Loading...
Logo TinLit
Read Story - Somehow 1949
MENU
About Us  

Pukul dua belas malam listrik tiba-tiba padam. Geo yang sedang menggeledah kantor Sersan Toni menjadi gelagapan. Geo tahu ini adalah tanda bahwa misi pembebasan Beni dan Hasan akan dimulai. Geo memutuskan keluar dengan meraba-raba mencari jalan. Geo menemukan gagang pintu dan mendorongnya. Dia memekik ketika bertatapan dengan seseorang yang hanya terlihat matanya.

"Geo?" Suara orang itu membuat Geo memicingkan matanya.

"Pak Tresno?"

Orang itu mengangguk dan langsung menarik Geo ke belakang tubuhnya. Geo menurut dan berjalan di belakang Pak Tresno. Mereka berjalan mengendap-endap melewati koridor yang tiada habisnya. Keadaan yang gelap gulita membuat koridor tampak begitu panjang. Mereka menuju ke sebuah penjara yang terletak di koridor paling ujung. Dua orang penjaga mendekati mereka. Geo meringkuk di belakang Pak Tresno. Ternyata salah satunya adalah Wahyu dan yang lainnya adalah temannya. Wahyu memberikan kunci penjara pada Pak Tresno dan mengedip pada Geo lalu pergi seperti tidak terjadi apa pun.

Pak Tresno membagikan kunci itu ke beberapa pejuang yang ikut masuk ke dalam markas. Mereka mulai membuka sel lain yang berisi tahanan dari orang lokal. Hasan mendekat ke pintu penjara dengan wajah penuh luka. Darah kering menghiasi wajah dan kepalanya. Pak Tresno mendekat dan membuka pintunya. Terlihat Beni meringkuk di dalam dengan kepala yang bermandikan darah. Geo sampai merinding melihat keadaannya yang separah itu. Pakaiannya penuh dengan warna merah kental. Geo menahan diri untuk tidak menangis sambil menggigit bibirnya.

Dia masuk ke dalam penjara dan memapah Beni dengan dibantu Hasan. Hasan yang merasa curiga terus menatap ke arah Geo. Pak Tresno menahan pintu besinya dan mengatur agar mereka bisa keluar dengan baik. Beni dan Hasan sepertinya sudah tahu mengenai misi penyelamatan ini, buktinya mereka tidak ribut dan tetap tenang.

"Rupanya kamu sudah gila, ya? Kenapa tidak di rumah saja membantu Mbak Tutik memasak?" Beni menengadahkan wajahnya yang penuh luka ke arah Geo. Suaranya terdengar rapuh. Hasan mengernyit dan ikut memandangi Geo.

Geo membuka sedikit capingnya ke atas memperlihatkan seluruh wajahnya. Hasan memekik tak percaya karena orang mencurigakan itu adalah Geo. "Darimana kamu tahu ini aku?"

Beni menyeringai. "Karena saya hafal bentuk tubuhmu."

"Apa?" Geo berteriak dan melepaskan Beni. Beni sempoyongan dan hampir jatuh jika saja Hasan tidak sigap menangkapnya.

"Jangan berisik! Kita masih di dalam markas musuh." Pak Tresno mengingatkan dengan berbisik. Sementara Beni menyeringai memandang Geo yang kesal.

Mereka berjalan melewati jalan terobosan yang menuju ke Kali Code. Mereka turun ke kali dan berjalan di tepi sungai. Pak Tresno memberitahu mereka bahwa teman-teman yang lain berada di bawah Kretek Krewek. Pak Tresno berjalan di depan sebagai pemandu sedangkan Geo dibantu Hasan memapah Beni berjalan ke Selatan menuju kretek. Baru berjalan beberapa meter terdengar suara rentetan tembakan yang berasal dari markas NICA. Sepertinya pembebasan para tahanan sudah diketahui dan mereka mengamuk.

Mereka tetap melanjutkan perjalanan menuju kretek sambil berdoa semoga teman-teman yang masih berada di dalam markas bisa keluar menyelamatkan diri. Dari arah Selatan muncul seseorang yang berlari menghampiri mereka. Setelah dekat, ternyata orang itu adalah Kusri. Dia memeluk Beni dan bersyukur Beni bisa selamat. Kemudian Pak Tresno meminta Kusri dan beberapa orang yang ada di bawah kretek untuk kembali ke markas dan membantu pejuang yang tertinggal.

Pak Tresno menyerahkan Beni kepada Hasan dan Geo. Geo mengangkat tangannya untuk melakukan gerakan hormat kepada Pak Tresno. Pak Tresno tertawa. "Saya akan merindukan kamu. Kamu gadis paling aneh yang pernah saya temui."

"Jangan bilang begitu seolah-olah kita tidak akan pernah bertemu lagi. Bapak harus kembali untuk menengok si orang terluka ini." Beni memelototi Geo, merasa tidak suka dipanggil si orang yang terluka. Pak Tresno kembali tertawa lalu mengangguk. Kemudian dia berlari menyusul Kusri dan teman lainnya yang sudah berlari ke arah markas NICA.

Sepeninggal Pak Tresno mereka bertiga, Hasan, Beni dan Geo melanjutkan perjalanannya. Udara malam yang dingin membuat luka-luka Beni terasa meradang. Dia sedikit sedikit merintih kesakitan. Geo sampai harus menahan diri untuk tidak menangis. Padahal matanya sudah berkaca-kaca.

"Kita mau pulang? Mas Beni kuat kalau berjalan sampai desa?"

"Kuat selama ada kamu."

"Sudah, deh, nggak usah merayu!" Geo mencibir kesal sementara Beni hanya terkekeh kecil.

Hasan mengamati mereka dengan curiga. "Sepertinya ada sesuatu, ya, di antara kalian."

"Ya begitulah." Beni menjawab dengan santai dan mendapatkan pelototan dari Geo. Hasan manggut-manggut mengerti.

Baru beberapa langkah berjalan, dari atas kretek terdapat tembakan yang mengarah ke kali. Sepertinya ada pihak NICA yang sadar bahwa mereka masih berada di bawah kretek. Geo menoleh ke belakang dan langsung mendorong Beni dan Hasan hingga tersungkur. Tentara NICA yang berada di atas kretek mulai mengikuti mereka turun dari sisi kretek.

"Keparat!" Beni mengumpat.

"Diamlah! Ada satu, dua, tiga, hmm. Lihat ini baik-baik." Geo menghitung beberapa musuh yang mengejar mereka. Dia lalu mengeluarkan sebuah pistol yang didapatkan dari Pak Tresno. Dia membidik ke tiga musuh itu dan mengenainya dengan telak. Dia sangat bahagia bisa memegang senjata dan menggunakannya dengan benar. Ternyata menggunakan benda itu tidak sesulit yang dia kira. Hanya tinggal berkonsentrasi melihat titik target dan menembak dengan tepat sasaran pasti dapat dilakukan.

Tentara NICA yang menembaki mereka dari atas kretek sudah tertembak semua. Geo menyeringai sambil bergaya meniup pistolnya. Baru kali ini dia beraksi seperti seorang polisi betulan. Bermain-main dengan senjata api sampai membunuh musuh tanpa khawatir akan ada polisi yang menangkapnya.

"Da ... Darimana KAMU MENDAPAT SENJATA?" Geo menatap Beni tak percaya. Baru saja Beni membentaknya. Sebenarnya bukan itu yang dia inginkan. Dia ingin Beni memujinya dan bertanya padanya bagaimana dia bisa menembak dengan telak tanpa cela begitu.

"DARI PAK TRESNO!" Geo balik membentak Beni. Matanya melotot dan tangannya berkacak pinggang.

"KENAPA KAMU MENERIMANYA?" Beni berusaha bangkit sementara Hasan membantunya.

"UNTUK PERLINDUNGAN DIRI!" Beni dan Geo saling memelototi satu sama lain. Saling mengirimkan sinyal permusuhan melalui mata mereka.

"Sebenarnya, saya ingin membiarkan kalian bertengkar sepuasnya, tapi Pak Beni tidak akan pernah bisa pulang kalau saya lakukan itu." Hasan menggeleng-gelengkan kepalanya dan menyela mereka. Hasan merangkul Beni, membantu Beni agar bisa berdiri tegak. Luka di tubuh Beni membuatnya tidak bisa berdiri sendiri dengan benar.

"Benar. Seret saja si pemarah tukang bentak itu!" Geo mendengus lalu berjalan pergi meninggalkan Hasan dan Beni.

"Rebut senjatanya, San!" Beni menggeram marah. Gadis itu tidak boleh dibiarkan memegang senjata terlalu lama.

"Kalau saya lakukan, kamu bisa jatuh."

Beni menggeram kesal. Namun, perkataan Hasan ada benarnya. Dia yang tidak bisa berdiri sendiri itu pasti akan jatuh kalau Hasan pergi. "Awas saja gadis itu." Beni berjalan terseok-seok dan menatap punggung Geo dengan kesal. "Dia juga mencuri celana dan sarung saya."

Seperti kata Pak Tresno. Geo adalah gadis yang menarik. Satu-satunya gadis yang bisa melawan Beni. Membuat berbagai emosi Beni bercampur aduk. Beni sampai merasa pusing dan merasa harus terus memarahinya karena sikapnya yang terkadang di luar kepribadiannya sebagai seorang perempuan.

Pukul dua pagi mereka baru bisa keluar dari kota. Mereka tidak dapat kembali ke desa karena di tengah perjalanan terjadi serangan dari pihak NICA lagi dan Beni pingsan di jalan akibat luka-lukanya. Hasan juga tampak kelelahan sehingga mereka memutuskan untuk menginap di markas terdekat.

***

Sebuah usapan pelan di kepala Geo membuatnya tersadar. Matanya terbuka dan menyadari apa yang telah dia lakukan. Geo langsung bangkit dan menatap sekeliling dengan panik. Beni duduk di dipannya sambil menyender. Mata Geo membulat. Dia ingat, semalam tertidur di kamar Beni.

"Gawat! Aku tertidur di sini!" batinnya panik.

"Sudah bangun? Saya membangunkanmu, ya?" Beni menjulurkan tangannya dan kembali mengusap kepala Geo.

Pintu kamar Beni berderit. Geo buru-buru menyingkirkan tangan Beni dan mendapat pekikan marah dari Beni. Mbak Sri masuk membawakan nampan berisi teh yang terlihat masih mengepulkan asap. Mbak Sri berjalan ke belakang Geo dan meletakkan teh itu di atas nakas.

"Kamu sudah bangun? Kamu tertidur di sini dan saya tidak bisa memindahkan kamu, jadi saya biarkan kamu tidur di sini. Hitung-hitung menemani Beni." Mbak Sri terkekeh. Geo meringis lalu menunduk malu.

"Mbak Sri, kok ada di sini? Semalam aku nggak melihat, Mbak." Geo mengucek matanya san memiringkan kepalanya menghadap Mbak Sri.

Mbak Sri mengambil kursi lain dan duduk di sebelah Geo. "Iya, sekarang saya di sini. Ini markas PMI. Katanya PMI kekurangan anggota jadi saya mendaftar sebagai tenaga sukarela. Saya juga tidak menyangka bisa bertemu kalian lagi."

"Markas PMI? Kenapa ada markas PMI di sini?" Beni mengerutkan dahinya. Seingatnya markas PMI hanya satu dan berada di kota.

Mbak Sri mengangguk sambil tersenyum. Dia lalu memberitahu Beni kalau akan ada serangan besar-besaran di Yogyakarta oleh para TNI yang waktunya belum diumumkan secara resmi. Namun, sepertinya dalam waktu dekat. Maka dari itu markas-markas PMI dan dapur umum mulai berdiri di sekitaran kota secara sembunyi-sembunyi.

Beni menjadi sangat bersemangat mendengar cerita itu walaupun sekarang dia masih terluka. Dia juga ingin ikut berpartisipasi. Geo menatapnya tajam seolah tidak menginginkan itu.

"Bisakah kamu diam saja di rumah dan jadi petani?" Geo menatap Beni dengan khawatir. 

"Kenapa? Kamu ingin lihat saya telanjang dada sambil membajak sawah?" Beni menyeringai.

"Bicara denganmu selalu membuatku emosi!"

"Tapi saya suka." Beni bergumam kecil.

"Apa?"

"Perbannya melorot."

"Bukan, kamu nggak bilang begitu barusan. Dia tadi bilang apa, Mbak?" Geo menoleh ke arah Mbak Sri dan meminta pendapatnya. Mbak Sri hanya tersenyum jahil sambil mengangkat bahunya.

"Saya bilang begitu."

"Benar-benar menjengkelkan." Geo bergumam kesal.

"Ah, pasangan suami istri bertengkar lagi! Saya mau menengok Hasan dulu." Mbak Sri bicara sembarangan dan membuat Geo meneriakinya. Mbak Sri tertawa sambil menutup pintu kamar Beni.

"Geo, serangan besar-besaran apa yang terjadi di tahun ini dan bagaimana hasilnya?" Beni mendongak menatap langit-langit. Pikirannya melayang. Memikirkan teman-temannya yang ditahan, teman-temannya yang sudah gugur, perjuangannya, dan nasibnya sendiri.

"Aku tidak tahu. Memangnya setelah kamu tahu, apa yang akan kamu lakukan?"

"Saya hanya ingin memastikan kalau serangan ini tidak sia-sia."

"Sejujurnya, aku tidak tahu. Di zamanku, aku ini orang yang tidak tertarik dengan sejarah. Semua yang berhubungan dengan sejarah nggak ada satu pun yang menempel di kepalaku, jadi percuma saja kamu tanya padaku."

"Terus apa yang kamu ingat?"

"Tidak tahu!" Geo mengendikkan bahunya. Semua hal yang berhubungan dengan sejarah seakan memantul dari kepalanya.

Mungkin saja semua kejadian ini adalah hukuman baginya karena telah berani melupakan sejarah. Geo terdiam, menyadari sesuatu. Hukuman. Semua ini adalah hukuman untuknya. Semesta menghukumnya karena dia terlalu tak acuh pada sejarah. Semesta ingin mengingatkannya bahwa sejarah itu ada untuk dikenang. Kehidupannya yang damai itu tidak akan pernah berjalan tanpa adanya sejarah yang lebih dulu telah ada.

Sekarang semuanya tampak masuk akal. Geo harus menjalani hidup di zaman perang ini untuk mengingatkan dirinya bahwa sejarah itu juga penting. Geo menatap Beni yang sekarang luka-lukanya terlihat jelas. Orang di hadapannya itu juga bagian dari sejarah. Mungkin namanya memang tidak tercatat tetapi dia dikenang sebagai pejuang gerilya yang sering disebut dalam buku sejarah.

Pintu kembali terbuka dengan pelan-pelan. Hasan masuk dalam keadaan yang jauh lebih baik. Luka di wajahnya sudah diobati dan terlihat mengering. Wajah Hasan tidak menunjukkan ekspresi apa pun.

"Halo, Pak. Bagaimana keadaanmu?" Hasan menyapa sambil duduk di kursi sebelah Geo tempat di mana Mbak Sri duduk sebelumnya. 

"Ah, baik, San. Kamu bagaimana?"

"Syukurlah, Pak. Saya juga baik-baik saja."

Beni mengangguk sebagai balasan. "Oh, ya, kenapa kita bisa ada di markas ini?"

"Anu, semalam kita di serang pihak Londo lagi. Untungnya ada pihak tentara yang membantu. Dan karena Pak Beni pingsan di jalan, kami tidak ada pilihan lain selain mencari markas terdekat untuk mengobati Pak Beni."

"Terus ada yang gugur?"

"Tidak ada, Pak."

"Ya, syukurlah."

"Anu, Pak, mungkin sekarang bukan waktu yang tepat tapi saya perlu menceritakan ini pada anda."

"Apa itu?"

Hasan bergerak-gerak gelisah. Dia menatap Beni dan Geo bergantian. Ragu-ragu apakah harus menceritakan ini sekarang.

"Begini, karena semalam Pak Beni dan saya keluar dari penjara, NICA marah dan menggeledah semua tempat untuk menemukan Pak Beni dan saya. Kemudian, mereka tahu markas kita di desa dan mengobrak-abrik desa. Mereka menemukan rumah Pak Beni dan melihat Mbak Tutik." Dititik ini Hasan terdiam. Dia seakan berusaha mencari sumber kekuatan untuk bercerita lagi. Geo dan Beni menatapnya, menunggunya untuk melanjutkan bicara. Suasana yang semula damai berubah menjadi tegang.

"Mereka menembak Mbak Tutik karena menolak memberitahu di mana keberadaan Pak Beni."

Geo menangkupkan kedua tangannya ke mulut. Air matanya mengalir. Beni membelalakkan matanya. Terguncang mendengar berita yang baru saja diucapkan Hasan. Hati Geo serasa dipukul dengan batu besar. Mbak Tutik, orang yang mendukungnya, orang yang melindunginya, orang yang percaya padanya, dan orang yang dianggap ibunya. Air mata Geo mengalir tak terelakkan. Bahunya berguncang hebat. Hasan menenangkannya dengan menepuk bahunya.

Beni terdiam di atas dipannya. Tidak sanggup berkata-kata. Harusnya air mata akan menghapus semua perasaan sedih, marah, dan kecewa. Namun, Beni tidak mengeluarkan setitik pun air mata. Beni menoleh, menatap Geo yang sesenggukan.

"Berhenti menangis! Bukan hanya kamu yang kehilangan. Setidaknya kamu masih punya kami!"

"Aku harus gimana? Mbak Tutik. Cuma Mbak Tutik yang tahu. Ini salahku. Salahku!" Geo terisak-isak sambil bergumam sesuatu yang aneh menurut Beni.

"Tahu apa? Kenapa kematian Mbak Tutik jadi kesalahanmu?"

"Kamu juga pasti akan marah padaku kalau tahu. Bahkan mungkin akan langsung membunuhku. Cuma Mbak Tutik yang percaya padaku."

Hasan kembali menepuk-nepuk Geo. Menyuruhnya untuk tenang. Suara isakan memenuhi ruangan itu. Wajah Geo kacau oleh air mata.

"Maaf ... Mas Beni ... Maafkan aku." Rasa bersalahnya meleleh dalam bentuk air mata. Rasa bersalah karena kesalahannya, Mbak Tutik menjadi korban.

"Kenapa minta maaf? Kamu salah apa?"

Geo mengusap air matanya dengan kasar. Masih diiringi suara isakan. Geo mengeluarkan sebuah lencana besar bertuliskan RM dengan rantai berwarna emas dari dalam saku celananya. Dia masih menggunkaan pakaian yang sama seperti kemarin. Beni melotot. Matanya seolah hampir melompat keluar. Merah dan berair. Beni berkaca-kaca?

"Kamu! Beraninya kamu lakukan itu padaku?" Beni bergerak mencoba mencari sesuatu di bawah bantalnya. Namun, dia tidak menemukan sesuatu yang dicarinya. Beni langsung mengumpat menyumpahi Geo habis-habisan. Geo hanya menangis.

"Saya sudah menaruh hati padamu tapi kamu mengkhianati saya?" Beni mencoba bangkit dan mengerang karena lukanya terasa sakit.

"Dengarkan dulu penjelasanku baru kamu boleh ngamuk!" Geo berteriak. Hasan tidak bisa berbuat apa pun selain mengamati Geo yang memegang lencana RM itu. Hasan tahu lencana apa itu. Hasan hanya dapat menatap Geo yang wajahnya kacau karena air mata.

Geo menarik nafasnya. Menghapus air matanya lagi dan menatap Beni dengan mantap. Beni masih memelototi Geo. Tangannya mencoba meraba-raba dipannya, masih berusaha mencari sesuatu.

"Ini kesalahanmu? Kamu melaporkan penyamaran saya pada Londo keparat itu dan juga melaporkan tempat persembunyian Mbak Tutik?" Kata-kata Beni begiu menyayat hati. Geo menggigit bibirnya. Menahan diri untuk tidak menangis lagi. Sekarang atau tidak sama sekali. Dia harus menjelaskannya pada Beni. Beni harus tahu kenapa dia memegang lencana terkutuk itu.

"Bukan aku!" Geo berteriak marah. Beni melotot, terkejut karena ini pertama kalinya Geo menggunakan nada suara seperti itu. "Aku memang berada di dalam markas NICA tapi bukan aku yang melaporkannya! Aku di tahan pasukan laskar rakyat yang menyamar menjadi tentara Belanda, namanya Wahyu!"

"Memangnya dengan begitu saya akan percaya padamu?" Beni tidak mau kalah. Dia juga ikut berteriak. Hasan mengelus dadanya. Ruangan ini jadi seperti ajang teriakan.

"Kamu mulai lagi! Kenapa kamu terus menerus nggak mempercayaiku? Ingat saat aku menghilang setelah ditangkap bersama Mbak Tutik? Londo menahanku dan memaksaku menjadi mata-mata! Kamu bahkan nggak tahu apa yang akan mereka lakukan padaku kalau aku menolak! Mereka akan mem ... Bahkan aku nggak sanggup mengatakannya!" Air mata Geo meleleh lagi. Hasan mendekat mencoba untuk meraihnya tetapi tatapan mata Beni menahannya. Hasan menghentikan tangannya dan tetap diam di tempat.

"Nggak ada pilihan lain selain menjadi mata-mata. Dan apa kamu tahu? Aku melakukan ini karena ingin membantumu! Kamu ingin membalaskan rasa sakitmu pada Sulistyowati bukan? Seseorang bernama Sersan Toni menyembunyikannya di suatu tempat itulah sebabnya kalian nggak bisa menemukannya. Dan dengan ini, aku bisa memberitahumu di mana kamu bisa menemukan Sulistyowati!" Geo mengangkat lencananya. Menggoyang-goyangkannya di depan wajah Beni.

Beni dan Hasan terdiam. Amarah Beni lebih besar terhadap Sulistyowati daripada kepada Geo. Amarahnya sedikit mereda tetapi nada bicaranya masih menyiratkan kalau dia marah.

"Benar-benar bisa menemukan Sulistyowati?" Beni menggeram. Geo mengangguk mantap. 

"Aku sudah menemukan informasi penting. Sersan Toni adalah orang dibalik tercetusnya ide Rante Mas. Dia yang menjadi ketua Rante Mas dan bertanggung jawab atas semua laporan para mata-mata. Dia juga orang yang sama yang menahanku dan memaksaku untuk menjadi mata-mata. Aku menolak melakukan tindakan yang sangat jauh tetapi sepertinya Sulistyowati berbeda karena dia bahkan mendapatkan rumah. Cih." Geo bergumam untuk kata-katanya yang terakhir.

Beni menautkan alisnya kesal. "Sekarang kamu marah karena si keparat itu tidak memberimu rumah?"

"Wah, lihat itu. Sedetik yang lalu dia memarahiku dan berusaha mencari pistol untuk membunuhku. Sekarang dia berlagak kesal!"

"Sudahlah! Cepat katakan apakah saya bisa menemukan Sulistyowati?"

"Untuk urusan Sulistyowati saja dia jadi nggak sabaran." Geo bergumam-gumam tidak jelas.

"Kamu sedang apa?" Sentakan Beni membuat Geo mendesah kesal.

"Aku menemukan rumah si Sersan Toni. Kamu bisa mendatangi rumahnya dan memaksanya buka mulut untuk memberi tahu di mana rumah Sulistyowati. Aku akan katakan di mana rumahnya kalau kamu bisa bersikap lebih baik padaku!" Geo memelototi Beni lalu melangkahkan kakinya keluar dari kamar. Beni yang sadar langsung berteriak memanggilnya kembali. Namun, Geo mengabaikannya, menutup telinganya dengan sengaja.

***

Malamnya Geo sama sekali tidak mengunjungi kamar Beni. Geo lebih memilih bertukar tugas dengan Mbak Sri untuk mengurusi Hasan. Tugas di PMI ternyata sangat menyenangkan. Geo serasa menikmati menjadi bagian dari PMI.

Luka Hasan yang tidak terlalu parah membuatnya lebih cepat sembuh. Hasan telentang di lincak di ruang tengah markas PMI sambil memandangi langit-langit. Menatap cicak yang berdecak-decak di atas sana. Geo duduk di kursi tidak jauh dari tempat Hasan berbaring sambil membaca koran hari idengan tanggal 22 Februari 1949.

Suasana yang hening membuat detik jarum jam terdengar sangat nyaring. Berita-berita di koran penuh dengan kekejaman Belanda. Geo sampai harus menahan diri untuk tidak meremas koran itu.

"Besok pagi, saya mau pergi ke markas pasukan yang lain. Mencari informasi." Tiba-tiba Hasan berbicara. Geo mendongak dan menatap Hasan yang masih menengadah.

"Memangnya Mas Hasan sudah sembuh benar?"

"Sudah. Saya ingin tahu tentang rencana serangan besar-besaran itu. Kamu juga mau ikut? Nanti saya akan menemanimu mencari rumah Sersan Toni."

Geo menutup korannya dengan seketika. Pembahasan Hasan kali ini menarik minatnya. Jauh di dalam hatinya, sebenarnya dia juga ingin membalas dendam terhadap Sersan Toni. Orang paling licik yang hampir membuat Geo terpedaya. "Wah, boleh juga!"

"Apanya yang boleh juga?" Suara seseorang yang tiba-tiba muncul membuat Geo melompat dari kursinya.

"Nggak apa-apa. Jadi, Mas Hasan, kita sepakat sekarang?" Geo mengabaikan kehadiran orang itu yang seperti hantu. Tiba-tiba datang tanpa suara dan mengagetkan.

"Sepakat apa?" Orang itu mendesak, memaksa ingin diberitahu juga.

"Maaf, orang yang nggak berkepentingan dilarang ikut campur."

Beni berusaha menahan diri untuk tidak memaki-makinya. Sebagai gantinya dia tersenyum. Geo melihatnya dengan tatapan ngeri. Beni tidak pernah tersenyum seperti itu. "Geo, kamu di cari Mbak Sri di depan, katanya ada yang ingin dia bicarakan sama kamu."

"Nggak percaya. Kamu pasti bohong!"

"Kenapa kamu tidak pernah percaya pada saya? Padahal saya mengatakan yang sebenarnya."

"Tolong mengaca, ya. Siapa yang duluan tidak percaya?"

Kemudian Geo mendengar suara teriakan Mbak Sri yang memanggil namanya. Beni menyeringai seolah senang teriakan Mbak Sri datang di waktu yang tepat. Geo mencibir kesal lalu berlari keluar. Meninggalkan Beni bersama Hasan. Geo tergopoh-gopoh menghampiri Mbak Sri yang malah memandanginya dengan bingung.

"Mbak mencari saya?"

"Tidak. Saya pikir tadi kamu ada di depan jadi saya panggil kamu, ternyata kamu ada di dalam."

Geo tertawa hambar seakan baru tahu kalau dia dijebak. Beni muncul dengan santainya sambil bersiul-siul. Mbak Sri menggeleng lalu berjalan pergi ke pondok lain. Mungkin untuk merawat pasien yang lain.

Mbak Sri pergi meninggalkan suasana canggung di antara Beni dan Geo. Geo memandangi langit malam sambil mengusap lengannya. "Ah, sepertinya aku kedinginan. Aku mau masuk saja."

Beni bersiul dan mendekati Geo. Senyumnya tampak mengerikan. Dia mengalungkan lengannya ke leher Geo dan menariknya mendekat.

"Sudah cukup merajuknya! Maafkan saya! Saya tahu, saya keterlaluan. Sekarang saya percaya sama kamu, jadi bisa kita bicara lagi berdua di kamar saya?"

Geo mendongak menatap mata hitam Beni. "Jangan bercanda! Kamu mau mencoba membunuh saya waktu itu!"

Beni semakin menarik Geo mendekat hingga membawanya ke dalam pelukannya. "Saya tahu. Karena itu saya sangat menyesal."

Detak jantung Beni terdengar jelas di telinga Geo. Berdetak tidak beraturan dan sangat cepat sama seperti miliknya. Wajah Geo memanas. Beni, orang yang tidak bisa ditebak. Sebentar-sebentar marah dan mengamuk, sedetik kemudian tersenyum seolah semuanya baik-baik saja.

"Geo, maukah kamu pergi mencari Sulistyowati bersama saya?" Beni mendekap erat tubuh Geo. Menenggelamkan kepalanya di antara cerukan leher Geo. Sensasi hembusan nafas milik Beni yang sangat dekat dengan telinganya membuat punggungnya merinding. Ini sisi Beni yang lain yang tidak pernah terlihat.

"Kamu tidak akan mencoba membunuhku lagi?"

"Aku akan membunuhmu kalau kamu pergi dengan Hasan atau bermain-main dengan Sersan Toni." Beni semakin erat memeluk Geo. "Ah, benar, saya penasaran. Kamu pernah bermain dengan Sersan Toni?" Beni melepas pelukannya dan mendorong Geo. Sekarang mereka saling bertatapan.

"Nggak! Memangnya aku mau melakukan hal begitu?"

Beni mendesah lega. Kemudian dia kembali menarik Geo ke dalam pelukannya. "Mulai sekarang, saya hanya akan percaya padamu."

Tags: Twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Warna Untuk Pelangi
8353      1781     4     
Romance
Sebut saja Rain, cowok pecinta novel yang dinginnya beda dari yang lain. Ia merupakan penggemar berat Pelangi Putih, penulis best seller yang misterius. Kenyataan bahwa tidak seorang pun tahu identitas penulis tersebut, membuat Rain bahagia bukan main ketika ia bisa dekat dengan idolanya. Namun, semua ini bukan tentang cowok itu dan sang penulis, melainkan tentang Rain dan Revi. Revi tidak ...
Cinta Tak Terduga
5198      1649     8     
Romance
Setelah pertemuan pertama mereka yang berawal dari tugas ujian praktek mata pelajaran Bahasa Indonesia di bulan Maret, Ayudia dapat mendengar suara pertama Tiyo, dan menatap mata indah miliknya. Dia adalah lelaki yang berhasil membuat Ayudia terkagum-kagum hanya dengan waktu yang singkat, dan setelah itupun pertemanan mereka berjalan dengan baik. Lama kelamaan setelah banyak menghabiskan waktu...
SiadianDela
9001      2361     1     
Romance
Kebahagiaan hanya bisa dicapai ketika kita menikmatinya bersama orang yang kita sayangi. Karena hampir tak ada orang yang bisa bahagia, jika dia tinggal sendiri, tak ada yang membutuhkannya, tak ada orang yang ingin dia tolong, dan mungkin tak ada yang menyadari keberadaanya. Sama halnya dengan Dela, keinginan bunuh diri yang secara tidak sadar menjalar dikepalanya ketika iya merasa sudah tidak d...
Berawal dari Hujan (the story of Arumi)
1116      602     1     
Inspirational
Kisah seorang gadis bernama Arumi Paradista, menurutnya hujan itu musibah bukan anugerah. Why? Karena berawal dari hujan dia kehilangan orang yang dia sayang. Namun siapa sangka, jika berawal dari hujan dia akan menemukan pendamping hidup serta kebahagiaan dalam proses memperbaiki diri. Semua ini adalah skenario Allah yang sudah tertulis. Semua sudah diatur, kita hanya perlu mengikuti alur. ...
Nobody is perfect
13752      2479     7     
Romance
Pada suatu hari Seekor kelinci berlari pergi ingin mencari Pangerannya. Ia tersesat, sampai akhirnya ditolong Si Rubah. Si Rubah menerima si kelinci tinggal di rumahnya dan penghuni lainnya. Si Monyet yang begitu ramah dan perhatiaan dengan si Kelinci. Lalu Si Singa yang perfeksionis, mengatur semua penghuni rumah termasuk penghuni baru, Si Kelinci. Si Rubah yang tidak bisa di tebak jalan pikira...
BANADIS
7556      1771     5     
Fantasy
Banadis, sebuah kerajaan imajiner yang berdiri pada abad pertengahan di Nusantara. Kerajaan Banadis begitu melegenda, merupakan pusat perdagangan yang maju, Dengan kemampuan militer yang tiada tandingannya. Orang - orang Banadis hidup sejahtera, aman dan penuh rasa cinta. Sungguh kerajaan Banadis menjadi sebuah kerajaan yang sangat ideal pada masa itu, Hingga ketidakberuntungan dialami kerajaan ...
Your Secret Admirer
2297      796     2     
Romance
Pertemuan tak sengaja itu membuat hari-hari Sheilin berubah. Berubah menjadi sesosok pengagum rahasia yang hanya bisa mengagumi seseorang tanpa mampu mengungkapkannya. Adyestha, the most wanted Angkasa Raya itulah yang Sheilin kagumi. Sosok dingin yang tidak pernah membuka hatinya untuk gadis manapun, kecuali satu gadis yang dikaguminya sejak empat tahun lalu. Dan, ada juga Fredrick, laki-l...
Kisah yang Kita Tahu
5733      1727     2     
Romance
Dia selalu duduk di tempat yang sama, dengan posisi yang sama, begitu diam seperti patung, sampai-sampai awalnya kupikir dia cuma dekorasi kolam di pojok taman itu. Tapi hari itu angin kencang, rambutnya yang panjang berkibar-kibar ditiup angin, dan poninya yang selalu merumbai ke depan wajahnya, tersibak saat itu, sehingga aku bisa melihatnya dari samping. Sebuah senyuman. * Selama lima...
In your eyes
8573      1999     4     
Inspirational
Akan selalu ada hal yang membuatmu bahagia
Dia Dia Dia
13536      2166     2     
Romance
Gadis tomboy yang berbakat melukis dan baru pindah sekolah ke Jakarta harus menahan egonya supaya tidak dikeluarkan dari sekolah barunya, saat beberapa teman barunya tidak menyukai gadis itu, yang bernama Zifan Alfanisa. Dinginnya sikap Zifan dirasa siswa/siswi sekolah akan menjadi pengganti geng anak sekolah itu yang dimotori oleh Riska, Elis, Lani, Tara dan Vera. Hingga masalah demi masalah...