Loading...
Logo TinLit
Read Story - Somehow 1949
MENU
About Us  

Pukul delapan pagi. Suasana di dalam markas PMI telihat ramai. Mbak Sri keluar dari bilik kamar Beni. Katanya luka Beni sudah sembuh sebagian. Geo tidak mengerti kenapa Mbak Sri mengatakan hal itu padanya. Beni muncul beberapa saat setelah Mbak Sri pergi. Dia berjalan mendekati Geo dan langsung memeluknya. Geo memekik dan spontan meninju perutnya. Beni mengaduh dan pelukannya terlepas.

"Kenapa memukulku?" Beni berteriak sambil memegangi perutnya.

"Salahmu! Kenapa tiba-tiba melakukan itu? Di sini banyak yang lihat!"

"Berarti kalau di kamar tidak apa-apa?"

"Sinting! Mau kutendang?"

Beni terkekeh lalu berjalan masuk ke kamarnya. Geo bergumam-gumam kesal. Sekarang hobi Beni adalah menggodanya. Geo harusnya merasa lega karena setidaknya Beni masih bisa tertawa sesekali. Setelah mendengar berita tentang kematian Mbak Tutik itu terkadang Beni masih sering melamun. Geo juga merasa sedih. Mbak Tutik sudah dia anggap sebagai ibunya di sini mengingat dia tidak mempunyai ibu di zaman modern.

Geo menghela nafas dan mengikuti Beni masuk ke dalam kamar. Beni duduk di dipan sambil menundukkan kepalanya. Geo mendekat dan memeluk lehernya. Geo tahu, Beni masih merasa kehilangan Mbak Tutik. Saudara kandung satu-satunya yang dia punya. Beni membalas pelukan Geo dengan melingkarkan lengannya ke pinggang Geo.

"Sudah, Mas. Jangan sedih terus. Aku juga sedih. Mbak Tutik juga pasti sedih lihat Mas Beni begini."

"Mbak Tutik jadi korban akibat perjuangan saya."

"Terus? Mas Beni mau berhenti? Mbak Tutik bukan jadi korban tetapi mengorbankan diri. Kita harusnya menghormati pengorbanan Mbak Tutik dan membuat itu jadi pemicu kita untuk terus berjuang. Jangan jadikan pengorbanan Mbak Tutik menjadi sia-sia, Mas. Kita harus terus berjuang demi mereka-mereka yang telah mengorbankan diri."

Beni mempererat pelukannya di pinggang Geo. "Kamu benar." Mereka terdiam beberapa saat. Hingga Beni berucap lagi. "Terima kasih. Setidaknya kamu masih berada di sisi saya."

Suara dehamam membuat Geo terperanjat. Dia menoleh dan melihat Hasan berdiri di antara celah pintu yang sedikit terbuka. Geo buru-buru melepas pelukannya dan mendorong Beni menjauh. Beni memekik marah.

"Apa saya menggangu? Atau saya kembali lagi nanti."

"Tidak! Jangan! Silahkan masuk. Hahaha." Geo tertawa gugup sementara Beni memelototinya, tidak terima karena Geo mendorongnya seenaknya.

Hasan masuk dan menutup pintu. Geo hendak beranjak karena tidak ingin mengganggu pembicaraan antara Beni dan Hasan. Namun, Beni langsung meraih tangan Geo dan menyeretnya mendekat. Geo jatuh terduduk di dipan samping Beni. Beni merangkulkan lengannya di bahu Geo seakan mencegah Geo pergi. Mata Geo membelalak. Wajahnya merah. Dia malu apalagi Hasan juga melihat itu.

"Ada apa? Ada kabar terbaru?" Beni bertanya sambil menahan Geo agar tetap tenang. Geo mengalihkan wajahnya agar tidak bertatapan dengan Beni maupun Hasan.

"Saya cuma mau memberitahu tentang serangan besar-besaran yang akan dilakukan oleh TNI, Pak."

"Oh, itu bagaimana? Tanggalnya sudah ditetapkan?"

"Ya. Serangan Umum akan dilaksanakan pada tanggal 1 Maret. Bulan depan, Pak."

Telinga Geo bergerak. Dia menoleh dan menatap Hasan. Geo merasa tidak asing dengan kata Serangan Umum 1 Maret. Geo memutar matanya selagi berpikir. Rasanya dia pernah mendengar kata itu di suatu tempat. Beni melirik Geo sekilas tetapi kembali fokus pada Hasan.

"Wah, sebentar lagi. Terus apa kamu sudah menemukan Sulistyowati?"

"Belum, Pak. Sepertinya benar kata Geo, dia sembunyi. Saya belum bisa menemukannya."

"Pokoknya kalau kamu menemukannya, bawa dia langsung padaku. Syukur-syukur kalau kamu bisa membawanya hidup-hidup. Biar saya sendiri yang selesaikan!"

"Baik, Pak. Kalau begitu saya pamit dulu. Sepertinya saya mengganggu kalian. Hehe...." Hasan terkekeh lalu berjalan keluar kamar.

Beni menoleh dan mendapati Gei tengah terdiam. Geo masih berpikir di mana dia pernah mendengar kata Serangan Umum 1 Maret itu. Dia yakin pernah menjumpainya di suatu tempat dan yang pasti bukan dari buku sejarah karena sepanjang hidupnya, Geo tidak pernah mengingat satu pun materi sejarah di dalam kelalanya.

Beni tersenyum lalu menarik Geo ke dalam pelukannya. Menabrakkan wajah Geo ke dadanya yang bidang. Kemudian menenggelamkan wajahnya di rambut Geo. "Kenapa, ya, saya terus-terusan ingin memeluk kamu?"

"Karena kamu rindu Mbak Tutik."

"Ah, jawaban yang salah." Beni mempererat pelukannya. Suara detak jantung yang didengar Geo membuatnya tidak yakin apakah itu miliknya atau milik Beni. Walau begitu dia tetap menikmatinya.

***

Semburat jingga muncul di ufuk Barat. Langit mulai berubah warna. Angin semilir berhembus mengibarkan beberapa helai rambut Geo yang keluar dari sanggulnya. Dia bersembunyi di belakang Beni yang menutupi kepalanya dengan sarung. Di depan sana setidaknya ada beberapa tentara Belanda yang mengawal Sersan Toni.

Beni mengepalkan tangannya. "Keparat!" umpatnya.

Geo memiringkan tubuhnya untung mengintip sesuatu yang membuanya mengumpat. Tangan Beni menahan pinggang Geo agar tetap bersembunyi di belakangnya. Keadaan itu sudah bertahan kurang lebih selama sepuluh menit. Kaki Geo kesemutan. Kakinya bergerak-gerak mencoba menghilangkan kesemutannya. Kemudian sebuah mobil jeep datang dan membawa pergi beberapa tentara yang mengawal Sersan Toni.

Sersan Toni mengawasi sekitar sebelum masuk ke rumahnya. Rumah besar berwarna cokelat itu tampak gagah dari luar. Setelah Sersan Toni masuk ke dalam rumahnya, Beni dan Geo dapat bernafas lega. Dibukanya kerudung sarung yang menutupi kepalanya lalu berbalik ke arah Geo.

"Sekarang giliranmu. Bantu aku masuk dan menghabisi keparat itu!"

"Hei, rencana awalnya untuk menculiknya!" Geo memprotes.

"Pada akhirnya, dia juga akan dihabisi! Cepat jalan!" Nada diktator Beni kembali. Geo memutar matanya dan melangkah ke depan pintu rumah Sersan Toni sementara Beni masih bersembunyi di belakang pohon, kembali mengerudungkan sarungnya.

Suasana sepi. Tidak ada tentara Belanda yang menjaga rumah Sersan Toni. Semua tentara sudah pergi bersama mobil jeep yang tadi. Geo menarik nafasnya. Menenangkan jantungnya yang berdegup kencang. Dia tidak menyukai idenya ini tetapi tidak ada pilihan lain untuk membuat Sersan Toni bicara.

Geo mengetuk pintunya dan terdengar suara langkah kaki mendekat. Pintu berayun terbuka. Geo bersiap memasang senyumnya. Sersan Toni terkejut melihat Geo berada di depannya. Tak lama senyumnya mengembang. Di belakang sana, Beni mengumpat di dalam hati melihat senyum yang ditampilkan Sersan Toni.

"Ini sebuah kejutan. Dari mana kamu tahu rumah saya?" Sersan Toni membelai rambut Geo, menyingkirkan anak rambut yang berantakan. Beni sudah menggeram marah di belakang sana, memukuli batang kayu.

"Beberapa tentara memberitahu saya." Geo meraih tangan Sersan Toni lembut dan menurunkannya dari kepalanya. Gerakan yang terkesan halus padahal niat aslinya adalah menyingkirkan tangan Sersan Toni dari kepalanya.

"Kamu berani juga, ya. Mari masuk, sebelum ada yang melihat." Sersan Toni mengawasi sekeliling. Beni merapat di belakang pohon supaya Sersan Toni tidak melihatnya. Namun, matanya terus melotot menatap Sersan Toni yang tersenyum dan membawa Geo masuk rumahnya.

Geo mengangguk dan masuk ke dalam bersama Sersan Toni. Geo menawarkan diri untuk mengunci pintu ketika melihat Sersan Toni akan melakukan itu. Sersan Toni yang tidak curiga sama sekali mempersilahkan Geo mengunci pintu setelah memberi tahunya untuk segera pergi ke ruangan dengan pintu berwarna merah. Geo mengangguk patuh sambil tersenyum.

Sersan Toni menghilang masuk ke dalam ruangan dengan pintu berwarna merah. Geo membuka pintu dan sangat terkejut melihat Beni sudah berada di depan pintu. Hampir saja dia berteriak. Beni mengendap masuk dan mencengkeram lengan Geo. "Kamu! Jangan tersenyum dengan keparat itu!"

Geo menaikkan sudut bibirnya. Yang benar saja. Mereka sedang berusaha mengelabui Sersan Toni dan Geo dilarang tersenyum. Memangnya Sersan Toni akan mempercayainya kalau Geo tidak tersenyum?

Geo memberi tahu Beni kalau Sersan Toni berada di dalam kamar dengan pintu warna merah. Geo menegaskan tidak akan mengunci pintunya dan Beni boleh langsung masuk untuk menangkapnya setelah Geo menginterogasi Sersan Toni.

"Kenapa tidak saya saja yang menginterogasi dia?" Beni berbisik dengan suara yang amat sangat kecil.

"Dia tidak akan bicara. Dia pasti akan tutup mulut sampai kamu membunuhnya." Perkataan Geo ada benarnya jadi Beni diam dan menyuruh Geo segera masuk ke dalam kamar. Geo mengangguk. Mengetuk kamar sebentar lalu memutar kenopnya dan masuk. 

Di dalam, Sersan Toni sudah menanggalkan pakaiannya. Geo menyadari apa yang akan dia lakukan. Geo menelan ludahnya dan hampir mengurungkan niatnya untuk menginterogasi Sersan Toni. Dia takut dengan pikiran tentang apa yang akan dilakukan Sersan Toni. Geo menenangkan hatinya dengan mengatakan kalau Beni ada di luar pintu. Beni akan tahu apa yang akan terjadi kalau Geo berteriak. Namun, untuk sekarang lebih baik dia mengikuti rencana yang sudah direncanakan.

Sersan Toni mendekati Geo dan membawanya duduk di tepi ranjang. Jantung Geo berdegup kencang. Bukan karena merasa senang melainkan merasa takut. Keringat dingin meluncur turun di pelipisnya dan matanya sekali-kali melirik ke arah pintu. 

"Sersan Toni, bisakah kamu memberitahu saya di mana rumah Sulistyowati?" Gro mengawali rencananya dengan menggenggam tangan Sersan Toni. Kulit pucatnya itu sangat tidak matching dengan kulit kuning langsat milik Geo.

"Kenapa kamu menanyakan dia? Bukankah kamu datang untuk bersenang-senang?" Sersan Toni menarik Geo ke atas ranjang. Mengurung tubuh Geo di bawah tubuhnya. Geo tidak sempat menjerit. Suaranya tidak mau keluar akibat terlalu terkejut. Geo menelan ludahnya. Wajah mereka saling berhadapan. Mata biru Sersan Toni tampak berbinar dilengkapi dengan seulas senyum yang menyebalkan. Geo ikut tersenyum. Kemudian, Geo mendorong Sersan Toni dan gantian mengurungnya. Geo berada di atasnya.

"Saya tidak akan bersenang-senang sebelum kamu memberitahu saya." Geo menyeringai. Sementara Sersan Toni tertawa di bawahnya.

"Boleh juga," ucapnya di sela tawanya. "Sulistyowati ada di kampung Sawojajar. Rumah menghadap Selatan dengan cat hijau. Kamu perlu mengetuk pintunya tiga kali untuk membuat Sulistyowati keluar." Kemudian Sersan Toni kembali membuat Geo berada di bawahnya. Sanggul Geo jadi terlepas. "Bagaimana? Bisa kita bersenang-senang sekarang?"

Kemudian suara gebrakan terdengar. Beni menghambur masuk dan langsung mencengkeram lengan Sersan Toni. Menodongkan pistol ke pelipis Sersan Toni. Sersan Toni membelalakkan matanya, terkejut melihat Beni yang tiba-tiba berada di depannya. Dia melirik ke arah Geo tajam.

"Bagaimana rasanya dikhianati anak buahmu sendiri?" Beni meringis. Amarah tampak terlihat jelas di wajahnya. Giginya saling bergesek menahan emosinya.

"Ah, Tuan Beni. Geo kamu?" Sersan Toni terguncang. Diliriknya Geo yang sekarang menyender dikepala ranjang. Menatap tajam ke arah Sersan Toni dengan ekspresi wajah dingin. Bahu Sersan Toni terkulai, menyadari Geo tengah menjebaknya.

"Ayo turun!" Beni menyeret Sersan Toni turun dari ranjang. Geo akhirnya bisa bernafas lega. Beni datang di saat yang tepat. Dia tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya kalau Beni tidak datang.

"Tu ... Tunggu, Tuan. Apa ... Apa yang akan Tuan lakukan?"

"Kamu pikir apa? Kamu pernah menghajar saya! Kamu membuat Sulistyowati jadi budakmu! Dan sekarang kamu mau menodai kekasih saya?"

Geo hampir tersenyum mendengar Beni yang meluapkan amarahnya. Namun, Geo menahan senyumnya. Suasananya sedang tidak mendukung untuknya tersenyum.

"Tolong, Tuan ... Lepaskan saya. Nanti Tuan akan saya beri uang yang banyak."

"Apa? Dilepaskan? Kamu itu memang tidak punya malu! Sekarang kamu harus menerima balasannya! Kamu harus mampus!" Beni semakin mendorongkan pistolnya ke kening Sersan Toni. Tubuh Sersan Toni gemetaran. Dia jadi seperti tikus kecil yang berada di genggaman singa. "Tetapi sebelumnya, di mana rumah Sulistyowati?"

Sersan Toni terdiam. Seperti yang diduga dia tidak mau bicara. Sersan Toni mengunci rapat-rapat mulutnya. Tidak mau bicara. Geo memutar matanya kesal. Inilah kenapa harus dia yang menginterogasi Sersan Toni. Lihat, sekarang saja Sersan Toni tidak mau membuka mulutnya.

"Sawojajar, rumah warna hijau hadap Selatan." Geo menyahut. Sersan Toni melotot padanya seakan mengatakan beraninya Geo mengatakan itu.

"Benar itu?" Beni menghunuskan belatinya. Tangan kiri menodongkan pistol dan tangan kanan memegang belati. Sirat ketakutan mulai muncul di mata Sersan Toni. "Cepat jawab!" Beni berteriak mengancamnya.

"Be ... Betul, Tuan." Suara Sersan Toni benar-benar seperti tikus yang terpojok.

"Tidak bohong?" Beni berteriak. Geo sampai harus menutup telinganya karena suara Beni menjadi melengking di telinganya.

"Ti ... Tidak, Tuan."

"Lalu, siapa kepala Rante Mas itu? Ayo lekas jawab!" Beni kembali mengancamnya.

"Sa ... Saya, Tuan."

"Jadi yang memberi instruksi kepada Sulistyowati itu kamu sendiri? Dan yang memaksa Geo menjadi mata-mata itu juga kamu?"

"Be ... Betul, Tuan."

Beni menghela nafas. "Terima kasih. Sebagai pembalas budimu, terimalah hadiah saya ini!" Beni menusuk perut Sersan Toni dengan belatinya. Menusukkannya dengan amarah luar biasa. Tanpa banyak bicara, Sersan Toni jatuh bersimbah darah. Beni merasa lega. Akhirnya dia bisa menghabisi nyawa seseorang yang menjadi kepala dari semua mata-mata yang menghancurkan pasukannya. Sekarang setidaknya Beni sudah membalaskan dendam kawan-kawannya yang sudah gugur.

Beni menghadap Geo dan langsung menarik Geo ke dalam pelukannya. "Kamu sudah menginterogasinya dengan melakukan hal aneh tadi?" Beni menggeram sembari mengeratkan pelukannya.

Geo membalas pelukan Beni. Menepuk-nepuk punggungnya. "Maaf, dia yang mulai. Aku harus ikut dalam permainannya sebelum menginterogasinya."

"Harusnya tidak begitu!" Beni semakin mengeratkan pelukannya. Membenamkan wajahnya di antara rambut Geo yang terurai.

"Sekarang, kamu harus ke rumah Sulistyowati. Cepatlah pergi."

"Kamu harus ikut dengan saya. Entah kenapa saya merasa tidak punya tenaga."

Geo memgangkat tangannya dan memindahkannya untuk merangkul leher Beni. Geo tersenyum dan mulai berbisik. "Aku mencintaimu."

Diam dan sepi. Tangan Beni berhenti bergerak. Suara detik jarum jam terdengar nyaring dari kejauhan. Mayat Sersan Toni mengintip dalam diam di bawah kaki mereka. Kemudian, Beni melepas pelukannya dan memegang kedua lengan Geo.

"Ka ... Kamu bilang apa barusan? U ... Ulangi!!"

Geo mengalihkan wajahnya. Merasa malu melihat mata Beni yang tampak berkilauan. "Bagaimana? Sekarang energimu sudah terkumpul lagi?"

"Ulangi dulu!"

"Tidak ada siaran ulang!"

Beni hampir marah lagi tetapi suara seseorang di luar membuatnya terdiam. "Tuan Toni? Anda di dalam? Saya khawatir karena pintunya tidak dikunci." Orang itu mengetuk pintu kamar Sersan Toni. Geo ketakutan dan menarik lengan Beni.

"Hmm, saya ada di sini. Saya mau tidur. Kamu boleh mengunci pintunya, mungkin saya lupa." Beni menirukan suara cempreng Sersan Toni lengkap dengan aksennya. Geo mendelik padanya. Bagaimana bisa Beni meniru suara Sersan Toni dengan begitu mirip?

"Oh, baik, Tuan." Suara sahutan dari orang di luar kamar membuat Geo menarik-narik lengan Beni.

"Sekarang bagaimana?"

Beni tersenyum tenang. Dia menunjuk ke sebuah jendela besar si sebelah ranjang. Beni lalu menyabet selimut dan menutupi tubuh Sersan Toni yang sudah menjadi mayat. Beni menarik tangan Geo untuk mengikutinya menuju jendela.

Ketika Jendela dibuka, udara dingin malam menyambut mereka. Suasana sudah sangat gelap. Bunyi-bunyian hewan malam mulai terdengar. Beni turun lebih dulu sambil menahan jendela agar tetap terbuka. Kemudian mengulurkan tangannya pada Geo. Geo menerimanya dan dengan bersusah payah turun dari jendela. Jaritnya sedikit menyangkut di ujung pengait kunci jendela. Beni membantunya sembari mengomelinya.

Rambut Geo berhamburan ke mana-mana. Geo tidak bisa menyanggul kembali rambutnya setelah sanggulnya lepas tadi. Beni yang jengkel melihat rambut Geo akhirnya menjadi murka. Dia bergerak seperti akan menguncir rambut Geo. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya. Beni langsung memangkasnya menggunakan belati lain yang dia punya. Geo melongo. Sekarang rambutnya menjadi pendek. Dan lagi, sebenarnya Beni bawa berapa belati?

Beni menutup mulut Geo yang hampir menyerukan protesnya. Mereka berjalan berdampingan. Bersembunyi dibalik pepohonan sambil mengawasi sekeliling. Takut-takut ada tentara Belanda yang memergoki mereka. Mereka berjalan melewati Kampung Panembahan. Beni akan pergi ke rumah Sulistyowati dengan mengajak Geo serta. Beni takut, Sulistyowati akan kabur setelah tahu Sersan Toni sudah mati.

Suasana yang begitu gelap dan sunyi membuat semuanya menjadi terlihat jelas. Bunyi-bunyi kecil entah dari suara hewan, sepatu tentara Belanda yang kebetulan lewat beserta suara tawanya terdengar jelas. Beni menyeret Geo untuk bersembunyi di belakang semak sampai beberapa tentara itu pergi. Mata tentara Belanda yang tidak terlalu bagus saat melihat dalam kegelapan membuat para pejuang Gerilya lebih mudah menyerang mereka.

Mereka berjalan melewati sebuah kampung yang bernama kampung Panembahan. Geo terus mengekori Beni. Karena dia yang tahu jalan ke Kampung Sawojajar. Geo hanya menurut saja ke mana pun Beni membawanya. Sesekali mereka akan bersembunyi ketika berpapasan dengan tentara Belanda yang menggunakan atribut lengkap. Di zaman ini tidak ada jam tangan sehingga sangat sulit untuk menentukan sekarang sudah jam berapa. Suasana yang sangat gelap dan sunyi ini bisa diartikan kalau hari sudah menginjak tengah malam.

Tak lama kemudian, mereka akhirnya bisa sampai di kampung Sawojajar setelah berjalan mengendap-endap. Mereka mengawasi kanan, kiri, dan belakang. Siapa tahu ada tentara Belanda yang tiba-tiba memergoki mereka.

Dari awal karena suasana yang begitu gelap, mereka sangat kesulitan mencari rumah bercat hijau. Untungnya Beni membawa korek api. Dia menyalakannya untuk membuat penerangan dan mendatangi satu per satu rumah untuk dicek warna catnya. Lama mereka mencari, akhirnya rumah bercat hijau ditemukan. Beni tersenyum lega. 

Beni mengerudungkan sarungnya menutupi kepalanya sambil mengawasi sekeliling sebelum mengetuk pintu. Tangannya hampir mengetuk saat dia teringat pada Geo yang berdiri di belakangnya. Gerakannya terhenti.

"Kamu, bisa sembunyi dulu?" Beni berbisik sangat pelan.

"Oh, oke. Kamu ketuk tiga kali sebagai tanda supaya dia mau membuka pintunya." Beni mengangkat alisnya bingung. "Itu kata Sersan Toni," lanjut Geo yang langsung berlari ke belakang gerobak milik orang yang berada di seberang rumah bercat hijau itu.

Beni mengetuk pintu tiga kali seperti yang telah Geo bilang. Benar saja. Tidak lama terdengar suara langkah kaki yang mendekat. Pintu berderit terbuka. Sebelum orang yang membukakan pintu benar-benar keluar, Beni langsung menariknya sambil menodongkan pistol. Orang yang ditarik Beni terkejut. Orang itu adalah Sulistyowati. Geo mengawasi wajah terkejut Sulistyowati dari balik gerobak. Dia berjongkok di bawah supaya kepalanya tidak terlihat menyembul.

"Ayo, melu! Yen mbengok, kowe mati!" (Ayo, ikut! Kalau teriak kamu mati!) Beni menyeret tubuh Sulistyowati kasar.

"Kowe sopo?" (Kamu siapa?) Di antara tubuhnya yang gemetaran, Sulistyowati mempertanyakan sosok yang tiba-tiba menariknya itu.

"Kowe pangling karo aku, Sul?" (Kamu lupa denganku, Sul?)

"I ... Iyo. Iki peteng lan kowe kerudung sarung pisan." (Iya. Ini gelap dan kamu kerudungan sarung juga.) Sulistyowati menatap orang mencurigakan itu.

"Yo memper yen kowe banjur pangling karo aku. Wong kowe dadi pihak e musuh. Dadi anggota Rante Mas!" (Ya pantes kalau kamu lupa sama aku. Karena kamu jadi pihak e musuh. Jadi anggota Rante Mas.)

"Kowe sopo, to? Opo kongkonane Sersan Toni?" (Kamu siapa, sih? Apa suruhannya Sersan Toni?)

"Bener! Makane ayo melu aku!" (Benar! Makanya ayo ikut saya!) Beni langsung menarik Sulistyowati untuk mengikutinya.

Sulistyowati merengek-rengek minta dilepaskan. Dia masih tidak tahu siapa orang yang menariknya paksa itu. Sementara itu, Geo juga bangkit untuk mengikuti mereka. Namun, jaritnya kembali tersangkut celah di gerobak. Butuh waktu sedikit lebih lama untuk melepasnya. Untungnya sosok Beni yang tengah menyeret Sulistyowati masih dapat terlihat.

Beni membawa Sulistyowati ke pinggir sungai. Geo tidak tahu mereka berada di mana. Dia hanya mengikuti Beni dari jauh sambil mengawasi sekeliling. Geo juga harus berjalan mengendap-endap takut ada tentara Belanda yang melihatnya. Beni tidak memberinya senjata untuk jaga diri. Alasannya karena dia tidak mau melihat Geo menjadi penembak seperti saat misi penyelamatan Beni dari penjara waktu itu.

Beni mendorong Sulistyowati ke pinggir sungai. Sulistyowati tampak begitu ketakutan. Pistol yang digenggam Beni masih ditodongkan pada Sulistyowati.

"Kowe ki sopo, to?" (Kamu itu siapa, sih?) Sulistyowati terlihat frustasi karena tidak tahu siapa orang itu.

Beni melepas kerudung sarungnya dengan tangan lainnya. Mata Sulistyowati membelalak. Bola matanya seakan hampir melompat keluar. Mulutnya menganga lebar. Tangannya gemetaran sejadi-jadinya.

"Ma ... Mas Beni?"

Tags: Twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Perfect Love INTROVERT
10697      1995     2     
Fan Fiction
Find Dreams
265      218     0     
Romance
Tak ada waktu bagi Minhyun untuk memikirkan soal cinta dalam kehidupan sehari-harinya. Ia sudah terlalu sibuk dengan dunianya. Dunia hiburan yang mengharuskannya tersenyum dan tertawa untuk ratusan bahkan ribuan orang yang mengaguminya, yang setia menunggu setiap karyanya. Dan ia sudah melakukan hal itu untuk 5 tahun lamanya. Tetapi, bagaimana jika semua itu berubah hanya karena sebuah mimpi yan...
Taarufku Berujung sakinah
7281      1847     1     
Romance
keikhlasan Aida untuk menerima perjodohan dengan laki-laki pilihan kedua orang tuanya membuat hidupnya berubah, kebahagiaan yang ia rasakan terus dan terus bertambah. hingga semua berubah ketika ia kembai dipertemukan dengan sahabat lamanya. bagaimanakah kisah perjuangan cinta Aida menuju sakinah dimata Allah, akankah ia kembali dengan sahabatnya atau bertahan degan laki-laki yang kini menjadi im...
Nobody is perfect
13752      2479     7     
Romance
Pada suatu hari Seekor kelinci berlari pergi ingin mencari Pangerannya. Ia tersesat, sampai akhirnya ditolong Si Rubah. Si Rubah menerima si kelinci tinggal di rumahnya dan penghuni lainnya. Si Monyet yang begitu ramah dan perhatiaan dengan si Kelinci. Lalu Si Singa yang perfeksionis, mengatur semua penghuni rumah termasuk penghuni baru, Si Kelinci. Si Rubah yang tidak bisa di tebak jalan pikira...
Sekilas Masa Untuk Rasa
3885      1267     5     
Romance
Mysha mengawali masa SMAnya dengan memutuskan untuk berteman dengan Damar, senior kelas dua, dan menghabiskan sepanjang hari di tribun sekolah sambil bersenda gurau dengan siapapun yang sedang menongkrong di sekolah. Meskipun begitu, Ia dan Damar menjadi berguna bagi OSIS karena beberapa kali melaporkan kegiatan sekolah yang menyimpang dan membantu kegiatan teknis OSIS. Setelah Damar lulus, My...
Verletzt
1495      683     0     
Inspirational
"Jika mencintai adalah sebuah anugerah, mengapa setiap insan yang ada di bumi ini banyak yang menyesal akan cinta?" "Karena mereka mencintai orang yang tidak tepat." "Bahkan kita tidak memiliki kesempatan untuk memilih." --- Sebuah kisah seorang gadis yang merasa harinya adalah luka. Yang merasa bahwa setiap cintanya dalah tikaman yang sangat dalam. Bahkan kepada...
I'il Find You, LOVE
6139      1675     16     
Romance
Seharusnya tidak ada cinta dalam sebuah persahabatan. Dia hanya akan menjadi orang ketiga dan mengubah segalanya menjadi tidak sama.
Pangeran Benawa
38013      6311     6     
Fan Fiction
Kisah fiksi Pangeran Benawa bermula dari usaha Raden Trenggana dalam menaklukkan bekas bawahan Majapahit ,dari Tuban hingga Blambangan, dan berhadapan dengan Pangeran Parikesit dan Raden Gagak Panji beserta keluarganya. Sementara itu, para bangsawan Demak dan Jipang saling mendahului dalam klaim sebagai ahli waris tahta yang ditinggalkan Raden Yunus. Pangeran Benawa memasuki hingar bingar d...
Jika Aku Bertahan
12720      2691     58     
Romance
Tidak wajar, itu adalah kata-kata yang cocok untuk menggambarkan pertemuan pertama Aya dengan Farel. Ketika depresi mengambil alih kesadarannya, Farel menyelamatkan Aya sebelum gadis itu lompat ke kali. Tapi besoknya secara ajaib lelaki itu pindah ke sekolahnya. Sialnya salah mengenalinya sebagai Lily, sahabat Aya sendiri. Lily mengambil kesempatan itu, dia berpura-pura menjadi Aya yang perna...
Mutiara -BOOK 1 OF MUTIARA TRILOGY [PUBLISHING]
13910      2824     7     
Science Fiction
Have you ever imagined living in the future where your countries have been sunk under water? In the year 2518, humanity has almost been wiped off the face of the Earth. Indonesia sent 10 ships when the first "apocalypse" hit in the year 2150. As for today, only 3 ships representing the New Kingdom of Indonesia remain sailing the ocean.