Awalnya aku terdiam, tapi jika aku diam tidak akan ada penyelesaianya. Lalu aku dengan setengah lemah berkata menjawab pertanyaan simbok, “Apa urusanmu. Bilangnya sambil membentak.”
“Memangnya Meta tanya apa? Kok Handi sampai membentak?”
“Meta hanya bertanya, mas Handi apa kabar disana, sebentar lagi Meta mau lulus. Mau minta tanya dan bantu cari universitas untuk saya. Mas Handi bilang, lagi di kampus nggak bisa mikir dulu karena mau masuk kelas, katanya. Tapi, beberapa detik kemudian ada suara sayup-sayup perempuan yang sedikit manja memanggil nama Handi.”
“Manjanya seperti apa?”
“Handi, sayang. Aku masih ngantuk nih. Kamu udah pesenin makan buat kita? Suaranya terdengar jauh mbok, tapi Meta dengar. Meta pun merasa, ketika menjawab sahutan itu, Handi menutup ponsel dengan tangannya, biar Meta ndak dengar.”
“Lalu, Meta mendengar Handi menjawab apa?”
“Iya, sayang. Ini aku lagi telfonin ibu warungnya. Lalu Meta balik tanya, memang mas Handi ini lagi dimana, kok ada suara perempuan baru bangun tidur. Dia diam, lalu bilang, ‘apa urusanmu!’ terus matiin telfon. Meta lalu tanya balik lewat sms, chat, lalu telfon lagi ndak ada respon. Baru tadi mbok, dia sms Meta. Dia bilang, ‘maaf kita putus tapi bukan berarti kita musuhan, mas Handi minta maaf kalau ada salah’. Ketika Meta tanya alasan, dia bilang Meta mengganggu dan suka nanya privasi dia, mbok.”
“Sebenarnya Meta tidak menanyakan privasi, jika Handi jujur dan terbuka dengan kamu. Dia tidak akan marah ketika Meta tanya apapun. Ketika Meta mungkin tidak sengaja menanyakan hal yang dianggap oleh Handi itu privasi, sebenarnya bisa dengan baik Handi menjawab. Itu, jika Handi jujur, terbuka, dan sayang dengan Meta.”
“Jadi Handi tidak sayang Meta?”
“Simbok akan jawab, setelah Meta ujian ya. Nanti seletelah ujian semuanya selesai. Kalau Meta ingin tanya apa alasan Handi meminta putus, silakan. Saran simbok, minggu depan.”
“Simbok tidak melihat apapun di dalam pikiran Handi?”
“Simbok hanya tahu, sikap Handi benar.”
“Kok bisa?” tanyaku penasaran dan semakin penasaran dengan simbok. Aku melihat simbok seperti membela Handi. Tidak netral seperti biasanya. Oh Handi, apa salahku sehingga kamu mengatakan demikian? Meminta putus ketika aku sedang ujian. Tapi alasan putusnya aneh, sudah ingin putus jauh-jauh hari tapi kasian karena aku sedang ujian. Memangnya dia tidak berfikir? Sekarang pun aku masih ujian. Ya Tuhan, betapa jahatnya lelaki seperti itu. Ibarat pedagang memberi diskon, tapi barangnya dinaikan dulu dan sehari lagi kadaluarsa. Mengaku dewasa, tapi maunya dimengerti dan tidak mau mengerti perasaan orang lain. Cakep sih, memang. Banyak juga perempuan yang tertarik padanya, aku pun begitu, Rana pun begitu. Bedanya, Rana tidak mau didekati Handi karena tatapannya tidak tajam alias sayu. Tapi bagiku tidak, atau karena Meta sayang? Atau karena tinggi, badannya kekar, putih, rambutnya rapi, badannya tegap dan kotak-kotak. Tak tahulah. Pada saat itu, aku memang menyukai Handi karena fisiknya. Dia baik diawal, memang, namanya juga lagi deket. Sebulan dua bulan, kalau ada masalah dia kadang marah, ngomel, bahkan tidak mau diselesaikan dengan baik-baik. Untunglah, dia tidak main tangan. Karena masih memandang fisik ini, aku jadi salah tingkah dan bodoh.
Saat itu, aku hanya menceritakan sedikit kesedihanku pada simbok. Aku pun yakin dan sangat yakin, simbok sudah mengetahui jawaban hal-hal yang aku tanyakan padanya. Kala itu, memang simbok tidak menjawab tuntas semua pertanyaanku. Aku hanya menuruti kata simbok untuk belajar dahulu.
“Simbok akan menjawab semua pertanyaan Neng Meta. Tapi dengan syarat, lulus dulu ya. Kalau ujian sudah selesai, neng lulus, boleh simbok jawab semuanya.” Katanya menenangkan. Hal ini dikatakan simbok, agar aku fokus pada tujuan.
“Tapi tadi simbok memintaku untuk tanya pada Handi.”
“Itu, jika kamu mau menanyakannya dan menerima resikonya. Jika Handi berkata kasar dan lebih kasar padamu lagi? Simbok tidak yakin jika Neng akan fokus belajar.”
“Iya mbok.” Kataku. Beberapa saat kemudian Rana masuk dan membawakan teh hangat. Atas perintah simbok, tehnya tidak diaduk hanya untukku. Sementara Rana dan simbok tehnya diaduk. Sungguh tidak adil, tapi ada alasan dibalik semua ini.
“Sudah Neng curhatnya? Ini Rana bawakan teh khusus untuk Neng Meta sama kue kesukaan Neng Meta juga loh, kue isi rujak.” Kata Rana menggodaku.
“Rujak? Sejak kapan papa membuat kue rujak? ah, ngaco kamu Na.” Kataku heran akan camilan yang dibawa Rana saat ini.
“Ini limited edition, khusus untuk Meta hanya hari ini. Betul kan Mbok?” sahut Rana.
“Betul. Meta mau makan rujak dulu atau minum tehnya?” kata Simbok.
“Minum dulu, haus.” Kataku sambil mengambil gelas dan tanpa curiga apapun. “Kok pahit sih. Rana nggak kasih gula ya?” sahutku kemudian.
“Kasih lah. Itu lidah Meta aja yang lagi pahit. Makanya teh Meta jadi pahit gitu.” Jawab Rana kemudian meminum teh manisnya, “Hmmm maniiis” katanya lagi.
Aku kemudian mengamati gelas tehku, ternyata tidak diaduk. “Hmmm pantesan nggak manis. Ini tuh kamu nggak aduk, Neng Rana. Ah, kumaha eta.”
“Memang begitu. Iya kan mbok?”
“Hahaahaha…” simbok tertawa. “Sudah?”
“Sudah, Meta kesal. Ndak mau minum lagi.”
“Coba, minum lagi pelan-pelan sampai setengahnya. Masih pahit tidak?” kata simbok mencoba menenangkan. Lalu akupun meminum teh dan masih merasakan pahitnya teh itu.
“Masih mbok” jawabku.
“Minum lagi, perlahan-lahan, sampai hampir habis dan rasakan dengan hati,” perintah simbok sambil melihat aku minum teh.
“Whaaa. Ini bukan acara minum teh keluarga Andri kan?” kataku sebelum meminum teh lagi. Acara sakral, bagaikan sidang skripsi yang menentukan langkahmu selanjutnya.
“Bukan atuh Neng. Ini acara minum teh di kamar nenek” sahut Rana. “Sok, minum lagi teh buatan Rana.”
“Oh iya. Acara sakral kedua kita ya Na. Ketika hati bersedih, curcol dan minum teh di kamar nenek, sebagai penutupnya. Hahhaaa” sambungku disertai tawa kecil yang kemudian meminum teh itu kembali. Perlahan kurasakan ramuan yang dibuat oleh Rana, masih terasa pahit. Kuminum lagi dengan sabar dan perlahan-lahan, mendekati sepertiga gelas, mulai terasa manis dan manis, mendekati habis semakin manis dan menjadi sangat manis bahkan rasa gula yang menang. Tidak ada rasa pahit atau rasa teh yang ada dalam minuman itu.
“Manis kan?” kata simbok, setelah aku menghabiskan minumanku.
“Iya, manis. Bakan diakhir maniiiis banget.” Jawabku.
“Seperti yang Meta rasakan sekarang ini. Meta sedang minum pada tegukan pertama yang pahit, semakin kesini rasa pahitnya tetap pahit dan akan terasa biasa dengan pahitnya ketika Meta sabar. Meta tidak mengeluh, meminum lagi secara perlahan, hingga pada akhirnya, Meta menemukan rasa manis pada teh tersebut. Bahkan diakhir, hanya terasa gulanya saja.” Jelas simbok.
“Seperti kehidupan?” tanya Rana.
“Betul, kita sebagai manusia. Tidak akan selalu mendapatkan hal-hal yang manis. Ada satu titik dimana manusia akan merasakan pahit, cobaan dari yang Maha Kuasa. Jika kita sabar dan tetap berusaha, tanpa mengeluh, di akhir proses nanti akan menyajikan hal yang manis. Sesuatu yang tidak terduga sebelumnya. Pahit minuman Meta diawal sudah terbayarkan dengan manis minuman Meta diakhir kan?”
“Betul, Mbok.” Jawabku singkat.
“Lalu, bagaimana jadinya jika Meta tidak mau menghabiskan minumannya tadi? Jika meta justru malah membuangnya atau malah mengganti minuman lainnya?” kata Simbok.
“Apa ya mbok? Mmmm” aku berfikir keras. Namun pikiranku sudah dijawab dengan jawaban Rana.
“Jika Meta tidak menghabiskan minumannya, ia akan berifikir air dalam gelasnya itu tidak manis, tapi pahit. Rasanya akan selalu pahit, walaupun itu hanya ada dalam pikiran Meta saja.” Jawab Rana.
“Betul. Itulah cobaan yang diberikan pada Tuhan. Satu cobaan, satu masalah yang datang pada diri kita, hendaknya disikapi dengan sabar. Tidak nesu, tidak marah, tidak malah cari pelarian. Karena kita tidak ada yang tahu, apa hikmah atau apa yang sebenarnya Tuhan ingin beritahukan pada kita sebenarnya. Apa kejutan yang sudah Tuhan siapkan sebelumnya? Kita tidak akan pernah menyangkanya.” Jelas simbok lagi. “Paham, maksudnya?”
“Paham. Lalu minuman Meta sudah habis.” Kataku merengek.
“Ini, ada satu lagi untukmu yang sudah diaduk. Supaya manisnya tercampur.” Kata Rana sambil memberikan satu gelas teh lagi padaku.
“Kalau yang ini artinya apa Mbok?” tanyaku.
“Artinya minuman manis yang diaduk itu, untuk menemani makan kue rujak buatan Rana. Hahaha” kata simbok singkat. “Mana kue rujakmu, Na?” tanya simbok.
“Ini Mbok. Roti tawar yang tidak diberi apa-apa. Lalu ini rujak buah yang pedas, sudah tersaji dalam mangkuk. Lalu cara memakannya, siapkan satu lembar roti tawar, olesi dengan mentega dan beri beberapa sendok rujak. Mau dilapisi roti lagi atau tidak, sesuai selera, ini Ta, buat kamu. Enak nggak?” Rana memberikan kue rujaknya lalu aku santap perlahan.
“Harus pelan-pelan ya mbok, harus sabar.” Kataku lalu mengunyah dan merasakan kue rukan Rana. “Kok… hmmm, rasanya pedes asem, kebanyakan nanas ini ya? Rotinya kerasa sih, tapi cuma teksturnya aja. Rasanya kalah. Menteganya pun kalah. Menang rujaknya. Rana aneh ih, buat roti kaya gini.” Jawabku.
“Memang begitu. Masih mau dilanjutkan makannya tidak?” kata simbok.
“Lanjut. Seperti kata simbok. Kan kita tidak tahu, diakhir akan seperti apa rasanya.” Jawabku, lalu menalan dan sesekali minum.
“Yakin?” kata Rana.
“Iya lah, kan tadi simbok barusan menerangkan tentang kesabaran.” Jawabku. “Kok kamu nggak makan sih Na?” tanyaku sedikit sewot.
“Menurut Rana, ini nggak cocok. Jadi Rana tidak mau makan. Rana tahu proses membuat kuenya seperti apa. Lalu Rana merasakan gigitan pertama, tidak enak. Rana tidak akan melanjutkannya lagi. Tapi karena sayang, Rana habiskan satu kue, lalu tidak membuat lagi untuk kedua kalinya, kan sayang. Jadi Rana hanya buat untuk Meta saja.” Kata Rana.
“Jadi kamu sudah coba dan tahu, kalau ini nggak cocok?” aku sebal.
“Iya lah. Ngapain?” Rana ikut sewot.
“Sudah.. sudah. Simbok yang menyuruh Rana.” Kata simbok menenangkan kami. Sejurus kemudian, simbok menjelaskan tentang maksudnya, tentang alasan mengapa simbok meminta Rana membawa kue rujak. Simbok menjelaskan dengan bijak.
“Meta.. Neng Meta. Sebenarnya, Rana sudah menjawabnya dengan baik. Alasan dia tidak membuat yang kedua untuk dirinya sendiri karena ia tidak mau jatuh ke lubang yang sama. Dia tidak mau mengulangi kesalahannya sendiri.”
“Jahat,” kataku. Simbok hanya tersenyum dan melanjutkan kembali nasihatnya.
“Tidak. Hanya sedikit iseng dengan kamu.” Simbok mengambil roti dan rujak, mempraktikan apa yang dilakukan Rana tadi.
“Lihat simbok” kata simbok. “Perhatikan baik-baik. Bagaimana tadi Rana membuat kue rujaknya dan kau pun menyaksikan dengan sendirinya. Roti tawar, kalau kita beri pedas maka rasanya akan pedas kan? Simbok akan mengoleskan roti dengan sambal rujaknya, tanpa buah. Sedikit saja, agar Meta dan Rana paham, maksud simbok, kita potong roti tawarnya jadi empat. Kecil-kecil saja ya. Roti pertama kita beri olesan mentaga saja, kedua beri sambal rujak, ketiga beri rujak secara lengkap, dan keempat kita beri mesis. Ini simbok sudah menyiapkannya, khusus untuk hari ini. Nah sekarang, Mana yang lebih enak? Tapi jangan dimakan dulu. Dikira-kira saja.” Ucap simbok.
“Roti mesis,” jawabku dan Rana kompak.
“Kalau yang lain rasanya gimana?” tanya simbok.
“Roti mentega, ya rasa mentega, ya seperti itu mbok,” ucapku.
“Roti sambal, rasanya pedas karena ada sambalnya,” kata Rana.
“Sementara yang dicampur, rasanya tiada terkira,” jawabku lagi.
“Kenapa kalian bisa menjawabnya begitu?” tanya simbok.
“Karena kami tadi melihat simbok cara membuatnya. Kami pun tahu bagaimana rasa sambal dan mesis. Jadi kami sudah memutuskan untuk memilih yang rasa mesis karena yang lebih pas, cocok, manis dan dapat diterima juga perpaduan rasanya. Jadi kalau cocok dilanjutkan. Jika tidak, tidak akan dilanjutkan. Setidaknya kita sudah tahu bagaiman rasa dari tiga roti yang lain ini.” Jelas Rana, bijak.
“Rana hebat. Pinter, dapat menjawab dengan sempurna.” Kata simbok.
“Aha, jadi ibarat sesuatu yang sudah kita tahu prosesnya, kita pun akan mengerti bagaimana akhirnya. Seperti Handi, diawal memang terlihat menggoda. Kaya rujak ini, semuanya ada, untuk membuat rujak perlu ada manis, asam, asin dan semua rasa tercampur menjadi satu. Jika hanya dimakan rujak saja akan enak rasanya. Tapi jika dipadukan dengan roti, rasanya akan aneh. Meskipun ada beberapa roti yang pedas, tapi rujak tidak cocok, kalah rotinya. Begitu pula jika Meta dan Handi bersatu. Jika tidak cocok, tidak usah dipaksakan. Sudah tahu bagaimana rasa Meta dan bagaimana rasa Handi. Tidak akan pernah cocok, meski diberi bumbu penyedap. Bukan begitu mbok?” kataku.
“Tepat sekali. Rujak ya rujak, roti ya roti. Tapi ada lo, roti isi yang enak. Meski mereka tidak manis. Sandwich misalnya, sayuran mentah ditambah dengan mayones dan saus. Mereka bisa cocok bagi orang yang lidahnya menerima makanan seperti itu. Tapi kalau ada orang yang tidak biasa, kesehariannya hanya makan tahu tempe terus yang gurih-gurih, maka dia tidak akan cocok.” Jelas simbok.
Kami hanya mendengarkan dan menatap simbok yang masih memberi penjelasan.
“Sebenarnya, semua makanan itu sah-sah saja digabungkan. Asal lidah si pemakan itu cocok dengan hidangan yang disajikan. Seperti simbok yang sangat suka sekali dengan nasi jagung. Terbuat dari jagung kering yang diproses lama, sampai menjadi tepung dan terbentuklah sego jagung, Meta dan Rana, terbiasa dengan makan nasi, mungkin tidak akan mau menerima nasi jagung sebagai makanan pokoknya. Sama seperti kehidupan kita, jika kita mau menerima dan dapat bijaksana dalam menyikapinya, kita akan dapat menentukan sikap. Tapi jika hati kita menolak, sedih, kecewa, dan segala alasan yang dipaksakan. Tidak akan nyaman, dipaksakan seperti apapun, tidak akan bisa. Malah nantinya dibelakang akan menggerutu saja. Kecewa yang lebih besar pada akhirnya. Maka dari itu, alangkah indahnya jika kita dapat bersikap bijak dalam menentukan keputusan.”
“Seperti Rana yang memilih untuk menyudahi hubungan dengan pria pembohong itu. Rana tidak mau lagi tertipu. Sebelum terlambat, atau sebelum apa-apa yang Rana khawatirkan terjadi lebih jauh lagi. Sekarang Rana sudah ikhlas Mbok. Sudah ikhlas penipu itu memilih jalan tanpa Rana dan tidak ada kabar kabur lagi yang Rana dapatkan,” ucap Rana.
“Seperti Meta juga yang sudah direndahkan. Harus menerima apapun yang sudah Tuhan perlihatkan pada Meta. Tapi Meta bersyukur, karena Handi sudah ketahuan apa brengseknya. Meskipun Meta masih penasaran, apa yang sebenarnya ada di benak Handi.” Ucapku kemudian.
Aku, Rana, dan Simbok tersenyum puas. Curhat hari ini sungguh luar biasa, dapat menenangkan hatiku dan juga Rana. Aku tidak tahu pasti masalah yang dihadapi oleh Rana dengan pacarnya. Aku hanya tahu, mereka pun selesai seperti aku dan Handi. Entah apa masalah mereka, itu bukan urusanku. Jika Rana tidak menceritakan padaku, pasti ia malu dan kisahnya mungkin memalukan melebihi Handi yang begitu pada perempuan yang entah seperti apa wajahnya itu. Memanja dengan Handi yang kemungkinan ada di sebuah kamar, entah kamar siapa, aku sudah tidak peduli.
Aku memang masih penasaran dengan perkataan simbok mengenai pikiran Handi. Jalan pikirannya yang sungguh luar biasa berkata kasar padaku. Tapi aku masih bersyukur, dia tidak main tangan padaku. Hanya lidahnya saja yang tajam, mungkin saja dia keturunan si pahit lidah. Sampai sekarang pun aku tidak tahu, siapa perempuan yang bersamanya kala itu. Aku masih ingat betul, bagaimana suara dan nada bicaranya pada Handi. Oh Tuhan, siapapun perempuan itu. Aku ingin mengatakan, terima kasih. Karena telah bersuara saat aku menelfon Handi, terima kasih sekali kau telah memperlihatkan bagaimana sisi lain Handi yang selama ini kukenal begitu baik padaku.
Camilan didepan mata sudah menanti untuk kumakan. Aku, Rana, dan Simbok kemudian memakan hidangan yang telah disiapkan oleh Rana untuk kami. Tepatnya sesudah curhatan kami selesai dan terbayarkan oleh teh yang tidak diaduk tadi. Meski begitu, aku tetap saja penasaran, jawaban simbok mengenai rahasia Handi.
“Simbok, janjikan akan memberi tahu Meta. Pertanyaan Meta yang terakhir?” tanyaku.
“Iya. Sesuai syarat yang simbok bilang. Harus lulus dulu.”
“Siap. Meta pasti akan lulus. Malam ini Meta akan belajar untuk ujian besok. Meta akan terus belajar sampai cita-cita Meta tersampaikan.” Kataku.
“Rana, ada yang ditanyakan?” tanya simbok.
“Tidak mbok. Rana memilih untuk tidak mengetahuinya saja.” Jawab Rana.
“Yakin?” tanyaku. “Memang ada apa Na?”
“Iya Ta, Mbok. Kalau suatu saat nanti Rana diberi petunjuk dengan mata kepala Rana sendiri. Itu akan lebih puas. Pacar Rana orangnya mudah ditebak kok mbok.” kata Rana sambil tersenyum kecil.
Okai, jadi permasalahan kami memang sama. Ada perempuan yang menjadi bayang-bayang pacar kami berdua. Sejatinya daripada itu, kami menemukan hikmah masing-masing. Misteri memang, jika berurusan dengan yang namanya pacar. Seperti ketika kita minum teh pahit. Tidak selamanya teh yang pahit akan manis diakhir karena tidak semua teh diberi gula. Tapi kita dapat melihanya di gelas, adakah butiran gula didalamnya atau tidak. Itu jika gelasnya bening. Akan dengan mudah kita melihatnya. Tapi jika gelasnya tidak bening, kita dapat mencium dari aromanya atau dari warnanya. Meskipun tidak semua orang dapat membedakannya dengan baik.
Alangkah indahnya, seseorang yang dapat membedakan itu semua dengan baik dan benar. Pasti ia sudah punya banyak pengalaman, hingga pada akhirnya menjadi seorang yang bijak. Dia belajar dari banyak pengalaman hidupnya, menganalisis kejanggalan, dan juga mempraktikannya sehingga tidak terjebak untuk kedua kali. Menjadi perasa dan peka terhadap sekeliling. Pada lingkungan sosial, pada lawan bicaranya, dan juga pada dirinya sendiri. Baiklah, mbok. Meta akan lulus dan menanti apa jawaban simbok sebenarnya. Meta masih penasaran dengan jalan pikiran Handi.
Mantap Betul, ditunggu ini karyanya
Comment on chapter Prolog