapa.” Sahut Rana.

Okai, sampai percakapan ini. Aku paham, Rana memang benar-benar ingin mengubah dirinya. Entah akan bertahan sampai kapan, tapi yang jelas memang sudah nampak kurusan dianya. Tapi faktor terbesar apa yang sebenarnya terjadi pada diri Rana? Masih menjadi misteri. Bibi pun hanya ikut jika Rana hendak makan apapun, meski Rana mengizinkan bibi makan makanan seperti biasanya, tapi ia tidak mau dan tetap ikut apa yang diinginkan Rana.

Ternyata pindang kukus buatan Bi Dara yang seharusnya menggunakan minyak goreng, enak juga. Kami pun makan bersama, Bi Dara ikut makan dengan kami. Kalau Rana, dia hanya makan es cincau dan siomayku, tanpa sisa. Aku tidak diberi jatah seperti apa katanya tadi. Ah, sudahlah. Memang untuk dia, toh aku sudah mendapatkan nasi merah pindang dan minuman ramuan dari Rana. Jus jeruk nipis dicampur dengan madu. Nikmatnya makan dengan suasana senang begini. Aku senang karena Rana sudah kembali tersenyum. Kalau kami berdua bertengkar karena hal yang tidak jelas, sungguh disayangkan. Syukurlah, sekarang sudah membaik.

“Kalau sudah selesai makan, panggil bibi saja ya non. Nanti bibi cuci piringnya.” Kata Bi Dara yang sudah terlebih dahulu menyelesaikan makanya.

“Jangan, biar Meta aja yang cuci. Tadi dia bilang mau latihan cuci piring.” Candanya padaku.

“Hahhaa. Jangan, nanti pecah. Aku nggak mau ya, suruh ganti piring kamu.” Usilku.

“Aduh. Jangan, biar bibi saja. Ini kan sudah tugas bibi.” Jawab Bi Dara.

“Lalu tugas Rana apa dong bi?” tanya Meta.

“Tugas non Rana, menggaji bibi. Hahaha” kata Bi Dara.

“Wah, ini pasti mau minta naik gaji ya bi? Pantes akhir-akhir ini rajin banget dan ikut-ikutan program diet Rana. Baiklah, nanti Rana bilang sama Bunda, biar Bunda menggaji bibi lebih ya. Itu juga kalau Bunda menyetujui. Hihi.” Kata Rana.

“Aduh. Endak non, sudah sudah bercandanya. Bibi naik dulu ya. Mau nyetrika.” Kata Bi Dara sambil mengambil piringnya, mencuci lalu naik ke atas.

Ketika Bi Dara sudah tidak ada di meja makan, Rana membuka pembicaraan. Seperti apa yang sudah aku duga sebelumnya. “Ta, kamu besok pergi nggak?”

“No. why?”

“Malam ini kamu inap rumahku ya.” Katanya lagi.

“Why?”

“Selesaikanlah makan kau dulu. Nanti aku beri tahu.”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • Aziz

    Mantap Betul, ditunggu ini karyanya

    Comment on chapter Prolog
Similar Tags
Untitled
507      290     0     
Romance
This story has deleted.
Take It Or Leave It
6296      2029     2     
Romance
"Saya sadar...." Reyhan menarik napasnya sejenak, sungguh ia tidak menginginkan ini terjadi. "Untuk saat ini, saya memang belum bisa membuktikan keseriusan saya, Sya. Tapi, apa boleh saya meminta satu hal?" Reyhan diam, sengaja menggantungkan ucapannya, ia ingin mendengar suara gadis yang saat ini akhirnya bersedia bicara dengannya. Namun tak ada jawaban dari seberang sana, Aisyah sepertinya masi...
PurpLove
383      312     2     
Romance
VIOLA Angelica tidak menyadari bahwa selama bertahun-tahun KEVIN Sebastian --sahabat masa kecilnya-- memendam perasaan cinta padanya. Baginya, Kevin hanya anak kecil manja yang cerewet dan protektif. Dia justru jatuh cinta pada EVAN, salah satu teman Kevin yang terkenal suka mempermainkan perempuan. Meski Kevin tidak setuju, Viola tetap rela mempertaruhkan persahabatannya demi menjalani hubung...
KAMUFLASE KAMERA DAN CINTA
652      459     1     
Short Story
lelaki bertubuh besar berjaket hitam menunjukan senyum simpul yang khas .senyum yang membuat jantungku berdegup tak beraturan, dan senyum yang selalu mengingatkanku pada perpisahan di bulan Januari. Konflik antara Mas Pras dan Om Tegar tak kunjung usai ,Kamera lah yang membawa aku dan dia pada satu titik dan kameralah yang membuat kita....
For Cello
3121      1057     3     
Romance
Adiba jatuh cinta pada seseorang yang hanya mampu ia gapai sebatas punggungnya saja. Seseorang yang ia sanggup menikmati bayangan dan tidak pernah bisa ia miliki. Seseorang yang hadir bagai bintang jatuh, sekelebat kemudian menghilang, sebelum tangannya sanggup untuk menggapainya. "Cello, nggak usah bimbang. Cukup kamu terus bersama dia, dan biarkan aku tetap seperti ini. Di sampingmu!&qu...
Nafas Mimpi yang Nyata
288      234     0     
Romance
Keinginan yang dulu hanya sebatas mimpi. Berusaha semaksimal mungkin untuk mengejar mimpi. Dan akhirnya mimpi yang diinginkan menjadi nyata. Karna dengan Usaha dan Berdoa semua yang diinginkan akan tercapai.
Shades Of Nuance
1641      867     2     
Romance
"seandainya kita diciptakan untuk menjadi satu, pasti suatu saat kita akan bertemu – Putri Zein" "aku selalu teringat tentang pertama kali aku bertemu dengan mu, kau hanya menatapku datar bukan tatapan memuja. Seorang siswi pindahan yang selalu membuatku muak, dengan kelakuan nya yang selalu ikut campur urusan orang lain. – Choi Min Ho" "mata kami saling bertemu, m...
THE WAY FOR MY LOVE
477      368     2     
Romance
Kamu
3998      1579     1     
Romance
Dita dan Angga sudah saling mengenal sejak kecil. Mereka bersekolah di tempat yang sama sejak Taman Kanak-kanak. Bukan tanpa maksud, tapi semua itu memang sudah direncanakan oleh Bu Hesti, ibunya Dita. Bu Hesti merasa sangat khawatir pada putri semata wayangnya itu. Dita kecil, tumbuh sebagai anak yang pendiam dan juga pemalu sejak ayahnya meninggal dunia ketika usianya baru empat tahun. Angg...
No Longer the Same
420      315     1     
True Story
Sejak ibunya pergi, dunia Hafa terasa runtuh pelan-pelan. Rumah yang dulu hangat dan penuh tawa kini hanya menyisakan gema langkah yang dingin. Ayah tirinya membawa perempuan lain ke dalam rumah, seolah menghapus jejak kenangan yang pernah hidup bersama ibunya yang wafat karena kanker. Kakak dan abang yang dulu ia andalkan kini sibuk dengan urusan mereka sendiri, dan ayah kandungnya terlalu jauh ...